Atas Nama Agama
Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia
Ringkasan
“Kami takut tiap kali mau ke masjid, terutama ibu-ibu dengan anak. Kami takut bawa anak. Juga ada sekolah Minggu tapi sekarang [di rumah]. Kami sangat takut. Ibu-ibu sering tidak mau datang ibadah jika kami lihat ada orang-orang dengan jubah putih [anggota Front Pembela Islam].”
—Titik Sartika, Sadr Lajnah Imaillah Ahmadiyah di Bekasi, Jawa Barat, mengenai intimidasi yang menimpa muslim Ahmadiyah dari militan Islamis, November 2011.
Pada 6 Februari 2011 di desa Umbulan, Cikeusik, kawasan barat Jawa, sekitar 1.500 militan Islamis menyerang 21 jemaah Ahmadiyah dengan batu, bambu dan golok. Para penyerang teriak, “Kafir! Kafir!” Sebagaimana terekam dalam video, polisi setempat berada di lokasi kejadian tapi menyingkir saat gelombang massa mulai menyerang rumah Ahmadi. Sesudah serangan, tiga Ahmadi dipukul dan diinjak-injak hingga tewas.
Ahmad Masihudin, mahasiswa Ahmadi berusia 25 tahun, menceritakan pengalamannya, “Mereka pegang tangan saya dan melepaskan sabuk saya pakai golok. Mereka lepas kaos, celana dan kaos dalam saya. Saya hanya pakai celana dalam. Mereka ambil uang Rp 2,5 juta dan Blackberry saya. Mereka lepaskan celana dalam saya dan mau memotong alat kelamin. Saya terbaring posisi bayi. Saya hanya berusaha melindungi muka saya, tapi mata kiri saya ditikam. Kemudian saya dengar mereka teriak, ‘Sudah mati, sudah mati.’”
Serangan di Cikeusik yang mengerikan itu bagian dari kecenderungan meningkatnya intoleransi dan kekerasan agama di Indonesia. Targetnya, termasuk Ahmadiyah, Baha’i, Kristen, dan Syiah. Ada juga kasus kalangan Kristen di daerah mayoritas Kristen mencegah pembangunan masjid Muslim Sunni. Individu yang terkena dampaknya beragam, dari mereka yang minta izin mendirikan rumah ibadah hingga yang menginginkan status kepercayaan dicantumkan pada kartu tanda penduduk hingga anak-anak yang dilecehkan guru dan murid lain di sekolah.
Indonesia dipuji atas keragaman dan toleransi beragamanya. Sejak presiden Suharto mundur pada 1998, setelah berkuasa lebih dari tiga dekade, terbukalah era kebebasan yang kian luas di Indonesia. Pandangan yang sekian lama dibungkam pun merebak. Di sisi lain, militansi agama menguat. Sebagaimana laporan ini mengulas, pemerintah tak menanggapi dengan tegas saat intoleransi diungkapkan melalui pelanggaran hukum, intimidasi, dan kekerasan, membentuk situasi yang melonggarkan serangan lebih keras.
Menurut Setara Institute di Jakarta, terdapat 216 kasus serangan terhadap minoritas agama pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012.[1] Wahid Institute, pemantau lain di Jakarta, mendokumentasikan 92 pelanggaran terhadap kebebasan agama dan 184 peristiwa intoleransi beragama pada 2011, naik dari 64 pelanggaran dan 134 peristiwa intoleransi pada 2010.[2]
Untuk riset laporan ini, Human Rights Watch mewawancarai 16 individu minoritas agama yang mengalami serangan fisik dari militan Islamis pada tujuh kejadian terpisah, empat di antaranya luka serius. Duapuluh dua rumah ibadah atau rumah pribadi dibakar pada enam kejadian terpisah. Kami juga meringkas beragam peristiwa lain yang dilaporkan media atau didokumentasikan investigator lain. Selain itu, kami juga memerinci intimidasi dan kekerasan fisik, penutupan paksa rumah ibadah, pelarangan pembangunan rumah ibadah, dan penangkapan sewenang-wenang para penganut keyakinan minoritas dengan tuntutan penodaan agama dan dakwaan lain.
Pada sebagian besar kasus, para pelaku intimidasi dan kekerasan dari kelompok militan Suni—ditulis dalam laporan ini sebagai kelompok Islamis—yang didukung diam-diam, atau adakalanya terbuka, oleh pejabat pemerintah dan polisi. Kelompok yang terlibat atau mendukung penyerangan terhadap minoritas termasuk Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut-Tahrir Indonesia, dan Gerakan Islam Reformis (Garis). Mereka disatukan dengan satu pemahaman Islam Sunni bahwa kaum non-Muslim, tak termasuk Kristen dan Yahudi, sebagai “kafir” dan melabeli Muslim yang berbeda pandangan dengan Sunni ortodok sebagai “penoda agama.”
Penganiayaan dan kekerasan secara langsung terhadap kelompok agama minoritas ditopang infrastruktur hukum di Indonesia atas nama “kerukunan umat beragama,” yang praktiknya justru menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan agama, sebagaimana Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia juga sekian lama membuat, dan dalam beberapa tahun terakhir memperkokoh, peraturan yang menjadikan agama-agama minoritas didiskriminasi secara resmi dan menyudutkan penganutnya sehingga rentan diserang oleh komunitas mayoritas yang tak segan main hakim sendiri.
Sejumlah kasus yang didokumentasikan laporan ini menguraikan penganiayaan dan intimidasi komunitas minoritas oleh pelbagai kelompok Islamis militan yang melibatkan, secara aktif maupun pasif, pejabat pemerintah dan aparat keamanan. Kelompok ini bekerjasama dengan, atau mendesak, pemerintah daerah cegah mengeluarkan izin rumah ibadah bagi kaum minoritas, memaksa relokasi, atau menghalang-halangi ibadah di sekitar lokasi tersebut. Pada beberapa kasus, gereja-gereja Kristen yang memenuhi syarat hukum pembangunan rumah ibadah, justru tak diindahkan izinnya oleh setelah ditekan kelompok Islamis, sekalipun ia bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung, yang mengizinkan pembangunan tersebut.
Laporan ini juga menyajikan berbagai peristiwa di mana polisi gagal mengambil tindakan untuk mencegah kekerasan atas nama agama atau gagal menegakkan hukum sesudah kejadian. Polisi terlalu sering tak melakukan penyelidikan yang layak pada kasus kekerasan terhadap minoritas agama, menunjukkan kongkalikong dengan para penyerang. Sistem peradilan pidana juga tak membuktikan sebagai benteng pembela minoritas. Pada beberapa kasus kekerasan yang diproses ke pengadilan, para jaksa menuntut dakwaan lemah bagi para pelaku kejahatan berat, dan para hakim pun mendukungnya. Perkecualian ialah kasus yang didakwa pihak berwenang sebagai aksi “terorisme,” kasus pemboman sebuah gereja di Solo, Jawa Tengah, pada 25 September 2011, yang menewaskan pembom bunuh diri itu, dan seorang istri yang membiayai aksi tersebut, masih diusut atas dugaan pencucian uang, serta sebuah usaha membom gereja lain di Serpong, April 2012, di mana polisi menangkap 19 orang.
Minoritas agama di Indonesia juga menghadapi diskriminasi bila berurusan dengan birokrasi. Selama era Suharto, warga Indonesia diwajibkan mencantumkan agama mereka pada kartu tanda penduduk, memilih satu dari lima agama yang diakui resmi oleh pemerintah—sebuah praktik yang mendiskriminasi, dan menempatkan posisi lemah, para penganut ratusan keyakinan minoritas. Meski Undang-Undang Administrasi Kependudukan sekarang memberi warganegara pilihan untuk mengabaikan atau menyertakan agama/ keyakinan mereka pada kartu tanda penduduk, mereka yang berharap mencantumkan keyakinan atau aliran kepercayaan tetap harus memilih daftar enam agama yang diakui hukum Indonesia. Individu yang enggan mencantumkan keyakinan berisiko dicap “tak bertuhan” oleh ulama atau pejabat, bahkan ada kemungkinan dijadikan subyek pidana penodaan agama. Pada 2012, seorang yang terbuka menyatakan diri ateis, seorang ustad Syiah, dan seorang pemimpin tarekat dipenjara dengan vonis penodaan agama walau mereka mencantumkan agama Islam pada KTP mereka.
Lembaga pemerintahan juga berperan dalam pelanggaran hak-hak asasi dan kebebasan agama minoritas. Lembaga negara ini --termasuk Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) di bawah Kejaksaan Agung, lembaga semi-negara Majelis Ulama Indonesia-- menggerogoti kebebasan beragama dengan mengeluarkan peraturan dan fatwa terhadap penganut agama minoritas dan menggunakan wewenangnya untuk mendukung kriminalisasi “penoda agama.”
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia bergerak mantap menuju penguatan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia. Sambutan dunia? Selain anggapan bahwa Indonesia sebagai benteng Islam moderat, dunia internasional memuji Indonesia sebagai model demokrasi di dunia Muslim. Misalnya, pada November 2011, Presiden AS Barack Obama, saat berkunjung ke Jakarta, memuji “… semangat toleransi keagamaan yang juga terbetik dalam UUD Indonesia, dan hal itu tetap merupakan ciri-ciri menentukan dan mengilhami dari negara ini.”
Bila reputasi itu hendak dijaga, tindakan tegas dan segera diperlukan, termasuk kepemimpinan lebih kuat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memperbaiki undang-undang dan praktik-praktik pemerintahannya yang memfasilitasi pelanggaran terhadap minoritas agama. Pemerintahan Indonesia harus mematuhi kewajiban dengan menuntut tanggung jawab polisi, pejabat dan anggota kelompok yang terlibat pelanggaran tersebut. Reputasi Indonesia sebagai negara “yang mendaku asas kebebasan dan toleransi beragama” hanya bisa dicapai bila pemerintah mengambil langkah-langkah pencegahan atas meningkatnya sasaran dan diskriminasi terhadap minoritas agama, mengembalikan asas negara ini didirikan dan mengembangkan kultur penerimaan dan penghormatan warganegara kepada semua kelompok agama.
Rekomendasi Kunci
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono inkonsisten dalam membela kebebasan beragama. Absennya kepemimpinan kian mendorong kelompok-kelompok militan berani main hakim sendiri serta diam-diam diamini pejabat daerah dan pusat yang setuju dengan mereka. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama, dan Undang-undang Otonomi Daerah, yang mengatur desentralisasi, menetapkan bahwa kebebasan beragama adalah kewenangan pemerintah pusat. Apa yang paling diperlukan adalah itikad politik untuk memegang otoritas tersebut. Kendati sesekali beretorika positif, Presiden Yudhoyono sangat lemah menanggapi kekerasan agama dan intoleransi yang meningkat, tanpa bersikeras dengan gigih menegakkan hukum nasional, dan seringkali sungkan memakai kekuasaannya sebagai presiden guna menegakkan hukum.
Kepemimpinan lebih tegas sangat diperlukan. Human Rights Watch mendukung desakan agar Presiden Yudhoyono bekerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat merencanakan dan mengimplementasikan suatu strategi nasional untuk toleransi beragama dan kebebasan beragama. [3] Upaya ini harus dipimpin satuan tugas independen terdiri para ahli dan individu yang berkomitmen terhadap kebebasan beragama dan bekerja di luar pengawasan Kementerian Agama. Satuan tugas macam ini harus diberi mandat kuat dan sumberdaya penting guna menyusun rencana kerja. Unsur-unsur kunci rencana kerja ini termasuk:
- Tak berkompromi dengan premanisme agama. Tiap kekerasan terhadap minoritas harus dipidanakan.
- Langkah-langkah tegas terhadap para pejabat daerah yang tak menghormati putusan pengadilan soal kebebasan beragama, termasuk pembangunan rumah ibadah. Satuan tugas dan Presiden Yudhoyono harus bekerja untuk memastikan bahwa contempt of court (tindakan menghina peradilan) dipakai sebagai pijakan untuk menskors para pejabat daerah bila aturan baru soal pemerintahan daerah dirancang, dan mendesak parlemen menciptakan undang-undang soal contempt of court .
- Mengevaluasi peraturan dan keputusan terkait agama, guna mengidentifikasi pasal-pasal yang merintangi kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani, disertai tenggat waktu untuk merevisi atau mencabut pasal-pasal itu.
- Mengembangkan capaian nasional dalam prinsip-prinsip kebebasan beragama dan toleransi beragama, termasuk program pendidikan yang dikembangkan melalui media dan sekolah, serta kebijakan dan tanggapan lebih tegas pada hasutan kekerasan terhadap minoritas agama, termasuk mendudukkan persoalan itu dengan jelas saat kebebasan berekspresi menjadi hasutan untuk kekerasan.
Namun sebelum satuan tugas dibentuk dan strategi kebebasan beragama dan toleransi beragama disetujui, Presiden Yudhoyono harus:
- Memerintahkan polisi untuk tegas terhadap aksi-aksi kekerasan agama, memusatkan pada para pelaku kekerasan, bukannya korban kekerasan, dengan hukuman pidana para pelaku itu sepadan dengan beratnya kejahatan.
- Mengambil tindakan disipliner terhadap semua pejabat pemerintah, termasuk menteri agama, yang bikin pernyataan atau terlibat tindakan yang mempromosikan diskriminasi atau memaklumkan kekerasan agama.
- Menggunakan kekuasaan Presiden, termasuk kendali alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada pemerintah daerah, untuk memberi sanksi bagi para pejabat daerah yang menentang putusan pengadilan.
Metodologi
Laporan ini bersandar pada penelitian antara Agustus 2011 hingga Desember 2012. Para peneliti Human Rights Watch mewawancarai individu-individu di 10 provinsi, di pulau Jawa, Madura, Sumatra dan Timor. Lokasi-lokasi ini dipilih berdasarkan tempat peristiwa kejahatan atas nama agama yang dilaporkan media atau organisasi masyarakat sipil.
Human Rights Watch mewawancarai 115 individu selama proses penelitian, termasuk 71 korban kekerasan. Individu ini meliputi 14 jemaat Protestan, 4 muslim Ahmadiyah, 2 komunitas Syiah, 2 jemaat Katholik, dan sebuah masjid Muslim Sunni.
Kami juga bicara dengan 26 pemuka agama, 7 polisi, 5 pemimpin kelompok militan, 5 pengacara, dan seorang jaksa. Kami juga mewawancarai para pakar dari Indonesian Conference on Religion and Peace, International Crisis Group, Setara Institute, Wahid Institute di Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum di Padang.
Wawancara memakai bahasa Inggris, Indonesia, Jawa, Madura dan Sunda. Wawancara perorangan dan berkelompok dengan bahasa daerah narasumber. Bila diperlukan, dipandu penerjemah dari Indonesia ke Inggris atau dari Sunda ke Indonesia. Wawancara memakai serangkaian pertanyaan terbuka.
Para peneliti Human Rights Watch juga menganalisis berbagai sumber sekunder meliputi lebih dari 3,000 halaman surat-surat pemerintah, dokumen pengadilan, laporan polisi dan beragam foto serta laporan organisasi nonpemerintah. Semua wawancara dilakukan dengan sukarela. Para narasumber diberitahu lebih dulu tujuan wawancara, dan keterangannya dipakai untuk laporan ini. Individu-individu yang namanya disebutkan di sini menyetujui namanya dipublikasikan. Para remaja, yang jadi korban kekerasan dan beberapa korban berusia dewasa, namanya tak dicantumkan karena pertimbangan keamanan. Para narasumber tak menerima kompensasi apapun. Semua dokumen yang tertera dalam laporan ini tersedia di publik maupun disimpan Human Rights Watch.
