- Pemerintah Tiongkok menganiaya dan membungkam sejumlah pengacara yang menentang penyalahgunaan kekuasaan satu dekade setelah penumpasan besar-besaran terhadap para pengacara yang membela hak-hak rakyat.
- Pemerintahan Xi Jinping telah berupaya untuk memberantas pengaruh pengacara yang membela hak-hak rakyat sembari memaksa profesi hukum lainnya untuk melayani agenda politik Partai Komunis Tiongkok.
- Pemerintah Tiongkok seharusnya tak lagi menganiaya para pengacara pembela HAM dan mengembalikan izin praktik mereka. Pemerintah negara-negara yang peduli seharusnya bersuara untuk mendukung pengacara pembela HAM, dan mendukung mereka yang mencari perlindungan di luar negeri.
(New York) – Pemerintah Tiongkok menganiaya dan membungkam para pengacara yang menentang penyalahgunaan kekuasaan, satu dekade setelah ‘penumpasan 709‘ terhadap para pengacara yang membela hak-hak rakyat, kata Human Rights Watch hari ini. Partai Komunis Tiongkok juga telah memperkuat kontrol ideologis atas profesi hukum yang lebih luas.
Pada bulan Juli 2015, Kepolisian Tiongkok menangkap dan menginterogasi sekitar 300 pengacara, paralegal, dan aktivis di seluruh negeri; anggota komunitas yang dinamis yang dikenal sebagai gerakan “pembelaan hak”, yang makin kuat pengaruhnya antara tahun 2003 hingga 2013. Beberapa orang dihilangkan secara paksa selama berbulan-bulan dan disiksa, dan 10 orang dijatuhi hukuman penjara yang berat. Sejak saat itu selama satu dekade, pihak berwenang telah menjadikan banyak dari mereka sebagai sasaran pengawasan, pelecehan, penghinaan di depan umum, dan hukuman kolektif, serta mencabut atau membatalkan izin praktik mereka atau firma hukum mereka.
“Pemerintah Tiongkok di bawah Xi Jinping telah berupaya untuk menghapus pengaruh dari para pengacara pembela hak-hak rakyat sambil memaksa profesi hukum lainnya untuk melayani agenda politik Partai Komunis Tiongkok,” kata Maya Wang, Direktur Muda Urusan Tiongkok di Human Rights Watch. “Pihak berwenang selama satu dekade terakhir telah membungkam para pengacara pembela hak asasi manusia, meskipun banyak yang masih menemukan cara untuk melawan ketidakadilan sosial.”
Human Rights Watch mengkaji sejumlah dokumen resmi berkaitan dengan firma-firma hukum maupun para pengacara yang terlibat dalam apa yang disebut sebagai ‘penumpasan 709‘, yang merujuk pada penggerebekan yang terjadi pada 9 Juli. Human Rights Watch juga mewawancarai tujuh pengacara pembela hak asasi manusia dan beberapa pengacara lain yang tidak terlibat dalam aktivisme.
Selain pelecehan terus-menerus terhadap sejumlah pengacara, pihak berwenang juga makin menuntut agar pengacara menunjukkan “kesetiaan mutlak” kepada Partai dan mengharuskan firma hukum untuk mendirikan sel-sel Partai dan mengikuti kepemimpinan Partai. Perluasan akses pemerintah terhadap layanan hukum publik telah meningkatkan peran pengacara yang disetujui oleh Partai dengan mengorbankan pengacara pembela hak asasi manusia, menggunakan sistem hukum untuk meredakan konflik dan memastikan kontrol sosial.
Pemerintah Tiongkok semestinya menghentikan penganiayaan terhadap para pengacara pembela hak asasi manusia, memberi kompensasi kepada para korban pelanggaran pada masa lalu dan saat ini, serta mengembalikan izin praktik para pengacara dan firma hukum mereka, kata Human Rights Watch. Pada peringatan penumpasan 709, pemerintahan negara-negara yang peduli seharusnya bersuara untuk mendukung para pengacara pembela hak asasi manusia Tiongkok, dan mendukung mereka yang mencari perlindungan di luar negeri.
