Skip to main content

Tiongkok: Membangun Hong Kong 'Khusus Patriot'

Lima Tahun di Bawah Undang-Undang Keamanan Nasional, Hak Asasi Dihapus, Kontrol Ideologis Baru

Upacara pengibaran bendera pada Hari Pendidikan Keamanan Nasional di sebuah sekolah menengah di Hong Kong, Tiongkok, 15 April 2021. © 2021 Vernon Yuen/NurPhoto via AP Photo
  • Pemerintah Tiongkok telah menghapus kebebasan di Hong Kong sejak memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang semena-mena pada 30 Juni 2020.
  • Pemerintah Tiongkok telah banyak melucuti kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, pemilu yang bebas dan adil, hak atas pengadilan yang adil, dan independensi peradilan, serta mengakhiri semi-demokrasi di kota tersebut.
  • Pemerintah di negara-negara lain semestinya menekan pemerintah Tiongkok agar mengakhiri kebijakan represifnya di Hong Kong dengan meminta pertanggungjawaban dari para pejabat yang bertanggung jawab.

(New York) – Pemerintah Tiongkok telah menghapus kebebasan di Hong Kong sejak memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang semena-mena pada 30 Juni 2020, ungkap Human Rights Watch hari ini.

Pihak berwenang Tiongkok dan Hong Kong telah dengan keras menghukum para pengkritik pemerintah, menciptakan rezim keamanan nasional yang sangat represif, dan menerapkan kontrol ideologis terhadap penduduk kota. Semakin lama, hanya loyalis Partai Komunis Tiongkok – atau yang disebut "patriot" – yang dapat menduduki posisi kunci dalam masyarakat.

"Hanya dalam lima tahun, pemerintah Tiongkok telah memadamkan semangat politik sipil Hong Kong dan menggantinya dengan keseragaman patriotisme yang dipaksakan," kata Maya Wang, Direktur Muda Urusan Tiongkok di Human Rights Watch. "Penindasan yang semakin menjadi-jadi ini bisa menghadirkan konsekuensi jangka panjang yang mengerikan bagi Hong Kong, meskipun banyak warga Hong Kong telah menemukan cara-cara halus untuk melawan pemerintahan tirani."

Sejak mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional, pemerintah Tiongkok telah banyak melucuti kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul, pemilu yang bebas dan adil, hak atas pengadilan yang adil, dan independensi peradilan. Pemerintah semakin gencar melakukan politisasi pendidikan, menciptakan kekebalan hukum atas pelanggaran yang dilakukan polisi, dan mengakhiri semi-demokrasi di kota tersebut. Banyak kelompok masyarakat sipil independen, serikat buruh, partai politik, dan media di Hong Kong telah dibekukan.

Pemerintah Tiongkok telah membangun rezim hukum dan birokrasi keamanan nasional yang baru dan tidak transparan, menjadikan pengadilan sebagai senjata untuk menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang berbeda pendapat – hingga hukuman penjara seumur hidup – serta melecehkan dan mengawasi warga Hong Kong di dalam dan luar negeri. Pihak berwenang juga sedang menulis ulang sejarah Hong Kong.

Ketika Inggris menyerahkan kedaulatan Hong Kong kepada Tiongkok pada tahun 1997, Beijing menjanjikan "otonomi tingkat tinggi" dan bahwa "rakyat Hong Kong akan memerintah Hong Kong." Sejak tahun 2020, Partai Komunis Tiongkok – yang bahkan tidak terdaftar sebagai partai politik di Hong Kong – telah memperluas kendalinya atas semua lembaga pemerintahan di Hong Kong, dengan menanamkan konsep keamanan nasional Beijing ke dalam hukum di Hong Kong, dan dengan merombak struktur tata kelola kota.

