- Perdana Menteri Australia Anthony Albanese semestinya berfokus pada berbagai masalah hak asasi manusia dan kemunduran demokrasi pada pertemuan puncak dengan para pemimpin Asia Tenggara yang akan datang.
- Kondisi hak asasi manusia telah memburuk di negara-negara ASEAN dalam beberapa tahun terakhir, dan ASEAN sebagai sebuah organisasi tidak berbuat banyak untuk mengatasi krisis-krisis utama yang terjadi di negara-negara anggotanya.
- Perhatian utama mencakup perlunya sanksi yang lebih keras terhadap Myanmar dan mengakhiri serangan terhadap kelompok oposisi di Kamboja dan Vietnam, serta pengejaran terhadap para aktivis oleh pasukan keamanan di Filipina.
(Sydney) – Perdana Menteri Australia Anthony Albanese semestinya berfokus pada berbagai masalah hak asasi manusia dan kemunduran demokrasi pada pertemuan puncak dengan para pemimpin Asia Tenggara yang akan datang, kata Human Rights Watch dalam sebuah laporan yang dirilis hari ini. Albanese akan menjamu para pemimpin dari sembilan negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada Konferensi Tingkat Tinggi Khusus ASEAN-Australia pada 4 hingga 6 Maret 2024, di Melbourne.
Laporan setebal 60 halaman, yang berjudul “Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara,” merangkum isu-isu penting mengenai hak asasi manusia yang seyogianya dikemukakan oleh Albanese pada KTT tersebut. Human Rights Watch mendesak pemerintah Australia untuk menempatkan nilai-nilai demokrasi yang menghormati hak asasi manusia sebagai inti hubungannya dengan negara-negara ASEAN. Saat pemerintah Australia menyongsong KTT ini dengan tujuan untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam kerja sama ekonomi regional, pemerintah Australia tidak semestinya mengabaikan berbagai permasalahan hak asasi manusia dengan harapan bahwa permasalahan tersebut akan dapat terselesaikan dengan sendirinya, karena memang semua itu tidak akan terjadi.
“Pertemuan tingkat tinggi ini akan menjadi peluang yang hilang bagi Australia dan masyarakat negara-negara ASEAN jika pemerintah Australia mengabaikan masalah hak asasi manusia,” kata Daniela Gavshon, direktur Australia di Human Rights Watch. “Semestinya Pemerintah Australia mengirimkan pesan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah perhatian utama dalam kebijakan luar negeri.”
Akan sangat penting khususnya bagi Australia untuk memandu diskusi ke arah hak asasi manusia karena topik tersebut tidak ada dalam agenda KTT.
KTT ini menandai 50 tahun hubungan dialog ASEAN-Australia. Selama lima dekade terakhir, pemerintah Australia berturut-turut telah mengupayakan kemitraan ekonomi, keamanan, dan politik yang lebih erat dengan negara-negara ASEAN. Australia terus memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia Tenggara guna mengimbangi pergeseran dinamika kekuatan global.
Pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini sedang menghadapi tantangan akibat meningkatnya pengaruh politik, ekonomi, dan militer dari Tiongkok yang lebih agresif. Untuk menghadapi ancaman Tiongkok terhadap hak asasi manusia dan tatanan internasional yang berbasis aturan, Australia seharusnya memusatkan dialognya dengan para pemimpin ASEAN pada hak-hak masyarakat Asia Tenggara, bukan hanya pada penguatan hubungan persahabatan.
Peringatan kali ini memberikan kesempatan unik untuk merefleksikan kondisi hak asasi manusia di kawasan ini dan menyusun ulang kerja sama Australia-ASEAN selama 50 tahun ke depan. Albanese telah memproyeksikan hubungan ASEAN-Australia setengah abad ke depan akan “lebih sukses dibandingkan sebelumnya”, serta menjanjikan A$95,4 juta (Rp979milyar) untuk memulai Strategi Ekonomi Asia Tenggara Australia hingga tahun 2040.
Dalam suratnya pada bulan Februari, Human Rights Watch mendesak Perdana Menteri Albanese untuk mendesak komitmen masing-masing negara pada pertemuan puncak tersebut, dan menyuarakan isu-isu hak asasi manusia yang spesifik kepada masing-masing perwakilan pemerintahan.
