Skip to main content

Human Rights Watch kembali menegaskan penyesalannya atas langkah Uni Eropa yang terus mengadakan dialog hak asasi manusia dengan Tiongkok, mengingat tidak adanya jaminan atau perbaikan yang dihasilkan setelah 39 kali pertemuan. Sekali lagi, kami menyerukan agar dialog HAM tersebut ditangguhkan dan menggantinya dengan tindakan yang lebih bermakna dan berdampak, karena para pejabat Tiongkok tidak terlibat dalam dialog tersebut dengan maksud untuk mempertimbangkan perubahan kebijakan dan mengadopsi reformasi yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hak asasi manusia mereka.

Tahun 2025 ini penting dalam hubungan Uni Eropa-Tiongkok karena menandai peringatan 50 tahun hubungan bilateral mereka. Namun, ini bukanlah waktu untuk merayakannya karena pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Tiongkok di dalam maupun luar negeri terus berlanjut. Khususnya, Ilham Tohti, penerima Penghargaan Sakharov dari Parlemen Eropa untuk Kebebasan Berpikir pada tahun 2019, tetap dipenjara seumur hidup atas tuduhan yang dibuat-buat, dalam sel isolasi, tanpa bisa menemui keluarganya.

Selama lebih dari 10 tahun pemerintahan Presiden Xi Jinping, pemerintah Tiongkok semakin keras menindas warganya di seluruh negeri. Pihak berwenang telah secara sewenang-wenang menahan banyak pembela hak asasi manusia, memperketat kontrol terhadap masyarakat sipil, media, dan internet, serta menggunakan teknologi pengawasan massal yang invasif di seluruh wilayahnya. Pemerintah memberlakukan kontrol yang sangat ketat di Xinjiang dan Tibet. Persekusi kebudayaan dan penahanan sewenang-wenang terhadap orang Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang sejak akhir tahun 2016 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan ratusan ribu orang masih mendekam di penjara meskipun pemerintah Tiongkok berupaya berpura-pura bahwa semuanya “normal” di Xinjiang. Di Hong Kong, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang kejam pada tahun 2020 dan Undang-Undang Perlindungan Keamanan Nasional pada tahun 2024 yang secara sistematis menghancurkan kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul.

Pemerintah Tiongkok juga terus berupaya membungkam para aktivis dan kritikus di negara-negara lain, termasuk di Uni Eropa, dengan berbagai taktik intimidasi, termasuk pelecehan terhadap keluarga mereka di Tiongkok, suatu bentuk hukuman kolektif yang dilarang oleh hukum hak asasi manusia internasional. Lebih jauh lagi, diplomat Tiongkok dan organisasi yang didukung pemerintah mempromosikan narasi Beijing di lembaga-lembaga multilateral, termasuk Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, demi menutupi berbagai kekejamannya di dalam negeri dan semakin meminggirkan hak asasi manusia serta lebih memprioritaskan kekuasaan negara.

Dalam konteks ini, kami tidak menganggap dialog HAM sebagai instrumen yang tepat untuk menyelesaikan penindasan Beijing yang parah dan sistematis. Kami mencatat bahwa siaran pers Uni Eropa setelah putaran dialog sebelumnya mencakup kecaman keras atas pelanggaran HAM oleh pemerintah Tiongkok, dan kami mendorong hal yang sama dilakukan di putaran berikutnya, bersama dengan penyampaian indikasi kekhawatiran atas kurangnya kemajuan dan perlunya mengeksplorasi penggunaan berbagai instrumen lain. Kami juga mendorong European External Action Service (EEAS) untuk kembali melaporkan kepada negara-negara anggota tentang kurangnya kemajuan dari waktu ke waktu, merekomendasikan mekanisme baru yang lebih memadai serta bermakna yang sepadan dengan beratnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok, dan menekankan perlunya Uni Eropa untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi Tiongkok melalui pendekatan “seluruh Uni Eropa” yang akan mengaitkan isu hak asasi manusia dalam semua aspek hubungannya dengan Tiongkok.