Beberapa pemerintah negara lain maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan keprihatinan mereka tentang memburuknya kebebasan yang terjadi dengan cepat di Hong Kong, tetapi hanya sedikit yang mengambil tindakan nyata. Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada pejabat Tiongkok dan Hong Kong pada tahun 2020, 2021, dan 2025 atas sejumlah pelanggaran terkait dengan Undang-Undang Keamanan Nasional, tapi Amerika Serikat adalah satu-satunya pemerintah yang melakukannya. InggrisUni Eropa, dan Australia, yang juga memiliki rezim sanksi hak asasi manusia, seharusnya menjatuhkan sanksi terarah kepada para pejabat Tiongkok dan Hong Kong yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia, menurut Human Rights Watch.

“Pemerintah seharusnya menekan pemerintah Tiongkok agar mengakhiri kebijakan represifnya di Hong Kong dengan meminta pertanggungjawaban para pejabat yang bertanggung jawab,” ujar Maya Wang. “Beijing seharusnya tidak lagi merasa berani mengencangkan cengkeramannya terhadap rakyat Hong Kong tanpa konsekuensi apa pun.”

Merenggut Kebebasan Hong Kong

Menghancurkan Semi-Demokrasi di Hong Kong

Salah satu tindakan pemerintah Tiongkok setelah memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional pada bulan Juni 2020 adalah mengubah Dewan Legislatif Hong Kong yang semi-demokratis dan dinamis menjadi lembaga yang hanya sekadar stempel karet seperti Kongres Rakyat Nasional Tiongkok.

Pihak berwenang Tiongkok dan Hong Kong pertama-tama mencopot sejumlah legislator pro-demokrasi dari jabatannya karena "membahayakan keamanan nasional." Pihak berwenang kemudian mendakwa 45 politisi dan aktivis pro-demokrasi atas tuduhan "subversi" berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional. Mereka dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara 4 tahun 2 bulan hingga 10 tahun penjara.

Pihak berwenang juga mengubah peraturan sehingga hanya "patriot" – sebutan bagi mereka yang "mendukung ... kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok" – yang dapat mencalonkan diri dalam pemilihan Dewan Legislatif, dan merevisi undang-undang pemilu untuk melarang "hasutan kepada orang lain untuk memberikan surat suara kosong." Pada tahun 2023, Dewan Legislatif dengan suara bulat menyetujui perubahan pemilu serupa untuk Dewan Distrik, yang mengawasi urusan lokal.

Dengan adanya larangan bagi tokoh-tokoh pro-demokrasi untuk mencalonkan diri, dan orang-orang tidak bisa memberikan surat suara kosong, pemilihan Dewan Legislatif 2021 menjadi sia-sia dan mencatat rekor partisipasi pemilih terendah, yaitu hanya 30 persen. Dewan tersebut kini juga berjuang dengan rendahnya tingkat kehadiran dalam rapat-rapatnya.

Menghancurkan Masyarakat Sipil dan Partai Politik

Pemerintah Tiongkok dan Hong Kong telah melucuti sejumlah organisasi masyarakat sipil independen Hong Kong dengan jalan memenjarakan dan melecehkan para pengurus maupun aktivis, serta membekukan dana kelompok-kelompok tersebut. Sejak 2020, hampir 100 organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, dan partai politik telah dibubarkan. Ini termasuk beberapa kelompok tertua dan terbesar di kota yang menjadi tulang punggung gerakan demokrasi, seperti Front Hak Asasi Manusia Sipil, Persatuan Guru Profesional Hong Kong, dan Partai Sipil. Partai Demokrat, yang didirikan pada tahun 1994, akan segera dibubarkan.

Setelah melawan pelecehan yang semakin intensif selama lima tahun, termasuk penuntutan dan penggeledahan rumah, partai politik pro-demokrasi terakhir di Hong Kong, Liga Sosial Demokrat, mengumumkan pembubarannya pada akhir Juni.