“Kondisi hak asasi manusia semakin memburuk di negara-negara ASEAN dalam beberapa tahun terakhir dan ASEAN sebagai sebuah organisasi tidak berbuat banyak untuk mengatasi krisis-krisis utama yang terjadi di antara negara-negara anggotanya,” kata Daniela Gavshon. “Kegagalan Australia untuk secara langsung mengatasi permasalahan hak asasi manusia pada KTT tersebut akan menjadi sebuah kudeta propaganda bagi para pemimpin yang sewenang-wenang, dan akan mendorong para pemimpin ASEAN yang baru untuk meneruskan warisan pelanggaran hak asasi manusia dari para pendahulu mereka.”
Dalam pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, ASEAN belum menangani krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia yang semakin menjadi-jadi di Myanmar. Dampaknya telah meluas hingga ke perbatasan Thailand, India, dan Tiongkok, serta berkontribusi pada penderitaan berkelanjutan etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh. Puluhan ribu orang telah mencari perlindungan di negara-negara tetangga sejak kudeta tahun 2021 oleh militer Myanmar. Selain itu, warga Rohingya yang menyelamatkan diri dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan genosida tahun 2017 juga tidak dapat kembali. Dengan meningkatnya rasa tidak aman dan memburuknya kondisi di kamp-kamp yang menampung satu juta warga Rohingya di Bangladesh, menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pengungsi (UNHCR) ada 4.500 orang yang melakukan perjalanan laut berisiko tinggi ke Indonesia atau Malaysia pada tahun 2023.
Lima Poin Konsensus ASEAN – yang ditolak oleh junta Myanmar beberapa hari setelah menyetujuinya pada April 2021 – bukanlah kerangka kerja yang layak untuk menghadapi pihak militer yang terus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Pemerintah Australia dan ASEAN seharusnya bersepakat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar, termasuk sanksi yang baru dijatuhkan oleh Australia terhadap bank dan pemasok bahan bakar jet, di yurisdiksi mereka masing-masing. Bersama-sama, Albanese dan para pemimpin Asia Tenggara semestinya berkomitmen untuk memperkuat tindakan multilateral di Dewan Keamanan PBB.
Beberapa permasalahan hak asasi manusia utama yang harus ditangani antara lain adalah kerja sama pemerintah Thailand dan Kamboja untuk mengungkap, mengintimidasi, dan menangkap sejumlah aktivis masyarakat sipil Kamboja di Thailand. Di Vietnam, pemerintah secara sistematis menekan kebebasan berekspresi dan beberapa kebebasan dasar lainnya. Di Filipina, aparat keamanan menyasar para aktivis, pembela hak asasi manusia, dan jurnalis, yang seringkali berakibat fatal.
Diskriminasi yang didukung negara terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Singapura, Indonesia, dan Malaysia masih meluas. Di tingkat kelembagaan, ASEAN menyatakan penghormatannya terhadap hak asasi manusia yang disandang 685 juta warganya. Namun, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Antarnegara ASEAN (AICHR) tidak menghadirkan dampak nyata.
Dalam kapasitasnya sebagai tuan rumah KTT, pemerintah Australia dapat mengarahkan pembicaraan dengan fokus pada hak asasi manusia. Pemerintah Australia dapat mendorong keterbukaan dengan mengakui kekurangan dalam beberapa catatan hak asasi manusia di dalam negerinya sendiri. Pendekatan yang terang-terangan ini akan memberikan pesan bahwa hubungan diplomatik yang kuat masih bisa berkembang tanpa memaafkan atau menutupi kekhawatiran negara-negara sekutu, kata Human Rights Watch.
“Peringatan 50 tahun hubungan dialog ASEAN-Australia yang ditandai dengan KTT ini bisa menjadi titik balik,” kata Daniela Gavshon. “Menuju tahun 2040, kawasan ini akan menghadapi tantangan lingkungan hidup, ketidakpastian ekonomi, dan persaingan strategis, namun tantangan-tantangan ini dapat dikurangi jika pemerintah negara-negara tersebut menunjukkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.”