Semestinya Uni Eropa berkomitmen untuk terus menggunakan Rezim Sanksi Hak Asasi Manusia Globalnya terhadap individu serta entitas yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, dan mempertimbangkan sanksi tambahan yang ditujukan terhadap pejabat pemerintah dan entitas yang bertanggung jawab dalam merancang dan menerapkan berbagai kebijakan yang semena-mena di Tiongkok, terutama di Hong Kong, Tibet, dan Xinjiang, bekerja sama dengan mitra yang punya pandangan sejalan. Uni Eropa juga seyogianya mencari akses tanpa batas dan timbal balik ke Tibet, Xinjiang dan seluruh Tiongkok untuk para diplomat asing, anggota parlemen, pakar PBB, jurnalis, dan organisasi nonpemerintah. Negara-negara anggota Uni Eropa tidak boleh hanya menyerahkan berkas hak asasi manusia kepada EEAS, tetapi seharusnya secara proaktif memprioritaskan masalah tersebut dalam interaksi dan hubungan bilateral mereka sendiri dengan otoritas Tiongkok, termasuk dalam negosiasi terkait perdagangan. Seharusnya Uni Eropa dan negara-negara anggotanya terus secara terbuka melakukan konfrontasi terhadap Tiongkok terkait pelanggaran hak asasi manusianya dalam hubungan bilateral dan multilateral, termasuk di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Pengajuan ini mencakup sejumlah rekomendasi tentang apa yang seharusnya diangkat oleh Uni Eropa dalam semua interaksinya dengan otoritas Tiongkok, termasuk di tingkat tertinggi, diikuti dengan tinjauan umum seputar tren utama hak asasi manusia di Tiongkok selama setahun terakhir dan secara spesifik tentang situasi di Hong Kong, Xinjiang, Tibet, penindasan transnasional, kebebasan beragama, para pembela hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan hak-hak perempuan dan anak perempuan, serta hak-hak tenaga kerja.

Sejumlah Rekomendasi Utama

Selama dialog hak asasi manusia yang akan datang dengan Tiongkok, Uni Eropa seharusnya:

  1. Xinjiang

Mendesak otoritas Tiongkok untuk mengakhiri kejahatan terhadap kemanusiaan dan berbagai pelanggaran lainnya terhadap orang Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang, serta menerapkan sejumlah rekomendasi dari laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) pada bulan Agustus 2022 tentang Xinjiang, termasuk:

  • Segera dan tanpa syarat membebaskan semua orang yang masih ditahan secara sewenang-wenang dan dipenjara secara tidak adil.
  • Menghentikan semua program kerja paksa yang diterapkan negara terhadap orang-orang Uighur di Xinjiang atau di tempat lain melalui transfer tenaga kerja.
  • Menyelidiki dan secara pantas mengadili para pejabat pemerintah yang terlibat dalam pelanggaran serius hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Memberikan akses tanpa batas kepada para pemantau independen, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Prosedur Khusus PBB untuk mengunjungi Xinjiang.
  • Berkomitmen untuk menindaklanjuti laporan OHCHR tahun 2022 dengan melakukan investigasi independen dan mengambil semua langkah yang diperlukan guna memajukan akuntabilitas.

Semestinya Uni Eropa menegaskan kembali bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat lainnya di kawasan tersebut tetap menjadi hambatan serius bagi hubungan perdagangan antara Uni Eropa dan Tiongkok.

  1. Hong Kong

Mendesak pihak berwenang Tiongkok untuk:

  • Mencabut dua undang-undang keamanan nasional yang kejam yang diberlakukan di Hong Kong.
  • Membebaskan semua pemimpin, aktivis, dan mantan legislator pro-demokrasi yang ditahan dan dipenjara karena memperjuangkan hak-hak asasi mereka.
  • Mencabut surat perintah penangkapan dan imbalan untuk 19 aktivis Hong Kong yang berada di pengasingan dan menghentikan pelecehan terhadap keluarga mereka di Hong Kong.
  • Memastikan bahwa National People’s Congress Standing Committee atau Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok membatalkan keputusannya pada bulan November 2020 yang mendiskualifikasi para legislator Hong Kong yang terpilih dan mengizinkan warga Hong Kong untuk memilih kandidat yang mereka inginkan sebagai Kepala Eksekutif dan Dewan Legislatif.
  1. Tibet

Menyerukan kepada otoritas Tiongkok untuk:

  • Menjunjung tinggi hak rakyat Tibet atas kebebasan beragama, termasuk hak mereka untuk mengakui pemimpin agama mereka sendiri, dan membebaskan Panchen Lama, Gedhun Choekyi Nyima, yang diculik dan dihilangkan secara paksa pada usia 6 tahun pada tahun 1995.
  • Menegaskan kembali hak-hak kalangan minoritas yang telah ditetapkan untuk mendapatkan pendidikan bahasa ibu di sekolah-sekolah dan memastikan bahwa semua anak Tibet dapat belajar dan menggunakan bahasa Tibet sebagai bahasa pengantar.
  • Menghentikan pemaksaan atau tekanan yang tidak pantas terhadap masyarakat agar menyetujui rencana pemerintah melakukan relokasi dan secara tepat menghukum atau mendakwa pejabat yang melakukannya.
  • Bertindak untuk melindungi bukan justru merusak cara hidup orang Tibet.
  • Mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat untuk memastikan agar orang Tibet dan warga lainnya bisa terlibat dalam kegiatan damai guna menyampaikan kekhawatiran dan kritik.
  1. Penggunaan teknologi pengawasan