Istilah dan Singkatan
Ahmadiyah |
Gerakan pembaharuan keagamaan Islam, didirikan di Qadian, Punjab, oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835–1908). Dalam bahasa Arab, Ahmadiyah berarti “pengikut Ahmad” dan penganutnya kadang disebut “Ahmadi.” Kehadirannya di Indonesia bermula di Sumatra pada 1925. Ia resmi berbadan hukum sebagai organisasi keagamaan sejak 1953 di Jakarta. |
Baha’i |
Agama Baha’i didirikan Bahaullah (1817-1892) di Baghdad pada 1863. Presiden Sukarno melarang Baha’i pada 1962. Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan itu pada 2001. |
Bakor Pakem |
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat yang menginduk Kejaksaan Agung dengan strukturnya di bawah kantor kejaksaan negeri di tiap provinsi dan kabupaten. |
Darul Islam |
Gerakan bersenjata yang dibentuk di Garut, Jawa Barat, pada 1949, bertujuan mendirikan negara Islam di Indonesia. Dalam bahasa Arab, Dar al-Islam artinya rumah Islam dan biasa dipakai untuk merujuk negara Islam. Dalam bahasa Indonesia, biasa dieja “Darul Islam.” |
Dewan Dakwah |
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi Islamis untuk berdakwah (istilah Arab untuk merujuk upaya atau menyebarkan keyakinan agama Islam). Organisasi ini berdiri untuk “menantang” agama lain termasuk Kristen, Buddha, Hindu, dan gerakan tarekat. Ia berdiri pada 1967 di Jakarta. |
FKUB |
Forum Kerukunan Umat Beragama |
FPI |
Front Pembela Islam, berdiri di Jakarta pada 1998. |
Garis |
Gerakan Reformis Islam, berdiri di Cianjur, Jawa Barat. |
GKI Yasmin |
Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin di Bogor, kota kecil selatan Jakarta. |
Golkar |
Golongan Karya, partai politik berdiri 1964 dengan beking militer. Partai berkuasa selama 33 tahun pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998). |
HKBP |
Huria Kristen Batak Protestan |
KPK |
Komisi Pemberantasan Korupsi |
KWI |
Konferensi Waligereja Indonesia |
Masyumi, Masjumi |
Majelis Syuro Muslimin Indonesia, koalisi dari kelompok Islam selama pendudukan Jepang di Indonesia saat Perang Dunia II. Dilarang Sukarno pada Agustus 1960. |
MPR |
Majelis Permusyawaratan Rakyat |
Muhammadiyah |
Organisasi Islam reformis dari kalangan Sunni, berdiri pada 1912 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Memiliki ratusan rumahsakit dan sekolah yang tersebar di kepulauan Indonesia. Dalam bahasa Arab, Muhammadiyah artinya “pengikut Muhammad.” |
MUI |
Majelis Ulama Indonesia |
Nahdlatul Ulama |
Organisasi Islam tradisionalis dari kalangan Sunni, berdiri pada 1926 di Jombang, Jawa Timur. Dengan perkiraan 40 juta pengikut, ia disebut sebagai organisasi sosial Muslim terbesar di dunia. Ratusan pesantren NU tersebar di Indonesia, sebagian besar di Pulau Jawa. |
Pancasila |
Prinsip atau filosofi politik Indonesia (secara harfiah artinya “lima asas”), dikenalkan saat kemerdekaan 1945, mengandung lima prinsip: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (mendaku beberapa agama dunia, bukan hanya Islam), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial. Di bawah Presiden Suharto, Pancasila jadi ideologi negara dan ideologi alternatif dipandang subversif. Kini, sesudah peran negara berkurang, Pancasila masih dirujuk sebagai titik tengara penting dalam pembahasan agama dan pluralitas di Indonesia. |
PDIP |
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan |
PGI |
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia |
PHDI |
Parisada Hindu Dharma Indonesia |
PK, belakangan PKS |
Partai Keadilan, partai politik di Indonesia yang meniru Ikhwanul Muslimin di Mesir. Nama partai kemudian diganti Partai Keadilan Sejahtera. |
PPP |
Partai Persatuan Pembangunan |
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo |
Pendiri Darul Islam (1905-1962) |
Islam Syiah |
Penganut Islam terbesar kedua. Dalam bahasa Arab, Syiah kependekan dari frase Shia’atu Ali, artinya “pengikut Ali”—merujuk Ali ibn Abi Ta lib (656–661), menantu Nabi Muhammad. Penganut Syiah menyakini Ali adalah pengganti paling sah Muhammad. |
Islam Sunni |
Penganut terbesar Islam. Dalam bahasa Arab, dikenal ‘ Ahl ū s-Sunnah wa ā l-Jam ā ’ ah atau “penganut tradisi Muhammad dan mufakat Ummah.” Penganut Sunni meyakini pengganti Muhammad berturut-turut: Abu Bakr, Umar al-Khattab, Uthman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Talib. Sebagian besar Muslim di Indonesia penganut Sunni. |
YAPI |
Yayasan Pesantren Islam milik Syiah di Bangil, Jawa Timur. |
I. Agama dan Negara sejak Kemerdekaan
Perdebatan Pasca-Kemerdekaan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama yang tertuang dalam pasal 29(2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan ini lahir dari perdebatan tentang keragaman agama yang bermula pada era yang dikenal Hindia Belanda pada 1920-an[4] dan dipertajam saat pendudukan Jepang di Indonesia dari 1942 hingga 1945.[5]
Republik Indonesia mengumumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sukarno, pemimpin gerakan kemerdekaan dan presiden pertama, menyatakan visi Indonesia sebagai negara yang melindungi hak-hak semua agama. Secara esensial, guna mendukung visinya, Sukarno mengenalkan konsep Pancasila, yang jadi pilar identitas bangsa Indonesia, mengokohkannya melalui pembukaan UUD 1945. Sukarno berpendapat Pancasila merupakan hal esensial untuk menjamin persatuan bangsa dan kesetaraan semua warganegara Indonesia. Kelima asas ini:
- Ketuhanan yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[6]
Pancasila adalah hasil perdebatan sengit antara para pendiri kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin muslim mengkritik gagasan Pancasila Sukarno, dianggap terlalu inklusif dan memprioritaskan pluralisme agama di atas sentralitas al-Quran bagi penduduk mayoritas Muslim di Indonesia. Beberapa menganjurkan peranan Islam lebih eksplisit dan secara politis memberi peran utama pada Islam ketimbang apa yang terkandung dalam Pancasila. [7]
Namun Sukarno memberi alasan bahwa toleransi agama merupakan kunci untuk persatuan Indonesia, dan diskriminasi agama akan memecah-belah bangsa. Dalam sebuah pidato di Universitas Indonesia pada 1953, dia berkata:
Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.[8]
Setelah pendirian Indonesia pada 1945, termasuk peresmian Pancasila, beberapa kelompok militan berusaha mendeklarasikan daerah-daerah di Indonesia sebagai negara Islam. Pada 7 Agustus 1949, salah satu kelompok menamakan diri “Darul Islam,” mengumumkan bentuk Negara Islam Indonesia, di Jawa Barat. Pemberontakan ini, yang cukup melumpuhkan pemerintahan Indonesia, memercikkan satu dasawarsa kekerasan antara para pejuang Islam dan militer Indonesia, mengakibatkan kematian sekira 11.000 orang antara 1953 dan 1958.[9]
Sukarno tetap percaya pada gagasan pluralisme. Dalam pidato 1953, dia khusus merujuk minoritas agama terbesar Indonesia, umat Kristen, tapi dengan gagasan kesetaraan bagi seluruh minoritas agama:
Bukan satu, bukan tiga, bukan ratusan, tapi ribuan orang Kristen gugur dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang diinginkan dari harapan umat Kristen? Haruskah kita tidak menghargai pengorbanan mereka? Harapan mereka bersama-sama menjadi anggota dari rakyat Indonesia yang merdeka dan bersatu. Jangan pakai kata-kata “minoritas,” jangan sekalipun! Umat Kristen tak ingin disebut minoritas. Kita tidak berjuang untuk menyebutnya minoritas. Orang Kristen berkata: “Kami tidak berjuang untuk anak kami untuk disebut minoritas.” Apakah itu yang kalian inginkan? Apa yang diinginkan setiap orang adalah menjadi warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sama dengan saya, dengan ulama, dengan anak-anak muda, dengan para pejabat, setiap orang tanpa kecuali: setiap orang ingin menjadi warga negara Republik Indonesia, setiap orang, tanpa memandang minoritas atau mayoritas.[10]
Pada 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama, di mana warga memilih anggota parlemen dan Konstituante, lembaga yang membuat undang-undang dasar. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Sukarno meraih suara terbanyak dengan 23,3 persen. Masyumi, gabungan dari kelompok Islam yang dibentuk pada 1943—mengampanyekan Syariat Islam—urutan kedua dengan 21 persen suara.
Perdebatan tentang pluralisme berlanjut. Pada 1957, misalnya, ketua Masyumi Muhammad Natsir menyatakan Pancasila:
Tidak jelas dan tidak mewakili jiwa umat Muslim yang sudah memiliki ideologi yang pasti, jelas dan lengkap, yang bergelora dalam hati rakyat Indonesia sebagai inspirasi kehidupan dan sumber kekuatan, yakni Islam. Bilamana umat berpindah dari ideologi Islam ke Pancasila adalah samaartinya dengan melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa yang vakum, tanpa udara.[11]
Pada Juli 1959, Presiden Sukarno membubarkan Dewan Konstituante, mengembalikan UUD 1945, dan mengenalkan “Demokrasi Terpimpin”—sebuah konsep yang terbukti jadi pembenaran bagi kekuasaan otoriter.[12] Pada awal 1960-an, kalangan konservatif Muslim menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, yang dianggap “menodai” Islam.[13] Pada 27 Januari 1965, Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden yang melarang setiap orang melecehkan agama atau terlibat penodaan agama—ditetapkan sebagai “pelanggaran” dan “penghinaan” agama. Sukarno juga menetapkan pemerintah akan mengatur “aliran-aliran kepercayaan” dan menghukum maksimal lima tahun penjara terhadap orang yang bermaksud ”… orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketetapan ini segera disarikan jadi pasal 156a dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.[14]
Agama pada Era Suharto
Pada September 1965, terjadi upaya kudeta yang gagal terhadap Presiden Sukarno. Ia makan korban enam jenderal Angkatan Darat. Namun keadaan berbalik cepat. Angkatan Darat pula, dipimpin Mayor Jenderal Suharto, yang naik ke tampuk tertinggi kekuasaan sesudahnya. Meski berbagai peristiwa upaya kudeta itu masih sumir, dan beberapa pelakunya dari kalangan militer sendiri, pemerintah mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia satu-satunya yang bertanggung jawab atas percobaan kudeta itu. Dari 1965 hingga 1967, Jenderal Suharto melancarkan aksi pembantaian terhadap kaum kiri dan mereka yang dituduh simpatisan kiri, membangkitkan ketakutan meluas di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan daerah lain di Indonesia. Perkiraan jumlah korban terbunuh dari 78.000 hingga sekitar 3 juta orang.[15]
Partai-partai politik Islam, tak seperti harapan mereka, ternyata tak mendapatkan keuntungan dari penghancuran Partai Komunis Indonesia. Justru Suharto mengekang mereka ketat, memaksa partai-partai Islam melakukan fusi politik ke dalam kelompok tunggal bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ini berubah kemudian pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, mula-mula Suharto menindas dan memperkuat organisasi Islam sebagai kekuatan politik, negara makin diidentifikasi sebagai pengawas Islam. Perkembangan berikutnya pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang disponsori negara pada 1991, dipimpin Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie.
Meski pemerintah mengawasi dengan ketat kelompok-kelompok Muslim, aksi-aksi kekerasan oleh para militan terhadap minoritas agama sesekali terjadi. Misalnya, pada awal 1967, militan Muslim menyerang properti Kristen di Meulaboh di Aceh, Makassar di Sulawesi, dan Jakarta, mengklaim mereka melawan “Kristenisasi.”[16] Istilah ini biasanya merujuk tuduhan upaya-upaya kalangan Kristen mengajak umat Islam pindah agama ke Kristen maupun apa yang dianggap kalangan Muslim sebagai pengaruh berkembangnya penganut Kristen di tengah mayoritas umat Islam di Indonesia.
Pada November 1967, rezim Suharto menggelar konferensi lintas-agama di Makassar untuk mengatasi ketegangan antara umat Islam dan Kristen. Saat konferensi, organisasi Muslim mendesak gereja-gereja Kristen tak menyebarkan atau membangun gereja baru di daerah mayoritas Muslim. Pemuka Kristen menolak usulan itu dan konferensi berakhir tanpa mencapai sebuah kesepakatan. Pada September 1969, Menteri Agama Mohammad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mengeluarkan surat keputusan bersama tentang rumah ibadah yang memberi wewenang pejabat lokal mengizinkan atau melarang pembangunan rumah ibadah.[17]
Antara 1971 dan 1997, Suharto menyelenggarakan enam pemilihan umum yang dikontrol ketat dan menyuburkan penindasan meluas di tengah masyarakat, seraya menekankan pertumbuhan ekonomi dan pelbagai kebijakan “modernisasi.” Kegiatan politik, termasuk organisasi-organisasi bernuansa Islam, sangat dibatasi.
Pemerintahan Suharto pada beberapa kesempatan mengerahkan kekuatan mematikan terhadap para aktivis Muslim. Pada September 1984, militer menembaki demonstran di pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta. Mereka memprotes penangkapan empat aktivis Muslim akibat pertengkaran dengan seorang tentara yang memasuki masjid tanpa melepas sepatu. Pada Februari 1989, sesudah militan muda Darul Islam menyerang dan membunuh dua tentara, militer membalasnya dengan serangan ke sebuah kampung di Talangsari, selatan Sumatra, membunuh lusinan aktivis Islamis dan menangkap serta menghukum sedikitnya 94 orang. [18]
Perkembangan Pasca-Suharto
Jatuhnya Presiden Suharto pada Mei 1998 melepaskan kekangan aktivitas politik lintas spektrum politik. Para aktivis Islamis, yang kian berani berkat kebebasan baru demokrasi Indonesia, mengorganisir diri dari semula kecil namun bertumbuh, dan sewaktu-waktu berpotensi jadi kekuatan politik. Beberapa partai politik, termasuk partai-partai arus-utama terbesar, melobi presiden terpilih untuk mendorong dan menerapkan pelbagai kebijakan yang membatasi kebebasan agama minoritas.
Huru-hara politik juga meledak pasca jatuhnya Suharto. Di bagian utara Sumatra, para pemberontak Aceh menuntut referendum yang sama seperti di Timor Timur pada 1999. [19] Di Kalimantan, milisi Dayak dan Melayu membantai pemukim Madura pada 1999-2003, sementara ribuan lebih orang tewas selama konflik sektarian di kepulauan Maluku pada 1999-2004. [20] Kekerasan sektarian antara Kristen dan Muslim juga meletus di Poso, Sulawesi.
Selepas Suharto jatuh, pengaruh politik Islam konservatif kian meningkat, sebagian karena partai-partai politik Islamis diizinkan memainkan peran legal dan terbuka dalam politik Indonesia, dan sebagian lagi karena kelompok-kelompok masyarakat sipil garis keras, yang beroperasi di luar sistem politik, berkembang dalam jumlah, ukuran, dan ditempa pengalaman. Pada pemilihan anggota parlemen Juni 1999, partai-partai politik yang mengumumkan identitasnya sebagai pembela asas-asas Islam , terdiri 20 dari 48 parpol, ikut pemilu. Dua Partai nasionalis “sekuler” terkemuka memenangkan 56 persen suara, sementara partai-partai beridentias Muslim mengumpulkan sekitar 37 suara, dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, yang berpandangan moderat, masing-masing meraih 12 dan 7 persen suara. Dua partai Islamis, yang secara terbuka mengampanyekan Syariat Islam, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan, memperoleh 11 dan 1,5 persen suara.[21]
Pasca-Suharto, kalangan Islamis, sebagaimana kelompok lain, memakai ruang demokrasi yang luas untuk menyebarkan dan mempromosikan gagasannya. Kelompok Islamis populis dan bahkan militan berkembang dengan mantap dalam menggalang kekuatan. Mereka termasuk Front Pembela Islam (FPI), dibentuk Agustus 1998, tiga bulan setelah Suharto lengser, dengan dukungan dari aparat keamanan yang saat itu bertujuan menantang kelompok mahasiwa yang memainkan peran kunci mendesak Suharto mundur.
Sejak Yudhoyono menjabat presiden pada Desember 2004, terjadi peningkatan kekerasan dengan sasaran Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama lain, sebagaimana data dari Setara Institute, yang dipaparkan di atas. Lebih dari 430 gereja diserang sejak 2004, menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). [22] Serangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah meningkat dengan mencolok sejak Yudhoyono menuruti tekanan kelompok-kelompok Islamis garis keras dan mengeluarkan surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah pada Juni 2008. Sejak itu, sedikitnya 30 masjid Ahmadiyah disegel.
Kendati empat presiden pasca-Suharto membuat kemajuan dalam transformasi Indonesia menuju demokrasi yang menghormati hak asasi manusia, mereka juga menghadapi tantangan serius dari Islamis militan. Tantangan itu termasuk pemboman, serangan mematikan terhadap komunitas Ahmadiyah, dan penutupan paksa gereja-gereja Kristen. Sementara kelompok Islamis terus-menerus melakukan serangan, pemerintah di tingkat pusat dan daerah gagal mengambil tindakan serius terhadap mereka yang bertanggung jawab menciptakan iklim yang kian menggaungkan ketakutan di Indonesia terhadap penganut minoritas agama. Untuk itulah, pemerintah dari presiden hingga level terbawah bertanggung jawab atas situasi tersebut.
