Skip to main content

“People Power” di Asia masih hidup dan bergerak di tengah arus global yang meresahkan

Hak asasi manusia dan supremasi hukum adalah landasan bagi pertumbuhan dan stabilitas – bukan pengalihan dari keduanya.

Published in: Nikkei Asia
Para mahasiswa berunjuk rasa menuntut diadilinya mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina di Dhaka, Bangladesh, 13 Agustus 2024.  © 2024 Rajib Dhar/AP Photo

Pada saat sebagian pihak mempertanyakan relevansi hak asasi manusia dan tatanan berbasis aturan, Asia menjadi saksi dari beberapa demonstrasi luar biasa berupa "people power" selama tahun 2024.

Para pemimpin masyarakat sipil dan aktivis pro-demokrasi di seluruh Asia terus mempertaruhkan nyawa dan kebebasan mereka demi memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia dalam menghadapi serangan sengit terhadap supremasi hukum dan demokrasi.

Pada Desember tahun lalu, ribuan warga Korea Selatan datang saat larut malam untuk memprotes pemberlakuan darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol. Dalam beberapa jam, Majelis Nasional memutuskan untuk memaksa Yoon – yang telah ditangkap – agar membatalkan perintah tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, di Bangladesh, protes yang digalang para mahasiswa yang menentang kuota pemerintah yang dipolitisasi, korupsi, dan pemerintahan yang sewenang-wenang selama bertahun-tahun dengan cepat berubah menjadi gerakan nasional yang menggulingkan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. Sekarang, pemerintahan sementara sedang berusaha memetakan masa depan yang menghormati hak asasi manusia.

Dan pada bulan November, rakyat Sri Lanka memberikan suara dalam jumlah besar guna menentang sejumlah partai politik yang terlibat korupsi atau memimpin kejahatan perang, dan memilih partai Kekuatan Rakyat Nasional (NPP), yang dipimpin oleh para tokoh yang menjanjikan akuntabilitas dan keadilan ekonomi.

Di negara-negara non-demokratis di seluruh kawasan, warga mempertaruhkan nyawa mereka. Di Myanmar, sejak pengambilalihan kekuasaan militer pada Februari 2021, sejumlah besar warga biasa telah bergabung dalam upaya menentang junta militer yang kejam, bahkan dalam menghadapi penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.

Di Afghanistan, penguasa Taliban berupaya untuk secara sistematis menyingkirkan kelompok perempuan dari kehidupan publik dan secara ketat membatasi hak mereka untuk bekerja dan mengenyam pendidikan. Namun, perempuan dan anak perempuan Afghanistan berada di garis depan dalam menentang pembatasan ini, sehingga menarik perhatian dunia atas ketidakadilan ini.

Dari Indonesia hingga India, pemerintah menyerang masyarakat sipil dan melemahkan lembaga-lembaga sipil. Kamboja dan Pakistan memburu lawan-lawan politik ke pengasingan atau memenjarakan mereka. Masyarakat sipil dikepung hampir di semua tempat – pengadilan massal di Hong Kong dan hukuman penjara yang berat pada akhir tahun 2024 untuk 45 orang berdasarkan undang-undang keamanan nasionalnya bisa jadi contoh paling mencolok.

Pemerintah sejumlah negara – Tiongkok, India, Kamboja, dan Vietnam – bahkan telah mengambil tindakan ekstrateritorial yang drastis untuk membungkam warganya di luar perbatasan wilayah mereka– memburu para pengkritik dan pembangkang pemerintah di pengasingan – untuk dipulangkan secara paksa, ditolak visanya, atau bahkan dihilangkan atau dibunuh. Minggu lalu, di sebuah jalan yang ramai di Bangkok, seorang pria bersenjata yang tidak bertopeng dengan tenang menyeberang jalan dan menembak mati seorang mantan politisi oposisi Kamboja, Lim Kimya. Banyak pembangkang Kamboja lainnya yang melarikan diri ke Thailand menjadi sasaran penindasan transnasional.

Hal ini tidak menghentikan warga negara yang bertekad untuk terus memperjuangkan hak asasi manusia. Meski demikian, beberapa pemimpin dunia kini mempertanyakan relevansi arsitektur hak asasi manusia global dan tatanan berbasis aturan yang dibangun setelah Perang Dunia II.

