Skip to main content

Tiongkok: Polisi Tangkap Warga Tibet Pengguna Internet dan Ponsel

Pencarian Ponsel Besar-besaran, Aplikasi 'Anti Penipuan', dan Pengetatan Regulasi

Seorang biksu Buddha Tibet dan seorang perempuan berbagi ponsel di luar Istana Potala di Lhasa, Daerah Otonomi Tibet, Tiongkok, pada tanggal 1 Juni 2021. © 2021 Kevin Frayer/Getty Images

(New York) – Pemerintah Tiongkok telah menangkap puluhan orang di wilayah Tibet sejak 2021 atas pelanggaran terkait ponsel dan internet bermotif politik, kata Human Rights Watch hari ini. Sejumlah jurnalis asal Tibet di pengasingan melaporkan bahwa penangkapan ini biasanya mengincar warga Tibet yang dituduh menyimpan "konten terlarang" di ponsel mereka atau menghubungi orang di luar Tiongkok, termasuk kerabat.

Tidak diketahui skala penuh dari penangkapan dan penuntutan tersebut, karena pihak berwenang Tiongkok tidak membeberkan data resmi terkait pelanggaran politik. Lebih dari 60 kasus yang dilaporkan muncul terkait dengan semakin ketatnya pengawasan pemerintah selama periode ini, termasuk melalui penggeledahan telepon secara massal dan penggunaan aplikasi telepon wajib dengan pengawasan pemerintah yang sudah terpasang, serta pengetatan pengaturan terkait data dan agama.

"Bagi orang Tibet, sekadar menggunakan ponsel sudah menjadi hal berbahaya, dan aktivitas sehari-hari seperti mengunggah video lucu atau menghubungi orang-orang terkasih di luar negeri bisa berujung pada penangkapan, penahanan, dan penyiksaan," kata Maya Wang, Direktur Muda Urusan Tiongkok di Human Rights Watch. "Orang Tibet, khususnya yang tinggal di daerah terpencil, dulunya merayakan kedatangan ponsel agar mereka tetap bisa terhubung dengan teman dan keluarga, tetapi ponsel mereka sekarang telah secara efektif menjadi alat pelacak pemerintah.”

Human Rights Watch meninjau sejumlah kasus yang relevan sejak tahun 2021 yang dilaporkan beberapa media di pengasingan Tibet, termasuk Radio Free Asia dan Tibet Times, media umum, dan sumber-sumber resmi pemerintah Tiongkok. Human Rights Watch juga mewawancarai sejumlah penduduk di wilayah Tibet, dan seorang pensiunan pejabat yang memiliki pengetahuan langsung tentang situasi tersebut.

Dalam banyak kasus, mereka yang ditangkap dituduh menyimpan "konten terlarang" di ponsel mereka atau membagikannya secara daring. "Konten terlarang" tersebut biasanya mencakup referensi terkait tokoh-tokoh agama Tibet, khususnya pemimpin spiritual di pengasingan, Dalai Lama, dan berbagai ekspresi yang menunjukkan sentimen pro-Tibet. Pihak berwenang Tiongkok telah menerapkan bahasa hukum yang ambigu secara luas: dalam satu kasus, seorang pria ditangkap karena membuat grup WeChat untuk merayakan ulang tahun biksu Buddha berusia 80 tahun. Menurut kepolisian, membentuk grup obrolan "tanpa izin" semacam itu "merupakan tindakan ilegal".

Sejumlah warga Tibet juga telah ditangkap karena mengunggah berbagai konten daring yang dianggap polisi sebagai bentuk dukungan terhadap penggunaan bahasa Tibet dan menentang kebijakan bahasa pemerintah Tiongkok di sekolah dasar, yang mengganti bahasa Tibet dengan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar. Pihak berwenang telah menutup beberapa situs web berbahasa Tibet yang memuat konten budaya dan pendidikan sejak tahun 2020, termasuk blog populer Luktsang Palyon pada April 2024, menurut laporan Pusat Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Tibet. Seorang webmaster terkemuka Tibet, Bumpa Gyal, dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara pada tahun 2022 karena terlibat dalam "kegiatan ilegal" yang tidak disebutkan, setelah ia menawarkan dukungan teknis kepada situs web budaya dan pendidikan Tibet.

