Skip to main content

India: Ratusan Muslim Diusir Secara Ilegal ke Bangladesh

Banyak Warga Negara India Diusir Tanpa Proses Hukum Semestinya

Polisi menahan warga negara Bangladesh yang diduga tidak memiliki dokumen setelah mereka ditangkap dalam sejumlah penggerebekan di Ahmedabad, India, 26 April 2025.  © 2025 Amit Dave/Reuters
  • Pihak berwenang India telah mengusir ratusan Muslim asal etnis Bengali ke Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir tanpa proses hukum yang semestinya, dengan klaim bahwa mereka adalah imigran ilegal.
  • Klaim pihak berwenang bahwa mereka mengendalikan imigrasi ilegal tidak meyakinkan mengingat mereka mengabaikan proses hukum yang semestinya, jaminan di dalam negeri, dan standar hak asasi manusia internasional.
  • Pemerintah India seyogianya memastikan akses terhadap perlindungan prosedural fundamental bagi siapa pun yang menjadi sasaran pengusiran dan seharusnya memastikan agar pasukan keamanan dan penjaga perbatasan tidak menggunakan kekuatan berlebihan. 

(New York) – Pihak berwenang India telah mengusir ratusan Muslim asal etnis Bengali ke Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir tanpa proses hukum yang semestinya, dengan klaim bahwa mereka adalah “imigran illegal”, kata Human Rights Watch hari ini. Banyak dari mereka adalah warga negara India dari negara-negara bagian yang berbatasan dengan Bangladesh.

Sejak Mei 2025, pemerintahan yang dipimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berhaluan nasionalis Hindu telah menggencarkan operasi pengusiran Muslim asal etnis Bengali ke Bangladesh, seolah-olah dengan tujuan untuk mencegah orang-orang memasuki India tanpa izin resmi. Pemerintah seharusnya menghentikan deportasi ilegal tanpa proses hukum yang semestinya dan sebagai gantinya memastikan akses setiap orang terhadap perlindungan prosedural untuk melindungi mereka dari penahanan dan pengusiran sewenang-wenang.

“BJP yang berkuasa di India memicu diskriminasi dengan secara sewenang-wenang mengusir Muslim Bengali dari negara tersebut, termasuk warga negara India,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. “Klaim pihak berwenang bahwa mereka mengendalikan imigrasi ilegal tidak meyakinkan mengingat mereka mengabaikan hak atas proses hukum, jaminan di dalam negeri, dan standar hak asasi manusia internasional.”

Human Rights Watch mewawancarai 18 orang pada bulan Juni, termasuk individu dan anggota keluarga yang terdampak dalam 9 kasus. Mereka yang diwawancarai termasuk warga negara India yang kembali ke India setelah diusir ke Bangladesh, serta anggota keluarga dari mereka yang ditahan dan masih hilang. Pada 8 Juli, Human Rights Watch mengirimkan surat mengenai temuan kami kepada Kementerian Dalam Negeri India tetapi tidak mendapat tanggapan.

Pemerintah India tidak membuka data resmi terkait jumlah orang yang telah diusir, tetapi Penjaga Perbatasan Bangladesh melaporkan bahwa India telah mengusir lebih dari 1.500 laki-laki, perempuan, dan anak-anak Muslim ke Bangladesh antara tanggal 7 Mei hingga 15 Juni, termasuk sekitar 100 pengungsi Rohingya dari Myanmar. Pengusiran tersebut masih terus berlanjut.

Aparat di negara-negara bagian yang dikuasai BJP seperti Assam, Uttar Pradesh, Maharashtra, Gujarat, Odisha, dan Rajasthan telah menangkap sejumlah warga Muslim, yang sebagian besar adalah pekerja migran miskin, dan menyerahkan mereka kepada penjaga perbatasan India. Dalam beberapa kasus, penjaga perbatasan diduga mengancam dan memukuli para tahanan untuk memaksa mereka agar menyeberang ke Bangladesh tanpa memverifikasi klaim kewarganegaraan mereka secara memadai. Pemerintah India telah menerima kembali puluhan orang yang akhirnya bisa membuktikan kewarganegaraan India mereka.