Mendesak otoritas Tiongkok untuk:

  • Menghormati privasi dan kebebasan berekspresi warga di Tiongkok dan menghentikan penggunaan pengawasan massal terhadap masyarakat di seluruh Tiongkok, terutama di Xinjiang dan Tibet.
  • Menghentikan penganiayaan terhadap orang Uighur dan Tibet karena menghubungi orang-orang di luar negeri melalui penggunaan telepon dan internet bermotif politik.
  1. Penindasan transnasional

Mendesak otoritas Tiongkok untuk:

  • Menghentikan pelecehan terhadap para kritikus yang tinggal di luar negeri dan ancaman terhadap anggota keluarga orang-orang itu demi membungkam mereka atau menjadikan anggota keluarga sebagai “sandera” untuk memastikan bahwa kerabat lain yang bepergian terpaksa kembali ke Tiongkok.
  • Memberi akses tanpa batas kepada para pejabat PBB dan Uni Eropa untuk mengunjungi 40 orang Uighur yang dipulangkan paksa dari Thailand pada bulan Februari 2025.
  • Berkomitmen secara terbuka untuk mengakhiri aksi pembalasan terhadap para pembela hak asasi manusia, termasuk mereka yang terlibat dalam proses PBB dan mekanisme akuntabilitas internasional lainnya.
  1. Hak-hak perempuan

Mendesak pihak berwenang Tiongkok untuk:

  • Menghentikan segala bentuk pelecehan, intimidasi, dan penahanan sewenang-wenang terhadap para aktivis hak-hak perempuan.
  1. Pembela hak asasi manusia dan tahanan politik

Mendesak otoritas Tiongkok untuk membebaskan, antara lain:

  • Cendekiawan Uighur Ilham Tohti, penerima Penghargaan Sakharov;
  • Etnografer Uighur Rahile Dawut;
  • “Manusia Jembatan” Peng Lifa;
  • Pengacara hak asasi manusia yaitu Gao Zhisheng, yang dihilangkan secara paksa, dan Xu Zhiyong serta Ding Jiaxi, dua pengacara lain yang dipenjara;
  • Gui Minhai, penjual buku warga negara Swedia;
  • Pengacara hak asasi manusia Yu Wensheng, ditangkap pada tanggal 14 April 2024 dalam perjalanannya untuk menemui delegasi Uni Eropa di Beijing, bersama istrinya, Xu Yan, yang juga seorang pembela hak asasi manusia. Xu Yan dibebaskan pada Januari 2025 setelah menyelesaikan hukumannya;
  • Taipan media pro-demokrasi Jimmy Lai dan 45 tokoh pro-demokrasi di Hong Kong yang dijatuhi hukuman berat pada tanggal 19 November 2024 dengan dakwaan kejahatan keamanan nasional yang tidak berdasar.

Sembari menunggu pembebasan mereka, semestinya semua tahanan dan narapidana diberi akses untuk menemui keluarga, pengacara pilihan mereka, dan menerima perawatan kesehatan yang dibutuhkan.

Ringkasan Peristiwa tahun 2024

Selama lebih dari satu dekade pemerintahan Presiden Xi Jinping, upaya untuk memusatkan kendali telah memicu meningkatnya penindasan di seluruh negeri. Tidak ada masyarakat sipil yang independen, tidak ada kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul atau beragama, dan pembela hak asasi manusia serta kritikus pemerintah dianiaya. Pemerintah menganggap orang Tibet dan Uighur yang berbeda secara budaya dan etnis sebagai ancaman dan menjadikan mereka sasaran penindasan yang kejam. Ratusan ribu orang Uighur yang masih dipenjara sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah di wilayah tersebut. Pemerintah juga telah mengakhiri kebebasan sipil yang telah lama dilindungi di Hong Kong. Meski pemerintah sejumlah negara mengakui catatan hak asasi manusia pemerintah Tiongkok yang memburuk, mereka tidak pernah mengkonfrontasi Beijing.

Tibet

Pihak berwenang secara ketat terus-menerus mengendalikan informasi di wilayah Tibet dan menanggapi keprihatinan publik atas berbagai isu seperti relokasi massal, degradasi lingkungan, atau peminggiran bahasa Tibet di pendidikan dasar dengan penindasan.