Pihak berwenang Tiongkok juga telah menangkap warga Tibet karena menggunakan perangkat elektronik mereka untuk menghubungi orang-orang di luar Tiongkok, dan karena membagikan informasi tentang Tibet di luar negeri. Mereka yang ditangkap telah dijerat hukum serta dikenai pidana penjara yang panjang atas tindakan tersebut. Pada tahun 2021, Human Rights Watch mendokumentasikan penangkapan terhadap empat biksu di Tibet barat daya yang dijatuhi hukuman hingga 20 tahun penjara karena menghubungi biksu Tibet dari ordo monastik yang sama dan tinggal di Nepal.

Sering kali tidak jelas apa yang terjadi pada mereka yang ditangkap, mengingat ada kontrol informasi yang begitu ketat di wilayah tersebut. Namun, dalam beberapa kasus di mana informasi tersedia, beberapa dari mereka yang ditangkap lantas dipenjara, dianiaya, serta disiksa. Dalam kasus yang sangat mengerikan, seorang biksu berusia 38 tahun bernama Losel dari Biara Sera di Lhasa dipukuli dan meninggal karena luka-lukanya pada bulan Mei 2024. Ia ditangkap karena diduga "mengumpulkan dan mengirim informasi ke luar negeri," menurut laporan media pengasingan Tibet.

Banyak warga Tibet memiliki kerabat yang tinggal di pengasingan di Asia Selatan, Eropa, dan Amerika Utara. Langkah-langkah keamanan yang diperketat oleh pemerintah Tiongkok menyusul protes warga Tibet tahun 2008, yang mengakhiri penyeberangan perbatasan tanpa izin dan pembatasan diskriminatif terhadap penerbitan paspor bagi warga Tibet sejak tahun 2012, membuat perjalanan ke luar negeri menjadi mustahil bagi sebagian besar warga Tibet. Pembatasan dan pemantauan penggunaan internet serta hukuman bagi pengguna yang diduga memiliki kontak di luar Tiongkok mengandung pengertian bahwa warga Tibet di Tiongkok serta mereka yang berada di pengasingan kini memiliki koneksi yang sangat terbatas.

Banyak siasat pemerintah Tiongkok terhadap warga Tibet untuk memutus komunikasi mereka dengan dunia luar menyerupai siasat yang dipergunakan terhadap orang-orang Uighur, kata Human Rights Watch.

Pemerintah Tiongkok seharusnya menghormati hak-hak warga Tibet atas privasi dan kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berasosiasi, dan beragama, kata Human Rights Watch. Pemerintah semestinya mengizinkan para pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa, peneliti hak asasi manusia independen, dan wartawan untuk mengakses wilayah tersebut tanpa hambatan guna memeriksa kasus-kasus ini dan situasi hak asasi manusia secara umum.

“Warga Tibet tidak hanya kehilangan hak untuk mengekspresikan diri secara bebas dan untuk mengakses informasi, melainkan juga kehilangan hak dasar untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka cintai,” kata Maya Wang. “Bahkan ketika komunikasi global berkembang, pemerintah Tiongkok semakin berupaya untuk menutup dan mengendalikan seluruh populasi.”

Pengawasan Internet
Pemantauan aktivitas daring masyarakat oleh pemerintah Tiongkok bukanlah hal baru. Kementerian Keamanan Publik mempekerjakan personel polisi internet di tingkat provinsi, prefektur, dan kotamadya untuk menyensor dan mengawasi para pengguna internet, sementara perusahaan media sosial menyensor dan memantau konten daring melalui tim moderator konten di samping pembatasan otomatis.

