(Bangkok) – Pemerintah asing hendaknya menolak rencana junta Myanmar untuk menyelenggarakan pemilu mulai akhir Desember 2025 hingga Januari 2026, karena pemilu tersebut tidak akan bebas, adil, atau inklusif, demikian pernyataan Human Rights Watch hari ini. Sejak kudeta militer pada Februari 2021, junta telah secara sistematis merusak tatanan hukum dan sistem demokrasi yang sedang berkembang di negara tersebut, dan menjelang pemilu, junta telah meningkatkan tindakan represi dan kekerasan.
Junta mengumumkan dua fase pertama dari pemilu bertahap ini akan digelar pada 28 Desember dan 11 Januari. Sejak kudeta, junta telah membekukan puluhan partai politik dan memenjarakan sekitar 30.000 tahanan politik, termasuk hampir 100 orang yang ditahan berdasarkan undang-undang pemilu yang amat kejam yang disahkan pada bulan Juli. Jenderal Senior Min Aung Hlaing selaku pemimpin junta, telah mengakui bahwa pemilu tidak akan diadakan di semua distrik, mencerminkan pertempuran yang meluas dengan sejumlah kelompok oposisi bersenjata yang ditandai dengan kejahatan perang militer.
“Pemilu palsu yang direncanakan junta Myanmar merupakan upaya putus asa untuk mendapatkan legitimasi internasional setelah hampir lima tahun penindasan brutal oleh militer”, kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah dari negara-negara yang memberi kredibilitas kepada pemilu ini akan menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mendukung pemerintahan sipil yang demokratis serta menghormati hak asasi manusia di Myanmar”.
Pada 29 Juli, junta mengesahkan Undang-Undang tentang Pencegahan Penghalangan, Gangguan, dan Sabotase Pemilihan Umum Demokratis Multipartai, yang mengkriminalisasi kritik terhadap pemilu dengan melarang segala bentuk ujaran, pengorganisasian, atau aksi protes yang dianggap mengganggu tahapan pemilu dalam bentuk apa pun. Pelanggar bisa dijatuhi hukuman penjara hingga 20 tahun dan hukuman mati.
Sejak Agustus lalu, otoritas junta telah menangkap 94 orang berdasarkan undang-undang baru tersebut —termasuk setidaknya 4 anak—atas kegiatan media sosial, penyebaran stiker dan selebaran, penyampaian pidato, dan dugaan tindakan “campur tangan” dan “gangguan” pemilu lainnya. Pada 9 September, seorang pria dijatuhi hukuman tujuh tahun kerja paksa di Taunggyi, Negara Bagian Shan, atas unggahan Facebook yang mengkritik junta. Pada 29 Oktober, sineas Zambu Htun Thet Lwin dan Aung Chan Lu ditangkap karena “menyukai” sebuah unggahan di Facebook yang berisi kritik terhadap film yang mempropagandakan pemilu.
Pihak berwenang telah menahan hampir 2.000 orang sejak Februari 2022 atas aktivitas daring mereka yang mendukung oposisi atau mengkritik militer, sebagai bagian dari upaya junta untuk memberangus kebebasan berbicara, pers, dan berkumpul.
Militer tidak memiliki kendali teritorial yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu yang kredibel, karena sebagian besar wilayah negara masih diperebutkan atau dikuasai oleh oposisi, kata Human Rights Watch. Sensus nasional yang diupayakan pada Oktober 2024 untuk menyusun daftar pemilih hanya dilakukan di 145 dari 330 distrik di negara itu, kurang dari setengahnya. Komisi Pemilihan Umum menyatakan pada bulan September bahwa pemungutan suara tidak akan dilakukan di 56 distrik yang dianggap “tidak kondusif”, sementara dua tahapan yang diumumkan sejauh ini hanya mencakup 202 distrik.
Upaya junta untuk merebut kembali wilayah dari kelompok perlawanan bersenjata menjelang pemilu telah melibatkan serangan udara berulang kali yang menyasar warga sipil dan infrastruktur sipil, sesuatu yang tergolong kejahatan perang. Tiongkok dan Rusia, pemasok utama pesawat dan senjata junta, keduanya mendukung pemilu tersebut. Kedua negara itu telah lama mendukung junta sambil menghalang-halangi tindakan internasional atas kekejaman yang dilakukan militer di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pelanggaran militer dan konflik yang semakin memburuk telah membuat lebih dari 3,5 juta orang menjadi pengungsi internal dan sekitar 20 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Media independen dan sejumlah kelompok masyarakat sipil telah melaporkan bahwa otoritas junta telah menekan para pengungsi dan tahanan untuk memilih, serta memperbanyak pos-pos pemeriksaan dan pengawasan digital.
Kudeta tahun 2021 secara efektif mengakhiri transisi demokrasi yang tersendat dan terbatas di negara itu di bawah Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Dalam pemilihan umum November 2020, NLD mengamankan 82 persen dari kursi yang diperebutkan, mengalahkan secara telak Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang merupakan partai pendukung militer. Sebagai tanggapan, militer menuduh adanya kecurangan pemilu yang meluas, sebuah klaim tak berdasar yang ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum dan pemantau pemilu internasional dan dalam negeri.