Keragaman Agama di Indonesia
Total penduduk Indonesia sekitar 238 juta orang, menurut sensus 2010. Negara kepulauan ini terdiri lebih dari 17.000 pulau yang jadi rumah bagi 1000 kelompok bahasa, sebagian besar berbasis etnis. Sekira 88 persen mengindentifikasi diri sebagai Muslim, 9,3 persen Kristen, 1,8 persen Hindu, 0,6 persen Buddha, dan sisanya penganut pelbagai agama lebih kecil.[23] Sementara ada ragam mengagumkan di antara mereka yang beridentitas Muslim, tidaklah mengejutkan bila Islam sebagai pokok rujukan kunci dalam diskusi politik dan sosial di Indonesia.
Etnisitas juga faktor penting dan etnis bertautan erat dengan agama. Ragam kelompok etnis mempraktikkan ragam agama. Misalnya, etnis Jawa dan Sunda, dua kelompok etnis terbesar di Indonesia, sebagian besar Muslim Sunni; Melayu dan Madura, kelompok etnis terbesar ketiga dan keempat, juga kebanyakan Muslim Sunni; Batak, kelompok etnis terbesar kelima, mayoritas Kristen.
10 Kelompok Etnis Terbesar Penduduk Indonesia: Sensus 2000
Ethnic Group |
Number (million) |
Percentage |
Jawa |
83,8 juta |
41,7 |
Sunda |
30,9 juta |
15,4 |
Melayu |
6,9 juta |
3,5 |
Madura |
6,7 juta |
3,4 |
Batak |
6,0 juta |
3,0 |
Minangkabau |
5,5 juta |
2,7 |
Betawi |
5,0 juta |
2,5 |
Bugis |
5,0 juta |
2,5 |
Banten |
4,1 juta |
2,0 |
Banjar |
3,5 juta |
1,7 |
Jawa dan Sunda, sebagian besar tinggal di bagian timur dan barat Pulau Jawa, mencapai 57 persen dari penduduk Indonesia. Konsentrasi populasi ini membuat Jawa sebagai episentrum pengaruh dan kekuatan politik Indonesia.
Muslim Sunni dan Kelompok Sunni
Indonesia memiliki penduduk Muslim terbesar dari negara manapun di dunia. Menurut Pew Research Center, sekira 13 persen Muslim dunia tinggal di Indonesia.[24] Pada dasawarsa terakhir, jumlah Muslim dalam takaran persentase dari seluruh penduduk Indonesia relatif statis. Menurut sensus 1971, ada 103,6 juta Muslim di Indonesia, sekitar 87,5 persen dari total 118 juta penduduk Indonesia.[25] Pada 2010, ada 209 juta Muslim atau sekira 88 persen dari total 238 juta penduduk Indonesia.[26]
Nyaris semua Muslim Indonesia adalah Sunni, cabang Islam terbesar di dunia. Tak ada sensus resmi berapa jumlah penganut Sunni atau Syiah, atau penganut lain di Indonesia. Muslim Sunni di Indonesia mewakili beragam organisasi yang terpecah berdasar spektrum politik. Beberapa organisasi berkembang secara lokal, lainnya punya jalinan internasional yang kuat. Aliran ultra-konservatif Islam Sunni di Indonesia dipengaruhi paham salafisme dan Wahhabisme. Salafisme adalah gerakan ultra-puritan yang bertujuan mempraktikkan Islam sebagaimana Nabi Muhammad, sahabatnya dan tiga generasi Muslim pertama. Wahhabi meyakini Islam memberikan panduan lengkap yang komprehensif untuk politik serta keyakinan, dan mereka memandang lawannya sebagai kafir. [27]
Dua organisasi Muslim Sunni lokal terbesar di Indonesia adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Muhammadiyah, berdiri pada 1912 di Yogyakarta, ialah gerakan Muslim reformis, mendirikan sekolah dan rumahsakit dan bekerja memurnikan ajaran Islam dari praktik pengaruh pra-Islam, Hindu atau Buddha. Ia organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia. [28]
Nahdlatul Ulama adalah organisasi Sunni yang berdiri pada 1926 di Jombang, Jawa Timur. Dalam bahasa Arab, artinya “kebangkitan ulama,” perkumpulan tokoh Muslimberpengaruh. Ia menjalankan ribuan pesantren, kebanyakan di Jawa, dengan lingkup nasional. NU juga mengakomodasi ratusan organisasi tarekat (sufi) di bawah payungnya, memberi perlindungan dari kelompok yang melabelinya sesat.[29] NU mengklaim memiliki 40-45 juta anggota, menjadikannya organisasi Muslim terbesar di Indonesia.
Muhammadiyah dan NU punya pendekatan inkonsisten terhadap minoritas agama. Di satu sisi, individu-individu terkemuka kedua organisasi berupaya menentang langkah-langkah diskriminatif terhadap minoritas agama.[30] Pada 2008, sekelompok individu berusaha mencegah pemerintah agar tak mengeluarkan surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah, dengan menandatangani sebuah petisi yang dipublikasikan di harian Kompas. Pada 2009, beberapa pemohon mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi untuk mencabut penetapan presiden tentang penodaan agama.
Di sisi lain, organisasi NU dan Muhammadiyah tak secara resmi menentang SKB anti-Ahmadiyah 2008. Kendati keduanya secara resmi menentang penggunaan kekerasan terhadap Ahmadiyah, kebungkaman mereka pada SKB punya gaung pengaruh pada proses berikutnya.[31] Di Jawa Timur, NU menganjurkan larangan terhadap Islam Syiah.[32] Dan NU serta Muhammadiyah juga punya perwakilan di Majelis Ulama Indonesia yang konservatif, yang memberi nasihat kepada pemerintah mengenai kebijakan tentang agama. Beberapa pemukanya menandatangani fatwa MUI untuk melarang Ahmadiyah.
Pada ujung spektrum lain, terdapat beragam kelompok Muslim konservatif, termasuk Front Pembela Islam (FPI), yang memakai atribusi Islam untuk berupaya membenarkan sejumlah tindakan pengerusakan terhadap bar, klub, tempat bilyar dan gereja-gereja Kristen serta masjid Ahmadiyah.[33] Ketuanya, Rizieq Shihab, dan komandan milisi, Munarman, pernah dipenjara 18 bulan atas serangan elemen FPI terhadap pertemuan lintas-agama di Jakarta pada 2008.[34]
Sejarahnya, FPI berhubungan dekat dengan beberapa perwira polisi dan militer Angkatan Darat. Menurut dokumen yang bocor, pejabat intelijen Indonesia pada 2006 berkata kepada pegawai Kedutaan AS bahwa polisi Indonesia memandang FPI bermanfaat sebagai “anjing penjaga,” alat berguna untuk tameng pasukan keamanan dari kritikan atas pelanggaran hak asasi manusia, sementara mendanai FPI sudah “tradisi” polisi dan Badan Intelijen Negara (BIN).[35] Polisi membantah hubungan dengan FPI.[36]
Kelompok militan lain, Gerakan Islam Reformis (Garis) beroperasi hanya di kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sekitar tiga jam berkendaraan dari Jakarta. Ketua Garis, Chep Hernawan, seorang pengusaha, mendirikan organisasi ini pada 1998. Sejak 2005, Garis melakukan upaya desakan publik untuk menutup masjid-masjid Ahmadiyah. Pada 2007, Garis menghentikan rombongan peziarah ke biara Katholik di Cianjur.[37]
Indonesia juga subur dengan kelompok Islamis ektremis yang memakai kekerasan secara terbuka dalam mencapai tujuan mereka. Di bawah pengaruh al Qaeda, Jemaah Islamiah (JI) menggamit gagasan yang tujuannya hanya bisa terwujud lewat “perang suci.” JI bertanggung jawab atas sejumlah pemboman di Indonesia dan tempat lain, termasuk meledakkan dua klub malam di Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang. Ia juga terlibat dalam serangan yang menyasar jemaat Kristen di Indonesia. Sel pecahan JI melakukan serangan serupa di hotel JW Marriott, juga di Jakarta, pada Agustus 2003. Sejumlah militan JI dipenjara atau terbunuh ditembak dalam operasi kontraterorisme pemerintah sejak 2001.
Pada 2000, pendiri Jemaah Islamiah, Abu Bakar Bashir, membantu mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Yogyakarta. Bashir berselisih dengan para pemimpin MMI lain atas keterlibatannya dalam proses demokrasi di Indonesia. [38] Bashir kemudian keluar dari MMI dan mendirikan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008. Bashir dan para tokoh JAT dengan terbuka menentang demokrasi, menganjurkan penerapan Syariat penuh, dan mengajarkan interpretasi militansi jihad. [39] Para pembom bunuh diri dari kelompok pecahan JAT menyerang sebuah masjid di Cirebon pada 15 April 2011, dan sebuah gereja di Solo pada 25 September 2011. [40] Bashir sendiri dipidana dan dihukum 15 tahun penjara pada Juni 2011 atas perannya dalam membiayai kamp pelatihan militan di Aceh. [41] Vonis ini kemudian dikurangi jadi sembilan tahun penjara. Dia tercantum dalam daftar individu yang terhubung dengan al Qaeda yang dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. [42]
Muslim Syiah
Syiah pengikut kedua terbesar Islam di Indonesia. Dalam bahasa Arab, Syiah kependekan dari frase Shiatu Ali atau "para pengikut Ali"—merujuk Ali ibn Abi Talib, menantu Nabi Muhammad. Umat Sunni menganggap Ali adalah khilafah keempat dan terakhir dari empat khilafah (656–661). Kaum Syiah memandang Ali sebagai Imam pertama dan mendapuk dia dan keturunannya sebagai pengganti sah Muhammad.
Tak ada sensus berapa jumlah pengikut Muslim Syiah di Indonesia. Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), organisasi Syiah nasional yang berdiri pada 2000, menyatakan sekitar 2,5 juta jemaah Syiah di Indonesia.[43] Organisasi Syiah lain, Ahlul Bait Indonesia (ABI), yang muncul pada 2010,[44] berkata sebagian besar jemaah Syiah di Indonesia bermukim di provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.[45]
Pada 1984, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan Muslim Indonesia “harus mewaspadai” ajaran Syiah.[46]
Kristen
Kristen adalah kelompok agama terbesar kedua di Indonesia, berjumlah 22 juta orang, atau 9,3 persen dari populasi. Di Indonesia, agama Kristen secara hukum dibagi dua: Katholik dan Protestan. Secara kasar, 2/3 Kristen adalah penganut Protestan, sementara 1/3 lain Katholik. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), sebuah payung gereja-gereja Protestan, memiliki 40 anggota, 30 di antaranya “gereja etnis,” artinya pelayanan ibadah mereka diadakan sebagian besar dalam bahasa lokal.
Protestan Indonesia memiliki dua kelompok payung yang lebih kecil, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLI), terdiri 82 gereja individual,[47] dan Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI).[48]
Milisi Kristen terlibat dalam kekerasan terhadap minoritas Muslim di Kepulauan Maluku dan Poso setelah Presiden Suharto lengser dari kekuasaan pada 1998. Mayoritas Kristen juga sering menghambat pembangunan masjid di daerahnya, kebanyakan di kawasan Indonesia timur.
Katholik berada di bawah Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pemerintah hampir setiap saat berkonsultasi dengan PGI dan KWI saat mengumumkan peraturan resmi yang mempengaruhi kebebasan beragama.
Jumlah, Persentase, dan Rerata Pertumbuhan Penganut Agama di Indonesia
Agama |
Sensus 1971 Jumlah (juta) |
% |
Sensus 2000 Jumlah (juta) |
% |
Rerata Pertumbuhan Tahunan |
Islam |
103,579,496 |
87.51 |
177,528,772 |
88.22 |
1.86 |
Kristen |
8,741,706 |
7.39 |
17,954,977 |
8.92 |
2.48 |
Hindu |
2,296,299 |
1.94 |
3,651,939 |
1.81 |
1.60 |
Buddha |
1,092,314 |
0.92 |
1,694,682 |
0.84 |
1.51 |
Konghucu |
972,133 |
0.82 |
- |
- |
- |
Lainnya |
1,685,902 |
1.42 |
411,629 |
0.20 |
-4.86 |
TOTAL |
118,367,850 |
100 |
201,241,999 |
100 |
Kelompok etnis Batak, etnis terbesar kelima di Indonesia, sebagian besar beragama Kristen, terdiri beberapa jemaat. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah gereja Kristen terbesar di Asia Tenggara, dengan pengikut sekitar 3,5 juta jemaat di lebih dari 3.000 gereja lokal di seluruh Indonesia.[49]
Jumlah umat Kristen di Indonesia naik sedikit sejak 1970-an sebagaimana persentase dari total penduduk, dari 7,4 persen pada 1971 jadi 8,9 persen pada 2010.
Sebagian besar etnis China Indonesia, kelompok yang mendominasi secara ekonomi di Asia Tenggara, banyak pindah dari Konghucu ke Kristen. Pada 2000, sekitar 1,5 persen penduduk Indonesia adalah etnis China.[50]
Hindu
Hindu merupakan minoritas agama terbesar kedua di Indonesia. Mereka kebanyakan tinggal di Pulau Bali. Penduduk Hindu Bali berjumlah 3,4 juta. Para pendatang Hindu Bali, disponsori pemerintah sejak 1980-an, juga menyebar di Lampung, selatan Sumatra, dan provinsi Sulawesi Tengah.[51]
Beberapa kepercayaan suku seperti Kaharingan (di antara suku Dayak di Borneo), Aluk To Dolo (di antara suku Toraja di selatan Sulawesi), dan Malim (di antara suku Batak di Sumatra) menjalin afiliasi dengan agama Hindu demi upaya bertahan diri, adapun secara jelas menjaga kekhasan dari ajaran Hindu Bali.[52]
Buddha
Agama Buddha punya sejarah panjang di Indonesia dengan sejumlah candi di Jawa dan Sumatra, termasuk candi Muaro Jambi yang dibangun pada abad ke-7 dan candi Borobudur di dekat Yogyakarta, dibangun pada abad ke-8 dan ke-9. Militan Islamis pernah membom beberapa stupa Borobudur pada Januari 1985.[53]
Mayoritas umat Buddha adalah etnis China yang bermigrasi dari Tiongkok ke Indonesia pada tujuh abad silam.[54] Etnis China punya sejarah kompleks di Indonesia sejak mereka sebagai minoritas yang mendominasi ekonomi pada awal abad ke-20.[55] Dominasi ekonomi ini pada titik kisar waktu, dalam sejarah Indonesia terkini, seringkali berbuntut prasangka rasial yang sengit dan bahkan kekerasan di tangan unsus-unsur penduduk mayoritas.[56]
Kini, menurut sensus 2010, sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia adalah penganut agama Buddha, sekira 0,6 persen dari populasi. Kebanyakan umat Buddha tinggal di Jakarta, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Banten, serta di pulau Bangka dan Belitung. [57]
Ahmadiyah
Ahmadiyah (kadang dirujuk sebagai Ahmadi, sering juga dieja Ahmadiyya) menyatakan diri Muslim, sementara sebagian besar Muslim menganggap mereka bid’ah dengan alasan salah satunya mengakui “Imam Mahdi” sesudah Muhammad, kendati beberapa kelompok Ahmadiyah menuntut dengan tegas bahwa, sebagaimana Muslim kebanyakan, mereka tak mengakui nabi apapun sesudah Muhammad. Gerakan ini didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1839–1908), kelahiran Punjab, India. Pada 1889, Ahmad menyatakan telah menerima wahyu, dan dua tahun kemudian mengumumkan diri sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.
Seorang mubaligh Ahmadiyah tiba di Sumatra pada 1925. Pada 1926, masjid Ahmadiyah kali pertama didirikan di Padang, Sumatra.[58] Sebuah surat keputusan pemerintah Sumatra Barat pada 2011 meminta penutupan masjid tersebut.[59] Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), organisasi nasional Ahmadiyah, terdaftar berbadan hukum tetap di Jakarta pada 1953.