“Para pengacara pembela hak asasi manusia Tiongkok dan keluarga mereka telah sangat menderita karena berupaya menghadirkan keadilan bagi rakyat di Tiongkok,” kata Maya Wang. “Pemerintahan negara-negara asing seharusnya melawan penganiayaan dan pembungkaman yang terus berlanjut dengan memberikan pengakuan internasional, solidaritas, dan dukungan kepada para pengacara pemberani ini.”
Penindasan terhadap Pengacara Pembela Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Xi Jinping
Sekitar tahun 2003, sejumlah pengacara dan pakar hukum Tiongkok menanggapi penerapan konsepsi liberal tentang supremasi hukum oleh pemerintah Tiongkok untuk menegaskan hak-hak konstitusional dan sipil masyarakat. Melalui proses litigasi, mereka bekerja sama dengan para aktivis, jurnalis, dan orang-orang yang menggunakan internet yang relatif tidak terlalu disensor pada awal tahun 2000-an untuk meminta pertanggungjawaban pejabat lokal atas pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perampasan tanah hingga penggusuran paksa.
Human Rights Watch menemukan dalam sebuah laporan tahun 2008 bahwa para pengacara dan pakar hukum ini telah menghadapi kekerasan, intimidasi, ancaman, pengawasan, pelecehan, penahanan sewenang-wenang, penuntutan, dan penangguhan atau pencabutan izin praktik hukum karena menjalankan profesi mereka. Namun demikian, seorang pengacara mengatakan bahwa para pengacara selama periode ini memiliki “ruang yang terbatas” dan menjadi “terorganisasi, terpolitisasi ... dan terinternasionalisasi.”
Tak lama setelah Xi Jinping meraih kekuasaan pada akhir tahun 2012, pemerintah Tiongkok secara agresif membubarkan kelompok masyarakat sipil Tiongkok yang baru terbentuk dan memperketat kontrol atas internet, media, dan akademisi. Pada tahun 2014, pihak berwenang mulai menangkapi serta mengadili para pengacara pembela hak asasi manusia terkemuka, termasuk Pu Zhiqiang, Tang Jingling, dan Xu Zhiyong. Pada Juli 2015, pihak berwenang menangkap 300 pengacara dan pekerja hukum dalam apa yang kemudian dikenal sebagai penumpasan 709.
Salah seorang yang diwawancarai yang saat itu berprofesi sebagai pengacara pembela hak asasi manusia mengatakan:
Penumpasan yang dilakukan Xi Jinping terhadap aktivis hak asasi manusia … tidak ditujukan pada beberapa individu tertentu.… Pada masa lalu, pihak yang ditangkap adalah mereka yang melewati batas, mereka yang muncul, mereka yang turun ke jalan.… Sekarang tujuannya adalah untuk menangkapi semua masyarakat sipil dalam satu tindakan, guna menghilangkan simpul-simpul tempat orang berkumpul, untuk menghilangkan calon-calon pemimpin sipil, untuk memecah belah kemampuan rakyat untuk melawan, dan bahkan untuk melakukan serangan pendahuluan sebelum para aktivis merencanakan aksi mereka.
Sepuluh tahun kemudian, meskipun mereka yang dipenjara selama penumpasan 709 telah dibebaskan, sebagian masih mengalami pengawasan dan pelecehan yang intens. Pihak berwenang telah memutus aliran air, listrik, dan telepon orang-orang itu dalam beberapa kasus, berulang kali memaksa mereka pergi dari rumah, memberlakukan pembatasan perbankan yang sewenang-wenang, dan memaksa beberapa orang untuk berhenti dari profesi mereka. Pengacara hak asasi manusia terkemuka Liu Xiaoyuan berusaha meningkatkan kesadaran publik tentang penderitaan para pengacara 709 dengan mengunggah foto dirinya saat berjualan obat nyamuk di jalanan.
Pihak berwenang juga telah menjatuhkan hukuman kolektif kepada beberapa keluarga dari pengacara ini. Ayah Wu Gan, seorang aktivis hukum, mengatakan bahwa ia berulang kali ditahan selama total dua tahun. Anak-anak dari beberapa pengacara pembela hak asasi manusia telah dilarang meninggalkan negara itu untuk belajar di luar negeri dan untuk menghindari pelecehan.