Penangkapan tersebut terjadi setelah serangan mematikan oleh sejumlah orang bersenjata terhadap sejumlah turis Hindu di Jammu dan Kashmir pada bulan April. Polisi mulai mengusik warga Muslim, menolak untuk menerima klaim kewarganegaraan mereka, serta menyita ponsel, dokumen, dan barang-barang pribadi mereka, sehingga orang-orang tersebut tidak bisa menghubungi anggota keluarga mereka. Beberapa dari mereka yang ditangkap mengatakan sejumlah petugas Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF) mengancam dan menyerang mereka, dan dalam beberapa kasus, memaksa mereka menyeberangi perbatasan di bawah todongan senjata.

Khairul Islam, 51 tahun, seorang warga negara India sekaligus mantan guru dari Negara Bagian Assam, mengatakan bahwa pada tanggal 26 Mei, petugas perbatasan India mengikat tangannya, menyumpal mulutnya, dan memaksanya masuk ke Bangladesh, bersama 14 orang lainnya. “Beberapa petugas BSF memukuli saya ketika saya menolak untuk menyeberangi perbatasan ke Bangladesh dan menembakkan peluru karet empat kali ke udara,” ujarnya. Ia berhasil kembali dua pekan kemudian.

Migrasi ilegal dari Bangladesh – yang mayoritas penduduknya Muslim – ke India telah berlangsung selama puluhan tahun, tetapi tidak ada data yang akurat dan angka-angka tersebut sering kali digelembungkan untuk tujuan politik. Para pejabat senior BJP telah berulang kali melabeli imigran ilegal dari Bangladesh sebagai “penyusup” dan menggunakan istilah tersebut secara lebih luas untuk menjelek-jelekkan warga Muslim India demi mendapatkan dukungan politik dari kelompok Hindu.

Beberapa pemerintah negara bagian yang dikuasai oleh BJP mulai mengumpulkan para pekerja migran Muslim yang berbahasa Bengali setelah Kementerian Dalam Negeri pada bulan Mei menetapkan batas waktu 30 hari bagi otoritas lokal untuk “mendeteksi, mengidentifikasi, dan mendeportasi imigran ilegal” dan menginstruksikan otoritas lokal agar “membangun pusat penampungan yang memadai di setiap distrik untuk menahan” mereka. Kementerian Luar Negeri menyatakan pihaknya telah mengirimkan lebih dari 2.360 nama kepada otoritas Bangladesh untuk memverifikasi kewarganegaraan mereka.

Pada tanggal 8 Mei, Kementerian Luar Negeri Bangladesh menulis surat untuk Pemerintah India yang menyebut “pendorongan paksa” ini – yang jelas merujuk pada pengusiran kolektif – “tidak dapat diterima”, dan menyatakan bahwa mereka “hanya akan menerima individu yang telah dikonfirmasi sebagai warga negara Bangladesh dan dipulangkan melalui jalur yang selayaknya”.

Pada bulan Mei, otoritas India juga mengusir sekitar 100 pengungsi Rohingya dari sebuah pusat penahanan di Assam, di seberang perbatasan Bangladesh. Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan bahwa otoritas memaksa 40 pengungsi Rohingya lainnya terjun ke laut di dekat Myanmar, memberi mereka jaket pelampung, dan memaksa mereka berenang ke pantai. Tindakan ini, oleh pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, disebut sebagai “penghinaan terhadap martabat manusia”.

Andrews mengatakan insiden tersebut juga merupakan “pelanggaran serius” terhadap prinsip nonrefoulement, yaitu sebuah aturan dalam hukum internasional yang melarang pemulangan seseorang ke suatu wilayah di mana nyawa atau kebebasan mereka terancam.

Mahkamah Agung India pada awal bulan Mei menolak untuk menghentikan deportasi pengungsi Rohingya, dengan menyatakan jika orang-orang itu terbukti sebagai orang asing menurut hukum India, mereka harus dideportasi. Pada tanggal 16 Mei, menanggapi laporan tentang orang-orang Rohingya yang dipaksa terjun ke laut, pengadilan menyatakan tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut, dan mengklaim bahwa ini adalah “kisah yang dikarang dengan indah”. Namun, pemerintah India tidak membantah tuduhan tersebut.

India berkewajiban, menurut Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), untuk memastikan adanya perlindungan terhadap hak-hak setiap orang dan untuk mencegah pencabutan kewarganegaraan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan, atau asal-usul kebangsaan atau etnis.