Informasi sangat dibatasi, tetapi sebagian besar penahanan sewenang-wenang yang dilaporkan oleh media di pengasingan dipicu oleh sejumlah unggahan konten daring yang tidak disetujui atau melakukan kontak daring dengan warga Tibet di luar Tiongkok. Warga Tibet yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut telah dijatuhi hukuman penjara selama bertahun-tahun.

Pada bulan Februari dan Maret 2024, ratusan biksu dan warga desa di daerah Derge, Sichuan, dilaporkan ditahan karena memprotes pembangunan bendungan tenaga air yang akan menenggelamkan biara-biara bersejarah dan sejumlah desa di Tibet.

Hong Kong

Pada bulan Maret 2024, Pemerintah Hong Kong memberlakukan undang-undang keamanan nasional lain, Undang-Undang Perlindungan Keamanan Nasional (SNSO), setelah pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional yang kejam pada tahun 2020. SNSO mengkriminalisasi kegiatan damai, memperluas kekuasaan polisi, dan menggantikan undang-undang penghasutan era kolonial, dengan menaikkan hukuman maksimal untuk “penghasutan” dari dua menjadi tujuh tahun penjara.

Setelah SNSO diberlakukan, polisi menangkap enam orang pada bulan Mei 2024, termasuk aktivis terkemuka Chow Hang-tung yang sudah dipenjara, atas dugaan menerbitkan unggahan “penghasutan” secara daring untuk memperingati Pembantaian Tiananmen tahun 1989. Tiga orang dijatuhi hukuman antara 10 hingga 14 bulan penjara dengan tuduhan “penghasutan” karena mengenakan kaus oblong, membuat unggahan daring, dan menggambar grafiti pro-demokrasi di sejumlah bus. Pemerintah Hong Kong menggunakan kewenangan baru di bawah SNSO untuk mencabut paspor Hong Kong milik enam aktivis yang diasingkan dan menolak pembebasan lebih awal sejumlah tahanan politik karena berkelakuan baik.

Pada bulan Mei 2024, tiga hakim yang khusus ditunjuk untuk menangani kasus keamanan nasional memvonis 14 aktivis dan mantan anggota parlemen Hong Kong atas tuduhan “konspirasi untuk melakukan subversi” dalam persidangan keamanan nasional terbesar di kota itu hingga saat ini, di mana 31 terdakwa lain sebelumnya telah mengaku bersalah. Pada bulan November, pengadilan telah menjatuhkan hukuman penjara mulai dari 4 tahun 2 bulan hingga 10 tahun kepada ke-45 orang tersebut.

Setidaknya 304 orang telah ditangkap karena diduga melanggar Undang-Undang Keamanan Nasional, SNSO, dan undang-undang “penghasutan” yang telah dicabut sejak tahun 2020. Di antara 176 orang yang didakwa, 161 orang telah dihukum. Menurut data kepolisian, 10.279 orang telah ditangkap terkait demonstrasi pro-demokrasi tahun 2019, di antaranya 2.328 orang “menghadapi konsekuensi hukum” termasuk dijatuhi hukuman, banyak di antaranya karena kejahatan tanpa kekerasan seperti “pertemuan yang melanggar hukum”.

Kebebasan pers semakin terpuruk. Sidang pengadilan keamanan nasional terhadap taipan media Jimmy Lai, yang dimulai pada bulan Desember 2023, masih berlangsung. Lai yang berusia 76 tahun telah ditahan dalam sel isolasi sejak Desember 2020. Pada bulan September, dua jurnalis dari Stand News yang kini sudah tidak beroperasi lagi dijatuhi hukuman masing-masing 21 dan 11 bulan penjara atas tuduhan “penghasutan.” Pada bulan itu, pemerintah menolak permohonan visa kerja dan izin masuk ke kota itu yang diajukan seorang jurnalis foto dari Associated Press yang mengambil foto Jimmy Lai di penjara.

Pemerintah Hong Kong telah berulang kali melecehkan Asosiasi Jurnalis Hong Kong, termasuk mengajukan klaim pajak tertunggak sebesar HK$400.000 (±Rp837 juta). Radio Free Asia yang didanai Amerika Serikat menutup kantornya di Hong Kong pada Mei 2024.

Pihak berwenang membatasi kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul. Pada tanggal 4 Juni 2024, polisi menangkap sedikitnya sembilan orang karena memegang sejumlah poster, menyalakan lilin, atau menyalakan senter ponsel di dekat Victoria Park, tempat peringatan Pembantaian Tiananmen berlangsung sebelum tahun 2020.