Penganiayaan terhadap putra pengacara Wang Quanzhang yang kini berusia 12 tahun sangat mengerikan. Keluarga tersebut tidak hanya dipaksa pindah berulang kali —bahkan dalam dua bulan, polisi memaksa keluarga tersebut pindah 13 kali— tetapi keluarga tersebut juga beberapa kali harus mencari sekolah baru karena polisi terus menekan sekolah-sekolah tersebut untuk mengeluarkan putra mereka.
Pihak berwenang tidak hanya berupaya untuk menghukum, meminggirkan, dan menghapus pengaruh para pengacara ini, melainkan juga mengubah persepsi publik terhadap mereka. Siaran pers Kementerian Keamanan Publik tahun 2016 menyatakan bahwa para pengacara HAM tersebut telah, “atas nama ‘melindungi hak asasi’ ... secara serius mengganggu ketertiban sosial,” dan bahwa kelompok tersebut telah “mencari untung,” menjalankan “rencana-rencana gelap,” dan memiliki “motif tersembunyi.” Fitnah semacam itu terus berlanjut dengan implikasi yang merugikan bagi komunitas hukum.
Seorang pengacara pembela hak asasi manusia mengatakan: “Dulu, kami dipandang sebagai simbol keadilan yang berani melawan ketidakadilan, tetapi sekarang kami telah menjadi ‘kekuatan jahat.’”
Yang lain mengatakan: “Saya dulu mempromosikan pengetahuan hukum di lingkungan tempat tinggal saya.… Saya pikir saya melakukan pelayanan publik, tetapi saya tidak menyangka akan ditanyai oleh tetangga saya berkali-kali apakah saya seorang mata-mata.”
Penyingkiran pengacara pembela hak asasi manusia selama satu dekade terakhir begitu efektif, sehingga bahkan sesama pengacara pun tidak menyadari keberadaan kelompok ini. Seorang pengacara yang berkantor di Beijing yang tidak terlibat dalam gerakan pembela hak asasi manusia mengatakan kepada Human Rights Watch: “Saya belum pernah mendengar nama-nama [pengacara hak asasi manusia] yang Anda sebutkan, [seperti] Xu Zhiyong, Ding Jiaxi, Zhou Shifeng. Saya mulai berpraktik sejak tahun 2015, tetapi saat itu mereka telah sepenuhnya dihapus dari perhatian publik.”
Pemerintah Tiongkok juga berupaya menghilangkan pengaruh internasional para pengacara ini. Sepuluh tahun berlalu, pihak berwenang masih melarang banyak dari pengacara yang terlibat dalam peristiwa 709 itu untuk bepergian ke luar negeri.
Seorang pengacara yang melarikan diri dari Tiongkok, Lu Siwei —yang tidak menjadi sasaran penumpasan 709 tetapi menjalankan kampanye publik untuk mendukung para korban 709— ditangkap oleh otoritas Laos pada tahun 2023 dan dipulangkan secara paksa ke Tiongkok. Pengadilan menjatuhkan hukuman 11 bulan penjara kepadanya. Yu Wensheng, seorang pengacara yang mewakili beberapa pengacara pada peristiwa 709 tersebut, dan istrinya, Xu Yan, dipenjara karena berusaha menemui beberapa pejabat Uni Eropa, mengirimkan pesan bahwa pihak berwenang akan menghukum setiap pengacara yang menjaga kontak dengan pemerintahan negara-negara asing.
Pengacara yang tidak terlibat dalam gerakan pembela hak asasi manusia tersebut mengatakan:
Lupakan soal pergi ke kedutaan untuk membahas hak asasi manusia… Saya pergi ke kedutaan Amerika Serikat serta Kanada untuk menghadiri beberapa acara kebudayaan untuk menonton film, dan saya diperingatkan oleh pihak berwenang untuk tidak lagi mendekati kedutaan.
Satu dekade setelah penumpasan tersebut, para pengacara pembela hak asasi manusia Tiongkok menghadapi kontrol yang “lebih komprehensif dan canggih” oleh Kementerian Kehakiman dan asosiasi pengacara yang dikendalikan pemerintah, kata seorang pengacara yang diwawancarai, dan otoritas ini mengadopsi strategi “satu lawan satu” untuk memantau mereka:
Begitu Anda membuat unggahan publik... di akun [media sosial] Anda, mereka akan langsung menghubungi Anda. Bagi sejumlah pengacara, otoritas kehakiman bahkan datang ke pengadilan untuk mengikuti dan mengamati jalannya persidangan. Sebelumnya tindakan ini tidaklah lazim, tetapi telah berkembang menjadi strategi sistematis selama bertahun-tahun.
