Banyak negara di Timur Tengah dan Afrika Utara masih menghalangi perempuan bergerak bebas di negara mereka sendiri atau bepergian ke luar negeri tanpa izin dari wali laki-laki.
- Para perempuan di wilayah tersebut melawan aturan yang sering diklaim pihak berwenang sebagai perlindungan bagi mereka, tetapi itu justru merampas hak-hak perempuan dan memungkinkan laki-laki untuk mengendalikan dan melecehkan mereka sesuka hati.
- Semua pihak berwenang di Timur Tengah dan Afrika Utara seharusnya menghapuskan segala bentuk pembatasan diskriminatif terhadap kebebasan bergerak perempuan, termasuk semua aturan perwalian laki-laki.
(Beirut) – Banyak negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara masih mencegah perempuan bergerak bebas di negara mereka sendiri atau bepergian ke luar negeri tanpa izin wali laki-laki, kata Human Rights Watch dalam sebuah laporan yang dirilis hari ini.
Laporan setebal 119 halaman, "Terperangkap: Bagaimana Kebijakan Perwalian Laki-laki Membatasi Perjalanan serta Mobilitas Perempuan di Timur Tengah dan Afrika Utara," menjelaskan bahwa meskipun para aktivis hak-hak perempuan telah berhasil mengamankan kebebasan perempuan yang lebih besar di banyak negara di kawasan itu, sejumlah pembatasan lama dan baru mengharuskan perempuan untuk meminta izin dari wali laki-laki —biasanya ayah, saudara laki-laki, atau suami mereka— untuk bepergian dalam negara mereka sendiri, mendapatkan paspor, atau melakukan perjalanan ke luar negeri. Human Rights Watch juga menemukan bahwa di sejumlah negara, perempuan tidak bisa bepergian ke luar negeri dengan anak-anak mereka atas dasar kesetaraan dengan laki-laki.
"Mulai dari meninggalkan rumah hingga meninggalkan negara itu, pihak berwenang di Timur Tengah dan Afrika Utara memberlakukan berbagai pembatasan terhadap hak perempuan untuk bebas bergerak," kata Rothna Begum, peneliti senior hak-hak perempuan di Human Rights Watch. "Perempuan di wilayah tersebut berjuang melawan pembatasan yang sering diklaim pihak berwenang sebagai perlindungan bagi mereka, tetapi pada kenyataannya justru merampas hak-hak perempuan dan memungkinkan laki-laki untuk mengendalikan dan melecehkan mereka sesuka hati."
Laporan ini didasarkan pada analisis komparatif dari puluhan undang-undang, peraturan, dan kebijakan, serta informasi yang diberikan oleh pengacara, aktivis, dan perempuan di 20 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kebijakan perwalian laki-laki di wilayah tersebut, yang juga diberlakukan di luar Timur Tengah, selama ini dipengaruhi oleh sejarah hukum dan tradisi yang lebih luas di seluruh dunia, termasuk tradisi hukum Eropa, yang memberikan atau masih memberikan kendali kepada laki-laki atas kehidupan perempuan.
Lima belas negara di kawasan ini masih menerapkan Undang-Undang Status Pribadi atau berbagai aturan hukum soal keluarga yang mengharuskan perempuan agar "mematuhi" suami mereka, tinggal bersama mereka, atau meminta izin mereka untuk meninggalkan rumah, pekerjaan, atau perjalanan. Pengadilan dapat memerintahkan para perempuan untuk kembali ke rumah atau kehilangan hak mereka dalam pernikahan.
Di beberapa negara, aturan ini semakin mengakar. Pada Maret 2022, Arab Saudi mengeluarkan Undang-Undang Status Pribadi tertulis pertamanya, yang mengkodifikasi praktik lama yang mengharuskan perempuan untuk mematuhi suami mereka "dengan cara yang masuk akal" atau bakal kehilangan bantuan keuangan dari suami jika mereka menolak untuk tinggal di rumah pernikahan "tanpa alasan yang sah."
Perempuan dapat ditangkap atau ditahan atau dipaksa untuk kembali ke rumah jika wali laki-laki di Yordania, Kuwait, Qatar, dan Arab Saudi melaporkan bahwa mereka "tidak ada" di rumah. Di Arab Saudi dan Yaman, perempuan masih tidak diizinkan meninggalkan penjara tanpa persetujuan wali laki-laki.
Di negara-negara yang mengalami konflik, beberapa kelompok bersenjata telah memberlakukan pembatasan perwalian di daerah-daerah yang berada dalam kendali mereka. Di beberapa wilayah Suriah yang dikuasai oleh beberapa kelompok bersenjata, perempuan diwajibkan ditemani oleh mahram (suami atau kerabat dekat laki-laki lainnya). Otoritas Houthi yang menguasai beberapa wilayah di Yaman semakin mewajibkan perempuan untuk bepergian dengan mahram atau untuk memberikan persetujuan tertulis wali laki-laki mereka. Aturan-aturan semacam itu telah memaksa banyak staf perempuan Yaman di organisasi nonpemerintah dan sejumlah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meninggalkan pekerjaan mereka, sehingga mereka kehilangan pendapatan yang sangat dibutuhkan untuk keluarga.