Penahanan dan pengusiran yang dilakukan India terhadap siapa pun tanpa proses hukum yang semestinya adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kata Human Rights Watch. Pemerintah India seharusnya memastikan akses terhadap perlindungan prosedural fundamental bagi siapa pun yang menjadi sasaran pengusiran. Ini mencakup akses terhadap informasi lengkap tentang alasan deportasi, pendampingan hukum yang kompeten, serta kesempatan untuk mengajukan banding atas keputusan pengusiran.

Pihak berwenang seharusnya memastikan bahwa pasukan keamanan dan penjaga perbatasan tidak menggunakan kekuatan secara berlebihan, dan semestinya menyelidiki secara imparsial dugaan penyalahgunaan kekuatan. Mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut semestinya didisiplinkan atau dituntut secara tepat. Orang-orang yang ditahan karena operasi pengusiran seharusnya mendapatkan akses terhadap makanan, tempat tinggal, dan fasilitas medis memadai, dan pihak berwenang seyogianya memenuhi kebutuhan khusus dari kelompok-kelompok terpinggirkan, termasuk perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

“Pemerintah India menempatkan ribuan orang rentan dalam bahaya terkait upayanya untuk mengejar imigran ilegal, tetapi tindakan mereka mencerminkan kebijakan diskriminatif yang lebih luas terhadap warga Muslim,” kata Elaine Pearson. “Pemerintah sedang melemahkan sejarah panjang India dalam menyediakan perlindungan bagi mereka yang teraniaya, demi mendapatkan dukungan politik.”

Pengusiran Pengungsi maupun Imigran yang Tidak Sah dan Diskriminatif

Menurut klaim pihak berwenang India, mereka mengusir orang-orang yang memasuki India secara ilegal dari Bangladesh. Meskipun puluhan orang yang diusir telah mengindikasikan bahwa mereka memang adalah warga negara Bangladesh, namun lebih banyak yang mengatakan bukan warga negara Bangladesh. Kurangnya proses hukum telah mengakibatkan banyak warga negara India—kebanyakan dari kalangan Muslim berbahasa Bengali—diusir secara tidak sah.

Pihak berwenang Bangladesh telah berulang kali menyatakan bahwa tindakan sepihak pemerintah India melanggar prosedur repatriasi yang telah ditetapkan, dan mendesak otoritas India agar “mengikuti proses yang transparan dan bisa diverifikasi untuk menangani kasus-kasus ini sesuai dengan standar internasional”.

Setidaknya 300 orang yang diusir berasal dari Negara Bagian Assam, yang menjalani proses verifikasi kewarganegaraan yang kontroversial, sewenang-wenang sekaligus cacat, pada tahun 2019, serta mengecualikan hampir dua juta orang dari daftar kewarganegaraan.

Banyak yang lainnya adalah warga Muslim Bengali yang bermigrasi dari Negara Bagian Benggala Barat di India ke Gujarat, Maharashtra, Rajasthan, Uttar Pradesh, Odisha, dan Delhi untuk mencari pekerjaan.

Proses Verifikasi Kewarganegaraan yang Cacat di Assam

Di Assam, warga Bengali yang dicurigai sebagai penduduk “non-asli” telah lama menjadi sasaran proses verifikasi kewarganegaraan yang bias. Sejak tahun 1964, Foreigners Tribunal atau Pengadilan Orang Asing – pengadilan semi-yudisial – telah memutuskan masalah kewarganegaraan. Menurut data pemerintah negara bagian, per Januari 2025, pengadilan ini telah menyatakan 165.992 orang sebagai imigran ilegal.

Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa lembaga-lembaga ini kurang transparan, sering kali mendiskriminasi warga Muslim Bengali, serta melanggar hak atas proses hukum. Setelah seseorang dinyatakan bersih oleh satu pengadilan, mereka masih bisa dibawa kembali ke pengadilan tersebut atau pun pengadilan yang lain. Klaim kewarganegaraan seseorang dapat ditolak jika terdapat ketidakcocokan ejaan nama mereka di berbagai dokumen, karena tidak menyebutkan fakta-fakta tertentu dalam pernyataan tertulis, atau kontradiksi kecil dalam kesaksian deposisi.