Pengacara pembela hak asasi manusia lainnya yang diwawancarai mengatakan:
Dulu, penindasan terhadap pengacara HAM sangat terang-terangan … [pengacara] bisa ditangkap kapan saja dan menghilang setelah ditutupi dengan tudung hitam. Sekarang caranya menjadi lebih rahasia dan lebih berdasarkan aturan. Ini bahkan lebih mengerikan, karena tidak mudah bagi dunia luar untuk melihatnya, dan lebih sulit lagi untuk mengkritiknya.
Aturan bagi para pengacara ditetapkan dalam Peraturan tentang Administrasi Praktik Pengacara dan Peraturan tentang Administrasi Firma Hukum, keduanya direvisi pada tahun 2016. Dokumen kedua diubah lebih lanjut pada tahun 2018. Kedua dokumen tersebut menjadikan firma hukum bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para pengacara mereka tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai “membahayakan keamanan nasional” atau menghasut orang lain untuk melakukannya, seperti “mengumpulkan tanda tangan” atau “membentangkan spanduk”. Peraturan ini juga memberi wewenang kepada otoritas kehakiman untuk mencabut izin praktik firma hukum atau pengacara karena gagal mematuhi aturan-aturan ini.
Kebangkitan Pengacara yang Mengikuti Kepentingan Partai Komunis
Sejak Xi Jinping mulai berkuasa pada akhir tahun 2012, ia telah memperkuat kendali Partai Komunis atas masyarakat dan lembaga-lembaga negara serta memberlakukan kontrol ideologis lebih lanjut, sembari mengadopsi kembali bahasa dan logika militan Mao Zedong dalam wacana politik. Pada tahun 2013, pihak berwenang dilaporkan mengedarkan “Dokumen Nomor 9”, yang tampaknya melarang diskusi publik tentang “tujuh tabu ideologis,” termasuk supremasi hukum dan independensi peradilan.
Xi juga membalikkan kebijakan reformasi hukum liberal yang sebelumnya diadopsi pemerintah Tiongkok, membelokkan hukum menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaannya dan Partai. Ia semakin menekankan kepemimpinan Partai daripada pekerjaan para pengacara dan menuntut “kesetiaan mutlak” mereka. Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan “Opini tentang Pendalaman Reformasi Sistem Pengacara,” yang menyerukan pembentukan “pengacara berkualitas tinggi yang mendukung kepemimpinan Partai dan supremasi hukum sosialis.”
Pada tahun 2018, Asosiasi Pengacara Seluruh Tiongkok yang dikendalikan pemerintah menambahkan ketentuan dalam anggaran dasarnya yang menyerukan para pengacara untuk “menjaga dengan tegas otoritas Partai Komunis, yang menjadikan kamerad Xi Jinping sebagai intinya.” Pemerintah mengubah Peraturan tentang Administrasi Firma Hukum yang mengharuskan firma hukum untuk:
… berpegang teguh pada tuntunan Pemikiran Xi Jinping.… [M]enegakkan dan memperkuat kepemimpinan Partai secara menyeluruh atas pekerjaan para pengacara, menjaga dengan teguh kewenangan dan kepemimpinan yang terpusat dan terpadu dari Komite Sentral Partai dengan Kamerad Xi Jinping sebagai intinya, dan menjadikan dukungan terhadap kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dan dukungan terhadap supremasi hukum sosialis sebagai persyaratan dasar untuk menjalankan profesi tersebut.
Revisi yang sama mewajibkan firma hukum untuk membentuk sel Partai “sejauh memungkinkan.” Firma hukum dengan tiga anggota Partai harus memiliki sel Partai, sementara firma dengan jumlah anggota lebih sedikit perlu membuat pengaturan alternatif untuk memastikan kepemimpinan Partai. Pada pertengahan tahun 2019, semua firma hukum di Tiongkok telah memenuhi persyaratan ini, menurut koran resmi di Tiongkok Legal Daily. Revisi ini juga mewajibkan menyertakan sel Partai dalam pengambilan keputusan dan manajemen firma hukum, yang kemungkinan mencakup manajemen personalia dan alokasi kasus.