Pemerintah juga mengekang kebebasan berekspresi. Pada bulan Mei, Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa peraturan pemerintah untuk memblokir penggunaan lagu aksi demonstrasi yang populer tahun 2019 “Glory to Hong Kong” adalah sah menurut hukum. Distributor asal Skotlandia dan Amerika Serikat berulang kali menghapus lagu tersebut dari platform streaming meskipun perintah tersebut tidak memiliki efek ekstrateritorial. Pada bulan Oktober, otoritas Hong Kong tampaknya memblokir akses beberapa pengguna internet Hong Kong ke Flow HK, sebuah majalah daring yang berbasis di Amerika Serikat.

Pada bulan Januari, Dewan Pengembangan Seni Hong Kong yang didanai pemerintah menarik pendanaannya untuk Penghargaan Drama Hong Kong, sementara Departemen Layanan Budaya dan Rekreasi menolak menyediakan tempat untuk acara penghargaan tersebut.

Xinjiang

Pemerintah Tiongkok telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap orang Uighur dan Muslim Turki lainnya sebagai bagian dari “Kampanye Gebuk Keras terhadap Terorisme dengan Kekerasan” yang kejam. Pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang meliputi penahanan massal sewenang-wenang, penyiksaan, pengawasan massal, kerja paksa, penganiayaan budaya dan agama, dan pemisahan keluarga.

Pemerintah Tiongkok telah berulang kali menyangkal adanya berbagai pelanggaran ini. Menanggapi sejumlah rekomendasi relevan yang dibuat selama Tinjauan Berkala Universal atas catatan hak asasi manusianya oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Januari 2024, pemerintah Tiongkok menolak laporan PBB bulan Agustus 2022 yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran ini, termasuk dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai “ilegal dan batal demi hukum.” Pada bulan Agustus, OHCHR melaporkan bahwa “banyak undang-undang dan kebijakan bermasalah” yang mendasari laporan PBB tahun 2022 masih berlaku dan mencatat tantangan dalam memantau situasi adalah karena “terbatasnya akses atas informasi serta ketakutan akan adanya pembalasan terhadap individu yang terlibat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.” Pada bulan September, Amerika Serikat menyampaikan pernyataan bersama di Dewan Hak Asasi Manusia PBB atas nama “kelompok negara inti” yang sebelumnya mengupayakan pembahasan khusus tentang situasi tersebut oleh badan hak asasi PBB, yang menyerukan kepada pemerintah Tiongkok untuk “terlibat secara bermakna” dengan PBB untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan tersebut.

Pernyataan resmi Tiongkok terus menegaskan kampanye kejamnya, yang mencampuradukkan perilaku damai sehari-hari orang Uighur dengan terorisme dan ekstremisme. Pada bulan Mei, seorang pejabat tinggi pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas urusan politik dan hukum, Chen Wenqing, mengatakan pemerintah akan “terus menindak kejahatan teroris yang kejam” dan “memajukan legalisasi dan normalisasi kontraterorisme dan pemeliharaan stabilitas” di wilayah Uighur.

Sekitar setengah juta orang telah dijatuhi hukuman penjara yang panjang tanpa proses hukum selama Kampanye Gebuk Keras, dan banyak yang masih dipenjara, termasuk Rahile Dawut, Gulshan Abbas, Perhat Tursun, Adil Tuniyaz, Yalqun Rozi, dan Ekpar Asat. Cendekiawan Uighur terkemuka Ilham Tohti telah berada 10 tahun di penjara sebagai bagian dari hukuman seumur hidup yang tidak adil atas tuduhan “separatisme.”

Pada bulan Februari, Tiongkok merevisi sejumlah peraturan di Xinjiang untuk lebih memperketat kontrol atas praktik keagamaan, yang mengatur termasuk penampilan, jumlah, lokasi, dan ukuran tempat ibadah, dan mewajibkan tempat-tempat tersebut menjadi lokasi pelatihan yang memajukan nilai-nilai Partai Komunis Tiongkok kepada masyarakat.

Sebuah laporan Human Rights Watch menemukan bahwa sejumlah merek mobil global memiliki risiko yang semakin meningkat terhadap paparan pekerja paksa Uighur dalam rantai pasokan aluminium mereka, menambah banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa pekerja paksa Uighur mencemari industri secara global, termasuk panel surya, mobil, pakaian, makanan laut, dan mineral penting. Sejak Amerika Serikat memberlakukan Undang-Undang tentang Pencegahan Kerja Paksa Warga Uighur pada tahun 2022, pemerintah Amerika Serikat telah menolak masuknya barang senilai $750 juta (Rp12 triliun) yang punya kaitan dengan kerja paksa di Xinjiang. Uni Eropa menyetujui sebuah undang-undang pada bulan Desember yang melarang impor dan ekspor barang-barang yang terkait dengan kerja paksa.