Dalam banyak kasus, mereka bahkan tidak mendapat kesempatan untuk mengajukan klaim mereka, yang diputuskan secara ex parte (tanpa kehadiran mereka). Para pengacara di Assam mengatakan bahwa hal ini sebagian besar terjadi karena polisi perbatasan gagal melakukan investigasi yang tepat dan memberikan pemberitahuan secara tepat waktu kepada orang-orang yang terdampak. Antara tahun 1985 hingga Februari 2019, ada 63.959 orang yang dinyatakan sebagai orang asing lewat proses tersebut.

Pada bulan Agustus 2019, Daftar Warga Nasional (NRC), sebuah proses verifikasi kewarganegaraan yang cacat dan diskriminatif di Assam, tidak memasukkan lebih dari 1,9 juta orang, termasuk banyak orang yang telah tinggal di India selama bertahun-tahun, dalam beberapa kasus bahkan seumur hidup mereka. Mereka yang tidak dimasukkan harus membuktikan kewarganegaraan mereka melalui Pengadilan Orang Asing.

Pada bulan Mei, Kepala Menteri di Negara Bagian Assam yang berasal dari BJP, Himanta Biswa Sarma, mengonfirmasi bahwa pihak berwenang telah “memulangkan” 330 orang yang diduga imigran ilegal ke Bangladesh. Ke depannya, ujarnya, negara bagian juga akan mengusir orang-orang tanpa melibatkan Pengadilan Orang Asing, dan bahkan jika nama mereka tercantum di NRC.

Pemulangan ini akan terus berlanjut dan proses identifikasi warga negara asing, yang sempat terhenti karena NRC, akan dipercepat lagi. Dan kali ini, jika seseorang teridentifikasi sebagai warga negara asing, kami tidak akan mengirim mereka ke pengadilan; kami hanya akan terus memulangkannya. Persiapan untuk ini sedang berlangsung.

Meskipun ia meyakinkan masyarakat bahwa mereka yang masih menunggu proses banding atas status kewarganegaraannya di pengadilan tidak akan dideportasi, Human Rights Watch menemukan bahwa beberapa orang yang masih dalam proses banding telah ditahan dan dideportasi ke Bangladesh.

Seorang pekerja harian lepas berusia 51 tahun yang tinggal di Distrik Barpeta telah dinyatakan sebagai imigran ilegal dalam putusan ex parte pada tahun 2014, meskipun anggota keluarganya yang lain tidak. Proses bandingnya masih tertunda di Mahkamah Agung, tetapi pada tanggal 24 Mei, pihak berwenang menahannya secara sewenang-wenang. Dua hari kemudian, petugas dari Pasukan Keamanan Perbatasan (BSF) membawanya ke perbatasan Bangladesh lewat tengah malam dan secara paksa mendorongnya masuk ke Bangladesh. Ia mengatakan: “Saya berjalan ke Bangladesh seperti mayat. Saya mengira mereka [BSF] akan membunuh saya karena mereka memegang senjata dan tidak seorang pun dari keluarga saya yang mengetahuinya.”

Setelah ia dan lima orang lainnya berjalan selama berjam-jam, sejumlah warga desa di Bangladesh mengarahkan mereka ke sebuah pulau di tepi sungai tempat mereka berhasil menyeberang kembali ke India. Ia menegaskan bahwa mereka masuk melewati dua tentara BSF India tetapi tidak dihentikan. Pengacaranya mengatakan pengusiran tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap perintah Mahkamah Agung. “Tidak ada pemeriksaan sistematis terhadap perintah pengadilan,” kata pengacara tersebut. “Ia tidak melanggar satu pun ketentuan bebas dengan jaminan.”

Khairul Islam juga diusir secara tidak sah ke Bangladesh meskipun klaim kewarganegaraannya sedang diproses di Mahkamah Agung. Pengadilan Orang Asing telah menyatakannya sebagai imigran ilegal pada tahun 2016. Pada malam hari tanggal 23 Mei, polisi setempat menjemput pria tersebut di rumahnya di Distrik Morigaon lantas menahannya. Ia mengatakan selama dua hari ia berada di wilayah tak bertuan antara India dan Bangladesh. Istrinya mengaku baru mengetahui Khairul Islam berada di Bangladesh setelah seorang jurnalis lokal menunjukkan video yang direkam oleh seorang jurnalis di Bangladesh yang menampilkan suaminya.