Menekan Kebebasan Berkumpul

Pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional bertepatan dengan pandemi Covid-19. Pemerintah Hong Kong menyalahgunakan langkah-langkah terkait Covid untuk melarang perkumpulan damai, termasuk, pada tahun 2020 dan 2021, acara peringatan tahunan di Victoria Park untuk memperingati Pembantaian Tiananmen 1989. Pihak berwenang telah mendakwa Aliansi Hong Kong, penyelenggara acara peringatan tersebut, dan tiga mantan pemimpinnya dengan tuduhan "menghasut subversi" berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang dapat dikenakan hukuman penjara maksimal seumur hidup. Setiap tahun sejak 2020, sekitar tanggal 4 Juni, warga Hong Kong yang mencoba memperingati pembantaian di dekat Victoria Park telah ditangkap dan dipenjara atas tuduhan yang meragukan.

Selama beberapa dekade, Hong Kong menggelar protes pro-demokrasi besar-besaran, beberapa di antaranya menarik lebih dari satu juta orang, tetapi pihak berwenang belum mengizinkan demonstrasi semacam itu sejak tahun 2020. Polisi mengusik segelintir orang yang datang, bahkan untuk protes non-politik sekalipun. Pada tahun 2023, sebuah demonstrasi kecil terkait reklamasi lahan baru bisa terlaksana setelah penyelenggara menyetujui tuntutan ketat dari pihak kepolisian yang mewajibkan tidak lebih dari 100 peserta, mengenakan tanda nomor, memeriksa spanduk mereka terlebih dahulu, dan tetap berada di balik garis polisi, jauh dari media.

Pemerintah Hong Kong terus menganiaya para pengunjuk rasa yang berpartisipasi dalam protes tahun 2019: Hingga April, sebanyak 10.279 orang telah ditangkap, 2.976 dituntut, dan 2.422 dihukum.

Menghilangkan Media Independen

Sejak disahkannya Undang-Undang Keamanan Nasional, setidaknya 14 media independen telah ditutup, termasuk Apple Daily pada Juni 2021 dan Stand News pada Desember 2021. Kedua media berpengaruh tersebut terpaksa tutup menyusul penggerebekan polisi yang melibatkan banyak orang dan penangkapan terhadap editor mereka dengan tuduhan kejahatan keamanan nasional. Pemilik Apple Daily, Jimmy Lai, 77 tahun, menjalani hukuman penjara 5 tahun 9 bulan atas tuduhan "penipuan" dan "berpartisipasi dalam pertemuan yang tidak sah." Ia menghadapi hukuman penjara maksimal seumur hidup dalam persidangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang sedang berlangsung atas tuduhan "antek asing".

Sensor diri di kalangan jurnalis semakin menjadi-jadi. Pada tahun 2022, Klub Koresponden Asing Hong Kong mengakhiri Penghargaan Pers Hak Asasi Manusia; ketuanya saat itu, Keith Richburg, mengatakan bahwa pengacaranya mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan mendapatkan "persidangan yang adil di hadapan hakim hukum keamanan nasional." Setelah media berbahasa Mandarin terkemuka, Ming Pao, memecat dua kolumnis politik pada tahun 2023, pemimpin redaksinya memperingatkan para penulis yang tersisa agar "lebih berhati-hati."

Memperluas Penyensoran

Tak lama setelah Undang-Undang Keamanan Nasional disahkan, otoritas Hong Kong melarang slogan-slogan protes tahun 2019 seperti "Bebaskan Hong Kong, Revolusi Zaman Kita." Mereka juga menarik sejumlah karya seni, film, maupun buku-buku politik yang berkaitan dengan Tiongkok dan Hong Kong dari museum, teater, perpustakaan umum, dan pameran buku tahunan, serta memblokir akses ke situs web pro-demokrasi.

Penyensoran telah meluas hingga karya-karya yang tidak secara eksplisit bersifat politis. Pada tahun 2025, pemerintah Hong Kong secara permanen menurunkan 10 patung perunggu yang telah dipamerkan sejak tahun 2017. Dua di antaranya mengenakan jas hujan kuning, yang kemudian dikaitkan dengan protes setelah seorang demonstran pro-demokrasi tewas saat mengenakan jas hujan kuning pada tahun 2019.