Kebebasan Berekspresi

Pemerintah Tiongkok mengendalikan semua saluran informasi utama, seperti televisi, radio, dan publikasi cetak. “Tembok Api Besar”-nya menghalangi masyarakat di Tiongkok untuk mengakses informasi yang umumnya tersedia di internet. Pemerintah juga memaksakan kontrol ideologis atas sistem pendidikan.

Meskipun sebagian besar orang di Tiongkok terbiasa melakukan swasensor, beberapa cerita—yang tidak mempertanyakan legitimasi Partai Komunis Tiongkok—kadang-kadang menarik perhatian masyarakat luas. Laporan investigasi sebuah media Tiongkok tentang pencemaran minyak goreng pada bulan Juli dan unggahan Yi Shenghua, seorang pengacara Tiongkok, pada bulan Agustus yang mengungkap soal perdagangan jasad manusia secara ilegal menarik perhatian publik secara luas. Kedua berita tersebut seketika disensor oleh penyensoran dan sanksi resmi.

Ada banyak contoh penyensoran sepanjang tahun 2024. Pada Januari 2024, aparat kepolisian di Shanghai menangkap sutradara film dokumenter Chen Pinlin (“Plato”) karena karyanya yang mengangkat persoalan demo Buku Putih 2022.

Pihak berwenang terus memperbarui rezim penyensoran dan pengawasan negara untuk memperketat kontrol. Pada bulan Februari, Undang-Undang Rahasia Negara direvisi dan peraturan pelaksanaannya diterbitkan pada bulan Juli, memperluas cakupan undang-undang yang sudah terlalu luas. Pada bulan Juli, pemerintah mengusulkan sistem kartu identitas digital nasional yang baru. Kartu tersebut, yang seolah-olah bersifat sukarela, akan semakin memungkinkan berbagai lembaga negara untuk melacak orang secara daring dan luring.

Topik-topik yang sebelumnya ditoleransi kini menjadi terlarang. Di tengah kondisi ekonomi Tiongkok yang goyah, pemerintah telah melarang berbagai diskusi yang membahas kebijakan ekonomi negara dan menghukum mereka yang mengkritiknya. Pada bulan September, seorang ekonom terkemuka Akademi Ilmu Sosial Tiongkok menghilang setelah ia meremehkan kebijakan ekonomi Presiden Xi dalam sebuah grup WeChat pribadi. Juga pada bulan September, polisi Beijing menahan seniman asal Amerika Serikat Gao Zhen, yang terkenal karena karyanya yang mengkritik mendiang pemimpin Tiongkok Mao Zedong, dengan tuduhan “memfitnah para pahlawan dan martir Tiongkok” saat ia mengunjungi negara tersebut. Kedua topik tersebut – kebijakan ekonomi Tiongkok dan warisan Mao yang membawa bencana – merupakan topik yang bisa didiskusikan secara terbuka di Tiongkok sampai beberapa waktu lalu.

Kontrol informasi yang diperkuat oleh pemerintah Tiongkok menghadirkan dampak internasional, karena telah menyasar para pengkritik Tiongkok di pengasingan dan warga negara asing di luar negeri. “Guru Li,” yang mengumpulkan berita dan video dari seluruh Tiongkok dan menyiarkannya di X, mengungkapkan bahwa ia mengalami pelecehan di Italia, tempat ia tinggal. Polisi Tiongkok juga telah menginterogasi para pengikutnya di Tiongkok. Pada bulan Agustus, laporan investigasi memaparkan bagaimana orang-orang yang berafiliasi dengan pemerintah Tiongkok telah mengintimidasi dan menyerang para pengunjuk rasa Tiongkok, Hong Kong, dan Tibet selama kunjungan Xi ke San Francisco sebelumnya.

Hukuman sembilan tahun penjara yang dijatuhkan pemerintah Tiongkok terhadap aktivis politik Taiwan Yang Chih-yuan atas tuduhan “separatisme,” dan hukuman mati yang ditangguhkan terhadap penulis naturalisasi Australia Yang Hengjun atas tuduhan “spionase” menarik perhatian luas di negara-negara tersebut. Pada bulan Februari, penghargaan terkemuka Hugo Awards untuk fiksi ilmiah diduga melakukan swasensor dan mengecualikan beberapa penulis untuk dipertimbangkan dalam penghargaan tahun 2023 sebelum pelaksanaan acaranya di Tiongkok.

Kebebasan Beragama

Pemerintah Tiongkok hanya mengizinkan masyarakat memeluk lima agama yang diakui secara resmi di tempat-tempat yang telah disetujui, dan mempertahankan kendali atas pengangkatan staf, publikasi, keuangan, dan pendaftaran seminari.

