Sebagai langkah maju buat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, warga dari komunitas agama kecil kini diizinkan untuk mencantumkan identitas keagamaan mereka di kartu tanda penduduk, lewat kategori kepercayaan, berdampingan dengan enam agama yang sudah dilindungi.
Kepercayaan kini jadi kategori agama ketujuh yang masuk dalam daftar agama yang diakui negara Indonesia– setelah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu – sejak Presiden Soekarno mengundangkan pasal penodaan agama pada tahun 1965.
Marubat Sitorus, sekretaris jenderal Parmalim, perkumpulan agama lokal sekitar Danau Toba, Pulau Sumatera, mengatakan sekitar 95 persen anggotanya telah mengubah identitas agamanya ke kategori baru. Mulai Desember 2017, Parmalim termasuk komunitas pertama yang mengubah kolom agama di kartunya.
Upaya hukum kategori ketujuh dimulai pada September 2016 ketika empat penganut agama lokal mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi untuk mengubah Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2004. Penggugat termasuk Nggay Mehang Tana dari Pulau Sumba, seorang penganut Marapu; Pagar Demanra Sirait dari Toba Samosir di Sumatra, seorang penganut Parmalim; Arnol Purba dari Medan Belawan di Sumatra, seorang penganut Ugamo Bangsa Batak; dan Carlim dari Brebes, Pulau Jawa, penganut Sapta Darma.
Pada Oktober 2017, Mahkamah Konstitusi memenangkan mereka, memutuskan bahwa tidak mengakui keyakinan mereka adalah tindakan diskriminatif dan memerintahkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk mencetak “penghayat kepercayaan” pada kolom pada kartu identitas, bukan membiarkannya sebagai strip kosong.
Namun, Majelis Ulama Indonesia, sebuah payung organisasi-organisasi Islam, keberatan dan berpendapat bahwa kepercayaan berbeda dari “agama (monoteistik)” dan menyarankan pemerintah menyediakan dua jenis kartu – untuk agama dan untuk kepercayaan. Setelah berunding, pemerintah dan para ulama, kompromi dan sepakat memakai kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, intinya, menggabung semua agama kecil ke dalam satu kategori.
“Ini langkah positif walau belum (sepenuhnya) sesuai dengan keputusan MK. Mending ada seperti ini … besarnya tekanan yang dihadapi pemerintah termasuk oknum di pemerintah itu sendiri,” kata Sitorus kepada Human Rights Watch.
Setidaknya 138.000 warga Indonesia, dari berbagai komunitas agama, telah memilih kategori baru di seluruh Indonesia, menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kini pemerintah perlu bergerak maju untuk mengakhiri diskriminasi lainnya di pemerintahan, masyarakat, dan dunia usaha terhadap para penganut agama-agama kecil ini.