Pada tanggal 12 Juli, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese akan bertolak ke Beijing untuk menghadiri “pertemuan tahunan para pemimpin” lanjutan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Mereka akan membahas isu-isu global dan regional maupun isu-isu bilateral terkait perdagangan dan pariwisata.
Pernyataan pemerintah Australia yang mengumumkan kunjungan tersebut sama sekali tidak menyinggung soal hak asasi manusia. Pernyataan tersebut hanya samar-samar menyebutkan bahwa keterlibatan langsung “pada tingkat tertinggi memungkinkan penyelesaian perbedaan.” Secara konsisten, hal ini telah menjadi cara pemerintah Albanese untuk mengesampingkan isu-isu hak asasi manusia yang mengganggu menjadi tak lebih dari sekadar perselisihan, sebuah “titik pertikaian.” Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hak asasi manusia bersifat universal, dilindungi, dan dijunjung tinggi melalui sistem aturan dan tata kelola global yang berlaku bagi semua hak dan kebebasan fundamental kita.
Pemerintah Tiongkok adalah salah satu negara paling represif, dan Hong Kong menjadi studi kasus yang menyedihkan dalam hal ini. Melalui penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional yang mengerikan pada tahun 2020, undang-undang tersebut secara efektif mengakhiri semi-demokrasi yang sebelumnya dinikmati Hong Kong.
Human Rights Watch telah mendokumentasikan bagaimana otoritas Tiongkok dan Hong Kong hampir sepenuhnya mencabut kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul; pemilu yang bebas dan adil; serta hak atas pengadilan yang adil serta independensi peradilan. Human Rights Watch baru-baru ini mendokumentasikan penganiayaan dan pembungkaman yang dilakukan pemerintah terhadap para pengacara yang menentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para pejabat.
Sejak akhir tahun 2016, pemerintah Tiongkok juga telah mengintensifkan kampanye pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang meluas dan sistematis terhadap warga Uighur di Xinjiang, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini termasuk pembatasan bepergian terhadap warga Uighur untuk mempromosikan “kenormalan”, mengendalikan kalangan diaspora, serta mempertahankan narasi alternatif tentang Xinjiang.
Tahun lalu, Australia menginisiasi sebuah pernyataan bersama di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mendesak pemerintah Tiongkok untuk menjalankan rekomendasi dari laporan penting PBB tahun 2022 tentang berbagai pelanggaran di Xinjiang. Albanese seharusnya menegaskan kembali kekhawatiran di Tiongkok ini secara terbuka dan mendesak implementasi dari rekomendasi PBB ini.
Warga Tibet juga menghadapi penindasan serius di Tiongkok, sehingga pertanyaan tentang penerus Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet dan simbol penting identitas Tibet, semakin mendesak setelah baru-baru ini ia merayakan ulang tahunnya yang ke-90.
Namun, penindasan pemerintah Tiongkok tidak hanya dilakukan di dalam negeri. Beijing juga mengintimidasi, mengawasi, melecehkan, dan bahkan memaksa pulang para pembelot atau kritikus, di berbagai negara, termasuk dengan mengincar orang-orang di Australia.
Selama kunjungan tersebut, Albanese tidak semestinya membungkus isu-isu hak asasi manusia sebagai sekadar sebuah perbedaan “pandangan”. Perbedaan-perbedaan tersebut memiliki konsekuensi nyata bagi banyak orang yang menderita di bawah penindasan Beijing. Albanese seharusnya memperkuat pesan-pesan tentang pelanggaran HAM di Hong Kong, Xinjiang, dan Tibet, serta mendesak pemerintah Tiongkok agar mengakhiri kampanye pelecehan dan intimidasi terhadap para pembelot dan diaspora di luar negeri, termasuk di Australia.