Sejak tahun 2016, ketika Presiden Xi menyerukan “Sinifikasi” agama, pihak berwenang telah berupaya untuk membentuk ulang agama untuk mempromosikan kesetiaan kepada Partai dan Xi. Mereka telah meningkatkan pendidikan ideologi bagi para pemimpin agama. Mereka telah menghapus materi keagamaan yang “tidak sah” di dunia maya, termasuk dengan jalan menghapus aplikasi dan video keagamaan, dan melecehkan mereka yang membuat dan membagikan materi-materi tersebut.

Kepolisian secara rutin menangkap, menahan, dan melecehkan para pemimpin dan anggota berbagai kelompok agama “ilegal”, termasuk umat Katolik dan Protestan (atau “gereja-gereja rumah”) yang menolak bergabung dengan gereja-gereja resmi, dan mengganggu kegiatan damai mereka. Sepanjang tahun 2024, orang-orang ini didakwa dan dihukum karena kejahatan yang dibuat-buat. Pada bulan Juli, Zhang Chunlei, pemimpin gereja rumah yang bernama Gereja Reformasi Ren'ai, dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena “menghasut subversi” dan “penipuan.” Pemerintah terus mengelompokkan beberapa kelompok agama, terutama Falun Gong, sebagai “aliran sesat jahat,” dan menjadikan anggota mereka sasaran pelecehan, pemenjaraan sewenang-wenang, dan penyiksaan.

Pada bulan Oktober, Vatikan memperbarui untuk ketiga kalinya kesepakatan Tiongkok-Vatikan 2018, yang memberikan kepada otoritas Tiongkok kekuasaan untuk menunjuk uskup Katolik bahkan ketika mereka terus mempersekusi gereja-gereja rumah dan para pemimpin Katolik, terutama Uskup Cui Tai.

Pada bulan September, pemerintah membebaskan pendeta Tionghoa-Amerika David Lin, setelah ia menjalani hukuman hampir 20 tahun penjara.

Pembela HAM

Para pembela hak asasi manusia di Tiongkok sering dilecehkan, disiksa, dan dipenjara. Polisi juga melecehkan keluarga mereka, termasuk anak-anak. Beberapa dari mereka, seperti pengacara Gao Zhisheng dan Peng Lifa, yang dikenal sebagai “Manusia Jembatan” karena memajang spanduk-spanduk antipemerintah di depan umum, sampai saat ini masih hilang secara paksa.

Pada bulan Februari, aktivis hak-hak perempuan Li Qiaochu dijatuhi hukuman hampir empat tahun penjara karena berbicara tentang kondisi penahanan yang dihadapi oleh pasangannya dan sesama aktivis Xu Zhiyong. Dia dibebaskan pada bulan Agustus setelah menyelesaikan hukumannya, setelah ditahan sejak tahun 2021. Pada bulan Oktober, Xu Zhiyong melakukan mogok makan untuk memprotes perlakuan tidak manusiawi yang diterimanya di penjara.

Pihak berwenang Tiongkok membebaskan jurnalis warga Zhang Zhan pada bulan Mei setelah dia menjalani hukuman empat tahun penjara karena membuat laporan tentang pandemi Covid-19. Mereka kembali menahannya pada akhir Agustus dan pada bulan November menangkapnya karena “menciptakan kerusuhan.”

Pada bulan Juni, jurnalis feminis Huang Xueqin dan aktivis hak buruh Wang Jianbing dijatuhi hukuman penjara masing-masing lima dan tiga tahun enam bulan karena “menghasut subversi kekuasaan negara” atas keterlibatan utama mereka dalam Gerakan #MeToo.

Pada bulan Oktober, pengacara hak asasi manusia Yu Wensheng dan istrinya, aktivis hak asasi manusia Xu Yan, dihukum karena “menghasut subversi kekuasaan negara”. Yu dijatuhi hukuman tiga tahun penjara sementara Xu dijatuhi hukuman 21 bulan penjara. Mereka dibawa ke penjara saat dalam perjalanan untuk bertemu dengan delegasi Uni Eropa ke Tiongkok pada bulan April 2023.

Penindasan Transnasional

Pemerintah Tiongkok sering melecehkan para pembela hak asasi manusia dan aktivis Tiongkok yang tinggal di luar negeri. Pada bulan Februari 2025, Human Rights Watch mendokumentasikan bahwa pemerintah Tiongkok hanya mengizinkan kunjungan terbatas bagi orang Uighur dari diaspora ke Xinjiang jika sudah melalui proses pemeriksaan yang ketat dan dengan tujuan yang jelas-jelas untuk menampilkan citra normal di hadapan publik. Begitu tiba di Xinjiang, beberapa orang diinterogasi, diharuskan untuk menginap di hotel atau mengikuti tur yang diselenggarakan secara resmi, yang menjadi alat pihak berwenang untuk bisa terus menerapkan kontrol atas kalangan diaspora.