Selain itu, pihak berwenang menawarkan hadiah uang tunai kepada orang-orang yang memberi informasi satu sama lain. Ini menjadi metode pemolisian formal di bawah kampanye “Anti-Kejahatan Geng” yang diadopsi pada tahun 2018. Kampanye ini secara efektif telah mengkriminalisasi dan menghilangkan aktivisme masyarakat sipil di wilayah Tibet. Seorang pejabat senior yang sudah pensiun dari Daerah Otonomi Tibet (TAR) mengatakan kepada Human Rights Watch pada bulan Desember 2019 bahwa:

Di halaman perumahan dan komite lingkungan Lhasa ada kotak surat, nomor WeChat, dan papan pengumuman untuk melaporkan orang yang mengatakan hal-hal yang tidak boleh dikatakan, menemui orang yang tidak boleh mereka temui, menyebarkan pembicaraan "reaksioner" yang tidak boleh mereka sebarkan.... Ada hadiah mulai dari RMB100 (US$14) hingga RMB10.000 ($1.400) tergantung pada seberapa penting dan berkualitasnya petunjuk yang diberikan. Hadiah besar yang diberikan kepada pemasok petunjuk utama diumumkan di depan umum agar semua orang bisa melihatnya.

Pemberitahuan publik enam poin dari Kantor Informasi Internet Komite Partai Qinghai pada bulan November 2024 menawarkan hingga RMB100.000 ($14.000) sebagai imbalan bagi siapa pun yang secara daring menuliskan pelanggaran dari sebuah daftar yang sebagian besar bersifat politis, mulai dari “menentang pimpinan partai”. 

Pada bulan Maret 2022, Internet Illegal and Harmful Information Reporting Center di Daerah Otonomi Tibet menerima 1.395 laporan, di mana 35 persen di antaranya adalah “informasi yang berbahaya secara politik,” 26 persen di antaranya merupakan “informasi berbahaya terkait Tibet,” dan 12 persen di antaranya adalah “informasi yang berbahaya secara sosial.” Sebagai perbandingan, “informasi cabul dan pornografi” mencakup 6 persen dari laporan yang diterima.

Peningkatan Pencarian Ponsel Manual
Intimidasi dan penggeledahan ponsel secara acak oleh kepolisian semakin sering terjadi selama kampanye keamanan menjelang peringatan hari besar seperti 10 Maret – peringatan pemberontakan Lhasa 1959 – atau peristiwa politik besar di Tiongkok seperti pertemuan tahunan Partai Komunis Tiongkok, berdasarkan laporan. Polisi menggeledah ponsel orang-orang,` baik dengan menggunakan perangkat pemindai ponsel (dikenal sebagai Universal Forensic Extraction Devices, atau UFED) yang memungkinkan akses ke data di ponsel orang-orang, maupun dengan cara memaksa orang untuk membuka kunci ponsel mereka. Polisi telah melakukan ini di pos-pos pemeriksaan di Lhasa dan kota-kota lain.

Beberapa laporan awal tentang kepolisian Tiongkok yang melakukan penggeledahan ponsel manual secara besar-besaran di daerah pedesaan Tibet muncul di media pengasingan Tibet pada pertengahan tahun 2021. Menurut laporan-laporan ini, polisi di daerah Sershul, Provinsi Sichuan barat laut, menahan 117 warga Tibet pada tahun 2021 selama berminggu-minggu untuk menjalani "pendidikan politik" di luar hukum setelah pihak berwenang mengklaim mereka memiliki "konten terlarang" di ponsel mereka. Sejak saat itu, ada beberapa laporan tentang penggeledahan ponsel secara manual untuk mengincar warga Tibet yang dituduh mengirim berita ke luar negeri:

  • Di Kotamadya Drango, Prefektur Kandze, Provinsi Sichuan pada bulan Februari 2022, menyusul pembongkaran patung Buddha raksasa oleh otoritas daerah meskipun ditentang oleh masyarakat, polisi melakukan inspeksi ponsel secara massal untuk mencari orang-orang yang telah melaporkan kejadian ini secara daring.
  • Di Kotamadya Derge, Prefektur Kandze, Provinsi Sichuan pada bulan Februari 2024, ketika penentangan warga setempat terhadap pembangunan bendungan menarik perhatian internasional, pihak berwenang mematikan layanan internet dan melakukan penangkapan besar-besaran, dan polisi memeriksa akun WeChat dan TikTok milik warga untuk mengidentifikasi warga Tibet yang telah mengunggah laporan tentang peristiwa ini secara daring.
  • Di Biara Taktsang Lhamo, Kotamadya Dzorge, Prefektur Ngawa, Provinsi Sichuan pada bulan Oktober 2024, setelah para biksu Tibet mengirim pesan kepada kontak mereka untuk mengabarkan penutupan sekolah biara mereka oleh otoritas Tiongkok, para petugas lantas memeriksa ponsel para biksu dan menyita gawai beberapa dari mereka.