Tiada statistik jumlah Ahmadi di Indonesia. Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang mengatakan Ahmadiyah harus dilarang, memperkirakan ada 50.000 jemaah Ahmadiyah, menyangkal laporan media yang menyebut 400,000 pengikut.[60] Majelis Ulama Indonesia menyatakan Ahmadiyah dianggap “menyimpang” pada fatwa 1980 dan mempertegasnya lagi pada 2005.[61]
II. Aturan dan Lembaga Negara yang Fasilitasi Diskriminasi dan Pelanggaran
Pemerintah Indonesia, dalam undang-undang dan perjanjian-perjanjian internasional, menghormati hak kebebasan beragama. Kebebasan beragama jadi bagian dari konstitusi Indonesia sejak kemerdekaan 1945. Pada 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin dalam pasal 18(2), “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya,” dan pasal 27, “Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Komisi Hak Asasi Manusia PBB, badan ahli internasional yang memantau pemenuhan negara terhadap ICCPR, menyatakan dalam Komentar Umum 22 bahwa “memandang dengan prihatin adanya kecenderungan mendiskriminasi suatu agama atau kepercayaan atas dasar apapun, termasuk berdasarkan kenyataan bahwa mereka… mewakili minoritas agama yang mungkin menjadi subyek permusuhan dalam komunitas agama mayoritas tertentu.” [62] Selain itu, fakta bahwa para pengikut agama mayoritas penduduk tak mengizinkan “diskriminasi apapun terhadap para penganut agama lain atau orang-orang tak beragama atau berkepercayaan.” [63] Pada Febuari 2013, pelapor khusus PBB soal kebebasan beragama atau keyakinan Heiner Bielefeld, memperingatkan bagian dari undang-undang Indonesia soal organisasi masyarakat “bisa melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan” [64] Bielefeld, bersama dengan pelapor khusus kebebasan berserikat dan berekspresi, meminta pemerintah untuk merevisi rancangan undang-undang supaya, “sejalan dengan norma-norma dan standar hak asasi manusia internasional.” [65]
Pada 2004, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang mendesentralisasi banyak aspek dalam pemerintahan Indonesia. Ia mendorong kekuatan pada kelompok-kelompok baru secara lokal, Islamis dan lainnya, serta menguasakan para pejabat daerah bekerja dengan mengurangi apa yang disebut “sentralisme kekuasaan” pejabat dan hakim. Namun, dalam undang-undang itu, agama tak didesentralisasi. Ia salah satu dari enam bidang di mana pemerintah daerah tak diberi mandat mengaturnya: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. [66]
Kendati hukum Indonesia menjamin kebebasan beragama, beberapa peraturan dan kebijakan lama menggerogoti hak tersebut. Selama 60 tahun terakhir, pelbagai langkah hukum memfasilitasi diskriminasi terhadap keyakinan minoritas. Di antaranya pembentukan Kementerian Agama pada 1946, penatapan presiden tentang penodaan agama 1965, keputusan menteri tentang pembangunan rumah ibadah pada 1969 dan 2006, serta ketentuan peraturan lain di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten telah memfasilitasi diskriminasi terhadap minoritas. Bagian ini mengurai usaha diskriminasi paling signifikan.
Amandemen Undang-Undang Dasar 2000
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
- Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Negara menjamim kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. [67]
Pada 18 Agustus 2000, undang-undang diamandemen sebagai upaya antara lain memperkuat prinsip kebebasan beragama.[68] Pasal 28E (2) secara luas menjamin hak asasi manusia warga negara Indonesia, dan secara rinci merujuk kebebasan beragama, menetapkan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Tapi pasal 28J (2), yang juga dikenalkan pada 2000, mengatur tugas-tugas hukum, yang praktiknya bisa dipakai untuk menghambat kebebasan beragama, terutama terhadap minoritas agama: Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan terakhir itu jadi pijakan untuk mendesak minoritas agama memenuhi tuntutan mayoritas agama. Hingga 2010, Indonesia memiliki sedikitnya 156 ketentuan peraturan, keputusan menteri, dan aturan turunannya yang membatasi kebebasan beragama, sebagian besar merujuk pembenarannya pada pasal 28J (2).[69]
Di antara hukum paling signifikan menghambat kebebasan beragam di Indonesia itu:
- Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama , disahkan Presiden Sukarno;
- Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1/79 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia;
- Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23/2002, disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memuat pasal “melindungi” agama seorang anak bahkan bila diadopsi;
- Peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri (No. 8 dan No. 9/2006), tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah”;
- Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (No. 3/2008) yang mengatur Ahmadiyah untuk “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan keagamaan.” [70]
Pasal Penodaan Agama 1965
Tekanan dari kalangan konservatif Muslim melapangkan jalan bagi pasal pidana penodaan agama yang mengandung penafsiran kabur dan luas sejak pemerintahan Sukarno. Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.[71]
Pasal pidana ini disarikan dari penetapan presiden yang disahkan Sukarno tentang penodaan agama, ditandatangani pada 27 Januari 1965, yang memenuhi permintaan kaum konservatif Muslim. Bagian penjelasan dari ketetapan ini menegaskan bahwa agama-agama “yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia” ialah “Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan khong Cu (Confusius).” Pada paragraf berikutnya, “Ini tidak berartiagama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, dan Taoism dilarang di Indonesia … mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”
Penfasiran umum dari pasal penodaan agama ini bahwaIndonesia hanya mengakui secara resmi enam agama. Mahkamah Konstitusi memutuskan, sejak adanya aturan itu, penafsiran tersebut keliru. Ia menegaskan bahwa Indonesia mengakui agama apapun yang dianut warga negara. Tapi hanya melindungi enam agama dari penodaan.[72]
Sejak 2005, lebih dari selusin individu dihukum atas penodaan agama, termasuk:
- Yusman Roy, pendiri pondok i’tikaf, dipidana dua tahun pada 2005 oleh pengadilan negeri Malang, Jawa Timur, karena menyulih-suarakan ibadah dalam bahasa Indonesia yang, menurut Majelis Ulama Indonesia, menodai keaslian bahasa shalat; [73]
- Lia Eden, M. Abdul Rachman, dan Wahyu Andito Putro Wibisono, tiga guru kelompok spiritual bernama “Komunitas Eden” di Jakarta, dipidana penjara antara dua hingga tiga tahun pada 2006 oleh pengadilan negeri Jakarta. Lia Eden mengklaim dia menerima wahyu dari Malaikat Jibril; [74]
- Dedi Priadi dan Gerry Lufthy Yudistira, ayah dan anak, pengikut tarekat sufi Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dihukum tiga tahun penjara pada Mei 2008 oleh pengadilan negeri Padang, Sumatra Barat, karena penodaan agama. [75]
- Antonius Richmond Bawengan, pengkhotbah dan bekas penganut Katholik, dihukum lima tahun penjara pada 2011 oleh pengadilan negeri Temanggung, Jawa Tengah, karena menyebarkan buklet yang menghujat Islam berjudul “Tiga Sponsor-Tiga Agenda-Tiga Hasil” di Kranggan, kampung kecil dekat Temanggung, pada Oktober 2010; [76]
- Alexander An, pegawai negeri Minangkabau dan admin grup Facebook “Ateis Minang ”, dipidana 30 bulan dan membayar denda Rp 100 juta pada Juni 2012 oleh pengadilan negeri Sijunjung, Sumatra Barat, karena menghasut keresahan publik via laman Facebook dia. Awalnya dia didakwa pasal penodaan agama serta pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tapi pengadilan hanya menjatuhkan pelanggaran undang-undang internet dalam vonisnya. [77]
- Andreas Guntur, pemimpin kelompok tarekat Amanat Keagungan Ilahi, dipidana empat tahun penjara pada Maret 2012 oleh pengadilan negeri Klaten, Jawa Tengah, karena mengembangkan tafsiran ayat-ayat al-Quran tapi tak mengikuti ajaran Islam yang diyakini secara umum. Kelompok Guntur dikecam Majelis Ulama Indonesia, yang mengeluarkan fatwa terhadap mereka pada 2009. [78]
- Tajul Muluk, ulama Syiah di Sampang, Pulau Madura, dipenjara pada April 2012, diadili dan dihukum dua tahun penjara pada Juli 2012 oleh pengadilan negeri Sampang, karena penodaan agama. [79] Pada September 2012, pengadilan tinggi Jawa Timur menaikkan hukuman jadi empat tahun. Dia mengajukan kasasi tapi Mahkamah Agung tetap memutuskan empat tahun penjara pada Januari 2013. [80]
- Sebastian Joe, seorang Muslim di Ciamis, dihukum empat tahun penjara karena penodaan agama pada November 2012 oleh pengadilan negeri Ciamis, Jawa Barat, atas komentarnya tentang Islam di laman Facebook dia. pada Januari 2013, pengadilan tinggi Jawa Barat menaikkan hukuman jadi lima tahun, memasukkan dakwaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. [81]
Pada Oktober 2009, para aktivis mengajukan judical review terhadap penetapan presiden 1965 tentang penodaan agama pada Mahkamah Konstitusi. Dipimpin mantan Presiden Abdurrahman Wahid, para pemohon berpendapat peraturan tersebut melanggar hak konstitusional kebebasan berekepresi dan kewajiban Indonesia memenuhi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional.[82]
Dua menteri yang dipanggil sebagai saksi, Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patralis Akbar, berpendapat penetapan presiden itu memenuhi hak konstitusional. Mereka berkata sekelompok Muslim boleh jadi akan menyerang minoritas-minoritas agama bila pasal penodaan agama dicabut, meyakininya hal itu tugas mereka melindungi agama mereka jika Islam dinodai. [83] Sejumlah anggota kelompok Islamis yang menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi setiap pekan, dan beberapa Islamis, menganiaya para pengacara dan saksi penggugat di gedung MK. [84]
Pada 19 April 2010, pengadilan memutuskan, dengan suara 8 banding 1, bahwa pasal penodaan agama secara hukum membatasi keyakinan agama minoritas demi kewajiban memelihara “ketertiban umum.” Kendati begitu, pengadilan dengan suara mayoritas menyatakan agama ialah masalah privat, di mana negara tak boleh ikut campur, perlu ditegakkan pembatasan undang-undang penodaan agama, dengan menyelidiki minoritas-minoritas agama yang mungkin jadi target kekerasan oleh anggota intoleran di depan umum, yang tak cukup hanya dengan dididik mendukung pluralisme agama. Pengadilan juga menyimpulkan, PNPS penodaan agama bukanlah merujuk pengakuan “agama resmi” di Indonesia. [85]
Pada persidangan, hanya Hakim Maria Farida Indrati yang mengajukan pendapat keberatan (dissenting opinion), menyatakan PNPS penodaan agama seharusnya inkonstitusional karena dengan tegas mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan akan memaksa individu-individu meninggalkan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas yang melawan keinginan mereka.[86]
SKB Rumah Ibadah
Surat keputusan soal rumah ibadah dibuat pada 1969 dan diperbarui pada 2006. Ia membuka celah pelanggaran kebebasan beragama lewat pembatasan yang tak perlu soal pembangunan rumah ibadah. Peraturan ini dipakai terutama untuk mendiskriminasi warga Kristen yang hendak membangun gereja. Pada sebagian kecil kasus, peraturan ini juga dipakai di Indonesia timur, yang mayoritas Kristen, terhadap kaum Muslim yang hendak membangun masjid.
Ceritanya, beberapa kalangan Muslim di Indonesia prihatin dengan apa yang mereka sebut “Kristenisasi” di Indonesia. [87] Betapapun, bila melihat sensus selama empat dasawarsa di Indonesia, klaim bertambahnya umat Kristen itu kecil bila dibandingkan seluruh penduduk Indonesia (dari 7,4 persen pada 1971 menjadi 8,9 persen pada 2010). Namun, meningkatnya penyiaran agama oleh beberapa jemaat Kristen, dalam beberapa hal, dirasakan gencar di wilayah tradisional Muslim –cukup sering dengan donasi dari lembaga donor Kristen di luar Indonesia—bikin panas perdebatan.
SKB 1969
Surat keputusan 1969 tentang pembangunan rumah ibadah dikeluarkan menteri agama, Mohammad Dahlan, dan menteri dalam negeri, Amir Machmud.[88] Keputusan menteri ini memberi wewenang pemerintah daerah mengharuskan “setiap rumah ibadah hanya boleh dibangun dengan persetujuan pejabat daerah,” seperti gubernur. Ia juga menyatakan, “jika diperlukan, kepala pemerintahan dapat meminta pendapat organisasi keagamaan dan ulama” sebelum rumah ibadah dibangun.[89]
Segera setelah keputusan menteri keluar, beberapa gubernur mengeluarkan aturan daerah, yang praktiknya membatasi agama minoritas. Misalnya, gubernur Jawa Barat mewajibkan rumah ibadah baru harus disetujui sedikitnya 40 warga yang tinggal di sekitarnya; sementara pemerintah lain, walikota, dan bupati mendesak gereja mendapatkan “persetujuan sebelumnya” dari “pemuka agama” di daerah masing-masing. [90] Pada 1979, di Singkil, Aceh selatan, pemerintah daerah mendesak jemaat Kristen menandatangani persetujuan hanya boleh punya satu gereja dan empat undung-undung kendati mereka saat itu sudah memiliki 14 gereja di daerah tersebut. [91]
Meski peraturan itu seakan-akan berlaku untuk semua agama, dalam praktiknya ia dipakai mendiskriminasi agama-agama minoritas. Umat Kristen di sejumlah daerah menghadapi kesulitan langgeng untuk memperoleh izin pendirian gereja, termasuk di daerah-daerah yang sudah berubah demografinya, karena adanya pertambahan penduduk beragama Kristen di daerah tradisional Muslim. Pada beberapa kasus, pendirian bangunan gereja membutuhkan 10 hingga 20 tahun. Para militan Muslim juga memakai keputusan menteri ini untuk membenarkan aksi perusakan, kadang-kadang pembakaran terhadap apa yang mereka sebut “gereja liar.”
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, organisasi payung gereja Protestan, berulangkali mendesak pemerintah mencabut SKB 1969. Ketika mereka mulai sulit membangun gereja, dampak dari SKB 1969, jemaat Kristen di pulau-pulau mayoritas Muslim terpaksa mengadakan ibadah di rumah pribadi. [92] Namun, pada 1975, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menginstruksikan pemerintah provinsi lewat telegam untuk melarang penggunaan “rumah pribadi” sebagai tempat ibadah, yang gilirannya membatasi kebebasan beragama. Kendati surat kawat itu tanpa dasar hukum, penerapannya terus dipaksakan saat ini di beberapa daerah. [93]
SKB 2006
Beberapa presiden pasca-Suharto berusaha mengatasi masalah SKB rumah ibadah, tapi tak berhasil. Setelah menjabat presiden pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan pemuka Kristiani dan setuju bahwa pendirian rumah ibadah tak boleh bergantung pada keinginan mayoritas. Dia minta menteri agama, Maftuh Basyuni, mengevaluasi SKB 1969.[94]Maftuh Basyuni bersama Ma'ruf Amin, ketua komisi fatwa dari Majelis Ulama Indonesia, juga anggota badan pertimbangan presiden, memimpin panitia untuk merancang SKB baru.[95]
Pada Maret 2006, Menteri Basyuni dan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf memperbaharui SKB 1969 dengan mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9/2006, tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.” SKB ini terutama mengizinkan pemerintah daerah tetap menerapkan persyaratan pembangunan rumah ibadah.[96]
SKB itu menetapkan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan pada “keperluan nyata dan sungguh-sungguh” serta “komposisi jumlah penduduk” di wilayah bersangkutan.[97] Syarat pendirian rumah ibadah harus memenuhi:
- Daftar dan dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan pejabat setempat;
- Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
- Rekomendasi tertulis kepala kantor Kepartemen Agama kabupaten/kota;
- Rekomendasi tertulis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota. [98]
Pemerintah daerah berkewajiban fasilitasi “tersedianya lokasi” pembangunan rumah ibadah bila syarat tandatangan terpenuhi, adapun rekomendasi tertulis “hasil musyarawat dan mufakat dalam rapat FKUB.” [99] Bupati atau walikota harus memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan. [100] Mereka yang mengajukan pendirian rumah ibadah dapat menggunakan bangunan biasa sebagai tempat ibadah sementara seizin bupati atau walikota. [101]
SKB itu mewajibkan pemerintah daerah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragam di masing-masing daerah.[102] Komposisi FKUB harus mencerminkan perbandingan jumlah penganut agama setempat, artinya daerah mayoritas Muslim akan diisi lebih banyak anggota Muslim ketimbang Kristen, misalnya—begitupun sebaliknya, yang menempatkan agama minoritas dirugikan bila hendak memperoleh izin rumah ibadah.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menganggap aturan 2006 ini lebih represif daripada aturan 1969. Mereka terutama menentang ketentuan yang memberi wewenang pemerintah daerah punya hak menyetujui atau menolak izin membangun rumah ibadah. Ia juga bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2004 yang menegaskan bahwa masalah agama adalah ranah pemerintah pusat. Bahkan, sekalipun pemuka Kristiani merasa keberatan, secara politik, mereka tak punya pilihan dengan menyetujui tanpa bisa dibantah, kendati berusaha keras agar pasal-pasal yang dimuat SKB itu lebih ramah, termasuk ketentuan persyaratan, yang akhirnya tercantum dalam SKB tersebut. Pada gilirannya, mereka minta pemerintah menyediakan tempat ibadah ketika mereka mendapatkan masalah memperoleh izin mendirikan rumah ibadah.[103]
Aturan rumah ibadah ini bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam praktek, cukup banyak pejabat daerah mengabaikan undang-undang tersebutdengan membuat berbagai ketentuan lokal, tingkat provinsi hingga kabupaten, yang menuruti kelompok-kelompok Islam. Di Blitar, Walikota Samahudi Anwar menuntut enam sekolah Katholik mengajarkan baca-tulis al-Quran bagi murid Muslim. Ketika sekolah menolak, dia mengancam menutup sekolah tersebut. Ini akhirnya mendorong Mahkamah Konstitusi mengingatkan pada walikota bahwa agama adalah wewenang pemerintah pusat, sesuai UU Pemerintahan Daerah.[104]
SKB Anti-Ahmadiyah 2008
Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengulang kembali fatwa yang dikeluarkan 1980, dengan menyatakan komunitas Ahmadiyah menyimpang dari ajaran al-Quran. MUI mengatakan Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai “nabi.” [105] Sesudah fatwa 2005, kelompok-kelompok Islamis menggerakan massa dan menyerbu sekolah mubaligh Ahmadiyah di Parung, kabupaten Bogor, Jawa Barat, begitupun komunitas Ahmadiyah di Lombok Timur (Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara Barat) dan di provinsi Jawa Barat (termasuk di Manis Lor, Tasikmalaya, Garut, Ciaruteun, dan Sadasari).