Meski para aktivis hak-hak perempuan di wilayah ini telah mencetak beberapa kemajuan, mereka terus berjuang melawan pembatasan mobilitas yang diskriminatif. Pada 2018, setelah beberapa dekade advokasi dan aktivisme, Arab Saudi mengizinkan perempuan mengemudi, tetapi pembatasan lain masih ada. Para perempuan di Iran melanjutkan perjuangan mereka selama puluhan tahun melawan kewajiban jilbab, yang jadi ciri utama dari protes "perempuan, kehidupan, kebebasan" nasional yang meletus setelah kematian Mahsa (Jina) Amini dalam tahanan pada September 2022.
Beberapa universitas negeri, termasuk di Bahrain, Iran, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, mengharuskan perempuan untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki izin wali laki-laki sebelum bisa melakukan kunjungan lapangan maupun menginap atau meninggalkan akomodasi atau area kampus. Di beberapa negara, perempuan mungkin juga menghadapi diskriminasi saat mencoba menyewa apartemen atau menginap di hotel jika mereka belum menikah atau tidak memiliki izin wali laki-laki.
Dalam kemajuan yang positif, sebagian besar pemerintah di kawasan ini sekarang mengizinkan perempuan untuk mendapatkan paspor dan bepergian ke luar negeri tanpa memerlukan izin wali. Pada Agustus 2019, menyusul gencarnya kampanye dari para aktivis hak-hak perempuan Saudi, pihak berwenang Saudi mengubah aturannya dengan mengizinkan perempuan di atas usia 21 tahun, seperti halnya laki-laki, untuk mendapatkan paspor dan bepergian tanpa izin wali.
Iran, Qatar, dan Yaman masih jadi pengecualian. Di Iran, perempuan yang sudah menikah harus menunjukkan izin suami mereka untuk mendapatkan paspor dan bepergian. Di Qatar, peraturan kementerian dalam negeri mengharuskan perempuan Qatar yang belum menikah dan berusia kurang dari 25 tahun untuk menunjukkan izin dari wali laki-laki mereka untuk bepergian ke luar negeri; sementara laki-laki Qatar dari usia 18 tahun tidak. Kebijakan de facto Yaman mengharuskan perempuan Yaman untuk menunjukkan izin wali laki-laki mereka untuk mendapatkan paspor.
Qatar juga mengizinkan wali laki-laki untuk mengajukan permohonan ke pengadilan untuk memberlakukan larangan bepergian terhadap kerabat perempuan mereka, termasuk istri mereka. Pihak berwenang di Iran, Gaza (Palestina), Arab Saudi, dan Yaman juga mengizinkan wali laki-laki untuk melarang perempuan bepergian ke luar negeri.
Beberapa pembatasan relatif baru. Otoritas Hamas di Gaza mengeluarkan pembatasan pada Februari 2021 yang berarti seorang perempuan yang belum menikah, meski dapat meninggalkan Gaza di tengah pembatasan pergerakan Israel dan Mesir, dapat dicegah bepergian segera setelah wali laki-lakinya mengajukan permohonan pelarangan yang diperintahkan oleh pengadilan. Pada Agustus 2022, Otoritas Houthi di Yaman, yang menguasai sebagian besar negara itu, memperluas pembatasan sehingga perempuan tidak dapat bepergian atau meninggalkan daerah mereka di dalam negeri atau bepergian ke luar negeri tanpa mahram. Pada Mei 2023, Badan Keamanan Internal Libya, sebuah badan yang terkait dengan Pemerintah Persatuan Nasional yang berbasis di Tripoli, salah satu dari dua pemerintah di Libya yang bersaing untuk legitimasi dan kontrol, mulai mewajibkan perempuan Libya yang bepergian tanpa pendamping laik-laki untuk mengisi formulir terperinci tentang alasan perjalanan mereka dan perjalanan sebelumnya.
a. Bisakah perempuan mengajukan paspor anak-anak mereka atas dasar kesetaraan dengan laki-laki?
Perempuan juga dapat menghadapi pembatasan diskriminatif untuk bepergian ke luar negeri dengan anak-anak mereka sendiri. Empat belas negara di kawasan ini tidak mengizinkan perempuan untuk mendapatkan paspor bagi anak-anak mereka sendiri atas dasar kesetaraan dengan laki-laki. Sembilan negara, secara resmi atau dalam praktiknya, mewajibkan perempuan untuk mendapatkan izin dari ayah anak tersebut untuk bepergian ke luar negeri bersama anak-anak mereka, sementara laki-laki tidak menghadapi persyaratan serupa.
"Bahkan ketika aktivis hak-hak perempuan berhasil meraih beberapa kebebasan, pihak berwenang berusaha untuk mengambil kebebasan yang lain, merampas tidak hanya hak-hak perempuan, tetapi merugikan anak-anak, keluarga dan masyarakat," kata Rothna Begum. "Semua pihak berwenang di Timur Tengah dan Afrika Utara seharusnya menghilangkan semua pembatasan diskriminatif terhadap kebebasan bergerak perempuan, termasuk semua aturan perwalian laki-laki."