Kurangnya proses hukum yang semestinya telah menyebabkan banyak keluarga di Assam tidak mendapatkan ganti rugi. Di Distrik Karbi Anglong, kepolisian menahan seorang pria berusia 45 tahun pada malam hari tanggal 23 Mei. Keluarganya mengatakan bahwa para petugas tidak memberikan informasi tentang alasan penahanan. Keluarga tersebut mengatakan vonis Pengadilan Orang Asing memenangkannya pada Januari 2024, tetapi ketika mereka mengunjungi pengadilan setempat setelah penangkapannya, mereka mendapati bahwa ia telah dinyatakan sebagai imigran ilegal melalui perintah ex parte yang baru pada bulan April. Pihak keluarga menyatakan tidak mengetahui keberadaannya dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Guwahati pada bulan Juni.

Polisi menahan Maleka Khatun, 67 tahun, di Distrik Barpeta pada tanggal 24 Mei. “Saya tidak tahu bagaimana cara memulangkannya,” kata putranya, Imran Ali Khan. Khan mengatakan bahwa ibunya, yang tidak bisa berjalan tanpa bantuan dan memiliki masalah penglihatan, sedang sendirian ketika pihak berwenang BSF memaksanya masuk ke Bangladesh sekitar pukul 3 pagi pada tanggal 27 Mei. Pada tanggal 29 Mei, ibunya menelepon Khan menggunakan telepon yang dipinjamnya dari beberapa penduduk desa di Distrik Kurigram di Bangladesh, tempat ia berhasil menemukan tempat berlindung. Khan mengatakan ibunya telah berada di fasilitas penahanan Kokrajhar selama hampir enam tahun sebelum dibebaskan dengan jaminan pada tahun 2024. Khatun menjadi satu-satunya orang di antara sembilan bersaudara yang dinyatakan sebagai imigran ilegal. Kasus Khatun juga sedang diproses di Pengadilan Tinggi Guwahati.

Pihak berwenang menahan seorang pria berusia 44 tahun di Distrik Barpeta pada tanggal 25 Mei dan memaksanya masuk ke Bangladesh sehari kemudian. Putra dari pria tersebut mengatakan bahwa ayahnya menelepon mereka dari Distrik Jamalpur di Bangladesh pada tanggal 30 Mei. “Pihak berwenang BSF mengatakan bahwa jika ayah berjalan kembali dari perbatasan, mereka akan menembaknya,” kata sang putra. Putranya mengatakan ayahnya telah berjalan selama tiga hari dan tidur di pinggir jalan sebelum ia menemukan tempat berlindung di sebuah masjid. Ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang dinyatakan sebagai imigran ilegal dan sedang mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Guwahati.

Para pengacara di Assam mengatakan banyak orang telah ditahan secara sewenang-wenang dalam beberapa pekan terakhir. “Ada proses hukum yang layak untuk deportasi di mana negara asal seharusnya mengonfirmasi kewarganegaraan mereka,” kata Aman Wadud, seorang pengacara yang berada di Assam. Pada 27 Mei, Wadud mengadukan pengusiran ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia India, tetapi belum mendapatkan tanggapan. “Mereka menjemput orang-orang dan tidak ada informasi tentang keberadaan mereka.”

Dalam sebuah surat terbuka tertanggal 5 Juni, lebih dari 100 aktivis, pengacara, dan akademisi mendesak pemerintah India untuk menghentikan pengusiran dari Assam, dengan mengatakan bahwa pengusiran tersebut melanggar hak hidup dan kesetaraan bagi mereka yang diusir. “Pemulangan ini juga berisiko menempatkan orang-orang dalam bahaya besar dengan menempatkan mereka di garis tembak penjaga perbatasan Bangladesh atau berisiko ditahan oleh otoritas Bangladesh karena melintasi perbatasan secara ilegal,” kata orang-orang yang menandatangani surat tersebut.

Menyasar Pekerja Migran Muslim Bengali yang Terpinggirkan

Beberapa negara bagian yang dikuasai oleh BJP telah menggencarkan tindakan keras mereka terhadap pekerja migran Muslim Bengali, yang banyak di antaranya hidup dalam kemiskinan, tanpa terlebih dulu mengecek status kewarganegaraan mereka.

Di Maharashtra, pihak berwenang telah menahan dan mengusir beberapa orang yang merupakan migran internal dari Negara Bagian Benggala Barat di India, yang berbatasan dengan Bangladesh. Di Mumbai, pihak berwenang menahan dan mengusir setidaknya tujuh pekerja dari Benggala Barat, yang baru diizinkan kembali setelah pemerintah Negara Bagian Benggala Barat turun tangan untuk mengecek kewarganegaraan mereka.

