(Beirut) – Pihak berwenang Saudi seharusnya mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dan menghapus sepenuhnya sistem perwalian laki-laki, yang unsur-unsurnya secara resmi dikodifikasi ke dalam Undang-Undang Status Pribadi yang diadopsi satu tahun lalu pada Hari Perempuan Internasional, kata delapan kelompok advokasi dan hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch, hari ini. Pihak berwenang seharusnya mengizinkan para pembela hak perempuan untuk ambil bagian dalam aktivisme tanpa takut dilecehkan atau ditangkap.
Human Rights Watch dan Amnesty International menerbitkan analisis pada Hari Perempuan Internasional yang merinci bagaimana Undang-Undang Status Pribadi pertama di Arab Saudi ini mengabadikan perwalian laki-laki atas perempuan dan memperkuat sistem diskriminasi berbasis gender di sebagian besar aspek kehidupan keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan ketika membuat keputusan tentang anak-anak mereka. Selain itu, undang-undang yang baru tidak cukup melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga.
Aktivis hak-hak perempuan Saudi telah lama berkampanye untuk Undang-Undang Status Pribadi yang dikodifikasikan yang akan mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, tetapi undang-undang tersebut tidak merefleksikan masukan apa pun dari mereka atau kelompok masyarakat sipil independen lainnya karena teks tersebut tidak dipublikasikan sebelum diadopsi. Banyak pembela hak perempuan terkemuka telah menghadapi pembalasan pemerintah yang serius atas aktivisme mereka dan efektif dilarang mengomentari undang-undang tersebut secara terbuka.
“Tanpa masukan berharga dari para aktivis hak-hak perempuan, para pejabat Saudi hanya menggunakan Undang-Undang Status Pribadi untuk mengkodifikasi praktik-praktik diskriminatif dan bermasalah yang ada terhadap perempuan, meskipun ada janji sebaliknya,” kata Lina al-Hathloul, kepala pemantauan dan advokasi di ALQST. “Sekutu Arab Saudi dan mitra bisnis internasional seharusnya menekan otoritas Saudi untuk mengubah undang-undang ini dan melibatkan aktivis hak-hak perempuan secara bermakna saat melakukannya.”
Sebelum kodifikasi UU Status Pribadi, para hakim Saudi mengandalkan dan menerapkan interpretasi mereka sendiri atas aturan Islam dalam kasus yang berkaitan dengan status pribadi, yang menyebabkan hasil yang tidak konsisten, terutama bagi perempuan. Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan pejabat pemerintah Saudi lainnya mengeklaim bahwa undang-undang tersebut membantu meminimalkan perbedaan ini, tetapi dari analisis Human Rights Watch dan Amnesty International ditemukan bahwa undang-undang tersebut jauh dari standar hak asasi manusia internasional dan masih menyisakan ruang bagi hakim untuk menggunakan kebebasan mereka.
Sejak berkuasa, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, penguasa de facto, telah berulang kali memposisikan dirinya di panggung internasional sebagai seorang reformis progresif yang meyakini bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Visi Arab Saudi 2030, yang menggambarkan perempuan sebagai “aset besar lainnya,” menyatakan bahwa hal itu bertujuan untuk memberdayakan perempuan.
Meskipun ada reformasi penting di bawah kepemimpinan bin Salman, termasuk memberi perempuan hak untuk mengemudi dan bepergian pada usia 21 tahun tanpa izin wali laki-laki, banyak perempuan dan aktivis lain yang mengkampanyekan perubahan ini, termasuk Loujain al-Hathloul, Nassimah al -Sadah, Samar Badawi, dan Mohammed al-Rabea ditahan secara sewenang-wenang, dilarang bepergian, atau disiksa secara mengerikan atau diperlakukan dengan buruk di penjara, termasuk dengan kekerasan seksual.
Sejumlah reformasi ini juga terjadi dalam konteks di mana ruang untuk kebebasan berbicara hampir tidak ada, kecuali debat publik tentang reformasi hukum utama.
Selanjutnya, beberapa amandemen hukum yang dirayakan oleh pejabat pemerintah Saudi dan sekutu internasional mereka untuk memperluas tugas perwalian tertentu secara lebih setara bagi perempuan telah diterapkan secara tidak konsisten.
“Pemerintah Saudi telah gagal memenuhi janjinya untuk menciptakan lingkungan di mana perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki,” kata Heba Morayef, direktur regional Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. “Pemerintah seharusnya segera mengubah ketentuan diskriminatif dalam UU Status Pribadi agar sistem perwalian laki-laki dihapuskan seluruhnya dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal perkawinan, perceraian, dan keputusan tentang anak-anak mereka.”
Organisasi-oragnisasi tersebut adalah:
1. ALQST
2. Amnesty International
3. Clearinghouse on Women's Issues
4. Freedom Forward
5. Freedom Initiative
6. Feminist Majority Foundation
7. Human Rights Watch
8. MENA Rights Group