Sensor juga dilembagakan. Pada tahun 2021, pemerintah Hong Kong mengamendemen Peraturan Sensor Film, yang memungkinkan pihak berwenang untuk menyensor film yang dianggap "bertentangan dengan kepentingan keamanan nasional".

Departemen Imigrasi Hong Kong sering menolak kunjungan atau pemberian visa kepada orang-orang yang kritis terhadap pemerintah, termasuk jurnalisakademisiaktivis hak asasi manusiaseniman, dan anggota parlemen Inggris, Wera Hobhouse. Dalam beberapa kasus, mereka diinterogasi selama berjam-jam sebelum dideportasi.

Menciptakan Hong Kong "Khusus Patriot"

Rezim Hukum dan Birokrasi Keamanan Nasional yang Baru

Pemerintah Tiongkok dan Hong Kong telah menetapkan rezim hukum keamanan nasional. Sebagai pelengkap Undang-Undang Keamanan Nasional, pemerintah Hong Kong pada Maret 2024 juga memperkenalkan Ordonansi Perlindungan Keamanan Nasional (SNSO).

Pemerintah Hong Kong juga menghidupkan kembali undang-undang penghasutan era kolonial di bawah Undang-Undang Kejahatan. Setelah Pengadilan Banding Tertinggi memutuskan pada Desember 2021 bahwa penghasutan merupakan kejahatan terkait keamanan, penghasutan telah menjadi pelanggaran keamanan nasional yang paling sering digunakan untuk menyasar berbagai ekspresi damai, termasuk buku anak-anakjurnalisme independen, dan unggahan media sosial. SNSO selanjutnya menaikkan hukuman maksimum untuk penghasutan dari 2 menjadi 7 tahun penjara, dan 10 tahun jika melibatkan "kolusi dengan kekuatan asing."

Secara keseluruhan, ketiga undang-undang tersebut memperluas kewenangan kepolisian, menetapkan hukuman berat hingga penjara seumur hidup bagi mereka yang menyampaikan pendapat dan aktivisme secara damai, serta mencabut hak tersangka atas pengadilan yang adil. Para tersangka biasanya tidak diberikan jaminan, menjalani penahanan praperadilan berkepanjangan selama bertahun-tahun, dan diadili bukan oleh juri, melainkan oleh hakim yang dipilih langsung oleh kepala eksekutif Hong Kong.

Sejak 2020, sebanyak 326 orang telah ditangkap dengan tuduhan pelanggaran keamanan nasional; dan ada 187 orang serta 5 perusahaan yang telah didakwa. Persidangan keamanan nasional memiliki tingkat penghukuman hampir 100 persen.

Pemerintah Tiongkok dan Hong Kong juga telah membentuk birokrasi keamanan nasional baru: Kantor Penjaga Keamanan Nasional, yang tampaknya merupakan bagian dari badan mata-mata Tiongkok, Kementerian Keamanan Negara; Komite Keamanan Nasional Hong Kong, sebuah badan pemerintah yang terdiri dari sejumlah pejabat senior Hong Kong dan seorang "penasihat" Beijing untuk masalah keamanan nasional; dan Departemen Keamanan Nasional di bawah Kepolisian Hong Kong.

Tak banyak informasi yang tersedia mengenai badan-badan yang sangat berkuasa ini. Pemerintah Hong Kong mengalokasikan HK$13 miliar (US$1,7 juta) untuk keamanan nasional antara tahun 2020 dan 2023, tetapi tidak bersedia mengungkap jumlah yang dialokasikan pada tahun-tahun berikutnya.