Nazimuddin Sheikh, 34 tahun, seorang pekerja migran dari Benggala Barat, telah bekerja sebagai tukang batu di Mumbai selama lima tahun sebelum ditahan pada 9 Juni dan diusir ke Bangladesh. Ia mengatakan polisi menggerebek rumahnya, menyita ponselnya, dan merobek-robek dokumen identitasnya, yang merupakan bukti kewarganegaraannya. Mereka kemudian menerbangkan Sheikh dengan pesawat BSF bersama lebih dari 100 orang lain ke Negara Bagian Tripura, yang berbatasan dengan Bangladesh. “[BSF] tidak mendengarkan kami ketika kami memberi tahu mereka bahwa kami adalah orang India,” katanya. “Jika kami terlalu banyak bicara, mereka memukuli kami. Mereka memukuli punggung dan tangan saya dengan tongkat. Mereka memukuli kami dan menyuruh kami untuk mengaku sebagai orang Bangladesh.”

Sheikh mengaku dipaksa menyeberang ke Bangladesh bersama delapan orang lainnya. Sesampainya di sebuah desa di Bangladesh, beberapa penduduk desa mengizinkan ia untuk menelepon kerabatnya dan kemudian membawanya ke pos penjaga perbatasan Bangladesh. Pada tanggal 15 Juni, penjaga perbatasan Bangladesh menyerahkannya kepada pejabat India.

Kepala Menteri di Negara Bagian Benggala Barat mengecam pemerintah negara-negara bagian yang dikuasai BJP, dengan mengatakan, “Apakah berbicara bahasa Bengali merupakan kejahatan? Anda seharusnya malu karena dengan melakukan ini, Anda membuat semua orang yang berbicara bahasa Bengali tampak seperti orang Bangladesh.”

Media melaporkan bahwa antara bulan April hingga Mei, pihak berwenang di Negara Bagian Gujarat yang dikuasai BJP telah menghancurkan lebih dari 10.000 bangunan, termasuk rumah, tempat usaha, dan masjid, tanpa proses hukum di wilayah Danau Chandola dan Siyasat Nagar di Ahmedabad. Pihak berwenang mengklaim bangunan-bangunan ini berada di permukiman tak resmi tempat tinggal “imigran ilegal Bangladesh”. Penghancuran dan penghukuman sewenang-wenang ini melanggar putusan Mahkamah Agung bulan November 2024 yang menetapkan sejumlah langkah yang harus diambil pihak berwenang sebelum melakukan tindakan semacam itu.

Pada bulan Juni, para pakar hak asasi manusia PBB mengecam penghancuran tersebut, dengan mengatakan bahwa “’keamanan nasional’ dan ‘kewarganegaraan asing’ tidak semestinya digunakan sebagai dalih untuk membenarkan penggusuran paksa masyarakat tanpa perlindungan hukum”. Sebagai bagian dari tindakan keras ini, kepolisian telah menahan 890 orang di Ahmedabad, termasuk 219 perempuan dan 214 anak-anak, dan dilaporkan mengarak mereka sejauh empat kilometer melewati jalan-jalan kota. Pihak berwenang Gujarat mengklaim sedang mengambil “tindakan tegas terhadap penyusup” dan telah menahan hampir 6.500 orang di seluruh negara bagian tersebut, dan mengatakan bahwa siapa pun yang memberikan dukungan atau “tempat berlindung kepada para penyusup akan menghadapi konsekuensi berat.”

“Beberapa kasus melibatkan penduduk dari berbagai distrik di Benggala Barat yang ditahan di Gujarat, meski mereka telah menunjukkan berbagai bentuk identitas yang sah,” tulis Samirul Islam, anggota parlemen India dan Ketua Dewan Kesejahteraan Pekerja Migran Benggala Barat, dalam sebuah surat kepada Menteri Dalam Negeri India Amit Shah pada tanggal 3 Mei. “Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah laporan tentang seluruh permukiman yang berbahasa Bengali menjadi sasaran dan dibakar, yang mengakibatkan penghancuran dokumen-dokumen penting dan pengungsian paksa keluarga-keluarga”.