Human Rights Watch secara independen mengonfirmasi berbagai laporan tentang polisi setempat yang secara sistematis menggeledah ponsel untuk mencari teks dan gambar terlarang di daerah pedesaan di Kotamadya Nagchu, Daerah Otonomi Tibet, yang tidak terkait dengan insiden tertentu. Pada November 2021, seorang warga desa Nagchu memberi tahu Human Rights Watch bahwa para pemimpin komite desanya memerintahkan warga untuk berkumpul di pusat desa agar ponsel mereka diperiksa oleh polisi kota, terutama ponsel anak muda yang mungkin memiliki gambar "ilegal" berupa simbol, konten, atau lagu-lagu keagamaan.

Menurut polisi, jika seseorang tertangkap basah membawa barang-barang seperti itu, "kejahatannya lebih serius daripada membunuh," karena keluarga mereka juga akan terdampak. Warga desa tersebut mengatakan bahwa ini bukan hal baru, tetapi sudah terjadi selama beberapa tahun, dan sejumlah pemuda ditahan karena memiliki barang-barang seperti itu di ponsel mereka.

Wajib Mengunduh Aplikasi 'Anti-penipuan' milik Pemerintah
Laporan media di beberapa wilayah Tibet menemukan bahwa polisi telah memaksa warga Tibet mengunduh aplikasi milik pemerintah ke ponsel mereka secara massal di pos-pos pemeriksaan keamanan dan selama pertemuan wajib, yang seolah-olah dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat tentang penipuan daring. Sejumlah laporan resmi menggambarkan polisi dan anggota partai dikerahkan untuk mengunjungi sejumlah rumah dan tempat usaha di sejumlah wilayah Tibet guna "mempromosikan", "memandu", serta "membantu" pemasangan aplikasi anti penipuan, yang dibuat oleh Pusat Anti-penipuan Nasional Tiongkok pada tahun 2021.

Jaringan penelitian Turquoise Roof melakukan analisis teknis terhadap aplikasi tersebut dan menemukan bahwa selain dari tujuan yang dinyatakan untuk melawan penipuan daring dan memungkinkan mereka melaporkan potensi penipuan, aplikasi tersebut “memberikan operator akses ke data para pengguna yang sensitif atau kontrol atas fungsi-fungsi utama perangkat, yang memungkinkan pengawasan yang sangat invasif.” Ketika diunduh ke ponsel-pintar, menurut analisis tersebut, aplikasi tersebut dapat mengakses data pengguna termasuk informasi pribadi yang sensitif, catatan aktivitas, pesan pribadi, catatan panggilan termasuk catatan waktu dan informasi kontak, dan riwayat penelusuran atau browsing, semuanya tanpa persetujuan dan sepengetahuan pengguna.

Aplikasi tersebut mengharuskan pengguna untuk memindai wajah dan kartu identitas mereka untuk mulai menggunakannya, memanfaatkan teknologi verifikasi wajah guna membandingkan gambar, dan menangkap data biometrik yang dapat dihubungkan dengan sumber data lain dalam basis data pemerintah yang besar dengan kemampuan analisis data untuk melacak serta memantau orang dalam skala populasi.

Pengunduhan paksa aplikasi "anti-penipuan" juga telah menjadi reportase media di tempat lain di Tiongkok. Para petugas partai telah secara terbuka mengeluhkan keharusan memenuhi kuota pemasangan aplikasi bulanan sebagai bagian dari evaluasi kinerja mereka. Mengingat penindasan yang parah di wilayah Tibet, warga di sana merasa semakin sulit untuk tidak mematuhi perintah polisi ini.

Meningkatnya Pembatasan Daring terkait Agama
Pada bulan Maret 2022, peraturan manajemen internet Tiongkok melarang semua konten keagamaan yang tidak diizinkan oleh pemerintah di Daerah Otonomi Tibet. Izin hanya diberikan kepada para guru agama yang dianggap bisa diandalkan secara politis. Banyak orang Tibet dari kalangan biasa, baik biarawan maupun awam, bergantung pada internet dan media sosial untuk mengakses ajaran dan materi agama, terutama karena pemerintah telah mengatur ketat akses fisik ke agama.