Pada bulan Mei, pemerintah Hong Kong memberlakukan seperangkat undang-undang turunan dengan menyertakan SNSO yang semakin memperluas kewenangan Kantor Penjaga Keamanan Nasional, termasuk menghukum mereka yang mengungkap informasi terkait kemungkinan penyelidikan dengan hukuman hingga tujuh tahun penjara. Pada bulan Juni, Kantor Penjaga Keamanan Nasional dan Departemen Keamanan Nasional menggelar operasi gabungan pertama mereka, menangkap enam orang yang memiliki keterkaitan dengan sebuah organisasi atas tuduhan "antek asing"; tidak ada informasi lebih lanjut yang dirilis.

Partai Komunis Tiongkok Menetapkan Pemerintahan Langsung

Sejak tahun 2020, pemerintahan Tiongkok atas Hong Kong telah mengalami perubahan signifikan. Serangkaian "reformasi kelembagaan" pada tahun 2023 semakin menegaskan kendali Partai Komunis Tiongkok atas lembaga-lembaga negara di Tiongkok. Hal ini menjadikan kantor urusan Hong Kong tertinggi Tiongkok dioperasikan dengan identitas ganda: sebagai kantor pemerintah (Kantor Dewan Negara Urusan Hong Kong dan Makau), dan sebagai badan Partai Komunis Tiongkok (Kantor Kerja Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok Hong Kong dan Makau), tetapi dengan tim kepemimpinan yang sama. Apa yang disebut penggandaan kelembagaan ini telah menjadi ciri khas pemerintahan Tiongkok di bawah Presiden Xi Jinping.

Pengaturan baru ini telah secara drastis memperluas cakupan kendali Beijing atas urusan Hong Kong. Kantor tersebut kini bertanggung jawab untuk "mengawasi pelaksanaan ... kewenangan tata kelola komprehensif Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok" atas Hong Kong, sebuah tujuan yang telah dirumuskan pemerintah Tiongkok sejak 2014.

Pemerintah Tiongkok bersikeras bahwa Hong Kong masih berada di bawah kebijakan "Satu Negara, Dua Sistem", yang dalam praktiknya belum berlaku lagi sejak setidaknya tahun 2020. "Reformasi" tahun 2023 memperkuat apa yang kini semakin dikenal sebagai "Satu Negara, Satu Sistem", di mana Partai semakin menegaskan supremasinya dalam pemerintahan dan masyarakat, serta secara efektif menjalankan kota tersebut.

Di atas kertas, pemerintahan Hong Kong dipimpin oleh seorang warga Hong Kong, yaitu Kepala Eksekutif yang ditunjuk Beijing, John Lee. Namun, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan pimpinan tertinggi Partai Komunis Tiongkok. Sejak 2020, pengaturan kelembagaan Partai telah menempatkan seorang pejabat Tiongkok daratan – saat ini Zhou Ji – memegang tiga jabatan kepemimpinan Hong Kong, termasuk peran “penasihat” yang diembannya di Komite Keamanan Nasional Hong Kong, yang memungkinkannya untuk secara efektif mengarahkan urusan Hong Kong. Tata kelola Hong Kong kini menyerupai Xinjiang dan Tibet, di mana para pemimpin etnis Uighur dan Tibet yang terdaftar sebagai kepala pemerintahan di wilayah-wilayah yang secara nominal "otonom" ini berada di bawah pejabat Partai Han Tiongkok.

Hukuman Administratif, Ancaman, Intimidasi

Warga di Hong Kong kini menghadapi penganiayaan dari berbagai pihak, tidak hanya pengawasan polisi dan hukuman penjara berat bagi mereka yang berbeda pendapat, tetapi juga pelecehan dari lembaga pemerintah Hong Kong, fitnah dari outlet media milik Beijing, dan ancaman dari triad kejahatan terorganisasi pro-Beijing.

Permasalahan yang dihadapi Asosiasi Jurnalis Hong Kong, serikat jurnalis lokal terbesar di kota tersebut dan satu-satunya serikat besar yang masih tersisa, merupakan contoh nyata. Pada tahun 2024, otoritas pajak Hong Kong memerintahkan asosiasi tersebut untuk membayar tunggakan pajak sebesar HK$400.000 (US$51.000) tanpa dasar yang jelas. Kelompok ini berulang kali menjadi sasaran kampanye hitam oleh media milik Beijing. Ketua sebelumnya ditangkap saat bertugas meliput. Pada tahun 2025, dua hotel membatalkan reservasi acara makan malam untuk penggalangan dana kelompok tersebut tanpa penjelasan.