Di Asia, kekuatan AS telah berkurang secara signifikan dan kemungkinan besar akan semakin terkikis jika Presiden terpilih Donald Trump melanjutkan berbagai kebijakannya yang picik. Pengaruh Eropa tengah menurun di saat perekonomian mengalami stagnasi, reaksi keras terhadap imigrasi, dan perang Rusia di Ukraina. Kekuatan regional seperti Tiongkok dan India sedang naik daun. Dominasi mereka, tanpa rasa malu, adalah tentang pengaruh ekonomi, pembangunan, dan daya tarik peluang perdagangan dan investasi, tanpa sedikit pun berbasa-basi tentang hak asasi manusia.

Pemerintah di banyak negara kini lebih suka angkat bicara tentang perlunya perdamaian, kemakmuran, dan keamanan. Sebagian dari negara-negara itu, seperti Australia dan Jepang, enggan membicarakan "hak asasi manusia" dengan lantang, karena takut akan kehilangan kesepakatan keamanan atau ekonomi yang penting, dan dituduh berceramah atau munafik, atau dicerca tentang masa lalu mereka selaku penjajah.

Sementara itu, pemerintah yang memusuhi hak asasi manusia terus berusaha meniadakan diskusi tersebut. Di Lima, Peru, November tahun lalu, dalam sebuah langkah yang luar biasa, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan kepada Presiden AS Joe Biden bahwa "hak asasi manusia dan demokrasi" adalah satu dari empat "garis merah" yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan AS-Tiongkok. Pertemuan itu dilakukan dengan Biden, tetapi pesannya jelas ditujukan kepada pemerintahan Trump yang akan datang, yang melihat hak asasi manusia sebagai hal yang transaksional, sesuatu yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan ekonomi atau manfaat lainnya.

Namun, bagi sebagian besar dunia, mengabaikan kekejaman sungguh tidak bisa diterima. Rezim militer Myanmar, Taliban di Afghanistan, Partai Komunis Tiongkok, dan pemerintah Korea Utara semuanya melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan – pelanggaran berat yang dilakukan sebagai bagian dari serangan terhadap penduduk sipil – termasuk pembunuhan dan penghilangan paksa, penganiayaan atas dasar gender, atau penahanan massal yang sewenang-wenang. Masalah utamanya adalah rasa impunitas yang terus bertumbuh sehingga mendorong penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran lebih lanjut.

Pemerintah di negara-negara Asia terkenal lemah dalam menegakkan keadilan atas kejahatan serius, tetapi tahun lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memberikan secercah harapan bagi sejumlah korban di kawasan ini. Pada bulan November, jaksa penuntut ICC meminta surat perintah penangkapan untuk panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, atas perannya dalam mengawasi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan kepada etnis Rohingya pada tahun 2017, dan menewaskan ribuan orang serta mengusir lebih dari 700.000 orang ke negara tetangga yaitu Bangladesh. Ini adalah kali pertama ICC meminta surat perintah penangkapan untuk seorang pemimpin Asia. Jaksa penuntut mengumumkan bahwa akan ada lebih banyak permintaan surat perintah penangkapan yang menyusul.

Pada bulan Desember, jaksa penuntut juga menyatakan akan segera meminta surat perintah penangkapan dalam konteks penyelidikan yang sedang berlangsung di Afghanistan. Sementara itu, penyelidikan pengadilan di Filipina terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam konteks "perang melawan narkoba" mantan Presiden Duterte sedang berlangsung.

Sementara beberapa pemerintahan Asia mulai mundur dalam urusan hak asasi manusia, masyarakat awamlah yang mengakui relevansi dan keutamaan hak asasi manusia dalam kehidupan mereka.

Para pemimpin di seluruh Asia perlu memperhatikan suara rakyatnya dan mengakui bahwa hak asasi manusia dan supremasi hukum merupakan landasan bagi pertumbuhan dan stabilitas jangka panjang, bukan pengalihan dari keduanya.

Alih-alih berusaha mendiskreditkan "people power" dan gerakan protes, pemerintah seharusnya mengatasi berbagai masalah yang mendasarinya. Namun, mereka perlu mengumpulkan keberanian untuk membawa penguasa yang sewenang-wenang ke pengadilan melalui mekanisme domestik dan internasional, serta mendukung dan memberi perlindungan yang lebih baik kepada para pengungsi dan pencari suaka, korban pelanggaran hak asasi manusia, dan pembela hak asasi manusia.

Seperti yang ditunjukkan oleh protes dan gerakan perlawanan di seluruh Asia baru-baru ini, setiap sistem politik memiliki orang-orang yang ingin melihat perubahan dan mewujudkannya. Di tahun mendatang, setiap individu yang peduli dengan hak asasi manusia seharusnya memainkan peran mereka, baik besar maupun kecil, untuk menuntut lebih banyak dari para pemimpin mereka. Setiap orang bisa menjadi pembela hak asasi manusia.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.