Pada awal Juli, menurut keterangan pihak berwenang di Distrik Jharsuguda, Odisha, mereka telah menangkap 444 pekerja migran, semuanya laki-laki, sebagian besar bekerja di bidang konstruksi atau pertambangan. Saat ini, 44 dari mereka masih berada di dua pusat penampungan di distrik tersebut.

Di Negara Bagian Rajasthan, pihak berwenang dilaporkan menahan lebih dari 1.000 migran tanpa dokumen di 17 distrik, dengan tuduhan “imigran ilegal” dari Bangladesh. Setidaknya 148 orang dideportasi ke Bangladesh. Sejumlah aktivis di negara bagian tersebut mengatakan banyak imigran dan pekerja tanpa dokumen dari komunitas-komunitas suku ditahan dan dilecehkan secara sewenang-wenang.

Di Jaipur, pada tanggal 3 Mei, kepolisian menahan seorang pria berusia 25 tahun dari komunitas suku terpinggirkan dan sepupunya yang berusia 19 tahun setelah menanyakan nama mereka dan meyuruh mereka agar menunjukkan kartu identitas pemilih dan dokumen lainnya. “Polisi tidak pernah memberi tahu kami alasan atas penahanan mereka,” kata ayah pria itu. “Namun kami berlari dari satu tempat ke tempat lain untuk menunjukkan surat keterangan pindah sekolah mereka kepada polisi dan petugas distrik sebagai bukti.” Pihak berwenang akhirnya membebaskan kedua pria tersebut pada 28 Mei setelah sang ayah menunjukkan catatan tanah dan pendaftaran pemilih keluarganya di Rajasthan.

Pemulangan Paksa Pengungsi Rohingya

Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan pada awal Mei, otoritas India menahan puluhan pengungsi Rohingya di Delhi, banyak di antara mereka memiliki dokumen identitas yang dikeluarkan oleh OHCHR. Sekitar 40 orang dari mereka dipindahkan ke kapal angkatan laut India dan dipaksa terjun ke laut di dekat Myanmar hanya dengan jaket pelampung. Para pengungsi tiba di pantai di Kotapraja Launglon di Wilayah Tanintharyi, tetapi sejak saat itu keberadaan dan kondisi mereka tidak diketahui.

Diperkirakan 40.000 orang Rohingya tinggal di India, setidaknya 20.000 dari mereka terdaftar di UNHCR. Sejak tahun 2016, kelompok-kelompok Hindu ultranasionalis telah menyasar pengungsi Rohingya sebagai bagian dari serangan yang semakin meningkat terhadap Muslim di India dan menyerukan pengusiran mereka dari negara tersebut. Pada bulan Oktober 2018, pemerintah India mulai mendeportasi paksa orang Rohingya ke Myanmar, yang menempatkan mereka dalam risiko serius. Kondisi untuk pemulangan pengungsi Rohingya secara aman, sukarela, dan bermartabat ke Myanmar saat ini belum tersedia.

Seorang pengungsi Rohingya berusia 20 tahun yang tinggal di India mengatakan:

Saya melarikan diri ke India untuk mencari keamanan dan martabat, tetapi penderitaan itu tak berakhir, hanya berubah bentuk. Sekarang, Kementerian Dalam Negeri India telah mengeluarkan ultimatum 30 hari: deportasi atau penahanan. Masa kecil saya dihancurkan oleh genosida, masa remaja saya ditelan oleh kehidupan pengungsi yang penuh dengan diskriminasi dan keputusasaan tanpa akhir. Dan sekarang, masa dewasa saya menghadapi nasib yang lebih buruk daripada apa pun yang pernah saya lalui, dipulangkan ke sebuah negeri di mana genosida masih berlanjut. Saya khawatir ini tidak hanya akan mengakhiri hidup saya, tetapi juga menghapus harapan terakhir saya.

Pada bulan Maret, Andrews, pelapor khusus PBB, menulis surat kepada pemerintah India yang menyuarakan keprihatinan tentang penahanan yang meluas, sewenang-wenang, dan tanpa batas waktu terhadap para pengungsi dan pencari suaka, termasuk pengungsi Rohingya, dari Myanmar, serta dugaan bahwa pengungsi dikembalikan ke Myanmar dalam keadaan berbahaya. Ia mengatakan bahwa Pemerintah India seyogianya mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap pengungsi dari Myanmar dan menyediakan akses independen ke tempat-tempat penahanan.

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country