Tari Lang dalam memoar terbarunya mengenang pagi 1 Oktober 1965, ketika berusia 14 tahun, ia menyaksikan tank dan tentara Indonesia mendatangi Kawasan elite Menteng, Jakarta, tempat ia tinggal bersama ayahnya, orang Jawa, dan ibunya, orang Inggris. Ketika membangunkan orang tuanya, “Mereka terdiam,” tulisnya, “hanya saling memandang.”
Sehari sebelumnya, tentara menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, dengan klaim bahwa mereka melakukan pencegahan untuk melindungi Presiden Sukarno. Kudeta tersebut gagal, namun tentara dan para pendukungnya melakukan pembalasan terhadap mereka yang dianggap bertanggung jawab maupun musuh politik. Dengan latar belakang Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, tentara melakukan pembersihan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Orang tua Tari Lang termasuk sekitar satu juta orang yang dipenjara. Setidaknya 500.000 orang dibunuh. Jenderal Soeharto, yang memimpin serangan pemerintah, menggantikan Sukarno sebagai presiden dan berkuasa selama 33 tahun.
Pembantaian 1965-66 merupakan salah satu masa tergelap dalam sejarah Indonesia. Marxisme dan komunisme tetap dilarang di negara ini dan terus digunakan untuk membungkam orang kritis terhadap pemerintah.
Tak seorang pun pernah dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan massal tersebut. Pemerintah Indonesia silih berganti membuat janji samar yang gagal dipenuhi, termasuk mantan Presiden Joko Widodo, yang pada 2023 mengumumkan bahwa “mekanisme non-yudisial” akan memberikan reparasi kepada para korban atau keturunan mereka. Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 di Jakarta mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa “… tidak ada satu pun korban atau keluarga korban 1965 yang dapat kompensasi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mensyaratkan keputusan pengadilan atau lembaga resmi lain. Sementara prosedur untuk mendokumentasikan apa yang telah mereka derita juga tidak ada.”
Sejak Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo menjabat pada Oktober 2024, pemerintahannya berupaya menulis ulang sejarah, termasuk kekerasan massal anti-komunis. Impunitas atas kejahatan tersebut masih memicu pelanggaran hak asasi manusia di seluruh negeri.
Ibunya Lang, Carmel Budiardjo, dideportasi ke Inggris pada 1970 dan menjadi aktivis hak asasi manusia terkemuka. Ayahnya, Suwondo, baru dapat berkumpul kembali dengan keluarga pada 1978. Namun, bagi banyak orang Indonesia, ketidakpastian tentang apa yang menimpa orang-orang tercinta mereka masih membayangi. Alih-alih mengabaikan warisan pembantaian tersebut, pemerintahan Prabowo seharusnya sungguh-sungguh berupaya mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Enam puluh tahun belum terlambat.