Pada 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), yang menginduk di bawah Kejaksaan Agung, mengusulkan pelarangan organisasi Ahmadiyah. Para pemuka Muslim moderat merespon dengan melakukan aksi dukungan terhadap Ahmadiyah dan prinsip-prinsip kebebasan beragama.[106]
Adnan Buyung Nasution, anggota dewan pertimbangan presiden, berusaha mencegah SKB terbit. Dia minta Presiden Yudhoyono tak meloloskannya. “Ini akan jadi preseden kepada golongan-golongan lain kalau Ahmadiyah tidak ada jaminan,” kata Nasution.[107]Menurut Nasution, Yudhoyono minta dia bertemu dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji.[108]
Kalangan moderat mengadakan apel akbar di Jakarta pada 1 Juni 2008, berharap bisa menekan pemerintah untuk tak melarang Ahmadiyah. Namun militan Muslim menyerang aksi damai itu, mengejar-ngejar, menjotos, menendang, memukuli para peserta aksi dengan bambu dan kayu rotan. Lebih dari 60 orang luka, beberapa luka berat.[109] Polisi kemudian menangkap Munarman dan Habib Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam. Pada Oktober 2008, pengadilan Jakarta Pusat mendakwa mereka terbukti bersalah karena “melakukan kekerasan bersama-sama” dan keduanya dihukum 18 bulan penjara.[110]
Pada 9 Juni 2008, Menteri Agama Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Supanji menandatangani SKB, memerintahkan komunitas Ahmadiyah “menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam,” termasuk “penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.” Pelanggaran atas SKB ini dapat diancam lima tahun penjara . [111]
SKB 2008 membuka pintu para gubernur serta bupati dan walikota membuat ketentuan peraturan anti-Ahmadiyah. Jemaah Ahmadiyah Indonesia, organisasi nasional Ahmadiyah, melaporkan pada 2011 bahwa lima provinsi—Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan—serta 22 peraturan walikota dan bupati di Indonesia telah mengeluarkan regulasi anti-Ahmadiyah sebagai follow up dari SKB 2008. [112]
Pada 28 Februari 2011, pemerintah provinsi Jawa Timur, dengan penduduk 35 juta, melarang kegiatan Ahmadiyah, mencabut papan nama masjid dan atribut madrasah yang merujuk Ahmadiyah, serta tak boleh memakai “media elektronik” untuk menyampaikan ajaran mereka. Pada 3 Maret, Ahmad Heryawan, gubernur Jawa Barat, provinsi terpadat di Indonesia dengan 36 juta penduduk, juga melarang kegiatan Ahmadiyah. [113] Pada 24 Maret, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno melarang beberapa kegiatan Ahmadiyah termasuk menyebarkan ajaran via papan pengumuman, pernyataan langsung, materi tertulis, dan media elektronik. [114]
Pada Maret, Nasution menulis surat kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mendesak para pejabat lokal mencabut aturan anti-Ahmadiyah: “Urusan agama merupakan urusan pemerintah pusat yang tak dilimpahkan kepada pemerintah daerah.” [115] Fauzi menolak permohonannya, mengatakan peraturan daerah itu tak bertentangan dengan peraturan nasional. [116]
Para pejabat Indonesia membenarkan SKB itu dengan dalih membantu mencegah kekerasan anti-Ahmadiyah lebih lanjut. Studi Kementerian Agama mengatakan bahwa penghancuran masjid Ahmadiyah terjadi di “banyak daerah” seperti Medan (1964), Cianjur (1968), Kuningan (1969), Nusa Tenggara Barat (1976), Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Surabaya, dan Parung di Bogor (1981). Booklet tersebut dicetak dalam bahasa Inggris. Ia menyimpulkan: “Peristiwa konflik ini menunjukkan masalah hukum dan ketertiban telah ada selama beberapa waktu.” [117]
Namun kekerasan terhadap Ahmadiyah, pada kenyataannya, meningkat tajam sejak diterbitkannya SKB 2008. Menurut Setara Institute, kekerasan naik dari tiga laporan insiden pada 2006 menjadi 50 pada 2010 dan 114 pada 2011. [118]
RUU Kerukunan Umat Beragama
Pada Oktober 2011, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan rancangan undang-undang tentang kerukunan umat beragama untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. [119] Usulan undang-undang ini akan mengatur beragam isu terkait agama, termasuk penyebaran ajaran agama, perayaan hari besar keagamaan, pembangunan rumah ibadah, dan penguburan serta pendidikan agama. Ia menegaskan tanggung jawab minoritas-minoritas agama untuk melindungi “kerukunan umat beragama.”
Para pembela kebebasan beragama menentang rancangan undang-undang ini, dengan dasar bahwa RUU ini akan melegitimasi peratutan diskriminatif yang sudah ada, termasuk PNPS penodaan agama 1965, SKB 2006 tentang pendirian rumah ibadah, SKB anti-Ahmadiyah 2008, dan pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak.[120]
Lembaga-Lembaga Agama di Indonesia
Selain berbagai peraturan dan kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, atas nama “kerukuan beragama,” beragam lembaga pemerintah dan semi-pemerintah memainkan peran kunci dalam mempromosikan identitas Islam Sunni di Indonesia, dengan menindas agama-agama minoritas.
Kementerian Agama
Pada awal abad ke-20, urusan warga Muslim zaman Hindia Belanda dilakukan lewat beberapa kantor, termasuk kantor urusan Islam, guna menyediakan pendidikan agama melalui madrasah, memberikan pedoman dan informasi keagamaan, mengatur pengelolaan haji ke Mekkah, dan menyelenggarakan pengadilan Islam untuk perkara seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.[121]
Kementerian Agama dibentuk pada 1946, dan kendati banyak programnya dirancang mengurusi Islam, ia adalah departemen dengan ragam agama. Sekarang ini ia terbagi menjadi tujuh direktorat jenderal.[122]Tiga direktorat berurusan dengan kalangan Muslim—apa yang disebut “bimbingan masyarakat” Islam, pengelolaan haji, dan pendidikan Islam. Sementara yang lain masing-masing mengurusi “bimbingan masyarakat” Protestan, Katholik, Hindu, dan Buddha.[123]
Kementerian Agama kini memiliki kantor cabang di tiap provinsi dan kabupaten dan, pada 2011-2012, menelan anggaran Rp 37,3 trilyun. [124] Ini alokasi anggaran terbesar keempat di antara departemen pemerintah setelah Kementerian Pertahanan (Rp 64,4 trilyun), Kementerian Pekerjaan Umum (Rp 61,2 trilyun), dan Kementerian Pendidikan (Rp 57,8 trilyun). Anggaran Kementerian Agama lebih besar dari Kepolisian Indonesia atau Kementerian Kesehatan. Kementerian Agama juga mengendalikan alokasi dana dari keberangkatan haji tahunan (Rp 32 trilyun pada 2010). Bila kedua sumber dana itu digabung, Kementerian Agama mengontrol lebih besar dana dari departemen mana pun di Indonesia.
Pada 2010, Kementerian Agama mempekerjakan sekira 230.000 pegawai, naik 15 persen dari 200.000 pada 2007. Ia mengelola 1.675 sekolah dasar, 1.418 sekolah menengah, 748 sekolah atas, dan 20 perguruan tinggi. [125]
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Suryadharma Ali, ketua umum Partai Persatuan Pembangunan, dari koalisi partai berkuasa pimpinan Partai Demokrat, untuk menjabat menteri agama pada Oktober 2009. [126]
Pada Juni 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan pengusutan terhadap Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam Kementerian Agama. Para pejabat di sana dan anggota parlemen diduga menyalahgunakan anggaran pembelian al-Quran pada 2010 dan 2011. [127]
Kementerian Agama berperan penting dalam kebijakan pemerintah tentang agama, dan biasanya, bergaris keras terhadap organisasi agama yang dianggap “bid’ah”. Pada 1952, kementerian membentuk sebuah badan, pendahulu Bakor Pakem, untuk mengawasi dan melarang sejumlah gerakan tarekat dan agama asli. Kementerian juga meneken pada 1969 dan 2006 untuk peraturan pembangunan rumah ibadah. Pada 2011, Suryadharma Ali ikut mobilisasi kampanye anti-Ahmadiyah di Indonesia dengan berulangkali menyerukan praktik Ahmadiyah menodai Islam dan mendesak pemerintahan Yudhoyono membubarkan Ahmadiyah. Pada 2011, kantor Kementerian Agama Jawa Timur terlibat dalam dukungan fatwa MUI anti-Syiah.[128]
Suryadharma Ali terang-terangan menentang minoritas agama. Dia mengatakan pemerintah harus bubarkan organisasi Ahmadiyah dan Syiah. Pada Maret 2011, dia mengatakan Ahmadiyah: “dibiarkan atau dibubarkan.… Saya memilih Ahmadiyah dibubarkan. Jelas Ahmadiyah menentang Islam .” [129] Pada Januari 2012, setelah rapat dengan anggota DPR, Suryadharma Ali secara terbuka menyatakan ajaran Syiah “melawan Islam.” [130]
Kementerian Agama juga berpengaruh dalam pertimbangan para polisi dan jaksa untuk mengambil tindakan hukum terhadap individu-individu yang dianggap “menodai” Islam. Kenyataannya, semua kriminalisasi terhadap minoritas agama di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir,s elalu melibatkan Kementerian Agama. Di Sampang, Pulau Madura, pada Oktober 2009, Kementerian Agama ikut mendesak ulama Syiah menghentikan kegiatan Syiah di kampungnya.[131] Halim Toha, kepala Kementerian Agama di Sampang, memimpin pengusiran jemaah Syiah yang mengungsi dari sebuah stadion, tempat tinggal sementara mereka setelah melarikan diri dari dusun mereka yang dibakar.[132] Di kota Dharmasraya, Sumatra Barat, pada awal 2012, Kementerian Agama terlibat dalam kriminalisasi terhadap individu yang mendaku ateis.[133]
Bakor Pakem
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) merupakan organisasi di bawah Kejaksaan Agung dengan unit-unitnya tersebar di kantor kejaksaan provinsi dan kabupaten. Menurut UU 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada Bab III Tugas dan Wewenang, Kejaksaan Agung bertanggung jawab “mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara”[134] Bakor Pakem biasanya bekerja di bawah bagian intelijen dari kantor kejaksaan.
Kementerian Agama adalah organisasi pertama yang membentuk sebuah badan guna “mengawasi” aliran kebatinan/kepercayaan pada 1952. UU Kejaksaan 1961 mengatur Kejaksaaan Agung yang membawahi pekerjaan ini, yang lantas membentuk Bakor Pakem. Tugasnya melibatkan Kementerian Agama, polisi, militer, dan pemerintah daerah. [135]
Bakor Pakem sangat berpengaruh saat mendesak pemerintah melarang komunitas keagamaan. Ia mengusulkan pelarangan tarekat Al-Qiyadah Al-Islamiyah pada 7 November 2007, dan dua hari kemudian, Kejaksaan Agung melarangnya. Bakor Pakem mengusulkan pelarangan Ahmadiyah pada April 2008. Dua bulan kemudian, kegiatan penyiaran keagamaan Ahmadiyah dilarang. [136]
Selama tiga dekade terakhir, berbagai kantor Bakor Pakem menyerukan pelarangan lebih dari 30 organisasi keagamaan, mulai dari kepercayaan asli seperti Agama Djawa Sunda (1964) hingga organisasi keagamaan internasional seperti Saksi Yehova (1976).
Di bawah pemerintahan Yudhoyono, Bakor Pakem berperan aktif dalam penuntutan terhadap pemuka-pemuka agama yang dianggap melakukan penodaan agama. Bakor Pakem Kabupaten Sampang, Madura, mengusulkan Kejaksaan Agung ajaran Syiah dilarang di Indonesia. Ia juga menuntut ulama Syiah, Tajul Muluk, agar diadili. [137] Di Cianjur, Bakor Pakem terlibat penuntutan Hasan Suwandi, penjaga masjid Ahmadiyah, dengan dakwaan pidana pencemaran nama baik terhadap seorang polisi setempat. [138] Di Dharmasraya, Sumatra Barat, Bakor Pakem menuntut Alexander An, administator sebuah grup diskusi Facebook soal ateisme. [139]
Asfinawati Ajub, pembela hak asasi manusia di Malang, Jawa Timur, serta kuasa hukum Tajul Muluk, mempertanyakan kewenangan Bakor Pakem. Dia mencatat bahwa UU Kejaksaan 2004 tak secara rinci minta pembentukan badan tersebut. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jaksa penuntut umum punya kewenangan “pencegahan dan pembinaan” ketika berurusan dengan aliran kepercayaan yang dapat “membahayakan masyarakat dan negara.” [140]
Majelis Ulama Indonesia
MUI adalah badan ulama tertinggi umat Islam di Indonesia. Ia terdiri dewan penasihat dan badan eksekutif dengan 12 komisi. MUI merupakan lembaga semi-pemerintah yang mengeluarkan fatwa dan membentuk kebijakan pemerintah seputar urusan Islam. MUI sebagian didanai lewat Kementerian Agama atau melalui anggaran pemerintah provinsi dan daerah, tapi tanpa audit badan pengawas keuangan negara. Ada ratusan kantor MUI di Indonesia. [141]
Manajemen MUI Pusat di Jakarta terdiri 273 individu, termasuk beberapa waki dari organisasi Muslim, empat anggota kabinet, beberapa politisi, pensiunan jenderal, akademisi, pengusaha, novelis, bintang film, model, dan anggota dari kelompok-kelompok Islam. Majelis meliputi perwakilan dari setiap organisasi Islam di Indonesia, yang gilirannya menyediakan forum bagi meningkatnya jumlah kelompok Islamis garis keras.[142] Ketua MUI biasanya, walau tidak selalu, dari Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU).
MUI tersusun dari berbagai kelompok Muslim, mulai dari organisasi lebih seperti Muhammadiyah, NU, dan Persatuan Islam, hingga yang terbaru macam Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Front Pembela Islam. Dalam sejarahnya, MUI menolak anggota Syiah dan Ahmadiyah, dan kemudian menganggap keduanya “sesat dan menyesatkan.” Tiada prosedur pasti bagaimana seseorang dapat bergabung ke MUI. Tiada pula pengawasan kelembagaan meski beberapa organisasi Muslim sesekali mengkritik MUI pada saat mereka percaya lembaga tersebut tak memenuhi harapan mereka.
Militer Indonesia membentuk kali pertama dewan ulama di Jawa Barat pada Juli 1958. Hal serupa dibentuk di kabupaten dan kecamatan di provinsi tersebut. Tujuannya, menurut Kolonel R.A. Kosasih dari komando daerah militer Siliwangi, “untuk menstabilkan” Jawa Barat dari kegiatan Darul Islam. [143] Belakangan ia diterapkan di pulau-pulau lain terhadap gerakan serupa, termasuk di Sumatra Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh, di mana para pejuang Muslim berusaha mendirikan negara Islam.