Pada saat yang sama, pemerintah telah memprioritaskan perluasan berbagai layanan hukum publik, termasuk bantuan hukum. Akademisi hukum Tiongkok memperkirakan pada tahun 2022, sekitar 20 hingga 30 persen dari seluruh tersangka kasus kejahatan memiliki pengacara, yang 60 persennya adalah pengacara bantuan hukum yang didanai dan ditugaskan oleh pemerintah.
Fu Hualing, seorang ahli hukum Tiongkok yang tinggal di Hong Kong, menulis dalam sebuah makalah penelitian tahun 2020 bahwa layanan semacam itu telah menjadi “alat kebijakan” bagi pemerintah Tiongkok untuk memastikan agar konflik sosial dapat dihindari sebelum menjadi tak terkendali, dan membawanya “dari jalanan kembali ke pengadilan.” Apa yang muncul, tulisnya, adalah “sebuah narasi [yang mengaitkan] bantuan hukum dan hukum yang mengatur kepentingan publik dengan ideologi politik melayani rakyat.” “Aturan hukum sosialis” ini pada gilirannya merupakan bagian integral dari promosi Xi terhadap “model pemerintahan Fengqiao [yang] memprioritaskan pencegahan dan penanggulangan sengketa ... melalui intervensi hukum yang individual dan terarah.”
Dengan kata lain, sistem hukum dimaksudkan untuk memecah belah masyarakat di Tiongkok, menjauhkan mereka dari upaya menanggapi ketidakadilan sosial secara terorganisasi, seperti yang dilakukan oleh beberapa pengacara pembela hak asasi manusia. Seorang pengacara pembela hak asasi manusia setuju dengan penilaian ini, dan mengatakan kepada Human Rights Watch hal ini berdampak pada kooptasi profesi hukum:
Setelah pengacara pembela hak asasi manusia disingkirkan dan dibungkam, pemerintah Tiongkok mengorganisasi dan dengan hati-hati mendukung pengacara yang pro-Partai … yang ditunjuk negara untuk menduduki kursi pembela dalam kasus-kasus sensitif. Cakupan penerapan pengacara yang ditunjuk ini semakin meluas dari kasus-kasus yang sensitif secara politik hingga kasus-kasus pidana yang lebih luas.
Pengacara tersebut mengatakan hal ini sama saja dengan melemahkan sistem pembelaan pidana secara perlahan dan mereduksi kerja-kerja pembelaan hukum menjadi formalitas belaka:
Saat mereka [para pengacara yang ditunjuk negara] bekerja sama dengan pihak berwenang untuk membujuk para terdakwa agar mengaku bersalah, menghalangi anggota keluarga agar tak membela hak-hak mereka, dan menyangkal wacana hak asasi manusia, mereka menutupi penyalahgunaan wewenang peradilan, bekerja sama dengan pelanggaran prosedural, dan berupaya mencegah media dan organisasi hak asasi manusia memperoleh informasi.
Masa Depan Pengacara Hak Asasi Manusia di Tiongkok
Masa depan jangka pendek pengacara pembela hak asasi manusia di Tiongkok suram. Pengacara terkemuka seperti Xu Zhiyong dan Ding Jiaxi dipenjara, sementara Gao Zhisheng telah dihilangkan secara paksa sejak tahun 2017. Pengacara lainnya, seperti Li Fangping dan Li Jinxing (juga dikenal sebagai Wu Lei), telah pindah ke luar negeri bersama keluarga mereka.
Seorang pengacara yang akrab dengan komunitas ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada lagi yang bisa menyuarakan soal gerakan pengacara pembela hak asasi manusia yang terorganisasi, masih ada pengacara yang bersedia membela hak asasi manusia secara independen:
Beberapa pengacara memilih untuk tidak bersuara dan fokus untuk menghasilkan banyak uang, tetapi masih banyak yang bersikeras untuk melawan, meskipun mereka telah meredamnya... Saya pikir ada beberapa pengacara yang terpaksa beralih ke pendekatan semi-bawah tanah, seperti pengacara yang membela [praktisi kelompok agama yang dianiaya] Falun Gong dan umat Kristen [bawah tanah]. Tetapi apa pun yang terjadi, mereka tetap muncul di pengadilan.