Pada dini hari 1 Februari 2021, ketika parlemen baru akan bersidang untuk kali pertama, militer menahan Presiden Win Myint, Aung San Suu Kyi, dan puluhan menteri NLD, sejumlah anggota parlemen, serta pejabat daerah. Ini merampas hak rakyat Myanmar untuk memilih pemerintahan mereka seperti yang dijamin oleh hukum internasional.
Dalam beberapa bulan setelah kudeta, junta militer menangkap setidaknya 197 menteri dan anggota parlemen serta 154 pejabat Komisi Pemilihan Umum. Suu Kyi dan Win Myint menjalani hukuman penjara masing-masing 27 tahun dan 8 tahun atas serangkaian tuduhan palsu.
Pada Januari 2023, junta militer memberlakukan undang-undang baru tentang Pendaftaran Partai Politik yang dirancang untuk mendiskualifikasi anggota senior NLD dari keikutsertaan mereka dalam pemilu, melanggar standar internasional yang menjamin hak partai politik untuk berorganisasi dan hak kandidat mereka untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Pada bulan Maret tahun yang sama, junta militer mengumumkan bahwa NLD termasuk di antara 40 partai politik dan kelompok lain yang dibubarkan karena gagal mendaftar berdasarkan undang-undang baru. Junta militer juga membubarkan empat partai lainnya pada bulan September 2025 karena gagal memenuhi persyaratan undang-undang.
Junta sebelumnya telah menyatakan oposisi Pemerintah Persatuan Nasional dan badan parlemennya, Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw, sebagai “organisasi teroris”. Kelompok-kelompok oposisi dengan tegas menyatakan penolakan mereka terhadap segala bentuk pemilu yang junta selenggarakan.
Setelah kudeta, junta militer mengganti Komisi Pemilihan Umum yang bersifat sipil dengan badan yang ditunjuk oleh militer. Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi kepada ketua saat ini, Than Soe, yang ditunjuk pada 31 Juli 2025, dan para anggota komisi junta lainnya karena “terlibat langsung dalam tindakan yang merusak demokrasi dan tatanan hukum di Myanmar”. Sebelum kudeta, Than Soe memimpin blok militer di majelis tinggi parlemen. Berdasarkan Konstitusi 2008, militer menunjuk 25 persen kursi parlemen.
Pada 31 Juli, dalam rangka persiapan pemilu, junta mengumumkan pembentukan Komisi Keamanan dan Perdamaian Negara untuk menggantikan Dewan Administrasi Negara, yang telah ada sejak kudeta. Junta juga mengumumkan keadaan darurat baru dan perintah darurat militer untuk 63 distrik di Negara Bagian Chin, Kachin, Karen (Kayin), Karenni (Kayah), Rakhine, dan Shan, serta Wilayah Magway, Mandalay, dan Sagaing, yang diperpanjang selama 90 hari pada tanggal 31 Oktober. Perintah tersebut, yang dikeluarkan terutama untuk distrik-distrik yang berada di bawah kendali oposisi, mengalihkan “kekuasaan dan tanggung jawab distrik-distrik tersebut kepada Panglima Tertinggi”.
Pada November 2024, jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada tahun 2017.
Junta telah berupaya menindas semua oposisi politik, menggagalkan setiap kemungkinan pembentukan pemerintahan sipil yang demokratis, dan mendapatkan legitimasi bagi negara yang dikendalikan militer, kata Human Rights Watch. Junta telah meletakkan dasar bagi pemilu yang didominasi oleh Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer. Meskipun masa kampanye resmi 60 hari baru dimulai pada 28 Oktober, kampanye partai pendukung militer tersebut sudah berlangsung jauh sebelumnya. Junta dilaporkan telah melarang pawai kampanye.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Oktober lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan “jalan yang kredibel untuk kembali ke pemerintahan sipil” di Myanmar, dengan menyatakan: “Saya rasa tidak ada yang percaya bahwa pemilu tersebut akan bebas dan adil”. Volker Türk, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, menyebut penyelenggaraan pemilu pada bulan Desember sebagai “hal yang tak terbayangkan”.
Meskipun ASEAN menekankan bahwa perdamaian dan dialog politik “harus didahulukan sebelum pemilu”, badan regional tersebut tidak memiliki perangkat untuk mencegah masing-masing negara anggota memberikan bantuan teknis atau dukungan bilateral.
“Malaysia, Jepang, dan pemerintah negara-negara Asia lain yang telah menyatakan dengan jelas bahwa pemilu ini merugikan rakyat Myanmar semestinya mendesak negara-negara tetangga mereka untuk melakukan hal serupa,” kata Elaine. “Untuk mengimbangi dukungan apa pun dari Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain yang mendukung pemilu ini, diperlukan pesan yang jelas dan tegas bahwa pemilu yang tidak sah ini hanya akan semakin menjerumuskan Myanmar ke dalam kekerasan, penindasan, dan pemerintahan otokratis”.