MUI, sebagai lembaga nasional, berdiri pada 1975 semasa Presiden Suharto untuk menjadi jembatan antara para pemuka Muslim dan pejabat negara. Kegiatan utamanya mengeluarkan fatwa, memperkuat silaturahmi (persaudaraan) di antara umat Islam, mewakili kalangan Muslim dalam pertemuan dengan organisasi keagamaan lain, dan bertindak sebagai penghubung antara kalangan ulama dan pejabat pemerintah. [144]
MUI mulai gencar memainkan pengaruh pada tahun-tahun terakhir rezim Suharto. Ia mengeluarkan fatwa atas berbagai isu, termasuk sertifikat halal, pemantauan dan pengawasan bank berbasis Syariah, memediasi keuangan Syariah, dan isu-isu lingkungan. [145] Pada Juli 2005, MUI menerbitkan sejumlah fatwa menentang pluralisme, sekularisme, liberalisme, doa lintas-iman, pernikahan beda agama, dan semua penafsiran alternatif atas ayat-ayat suci al-Quran. [146] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi dukungan pada MUI saat membuka kongres MUI 2005, berjanji bahwa pemerintahannya akan bekerjasama dengan MUI. [147]
Fatwa-fatwa MUI kadang dipakai sebagai dasar bagi pembuatan hukum dan kebijakan di Indonesia. Kementerian Agama berhubungan erat dengan MUI. Saat mengusulkan pelarangan Ahmadiyah, Menteri Agama Suryadharma Ali, yang juga anggota dewan penasihat MUI, merujuk fatwa MUI yang menetapkan “aliran Ahmadiyah sesat.” [148] Pada saat bersamaan, MUI juga mendesak pemerintah untuk melarang Ahmadiyah di seluruh Indonesia, mengatakan fatwa saja tidaklah cukup. [149]
Pada Juli 2005, MUI menegaskan kembali fatwa 1980 terhadap Ahmadiyah, menetapkan “aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan.” Fatwa Juli 2005 tersebut menetapkan pemerintah Indonesia berkewajiban melarang penyebaran paham Ahmadiyah, membekukan organisasi, dan menutup semua tempat kegiatannya. [150]
Amidhan, wakil ketua MUI dan mantan pejabat Kementerian Agama, mengatakan MUI “menolak kekerasan” dan “mendukung pluralisme”:
Kalau pluralisme dianggap seakan-akan semua agama itu sama, maka itu tidak baik. MUI menghormati kebebasan beragama. Makna pluralisme menurut MUI adalah tidak semua agama sebaik agama yang lain …. Kami tidak mau kompromi soal agama kami. Kalau seseorang menghina agama kami maka kekerasan muncul.[151]
MUI di daerah-daerah ikut mendorong fatwa nasional dengan mengeluarkan fatwa sendiri di tingkat provinsi atau kabupaten. Misalnya, pada September 2007, MUI di Sumatra Barat menerbitkan fatwa terhadap tarekat Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Fatwa lokal ini gilirannya menggamit pengaruh pada MUI pusat, yang akhirnya melarang Al-Qiyadah pada 2007.[152] Pada 2 Januari 2012, MUI Sampang mengeluarkan fatwa anti-Syiah.[153] MUI provinsi Jawa Timur mengikutinya pada 21 Januari 2012, mendesak MUI pusat mengumumkan ajaran Syiah “sesat” dan mengusulkan pemerintah Indonesia bertindak terhadap penyebaran ajaran Syiah.[154]
MUI juga mengeluarkan fatwa terhadap sebagian besar mereka yang berakhir didakwa pasal penodaan agama. [155] Para ulama MUI mula-mula mengajukan fatwa dan kemudian bekerja dengan polisi dan jaksa, melalui sarana Bakor Pakem. Berbagai fatwa mendahului penuntutan penodaan agama dan dikutip sebagai bukti persidangan penistaan agama.
Beberapa kantor MUI, terutama di daerah mayoritas Muslim, juga menentang pembangunan gereja baru bagi umat Kristiani. Di kabupaten Bekasi, ketua MUI Sulaiman Zachawerus dilaporkan memperingatkan umatnya bahwa Bekasi menjadi “sasaran pemurtadan.” [156] Zachawerus mencegah HKBP Filadelfia, jemaat protestan Batak di Bekasi, membangun gerejanya meski Mahkamah Agung dalam keputusannya memerintahkan bupati Bekasi mengeluarkan izin pendirian gereja itu. [157]
MUI pusat juga menentang pembangunan GKI Yasmin, sebuah gereja Kristen di kompleks perumahan Taman Yasmin di Bogor, kendati Mahkamah Agung memutuskan pemerintah Bogor harus membuka bangunan gereja yang disegel itu. MUI pusat juga mendukung walikota Bogor menentang keputusan Mahkamah Agung. [158]
Forum Kerukunan Umat Beragama
Keputusan bersama 2006 tentang rumah ibadah menetapkan para pemimpin pemerintahan di semua provinsi, kota, dan kabupaten untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Berkompromi dengan para pemuka agama lokal, ia menjadi “forum yang bersifat konsultatif” memberi nasihat pada gubernur, walikota, atau bupati tentang permohonan pendirian rumah ibadah.
Para gubernur, bupati dan walikota menentukan siapa yang duduk sebagai anggota FKUB, yang ketentuannya maksimal 21 orang. [159] Anggota dari agama minoritas seperti Kristen, Hindu, Buddha dijamin minimal satu wakil dalam forum menurut SKB 2006. [160] Namun, FKUB kian memperparah peminggiran secara sosial dan politk bagi komunitas Syiah dan Ahmadiyah, yang tidak dilibatkan sebagai wakil di forum tersebut. [161] Kementerian Agama mengkoordinasi jaringan FKUB lewat Pusat Kerukunan Umat Beragama di Jakarta. [162]
Di Jawa Barat, FKUB maupun Kementerian Agama menghalang-halangi minoritas untuk mendirikan rumah ibadah. Di kabupaten Bekasi, misalnya, 17 anggota FKUB terdiri 12 Muslim, 2 Kristen, 1 Hindu, 1 Bikhu, dan 1 Konghucu. [163] Adanya anggota lebih banyak Muslim konservatif berperan mencegah HKBP Filadelfia, sebuah gereja Batak, memperoleh rekomendasi FKUB untuk mendirikan gereja. [164]
Pada 12 Februari 2012, FKUB di kota Bekasi berperan aktif dalam penutupan tiga gereja dalam sehari: Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), HKBP Kaliabang, dan Gereja Pantekosta.[165] Di Parung, kabupaten Bogor, FKUB menolak mengeluarkan rekomendasi untuk mengesahkan pembangunan gereja Katholik Santo Joannes Baptisa meski mereka sudah memenuhi kriteria SKB 2006.[166]
Di Manado, Sulawesi Utara, daerah mayoritas Kristen, Ulyas Taha, wakil sekretaris FKUB dan seorang Muslim, berkata mereka bekerja tanpa ada masalah serius. FKUB di sana dibentuk 2009 dan sejak itu menerima 10 permohonan pembangunan enam gereja dan empat masjid baru. “Kami meloloskan semua. … Pada beberapa kasus, kami minta mereka melengkapi persyaratan pengajuan. Tapi semuanya kami merekomendasikan.”[167]
Di Jawa Tengah, Aloys Budi Purnomo, pastur Katolik, yang mengetuai Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, serta anggota FKUB, mengatakan rata-rata dua orang Katholik duduk di masing-masing FKUB di kota-kota di Jawa tengah seperti Semarang, Kendal, Pati, Kudus, Solo, Boyolali, Wonogiri, dan Salatiga. “Sudah bagus sekarang umat Katholik punya perwakilan saat memutuskan pembangunan rumah ibadah,” katanya. Dia menambahkan satu-satunya masalah bila anggota FKUB melakukan pemungutan suara: “Minoritas tentu saja kalah.” [168]
Andreas Yewangoe, ketua umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, memuji FKUB di Jawa Tengah, “Mereka benar-benar berusaha mempromosikan toleransi agama.”[169]
Di Kupang, Pulau Timor, yang dominan Kristen, FKUB membela rencana mendirikan sebuah masjid di sekitar Batuplat. FKUP berpendapat permohonan pembangunannya sudah memenuhi semua kriteria kendati ditentang kelompok Kristen. “Pembangunan masjid harus terus jalan. Tak ada alasan menyetopnya,” ujar ketua FKUB Kupang Hendrik Malelak. [170]
Kebanyakan pegawai FKUB tak dibayar. Pegawainya diambil dari pemerintah daerah maupun Kementerian Agama setempat. Anggota FKUB menerima honorarium dari pemerintah. Bayaran setiap bulan menarik ulama, bahkan terkadang jadi rebutan, untuk duduk di FKUB.
III. Kesulitan Mendirikan Rumah Ibadah, Diskriminasi, dan Kekerasan
Human Rights Watch mendokumentasikan berbagai macam kasus penganut minoritas agama yang menghadapi kekerasan maupun diskriminasi karena keyakinan mereka, termasuk menghadapi birokrasi pemerintah saat mencatatkan pernikahan.
Serangan Rumah Ibadah
Peraturan 2006 tentang rumah ibadah tak memperbaiki situasi di lapangan bagi minoritas agama, yang menghadapi kesulitan memperoleh izin mendirikan tempat ibadah dan, dalam kasus terburuk, jadi sasaran kekerasan. Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 430 gereja dipaksa ditutup antara Januari 2005 dan Desember 2010. [171]
Human Rights Watch mendokumentasikan sedikitnya 12 kasus di mana kelompok militan, Islam maupun Kristen, memakai landasan SKB 2006 untuk menghalang-halangi pembangunan rumah ibadah baru, termasuk sebuah masjid, dan menutup 31 gereja dan rumah ibadah agama asli, yang sudah ada.[172] Kelompok-kelompok ini beralasan tindakannya itu dibenarkan karena penganut minoritas kurang memenuhi surat izin, atau menuduh mereka memakai tandatangan palsu dari tetangga setempat untuk memperoleh persyaratan, atau pembangunan rumah ibadah akan mengganggu kerukunan umat beragama di daerah tersebut karena menyinggung perasaan agama mayoritas.
SKB 2006 juga dipakai terhadap umat Islam. Human Rights Watch mendokumentasikan sebuah kasus kalangan Muslim menghadapi masalah pendirian masjid di kota Kupang, Pulau Timor, yang mayoritas Kristen, dan ada kemungkinan kasus serupa terjadi di tempat mayoritas Kristen lain.
Bahkan dalam kasus-kasus di mana izin sudah dikeluarkan, tanggapan keras dan gencar dari kelompok-kelompok militan membikin pejabat daerah mencabutnya, atau kelompok ini mencegah para pemohon membangun atau memakai tempat ibadah mereka. Pejabat pusat dan daerah biasanya gagal mengambil langkah-langkah yang penting guna menghadapi kelompok Islamis. Para pejabat daerah cenderung bekerjasama dengan kelompok-kelompok militan ini dengan membatalkan izin pendirian rumah ibadah dan mendorong kaum minoritas untuk pindah ke daerah berbeda.
Human Rights Watch mendokumentasikan kampanye dukungan menentang dua gereja yang kasusnya cukup dikenal: gereja GKI Yasmin di Bogor dan gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat. Kedua gereja tersebut tak cuma memenuhi seluruh persyaratan administratif dan persetujuan politik, tapi juga memenangkan gugatan di Mahkamah Agung, guna menjamin pendirian rumah ibadah mereka. Kendati mereka memperoleh putusan pengadilan yang menguntungkan, pemerintah daerah menolak pendirian bangunan kedua gereja tersebut.
GKI Yasmin, Bogor
Gereja GKI Yasmin di Bogor memperoleh persetujuan yang diperlukan, termasuk tandatangan warga, dan mulai membangun gereja di atas tanah yang milik mereka pada 2006. Namun setengah tahun kemudian, pada 14 Februari 2008, Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor mendadak membekukan izin bangunan GKI Yasmin tanpa memberi alasan jelas. Menurut Thomas Wadu Dara, koordinator pembangunan GKI Yasmin, Walikota Bogor Diani Budiarto berjanji tindakan itu hanya sementara untuk mendinginkan protes aktivis Muslim.[173]
Namun tak ada perubahan. GKI Yasmin pun mengajukan gugatan terhadap Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan di pengadilan tata usaha Bogor. Para aktivis Forkami, organisasi Islamis berbasis di Bogor, menggalang demonstrasi menentang gereja. Forkami mengatakan GKI Yasmin tak boleh membangun gereja di lokasi itu karena terletak di jalan bernama Kyai Haji Abdullah bin Nuh. Walikota Bogor Diani Budiarto beralasan serupa. Nama seorang Muslim tak elok dibangun gereja.[174]
Pada September 2008, pengadilan tata usaha Bogor memutuskan bahwa pemerintah Bogor bertindak ilegal dengan membekukan izin bangunan. Pertarungan proses hukum berlanjut di pengadilan tinggi Jawa Barat, Mahkamah Agung, dan peninjauan kembali putusan Mahkamah Agung pada Desember 2010. Semua keputusan menguntungkan gereja. [175]
Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor mencairkan izin bangunan setelah keputusan Mahkamah Agung. Namun seminggu kemudian, Walikota Budiarto mencabut rekomendasinya untuk izin mendirikan bangunan, sehingga ia menciptakan hambatan hukum lain bagi GKI Yasmin. GKI Yasmin melaporkan pembatalan itu kepada kantor Ombudsman Republik Indonesia. Pada Juli 2011, kantor Ombudsman berkata tindakan walikota termasuk “malpraktek” karena dia menunjukkan tiadanya “komitmen melaksanakan putusan Mahkamah Agung.”[176]
Ombudsman Indonesia mendesak Walikota Budiarto dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menaati putusan Mahkamah Agung. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga diminta mengawasai pelaksanaan putusan tersebut.
Budiarto berkata pada Majelis Ulama Indonesia bahwa masalah GKI Yasmin bukanlah isu kebebasan beragama tapi murni tentang izin bangunan. Dia bilang dia menawarkan “relokasi” GKI Yasmin tapi mereka menolaknya. "Ada sekelompok kecil masyarakat Indonesia yg ingin memperburuk citra kita di mata internasional sementara persoalannya sebenarnya kecil," katanya. "Sampai hari ini, situasi cukup kondusif, tenang, tapi situasi itu kemudian digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengundang berbagai kalangan termasuk media internasional."[177]
Presiden Yudhoyono berkata bahwa jemaat GKI Yasmin punya hak beribadah, “Saya sudah mendorong walikota, gubernur, masyarakat lokal, untuk menemukan masalah. Saya pribadi, dan juga pemerintah, ingin jemaat GKI Yasmin bisa menjalankan ibadahnya dengan tenang dan damai di Bogor.”[178] Namun dia tidak berkomentar bahwa walikota Bogor harus menghormati putusan Mahkamah Agung dan GKI Yasmin berhak membangun gereja. Jurubicaranya berkata Presiden Yudhoyono tak bisa turut campur masalah-masalah lokal dalam kewenangan walikota.[179]
Gereja GKI Yasmin masih terus berjuang menghadapi kegagalan walikota Bogor melaksanakan keputusan Mahkamah Agung. Hanya satu partai politik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang terbuka mengkritik tindakan walikota. Partai-partai lain mendukung walikota atau diam saja.
HKBP Filadelfia, Bekasi
HKBP Filadelfia di Bekasi membeli sebidang tanah di kampung Jejalen Jaya pada Juni 2007. HKBP Filadelfia mengumpulkan 259 persetujuan tetangga, lebih dari syarat 60 tandatangan yang dibutuhkan dari masyarakat setempat, sesuai yang diwajibkan dalam SKB 2006. Pada April 2008, HKBP Filadelfia menulis permohonan persetujuan pada Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama untuk membangun gereja. Kedua lembaga itu tak menanggapi.[180]
SKB 2006 mewajibkan pemerintah setempat memberikan lokasi alternatif bila permintaan jemaat ditolak.[181] Di Jejalen Jaya, tempat ibadah HKBP Filadelfia, pemerintah Bekasi tak menyediakan lokasi alternatif, sehingga jemaat tak punya tempat beribadah.
Serupa kasus GKI Yasmin, gereja HKBP Filadelfia mengajukan gugatan hukum dan memenangkan langkah hukum terhadap bupati Bekasi, dari pengadilan tata usaha Bandung hingga Mahkamah Agung, yang diputuskan pada Juni 2011. Namun Bupati Bekasi Sa’duddin menolak menerbitkan izin mendirikan bangunan gereja.
Pada 20 Maret 2012, pemerintah Bekasi mengundang HKBP Filadelfia dan kelompok Haji Naimun, yang menggalang protes terhadap HKBP Filadelfia, bertemu di kantor kecamatan Tambun Utara. Deddy Rohendi, kepala divisi hukum kabupaten Bekasi, mengakui dalam rekaman video bahwa putusan Mahkamah Agung:
Sudah inkracht, sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan ini sangat sulit dilaksanakan di lapangan. Kita kuatir kalau kita memaksakan eksekusi atas putusan ini, akan terjadi clash horizonta begitul. Padahal kewajiban Pemda adalah untuk menjaga ketertiban umum. Nyatanya, jalur hukum juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Putusan ini memang sudah inkracht tapi belum final.
Naimun dan para pejabat setempat, termasuk camat Tambun Utara Suharto, menekan perwakilan HKBP Filadelfia dengan berkata mereka tak bisa menjamin keselamatan jemaat Kristen jika tetap berusaha membangun gereja. Suharto menawarkan “solusi” dengan HKBP Filadelfia bisa memakai bangunan HKBP Filadelfia selama dua minggu tapi kemudian mereka harus cari lokasi lain.[182]
Dari Jawa hingga Timor, Penutupan Paksa Rumah Ibadah
Di Bekasi, pinggiran Jakarta, kelompok Islamis secara rutin kampanye menentang apa yang mereka sebut “gereja ilegal” atau “gereja liar” dan mendesak pemerintah untuk menutupnya, merujuk peraturan pembangunan rumah ibadah. Asia Lumbantoruan, panitua 51 tahun dari gereja Batak HKBP Ciketing, berkata pada Human Rights Watch, antara 1993 dan 2007, gereja HKBP Ciketing sampai tiga kali membeli sebidang tanah untuk beribadah Minggu di gereja yang akan mereka bangun. Mereka selalu gagal meski sudah memenuhi syarat minimal jumlah tandatangan dari warga setempat guna membangun gereja. Mereka menghadapi intimidasi terus-menerus, dua kali pembakaran, dan kekerasan sejak berusaha mendirikan gereja pada 1993, dari kalangan Islamis yang menghalang-halangi pendirian gereja. Buntutnya, mereka pindah dari satu rumah ke rumah untuk mengadakan ibadah Minggu, seakan bermain petak-umpet yang umum terjadi di antara ribuan jemaat Kristen di Jawa, guna mengatasi larangan memakai rumah pribadi sebagai tempat ibadah.
