Skip to main content

Masuk Jeruji Besi Akibat ‘Penodaan Agama’ di Indonesia

Komentator Sosial Dipenjara karena Unggahan yang Mengkritik Otoritas Agama dan Pemerintah

Apollinaris Darmawan di saluran YouTube-nya. © Dok. Pribadi

Bulan ini menandai tahun ketiga Apollinaris Darmawan (74 tahun) mendekam di balik jeruji besi. Ia divonis berdasarkan hukum Indonesia dengan tuduhan “penodaan agama” karena menulis sebuah buku dan mengunggah kritiknya terhadap para pemimpin Muslim dan hukum Islam di Indonesia di media sosial. Penuntutan terhadapnya merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, yang dilindungi oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta sejumlah perjanjian lain yang diratifikasi oleh Indonesia.

Darmawan adalah seorang pensiunan direksi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) - kini bernama PT Kereta Api Indonesia- yang pindah agama dari Islam ke Katolik. Pada Agustus 2020, massa Muslim menyerbu rumahnya di Bandung, Jawa Barat, menyeret Darmawan ke jalan dan menelanjanginya sebelum polisi datang menyelamatkannya. Polisi menahan pria tersebut dan mendakwanya dengan pasal penodaan agama karena menodai Agama Islam dan menghina Nabi Muhammad di Twitter (sekarang X) dan YouTube.

Pada Desember 2020, Pengadilan Negeri Bandung memvonis Darmawan bersalah dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp800 juta karena penodaan agama berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ini bukan kali pertama Darmawan dipenjara karena kasus penodaan agama. Setelah pensiun pada tahun 2005, ia menulis buku tentang pendiri Indonesia Presiden Soekarno dan Islam. Pada tahun 2009, ia menerbitkan buku berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan, yang secara kritis membandingkan berbagai ajaran dan tokoh agama, khususnya Islam.

Pada 2017, polisi menangkapnya atas tuduhan penodaan agama, dan Pengadilan Negeri Jakarta  Selatan menyatakan dirinya bersalah dan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara. Ia dibebaskan bersyarat pada Maret 2020.

Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang memberikan interpretasi otoritatif terhadap ICCPR, telah menyatakan bahwa “hukum penodaan agama … tidak sesuai dengan Kovenan.” Hukum semacam itu tidak boleh "melakukan diskriminasi demi mendukung atau menentang satu atau agama atau sistem kepercayaan tertentu, atau para penganutnya atas penganut agama yang lain, atau penganut agama atas yang tidak beragama. Larangan-larangan tersebut juga tidak boleh digunakan untuk mencegah atau menghukum kritik terhadap para pemimpin agama atau komentar terhadap doktrin agama dan prinsip-prinsip iman."

Pandangan Darmawan, betapapun kontroversialnya, tidak seharusnya berujung pada penuntutan dan hukuman penjara. Ia telah menjalani dua pertiga dari masa hukumannya itu, sehingga dia memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Tidak seorang pun boleh dipenjara hanya karena mengutarakan pendapatnya secara damai.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country