Setidaknya delapan media lain dan 20 individu yang punya keterkaitan dengan media-media tersebut telah melaporkan tuntutan serupa terkait "tunggakan pajak" palsu, termasuk yang seolah-olah ditanggung oleh pasangan dan orang tua. Jenis pelecehan lain terhadap jurnalis Hong Kong termasuk ancaman pembunuhan dan pengaduan palsu yang ditujukan kepada instansi pemerintah.

Pengawasan terhadap Warga dan Aktivis yang Dibebaskan dari Penjara

Pada tahun 2020, kepolisian Hong Kong mendirikan saluran telepon langsung keamanan nasional untuk mendorong masyarakat agar saling melaporkan satu sama lain; hingga Juni 2025, saluran telepon tersebut telah menerima lebih dari 920.000 informasi.

Para aktivis Hong Kong yang dibebaskan dari penjara kini menjadi sasaran pengawasan polisi, pembatasan sewenang-wenang terhadap pergerakan mereka, dan tekanan untuk memberi tahu informasi terkait orang lain, taktik yang telah lama digunakan oleh pihak berwenang di Tiongkok daratan.

Aktivis Agnes Chow mengatakan bahwa setelah dibebaskan, polisi keamanan nasional mengawasinya dengan ketat dan memaksanya untuk bertemu dengan mereka secara teratur. Sebelum meninggalkan Hong Kong untuk belajar di Kanada, polisi memaksanya untuk memata-matai aktivis Hong Kong lainnya di sana. Ketika ia menolak, polisi membawanya ke Tiongkok daratan, di mana ia diperlihatkan "capaian-capaian gemilang" dari "tanah air". Aktivis pro-kemerdekaan Tony Chung melaporkan pengalaman serupa.

Represi Diperluas ke Luar Negeri

Pemerintah Tiongkok dan Hong Kong telah menggunakan rezim hukum keamanan nasional untuk berusaha membungkam para pengkritik di kalangan perantau, yang banyak di antaranya meninggalkan Hong Kong akibat penindasan yang semakin menjadi-jadi. Kepolisian Hong Kong telah mengeluarkan surat perintah penangkapan di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional yang tidak berdasar dan hadiah sebesar HK$1 juta (US$129.000) untuk 19 aktivis Hong Kong yang diasingkan dan tinggal di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Pemerintah juga telah mencabut paspor mereka.

Pihak berwenang juga telah membidik sumber pendanaan mereka. Pada tahun 2023, kepolisian Hong Kong menangkap 12 orang yang terkait dengan Dana Bantuan Kemanusiaan 612 yang kini telah ditutup, yang dituduh polisi memberikan dukungan finansial bagi para aktivis di pengasingan, dan empat orang lainnya karena berlangganan halaman Patreon milik dua aktivis yang "dicari".

Kepolisian Hong Kong juga telah mengusik keluarga para aktivis, menginterogasi dan menahan mereka, serta menggerebek rumah mereka. Pada bulan Februari, pihak berwenang menyita HK$800.000 (US$103.000) dari seorang aktivis berikut keluarganya. Dalam penuntutan pertama yang diketahui terhadap anggota keluarga seorang aktivis yang diasingkan, kepolisian keamanan nasional pada bulan April mendakwa ayah dari aktivis yang "buronan" Anna Kwok atas dugaan mengelola keuangannya, sebuah kejahatan SNSO yang dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara.