Pada 2010, perwakilan dari kelompok Islamis militan, termasuk Front Pembela Islam, beraksi di luar lokasi ibadah Minggu HKBP Ciketing, dengan jumlah 300-400 orang. Mereka protes HKBP Ciketing karena ibadah di tempat terbuka. Menurut Lumbantoruan, anggota FPI mengganggu ibadah mereka dengan membawa pengeras suara dan menakut-nakuti jemaat perempuan dan remaja gadis. Mereka juga berulangkali intimidasi jemaat gereja.[183] FPI menuduh gereja memalsukan tandatangan warga sekitar untuk memenuhipersayaratan pendirian rumah ibadah dan menyudutkan mereka dengan menganggapnya “gereja ilegal.”[184]
Pengaruh FPI meningkat terus. Pada Januari 2012, aktivis gereja melaporkan Murhali Barda, ketua FPI Bekasi, yang terlibat protes Ciketing, bergabung dalam upaya menutup tiga gereja di Kaliabang, kecamatan Bekasi Utara.[185] Ketiga gereja ini ditutup pemerintah Bekasi pada 12 Februari 2012.[186]
Menurut Pendeta Palti Panjaitan dari gereja HKBP Filadelfia, Bekasi punya 33 gereja HKBP: 15 di antaranya berlokasi di kabupaten Bekasi dan 18 di kotamadya Bekasi. Ke-15 jemaat HKBP di kabupaten telah ditolak izinnya, kendati memperoleh persetujuan tetangga yang relevan, yang diperlukan menurut peraturan 2006. Namun ia tak mendapat izin dari Kementerian Agama dan FKUB. Konsekuensinya, pihak berwenang Bekasi memaksa mereka hentikan ibadah di gereja dan para jemaat terpaksa memakai rumah pribadi, ruko, restoran, atau kantor pemerintah untuk mengadakan ibadah Minggu.[187]Dalam usaha mencegah ibadah para jemaat gereja Batak, bahkan di rumah pribadi, situs-situs web Islamis melabelinya sebagai “gereja ilegal.”[188]
Walikota Bekasi, pada 12 Februari 2012, menyegel tiga gereja setelah ada tekanan dari FPI Bekasi: Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), HKBP Kaliabang, dan Gereja Pantekosta.[189]Saat menutup ketiga gereja itu, sekretaris FKUB Bekasi, Hasnul Khalid, berkata kantornya mencatat ada 260 rumah ibadah tanpa izin di Bekasi. Dia minta ke-260 jemaat tersebut segera mengajukan izin.[190]
Jaendar Gultom dari HKBP Kaliabang, Bekasi, mengakui gerejanya tak memiliki izin. Gultom mengatakan hal itu tak diperlukan saat gereja dibangun di lingkungan Batak Kristin pada 2003. Tapi walikota Bekasi menutup HKBP Kaliabang serta dua gereja di sekitarnya pada Februari 2012. Gultom berkata pada Human Rights Watch:
Sekarang kami melakukan kebaktian Minggu di luar bangunan gereja. Kami mendirikan tenda dan membawa kursi, altar, dan barang-barang lain. Ini aneh bahwa kami punya bangunan tapi kami tak boleh memakainya. Kami harus sabar. Kami sekarang sedang mengajukan izin. Mungkin butuh waktu lama. Kami harus sabar.[191]
Alexander Adrian Makawangkel dari paroki Santo Joannes Baptisa di Parung, kabupaten Bogor, berusaha mendapatkan izin untuk gerejanya sejak jemaat membeli tanah pada 1993. Mereka masih belum memperoleh persetujuan dari pemerintah. Dia berkata:
Kami mengajukan izin gereja kami, sudah mendapat lebih dari syarat tandatangan, melakukan pendekatan pada badan-badan pemerintah. Kami melakukan itu lebih dari 15 tahun. Kami belum memperolehnya.[192]
Pada November 2010, Bupati Bogor Rachmat Yasin mengirim surat pada gereja Santo Joannes Baptista di Parung untuk menghentikan pemakaian lahan itu buat ibadah Minggu.[193] Pada saat bersamaan, Yasin menulis surat lain kepada Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia di Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. Yasin berkata bahwa gereja tak memenuhi persyaratan sesuai peraturan 2006 untuk mendirikan rumah ibadah dan organisasi Muslim di Parung memprotes rencana gereja di sana.[194]
Menurut Pendeta Gomar Gultom, sekretaris jenderal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan juga pastor HKBP, di Jawa relatif mudah mendapatkan izin tandatangan dari sedikitnya 60 tetangga Muslim. Tapi memperoleh persetujuan dari Kementerian Agama dan FKUB sangat sulit. Di beberapa daerah mayoritas Muslim, keduabadan pemerintah itu biasanya dikendalikan, langsung maupun tak langsung, oleh individu-individu yang menganggap Kristen sebagai ancaman. Mereka melihat pembangunan rumah ibadah baru sebagai ancaman bagi status politik mereka. Ini terjadi dengan HKBP Filadelfia dan gereja Santo Joannes Baptista, yang sudah cukup mendapatkan tandatangan tetangga setempat, tapi gagal memperoleh surat persetujuan dari kedua badan pemerintah itu.
Di daerah-daerah berpenduduk renggang seperti Sumatra, tantangannya berbeda. Abjon Sitinjak dari gereja Pantekosta di Kuantan Singingi, Riau, yang dibakar pada Agustus 2011, berkata:
Bagaimana kita bisa minta orang Islam tandatangan? Keluarga Muslim terdekat ini tinggal 500 meter dari gereja kami. Lainnya sekitar dua kilometer. Bagaimana kita bisa cari 60 orang? Peraturan itu mungkin cocok di kota-kota. Tapi tak mungkin dijalankan di sini, di tengah kebun.[195]
Pada Mei 2012, di Singkil, Aceh selatan, militan FPI melakukan pendekatan sama, memprotes gereja “illegal” dan menuntut pemerintah menutupnya. Hasilnya terbilang cepat. Tak sampai seminggu, pemerintah Singkil menyegel 19 gereja dan satu rumah ibadah kepercayaan lokal. Seluruh rumah ibadah ini sebenarnya dibangun sebelum ada peraturan 2006; beberapa bahkan berdiri selama pemerintahan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang.[196]
Gereja-gereja Kristen bukanlah satu-satunya minoritas yang menghadapi masalah dari SKB 2006. Siaran Wikileaks pada Agustus 2011, dari kejadian bertanggal Januari 2007, menyebutkan beberapa pemuka Hindu di Indonesia mengatakan pada Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta bahwa SKB 2006 tentang rumah ibadah bikin sulit non-Muslim membangun tempat ibadah baru. Hambatannya, Kementerian Agama dan FKUB. [197]
I Made Erata, ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), berkata pada Human Rights Watch bahwa adanya situasi ketat bagi umat Hindu, memaksa organisasinya berhati-hati bila hendak bangun pura. PHDI memutuskan pendirian kuil baru, di luar Pulau Bali, sebaiknya dibikin dalam kompleks polisi atau militer, bekerjasama dengan perwira Hindu Bali, yang bekerja di institusi kepolisian dan militer.[198]
Human Rights Watch menemukan sedikitnya satu kasus di mana komunitas minoritas Muslim mengalami kesulitan membangun sebuah masjid. Sejak 2002, keluarga-keluarga Muslim di Batuplat, kecamatan Alak, Kupang, menghadapi kesulitan mendirikan masjid karena protes dari umat Kristiani di daerah mayoritas Kristen tersebut. Beberapa kelompok Kristen menentang komunitas Muslim memakai bangunan mereka untuk shalat Jumat. Sesudahnya, panitia masjid dan pemerintah Kupang, mengikuti prosedur yang ditetapkan SKB 2006, setuju bahwa pemerintah Kupang akan mencari lokasi lain.
Sebulan setelah negosiasi, pada 2008, pemerintah Kupang membeli sebidang tanah untuk lokasi tersebut. Jaraknya sekitar 600 meter dari lokasi pertama. Sesudah mendapatkan sejumlah tandatangan yang disyaratkan dari penduduk Kristen di Batuplat, Kementerian Agama di Kupang dan FKUB menyetujui pembangunan masjid tersebut.[199] Walikota Kupang Daniel Adoe menandatangani izin bangunan dan meletakkan batu pertama pada 24 Juni 2010.[200]
Namun, protes berlanjut dari jemaat Kristen di Batuplat, terutama dari jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), gereja terbesar di Timor, yang memimpin advokasi penundaan pembangunan masjid. Pendeta Judith Nunuhitu-Folabessy dari jemaat GMIT di Batuplat berkata, “Saudara-saudari Kristiani kami di Jawa telah menaati peraturan 2006. Kami ingin peraturan itu diterapkan di sini juga. Jika kita tak mau menuruti peraturan itu, seharusnya ia juga tak diterapkan di daerah lain di Indonesia.”[201]
Penyerangan Pesantren Syiah
Human Rights Watch mendokumentasikan serangan 2011 oleh para militan Sunni terhadap pesantren Syiah di Bangil, dekat Surabaya, Jawa Timur. Bangil, kota penting bagi komunitas Syiah Indonesia, karena ia punya sekolah terkenal bernama Yayasan Pesantren Islam (YAPI). Sekolah ini memiliki taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dua sekolah menengah atas. [202] Pada 15 Februari 2011, lebih dari 200 militan memasuki YAPI dan menghancurkan properti sekolah. Dalam upaya membela diri, sembilan pelajar terluka.
Gangguan terhadap sekolah YAPI bisa dilacak pada 2007. Pada November 2007, kepala Yayasan al-Bayyinat Sunni di Surabaya, Thohir al Kaff, berkhotbah di Bangil dengan menyerukan kepada pendengarnya “membersihkan” Bangil dari penganut Syiah. [203] Sesudah khotbah, sekelompok orang menyerang sekolah, melempari batu, berteriak kepada para siswa dan menendang pintu. Tak seorang pun ditangkap atau dituntut atas serangan tersebut.
Ada empat serangan lagi terhadap sekolah pada 2010 dan 2011. Menurut laporan polisi dan pegawai sekolah YAPI, sebuah masjid di Bangil mengadakan khotbah anti-Syiah setiap pekan pada Rabu malam dan menyebarkan lewat radio umum, dengan pengeras suara. Pengajian tersebut diadakan oleh kelompok Sunni bernama Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Pengurus sekolah YAPI berkata pada Human Rights Watch bahwa mereka yakin para militan yang menyerang sekolah adalah mereka yang menghadiri pengajian rutin di masjid Bangil.
Menurut laporan polisi, pada 19 Desember 2010, tiga peluru memecahkan jendela asrama putri YAPI. [204] Pihak sekolah yakin itu serangan anti-Syiah. Pada 12 dan 14 Februari 2011, sekelompok orang tak dikenal melempari asrama putri YAPI, menghancurkan ubin, langit-langit ruangan, dan jendela. [205]
Kemudian, pada siang 15 Februari 2011, sekitar 200 pria dengan sepeda motor menyerang sekolah YAPI, melemparinya dengan batu, memecahkan jendela, dan menghancurkan pos satuan pengamanan (satpam). Para siswa, yang tengah bermain sepakbola di lapangan terdekat, berusaha membela diri. Human Rights Watch melihat rekaman video dari peristiwa serangan di mana beberapa pria berteriak, “Syiah Laknatulloh” atau Syiah dilaknat Allah.
Seorang siswa YAPI berusia 18 tahun berujar:
Saya sedang main komputer saat dengar ribut. Saya keluar dan lihat kira-kira 20 pria orang di halaman sekolah, hancurkan jendela-jendela dan merusak pos satpam. Saya panggil teman sekelas. Sekitar 30 murid keluar. Kami melawan dengan apa yang ada, dengan batu, tongkat. Kira-kira 30 menit polisi datang dan mengeluarkan tembakan peringatan.[206]
Para penyerang pergi setelah polisi mengeluarkan tembakan peringatan. Tapi peristiwa itu menyebabkan sembilan siswa terluka, empat luka serius, yang mengharuskan mereka dirawat ke rumahsakit. Satu pelajar menderita kerusakan mata. [207]
Serangan Februari 2011 mendapat cukup perhatian media dan mendorong polisi menangkap dan mengajukan kasus terhadap enam pria di pengadilan Sidoarjo. Enam orsng mengakui mereka anggota Ahli Sunnah Wal Jamaah. Pengadilan Sidoarjo mendakwa mereka bersalah karena melakukan kekerasan terhadap para pelajar. Mereka dihukum tiga bulan dan 21 hari penjara. “Hukuman ini sebagai pembinaan supaya terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana lagi," kata Hakim Ketua Sutjahjo Padmo Wasono. [208]
Penuntutan di bawah Pasal Penodaan Agama
Peraturan presiden tentang penodaan agama maupun larangan menyiarkan agama kepada orang lain yang sudah beragama cukup sering dipakai untuk menghukum sejumlah orang dari kalangan minoritas agama. Kriminalisasi ini melanggar kebebasan beragama dan berekspresi. Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) belakangan agresif memakai pasal-pasal penodaan agama guna menghukum kalangan minoritas.
Di Dharmasraya, Sumatra Barat, Bakor Pakem mendakwa Alexander An, admin grup Facebook “Ateis Minang” dengan penodaan agama. Namun, pada Juni 2012, pengadilan negeri Sijunjung memvonisnya 2,5 tahun penjara dan didenda Rp 100 juta karena “menimbulkan keresahan umum” lewat internet.
Jemaah Syiah juga jadi sasaran. Selama bertahun-tahun, sekelompok Sunni gencar berkampanye menentang komunitas Syiah di kabupaten Sampang, Madura, dan melawan ulamanya, Tajul Muluk. Pada Juli 2012, Muluk didakwa tuduhan penodaan dan dihukum dua tahun penjara. Pengadilan tinggi menaikkan hukuman jadi empat tahun penjara.
Awalnya, 1 Januari 2012, Majelis Ulama Indonesia di Sampang mengeluarkan fatwa, menyalahkan apa yang mereka sebut “ajaran Tajul Muluk” sebagai perbuatan penodaan terhadap Islam dan menuntut pemerintah mengadili Muluk. [209]
Para ulama dari Jawa Timur lantas pergi ke Jakarta pada Januari 2012 untuk mengusulkan Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa anti-Syiah. Mereka berpendapat bahwa Islam Syiah di Jawa Timur menimbulkan keresahan dan mengancam “kerukunan umat beragama di Indonesia.”[210] Mereka juga bertemu dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri Agama Suryadharma Ali. Sesudahnya, Ali mengatakan, “Syiah bertentangan dengan Islam. Syiah menyimpang. Siapa yang berpikir bahwa Syiah tidak sesat maka dia sendiri juga sesat.”[211] Pernyataan publik ini juga meningkatkan tekanan pada polisi lakukan kriminalisasi terhadap Syiah.
Pada 4 Januari 2012, kepala kejaksaan negeri Sampang, Danang Purwoko Adji Susesno, juga anggota Bakor Pakem, minta Kejaksaan Agung melarang “ajaran Tajul Muluk” dan menulis dalam sebuah surat bahwa kejaksaan Sampang akan mendesak tuntutan penodaan Islam terhadap Muluk. Susesno membuat sejumlah klaim tentang ajaran Tajul Muluk dan alasannya bertentangan dengan Islam.[212] Pihak berwenang menginterogasi Tajul Muluk pada Februari 2012 dan mendakwa penodaan serta “perbuatan tak menyenangkan“ pada 24 April 2012.
Pengadilan Sampang memvonis Muluk dua tahun penjara karena penodaan agama pada Juli 2012. [213] Pada September 2012, pengadilan tinggi Jawa Timur menaikkan vonis jadi empat tahun penjara. Dia mengajukan kasasi lagi dan putusan Mahkamah Agung tetap mempidanakan empat tahun penjara pada Januari 2013. [214]
Bakor Pakem juga berperan dalam memprakarsai penuntutan pidana terhadap Andreas Guntur, guru spiritual Amanat Keagungan Ilahi, yang dipenjara empat tahun pada Maret 2012 oleh pengadilan Klaten, Jawa Tengah, karena tuduhan mengajarkan Islam yang berbeda dari yang diyakini kebanyakan Muslim.