Human Rights Watch mendokumentasikan bahwa pihak berwenang Tiongkok mengintimidasi orang-orang dari Tiongkok, termasuk dari Xinjiang, Tibet, dan Mongolia Dalam, yang tinggal di Jepang dan terlibat dalam sejumlah kegiatan yang mengkritisi pemerintah Tiongkok. Taktik-taktik, termasuk intimidasi terhadap anggota keluarga di kampung halaman, tampaknya ditujukan untuk menghalangi anggota diaspora melakukan protes atau terlibat dalam kegiatan yang dianggap sensitif secara politik. Kasus-kasus ancaman atau pelecehan terhadap orang-orang dari Tiongkok juga didokumentasikan terjadi di Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Ada peningkatan laporan mengenai tekanan yang dikaitkan dengan Tiongkok terhadap para mahasiswa di luar negeri serta yang ditujukan untuk menghalangi penelitian asing memberikan komentar kritis terhadap kebijakan Tiongkok.

Baru-baru ini, otoritas Hong Kong mengambil tindakan yang tak pernah terjadi sebelumnya yaitu dengan mendakwa anggota keluarga aktivis yang berada di pengasingan, Anna Kwok, dengan tuduhan kejahatan keamanan nasional sebagai upaya untuk membungkamnya. Ini menunjukkan eskalasi penggunaan penindasan lintas batas oleh pemerintah Tiongkok, sebagaimana yang diserukan oleh 87 kelompok hak asasi internasional dan diaspora, termasuk Human Rights Watch, dalam dua pernyataan bersama.

Hak-Hak Perempuan dan Anak Perempuan

Diskriminasi gender dalam pekerjaan masih terjadi secara luas sementara kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual yang kian mengkhawatirkan telah menjadi perhatian publik dalam beberapa tahun terakhir.

Penurunan tingkat kesuburan di Tiongkok telah mendorong pemerintah untuk beralih dari pembatasan kelahiran menjadi desakan bagi perempuan untuk menikah dan kembali ke “kebajikan tradisional” dengan cara yang melemahkan kesetaraan gender.

Dorongan pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran terbatas pada pasangan heteroseksual yang menikah. Dalam sebuah kasus penting, sebuah pengadilan di Beijing menolak upaya banding terakhir Xu Zaozao untuk membekukan sel telurnya, yang merupakan pukulan bagi hak-hak reproduksi perempuan lajang.

Pada bulan Agustus, pemerintah Tiongkok mengusulkan rancangan undang-undang yang telah direvisi untuk menyederhanakan pendaftaran pernikahan sekaligus menambahkan periode “masa tenang 30 hari” yang kejam untuk mempersulit perceraian.

Orientasi Seksual dan Identitas Gender

Meski penerimaan publik terhadap persamaan hak bagi orang LGBT di Tiongkok semakin meningkat, peningkatan represi juga mengakibatkan penyensoran yang lebih besar dan penutupan ruang-ruang dan kelompok-kelompok advokasi bagi kalangan LGBT.

Pada bulan Januari, Weibo menyensor foto dan video viral selebritas transgender Jin Xing, yang memegang bendera pelangi dengan slogan “cinta adalah cinta, cinta dan gender tidak ada kaitannya.” Salah satu dari sedikit bar lesbian yang masih tersisa di Tiongkok, Roxie, ditutup pada bulan Juni, diduga akibat tekanan pihak berwenang.

Pada bulan Agustus, putusan hak asuh yang dikeluarkan oleh sebuah pengadilan di Beijing menjadi pengakuan hukum pertama di Tiongkok bahwa seorang anak bisa memiliki dua ibu. Namun, si pemohon, Didi, diputus tidak bisa berkontak dengan putranya dengan alasan bahwa dia tidak melahirkannya dan tidak memiliki hubungan genetik dengan sang putra.

Kebijakan dan Dampak Perubahan Iklim

Tiongkok adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, produsen dan konsumen batu bara terbesar, serta importir minyak dan gas terbesar. Bank-banknya termasuk di antara pemodal terbesar operasi bahan bakar fosil di dunia.

Meskipun targetnya ditingkatkan, Climate Action Tracker menilai target pengurangan emisi domestik Tiongkok sebagai “sangat tidak memadai” untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris guna membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas level pra-industri. Peristiwa cuaca ekstrem yang disebabkan oleh pemanasan global menjadi lebih sering terjadi di seluruh Tiongkok dan diproyeksikan akan meningkat frekuensi dan tingkat keparahannya.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country