Pelecehan terhadap 19 aktivis ini semakin menjadi-jadi, baik di ranah daring maupun luring, termasuk pemerkosaan dan ancaman pembunuhan, beberapa di antaranya terkait dengan pemerintah Tiongkok. Pada tahun 2024, lebih dari dua lusin akun daring anonim berupaya menggerakkan orang-orang sayap kanan ekstrem untuk menyerang dua aktivis yang tinggal di Inggris. Pada tahun 2025, beberapa warga London menerima surat anonim yang mendesak mereka untuk menyerahkan dua aktivis "buronan" yang berbasis di Inggris ke kedutaan besar Tiongkok. Surat-surat serupa juga menyasar Ted Hui, seorang aktivis yang tinggal di Australia. Joe Tay, yang mencalonkan diri untuk jabatan publik di Kanada, terpaksa mengurangi kampanyenya karena khawatir akan keselamatannya setelah mengalami pelecehan daring. Kepolisian Hong Kong juga membawa keluarganya untuk diinterogasi.

Menulis ulang Sejarah

Pihak berwenang Hong Kong telah berupaya untuk menulis ulang sejarah karena lanskap informasi kota tersebut semakin didominasi oleh suara-suara yang pro-Beijing.

Pada tahun 2022, Biro Pendidikan Hong Kong menerbitkan empat set buku teks yang menyangkal bahwa Hong Kong pernah menjadi jajahan Inggris. Pada tahun 2023, kepolisian menayangkan sebuah program televisi yang menampilkan seorang aktivis muda di penjara, mengungkapkan penyesalannya karena pernah berpartisipasi dalam aksi protes tahun 2019 dengan gaya yang mirip dengan pengakuan paksa yang disiarkan televisi oleh Tiongkok terhadap para aktivis.

Pihak berwenang terus mencirikan gerakan protes tahun 2019 sebagai "kerusuhan berpakaian hitam" yang dipicu oleh "proksi asing". Selain itu, mereka telah memobilisasi sistem peradilan Hong Kong untuk menulis ulang satu peristiwa kontroversial selama protes tersebut berlangsung, ketika sejumlah preman pro-Beijing menyerang pengunjuk rasa dan pejalan kaki di sebuah stasiun kereta api.

Meskipun pihak berwenang saat itu menangkap beberapa terduga penyerang, mereka juga menangkap beberapa korban karena "kerusuhan" setelah Undang-Undang Keamanan Nasional diberlakukan, dan memvonis mereka dengan hukuman penjara antara 25 bulan dan 37 bulan. Serangan brutal tersebut – yang disaksikan oleh banyak warga Hong Kong – kini secara resmi digambarkan sebagai "perkelahian" antara "dua kelompok orang yang memiliki pandangan politik berbeda."

Menerapkan Kontrol Ideologis

Pemerintah Tiongkok dan Hong Kong telah menggunakan rezim keamanan nasional untuk memaksakan kendali ideologis terhadap penduduk Hong Kong.

Pihak berwenang telah merevisi kurikulum dan pedoman sekolah untuk mewajibkan indoktrinasi politik mulai taman kanak-kanak hingga sekolah dasar dan menengah, dengan tujuan "secara sistematis memupuk... rasa identitas nasional siswa sejak usia dini." Pada tahun 2023, pemerintah Hong Kong menghapus Liberal Studies, mata pelajaran wajib bagi sebagian besar siswa sekolah menengah yang mendorong pemikiran kritis, menudingnya sebagai penyebab aksi protes tahun 2019, lantas menggantinya dengan mata pelajaran yang menumbuhkan patriotisme dan mewajibkan perjalanan ke Tiongkok daratan. Siswa sekolah dasar didorong untuk melakukan perjalanan serupa. Siswa sekolah menengah diajarkan "Pemikiran Xi Jinping," sementara mahasiswa universitas yang didanai publik harus mengambil mata kuliah keamanan nasional.