Meski peraturan serupa telah diterapkan di seluruh negeri untuk meniadakan ekspresi keagamaan yang tidak disetujui negara, penerapannya sangat ketat di daerah Tibet, di mana agama Buddha Tibet dianggap sebagai ancaman langsung terhadap legitimasi Partai Komunis Tiongkok.

Polisi secara rutin menginterogasi, menahan, dan memidanakan sejumlah jemaat awam karena menyebarluaskan ajaran agama secara daring, sebagaimana dilaporkan media pengasingan. Dua perempuan dari Kotamadya Sershul, Provinsi Sichuan, yang dikenal karena berpartisipasi dalam pertemuan doa lokal dan inisiatif layanan sosial dilaporkan telah dihilangkan secara paksa oleh polisi pada Desember 2023, dan keberadaan mereka masih belum diketahui. Pada bulan yang sama, pengadilan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Semkyi Drolma, seorang perempuan muda asal Kotamadya Damshung, Kota Lhasa, dengan tuduhan "membocorkan rahasia negara." Sejumlah sumber mengatakan bahwa satu-satunya pelanggaran yang dilakukannya adalah berpartisipasi dalam kelompok WeChat yang berorientasi pada agama.

Pada Desember 2019, pensiunan pejabat senior Daerah Otonomi Tibet mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa selama bertahun-tahun pihak berwenang telah melakukan pengawasan daring yang lebih ketat terhadap para biksu dan biksuni:

Pemerintah memantau WeChat dan aktivitas media sosial para biksu bahkan lebih ketat daripada warga biasa. Dari apa yang saya dengar, unit pemantau internet membaca dan mendengarkan WeChat masing-masing biksu atau biksuni secara individual, dan selain dari layanan keagamaan di dalam biara atau menyapa kerabat mereka, para biksu dan biksuni tidak diperbolehkan mengambil atau mengirim foto apa pun dari kantor polisi sub-biara, personel tim kerja, pertemuan pendidikan politik, dll.

Hukum Internasional dan Domestik
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) – yang ditandatangani Tiongkok pada tahun 1998 tetapi belum diratifikasi – melindungi hak atas privasi, kebebasan berekspresi, berasosiasi, berkumpul secara damai, dan beragama.

Baik Duham maupun ICCPR menyatakan bahwa “tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya,” dan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan tersebut.” Setiap campur tangan terhadap hak atas masalah pribadi, termasuk pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pribadi seseorang, harus diperlukan dan proporsional, untuk mencapai tujuan yang sah, dan tunduk pada kerangka hukum yang jelas dan terbuka.

Selama tiga dekade sejak internet diperkenalkan di Tiongkok, pemerintah Tiongkok telah memberlakukan berbagai undang-undang dan peraturan yang secara luas melarang berbagai konten di internet Tiongkok, seperti informasi yang “menghasut subversi” atau yang “menghasut perpecahan,” termasuk kegiatan yang dianggap mendukung kemerdekaan Tibet. Ketentuan yang terlalu luas semacam itu tidak sejalan dengan perlindungan hak asasi manusia internasional.

Undang-undang nasional Tiongkok saat ini tidak memenuhi persyaratan privasi yang diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional. Pemerintah Tiongkok telah mengembangkan pengetatan peraturan terkait data yang semakin canggih sejak tahun 2017, dengan diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Siber. Kemudian, pemerintah mengumumkan berbagai undang-undang dan peraturan, termasuk Undang-Undang Keamanan Data pada bulan Juni 2021, dan Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi pada bulan Agustus 2021.

Pengaturan yang semakin menjadi-jadi ini memiliki beberapa tujuan, termasuk mengatur pengumpulan data konsumen oleh perusahaan, tetapi juga memperketat kontrol informasi pemerintah dengan kedok “melindungi keamanan nasional” – apa pun yang dianggap Partai Komunis Tiongkok dapat memengaruhi cengkeramannya terhadap kekuasaan – tanpa memberikan perlindungan berarti terhadap pengawasan pemerintah yang melanggar hukum atau sewenang-wenang.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country