Pemerintah juga menerapkan patriotisme secara lebih luas. Pemerintah menghukum perbedaan pendapat terhadap simbol-simbol nasional Tiongkok, yang secara gamblang diilustrasikan dengan pemberlakuan Undang-Undang Lagu Kebangsaan pada Juni 2020 untuk mempidanakan "penghinaan" terhadap lagu kebangsaan Tiongkok. Setidaknya enam orang telah ditangkap karena mencemooh saat lagu kebangsaan dikumandangkan, tidak berdiri saat lagu kebangsaan diputar, dan menyebarkan video yang menunjukkan lagu kebangsaan diganti dengan lagu protes "Glory to Hong Kong".

Pada saat yang sama, pihak berwenang memperingati 15 April sebagai Hari Pendidikan Keamanan Nasional, menyelenggarakan acara promosi di seluruh kota, dan membuat program untuk merekrut siswa dan masyarakat umum sebagai "duta" untuk mempromosikan keamanan nasional. Berbagai departemen pemerintah Hong Kong, yang tidak lagi netral secara politik, mendanai pertunjukan yang menampilkan penari berpakaian seperti Garda Merah Revolusi Kebudayaan.

Seorang anak berfoto di Akademi Layanan Pemasyarakatan Hong Kong selama Hari Pendidikan Keamanan Nasional di Hong Kong, 15 April 2023. © 2023 Louise Delmotte/AP Photo

Membangun Hong Kong "Khusus Patriot"

Semakin banyak warga Hong Kong yang berkarier dengan jangkauan sosial yang luas diharuskan lulus dalam ujian keamanan nasional, sementara mereka yang berada di posisi kepemimpinan diwajibkan untuk menunjukkan kesetiaan kepada Partai Komunis Tiongkok.

Sejak tahun 2020, media pemerintah Tiongkok telah mengidentifikasi dan menyerang hakim yang memutuskan melawan pemerintah atau membebaskan sejumlah pendukung pro-demokrasi. Setelah menjadi sasaran kampanye hitam tersebut, Hakim Sham Shiu-man pensiun dini dan meninggalkan Hong Kong pada tahun 2021.

Pada tahun 2021, pihak berwenang mewajibkan lebih dari 180.000 pegawai negeri sipil di Hong Kong untuk menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan kesetiaan mereka kepada pemerintah. Ratusan orang mengundurkan diri atau dipecat karena tak bisa melakukannya. Pegawai negeri sipil baru kini diwajibkan untuk menyatakan kesetiaan kepada pemerintah dan mengikuti pelatihan yang bertujuan untuk menanamkan patriotisme.

Mulai tahun 2023, para guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar serta menengah yang didanai publik diwajibkan untuk lulus ujian pengetahuan mereka tentang undang-undang keamanan nasional.

Pada tahun 2024, pemerintah Hong Kong mengubah peraturan terkait untuk melarang seumur hidup pekerja sosial yang dihukum karena pelanggaran keamanan nasional. Pemerintah juga merestrukturisasi Dewan Registrasi Pekerja Sosial, mengurangi proporsi anggota dewan terpilih, dan mewajibkan ketua dan wakil ketua dewan ditunjuk oleh kepala eksekutif. Dewan yang telah direstrukturisasi tersebut kemudian memberhentikan untuk sementara delapan pekerja sosial yang dinyatakan bersalah terkait protes tahun 2019.

Pada tahun 2025, pemerintah memperkenalkan revisi undang-undang serikat pekerja, yang akan secara permanen melarang mereka yang dihukum karena pelanggaran keamanan nasional untuk bergabung dengan serikat pekerja dan mewajibkan serikat pekerja untuk tidak menerima dana dari "kekuatan eksternal".

Bahkan orang terkaya di Hong Kong, Li Ka-shing, menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menunjukkan loyalitas. Pada tahun 2025, para pejabat Tiongkok dan surat kabar milik Beijing menekan Lee selama berminggu-minggu karena konglomerasinya berusaha menjual aset pelabuhan Terusan Panama kepada konsorsium perusahaan pimpinan AS. Surat kabar milik Beijing bahkan menyatakan bahwa kesepakatan itu dapat membahayakan keamanan nasional.

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country
Tags