Pada Oktober 2010, Antonius Richmond Bawengan, pengkhotbah kontroversial dari Jakarta, membagikan selebaran tentang tiga agama Nabi Ibrahim (menawarkan tafsiran sendiri, yakni Yehova Yudaisme, Yesus Kristus Kristiani, dan Islam Allah). Selebarannya memicu kemarahan kalangan Muslim di Temanggung, Jawa Tengah, mendorong polisi menangkapnya. Pada 8 Februari 2011, pengadilan Temanggung mendakwa Bawengan dengan pasal penodaan agama dan dihukum lima tahun penjara karena menyebarkan selebaran tersebut.
Di Sukadana, kota kecil di provinsi Lampung, Sumatra, pengadilan mendakwa dua jemaat Baha’i, Syahroni dan Iwan Purwanto, karena “mencoba membujuk anak-anak Muslim pindah agama” ke keyakinan Baha’i. Pengadilan Lampung Timur pada November 2010 mempidanakan dua pria itu lima tahun penjara. Mereka mengajukan banding pada Januari 2011 tapi putusan pengadilan tinggi Lampung tetap pada vonis semula. Para terdakwa mengajukan kasasi atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung.
Menurut dokumen pengadilan, pada April 2010, paman Riza Fadilla yang Baha’i, Iwan Purwanto, minta keponakannya mengajari anaknya yang berumur tujuh tahun. Si keponakan setuju, dan les segera berkembang, dengan jumlah murid anak Baha’i lain dan 14 anak-anak Muslim, sebagian besar usia sekolah dasar, serta tiga pengajar lain, termasuk remaja Muslim. [215] Mereka belajar tiap hari Minggu di lantai dua di pasar Sidorejo, kecamatan Sekampung Udik, milik pemimpin Baha’i setempat, Syahroni.
Syahroni dan Iwan Purwanto dituduh berusaha membujuk anak-anak Muslim pindah keyakinan Baha’i. [216] Alhasil, para jaksa penuntut mendakwa keduanya bukan dengan pasal penodaan agama. Alih-alih, jaksa menggunakan pasal 86 dari Undang-Undang 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan, “setiap orang yang dengan sengaja membujuk anak untuk memilih agama lain akan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.” Kedua terdakwa ditahan di penjara Sukadana sembari menunggu proses kasasi. [217]
Penuntutan di bawah SKB Anti-Ahmadiyah 2008
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, organisasi nasional bagi para Ahmadi, melaporkan sedikitnya 33 masjid Ahmadiyah dirusak, disegel, diduduki, atau dipaksa ditutup oleh pihak berwenang setempat, sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan SKB anti-Ahmadiyah pada Juni 2008. Pada beberapa kasus, para militan Islamis menutup sendiri masjid Ahmadiyah, di mana polisi gagal bertindak atau dengan aktif bersekongkol dengan para militan. [218]
Di kotamadya Bekasi, kaum Islamis tak pernah berhasil memaksa pejabat setempat menutup masjid di sekitar Pondok Gede, satu-satunya masjid Ahmadiyah di kota Bekasi. Mereka lantas mendesak walikota Bekasi Rahmat Effendi mengikuti SKB anti-Ahmadiyah. Peraturan itu, diberlakukan pada 13 Oktober 2011, menyatakan penganut Ahmadiyah dan organisasinya harus menghentikan “semua kegiatan,” termasuk “dakwah, menyampaikan ajaran, usulan atau tindakan lain yang menyiratkan dakwah” Ahmadiyah.[219]
Rahmat Rahmadijaya, mubaligh Ahmadiyah di Bekasi, berkata pada Human Rights Watch bahwa seminggu sebelumnya, 4 November 2011 pukul 7:30:
MUI datang ke sini dan minta kami tak memakai masjid dengan alasan keamanan. Tapi hak kami beribadah urusannya dengan Allah, tak ada orang yang bisa mencegah kami. Mereka bilang, “Bagaimana kalau [para provokator] datang ke sini dengan FPI? Apa yang akan kalian lakukan?”
Saya bilang, kami akan dialog. Kami akan bicara dengan tenang dan menjelaskan pada mereka bahwa kami punya hak beribadah. MUI lantas pergi dan polisi dan pasukannya datang ke sini jam 09:00. Mereka membiarkan kami shalat Jumat tapi kami harus cepat. Kami melihat pola sama pada tiga shalat Jumat sebelumnya. [FPI] berharap MUI dapat membujuk kami untuk tak beribadah. Biasanya setelah shalat Jumat kami mengobrol dulu, tapi sekarang pihak keamanan minta kami cepat pulang.
Rahmat Rahmadijaya menunjukkan pada Human Rights Watch pesan pendek di telepon seluler dia yang dia terima dari orang tak dikenal, mengancam bahwa kelompok Islamis di sekitar masjid akan lakukan:
- “Usir Ahmadiyah dari Pondok Gede”
- “Galang kekuatan”
- “Bersiap”
- “Hentikan semua kegiatan kalau tak ada keputusan pemerintah di hari Jumat. Semua umat Islam, ayo kita pergi ke lokasi dan membuatnya lebih jelas.” [220]
Titik Sartika, ketua divisi perempuan masjid, dalam istilah Ahmadiyah, “Sadr Lajnah Imaillah”, berkata pada Human Rights Watch:
“Kami takut tiap kali mau ke masjid, terutama ibu-ibu dengan anak. Kami takut bawa anak. Juga ada sekolah Minggu tapi sekarang [di rumah]. Kami sangat takut. Ibu-ibu sering tidak mau datang ibadah jika kami lihat ada orang-orang dengan jubah putih.”[221]
Rahmadijaya menuturkan bagaimana keadaan memburuk selama beberapa tahun terakhir:
Sebelum 2005, bahkan Muslim yang bukan Ahmadiyah shalat di sini. Kami di sini sudah 22 tahun. Kami tak pernah menghadapi masalah ini sebelumnya. Kami anggota masyarakat biasa. Sekarang kami difitnah. Masalah dimulai pada 2005 setelah ada fatwa MUI. segalanya jadi buruk setelah ada SKB 2008 dan kami menerima intimidasi sejak ada peraturan Bekasi.
Jemaat Ahmadiyah takut menggugat proses hukum peraturan anti-Ahmadiyah Bekasi. “SKB itu hanya membatasi kegiatan kami, pengajian, tapi dalam hal ibadah tak dilarang,” ujar Rahmadijaya.[222] Namun, kelompok Islamis salah menafsirkan keputusan itu dan menyerukan penutupan masjid.
Di Cianjur, sekitar tiga jam berkendaraan dari selatan Jakarta, komunitas Ahmadiyah menghadapi intimidasi dan penganiayaan sejak gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang juga anggota MUI dan politisi Partai Keadilan Sejahtera, mengeluarkan peraturan anti-Ahmadiyah pada 2 Maret 2011 yang melarang “semua kegiatan penyebaran Ahmadiyah.” [223]
Hafiz, ketua masjid kecil Ahmadiyah di Cipeuyeum, Cianjur, berkata pada Human Rights Watch bahwa dia menerima panggilan telepon dari perwira militer setempat yang memberitahu peraturan gubernur. Sejak itu gangguan mengikuti. Pada 17 Maret 2011, sekitar 100 pria mendatangi masjid Cipeuyeum. Dua Ahmadi dipaksa menandatangani pernyataan yang menyatakan Ahmadiyah tak boleh menggunakan masjid untuk beribadah atau pertemuan. Tapi pada Desember 2011, jemaat Ahmadiyah diam-diam memakai masjid lagi. [224]
Pada 17 Februari 2012, Hasan Suwandi, penjaga masjid, sendirian menghadapi sekelompok orang yang mengepung masjid. Mereka membongkar pagar besi dengan palu godam, linggis, dan batang besi untuk menghancurkan masjid. Suwandi berkata pada Human Rights Watch :
Saya langsung lari dari rumah misi dengan cucu saya. Tapi saya lupa belum mematikan kompor. Jadi saya balik lagi dan mematikannya. Kejadiannya sangat cepat, sekitar 30 menit, saat mereka meruntuhkan atap masjid. Aparat polisi dan militer baru datang saat masjid sudah roboh.[225]
Pelecehan terhadap Anak-anak Ahmadiyah
Jemaat komunitas Ahmadiyah berkata pada Human Rights Watch bahwa anak-anak mereka menderita pelecehan di sekolah negeri dari para guru dan pengurus sekolah. Kesulitan dari masalah ini ialah mengukur luasnya pelecehan tersebut, namun bukti ejekan menunjukkan perkara ini cukup luas terhadap anak Ahmadiyah. Di Cianjur dan Cikeusik, keduanya di Jawa bagian barat, Human Rights Watch mendokumentasikan kasus di mana guru agama melakukan kekerasan verbal terhadap murid Ahmadiyah karena keyakinannya atau retorika khotbah anti-Ahmadiyah, “sesat dan menyesatkan,” yang memicu pelecehan.
Seorang ibu Ahmadiyah dari putra berumur 17 tahun dari Cikeusik menjelaskan pada Human Rights Watch tentang pelecehan yang dipikul anaknya dari pesantren di Malingping, dekat Cikeusik, Banten. Anak lain dan ponakan perempuan, keduanya sekolah di SMA terdekat, tak memperoleh dokumen pindah sekolah saat keluarga mereka dipaksa meninggalkan Cikeusik. Dia berkata pada Human Rights Watch:
Guru bilang, “Ahmadiyah itu (ajaran) sesat. Mereka harus diusir.” Dia menyebut saya sesat. Anak saya anak pendiam. Dia hanya mendengarkan. Guru itu berkata, “Ahmadiyah menodai Islam.” Kemudian kepala sekolah tak mengizinkan dia ikut dengan saya saat kami pindah ke Jakarta. Mereka menolak menandatangani surat pindah sekolah dan mereka tetap menahan rapor dia.[226]
Ismael Suparman, mubaligh Ahmadiyah di Cikeusik, berujar lima dari tujuh murid Ahmadiyah tak mendapatkan surat pindah saat keluarga mereka dipaksa meninggalkan Cikeusik pada Februari 2011. “Saya mengirim empat anak saya untuk pergi bersama ibu mereka (dari Filipina) ke Kota Zamboanga, Mindanao, sehingga [di Filipina] mereka bisa pergi sekolah,” kata Suparman. [227]
Di Sukadana, Cianjur, seorang guru Ahmadiyah berkata pada Human Rights Watch bahwa para murid dan guru Ahmadiyah menghadapi pelecehan berulangkali karena keyakinan mereka. Pada Juli 2011, seorang pengawas dari Kementerian Pendidikan mendatangi kecamatan dan, dalam pidatonya pada sekitar 200 guru, berkata bahwa semua sekolah dan guru harus menaati SKB 2008 anti-Ahmadiyah. Sebagaimana dituturkan pada Human Rights Watch bahwa pegawas menyebut Ahmadiyah sebagai “ancaman terselubung,” berkata di depan guru bahwa SKB memerintahkan Ahmadi “menghentikan kegiatan karena menyimpang dari pokok-pokkok ajaran Islam” dan mencatat bahwa yang melanggar akan diancam lima tahun penjara.[228]
Lima murid Ahmadiyah di sekolah dasar dan menengah pertama di Sukadana, Jawa Barat, berkata pada Human Rights Watch, mereka diganggu oleh teman sekelas yang mengikuti pernyataan diskriminatif dari guru mereka. Murid kelas delapan berkata bahwa dia dipukul oleh teman sekelas setelah khotbah mingguan anti-Ahmadiyah dari guru agama Islam di sekolah. “Saya lapor ke orangtua saya. Saya takut melaporkannya ke sekolah. Saya takut guru-guru akan melaporkan orangtua saya ke Garis,” katanya, merujuk Gerakan Reformis Islam (Garis), kelompok milisi yang sering terlibat kampanye anti-Ahmadiyah di kabupaten Cianjur. [229]
Diskriminasi Kebijakan
Di Indonesia, diskriminasi negara terkait agama tak cuma pembangunan gereja, masjid, dan pura. Beragam peraturan pemerintah mendiskriminasi minoritas agama, mulai dari pengajuan kartu tanda penduduk, akta kelahiran dan pernikahan, serta akses lain ke pelayanan pemerintah. Misalnya, pejabat kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menolak seorang pria Ahmadiyah memproses pendaftaran pernikahan karena keyakinannya.[230] Dua keluarga Baha’i di Sukadana, Lampung, melaporkan petugas pemerintah memaksa mereka mencantumkan “Islam” sebagai agama resmi di KTP, akta kelahiran dan pernikahan mereka.[231]
Human Rights Watch juga mewawancarai Dewi Kanti, perempuan Sunda, penganut kepercayaan lokal Sunda Wiwitan, yang menikahi pria Jawa beragama Katholik. Petugas kantor catatan sipil menolak menerima pernikahannya karena mereka tak mengakui agama si perempuan. Jika mereka punya anak, akta lahir bayi takkan mencantumkan nama si ayah.[232] Tanpa akta kelahiran lengkap, si anak akan dianggap “anak haram” menurut undang-undang, yang mengakibatkan stigma sosial.[233]
Kantor Bakor Pakem di Jawa Barat menolak mengakui pernikahan Sunda Wiwitan sejak 1964 dan bahkan menahan pendeta Sunda Wiwitan (ayah Dewi Kanti) selama tiga bulan pada 1964 karena menjadi wali pernikahan bagi lima pasangan Wiwitan. [234]
Kanti sendiri menikahi suaminya, penganut kepercayaan Kejawen, di gereja Katholik, pada Maret 2002. Dia berkata:
Suami saya memilih Katholik sebagai agama resmi dia. Tapi praktiknya keyakinan dia Kejawen. Jika kami menuntut pernikahan dengan agama kami masing-masing, maka kami takkan punya akta kelahiran bagi anak kami, yang akhirnya, tanpa nama suami saya. Kolom agama di KTP kami (tanda “-“) menciptakan stigma lainnya di Indonesia.[235]
Semua warga negara Indonesia harus memiliki KTP saat berusia 17 tahun. Dokumen ini sangat penting untuk keperluan transaksi dasar seperti membuka rekening bank, memperoleh surat izin mengemudi, memasuki universitas, melamar pekerjaan, atau mendapatkan uang pensiun. Ia juga dibutuhkan saat mengajukan akta kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Sejak 1978, Kementerian Dalam Negeri mewajibkan semua warga negara mencantumkan agama negara di kolom agama dalam KTP, menyediakan lima pilihan: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Buddha (menghapus Konghucu, agama yang diakui sebelumnya, yang menderita diskriminasi selama pemerintahan Suharto).[236]
Akibatnya, orang-orang dari ratusan keyakinan lokal lebih kecil seperti Kejawen (Jawa), Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Dayak), Parmalin (Batak), dan penganut agama seperti Yahudi, Sikh, dan Konghucu, dipaksa memilih salah satu dari enam agama saat mereka mengajukan KTP. [237] Pasangan dari beda agama juga menghadapi kesulitan ekstra saat hendak menikah karena KTP dan Kartu Keluarga mereka memperlihatkan beda agama. [238]
Pada 2006, parlemen Indonesia mengesahkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang menetapkan bahwa setiap orang tak harus memuat keterangan agama di KTP mereka.[239] Tapi realitasnya sungguh berbeda. Banyak petugas catatan sipil masih belum tahu undang-undang baru. Penganut minoritas agama menghadapi berbagai kendala jika mereka menolak memilih salah satu dari enam agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. “Mereka langsung menyebut Anda sebagai perempuan tak bertuhan jika Anda tetap ingin mengosongkan kolom agama,” ujar Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan, yang tak mengisi kolom “agama.”[240]
Di Manis Lor, kabupaten Kuningan, kampung Ahmadiyah terbesar di Jawa, seorang lelaki Ahmadiyah berusia 34 tahun berkata pada Human Rights Watch bahwa pasangan muda Ahmadiyah di daerahnya menerima hambatan administratif untuk menikah. Ada sekitar 3.000 keluarga Ahmadiyah di Manis Lor, 45 kilometer dari selatan Cirebon, kota utama di Jawa Barat. Pasangan muda seringkali harus pergi ke Cirebon atau Jakarta untuk mendaftar pernikahan, harus berpura-pura pindah tempat tinggal dan mendaftar ulang KTP baru, karena pihak berwenang Kuningan menolak mencatat pernikahan pasangan Ahmadiyah.
Pria itu berkata bahwa, dalam upaya mendaftar pernikahan dia di Manis Lor pada 2010, pihak berwenang Kuningan memberitahu dia bahwa pemerintah daerah Kuningan secara resmi menginstruksikan Kantor Urusan Agama Islam di Manis Lor untuk tidak menerima setiap pernikahan Ahmadiyah. Dia terpaksa menikah di tempat lain:
Saya juga mengadakan pesta pernikahan diam-diam dengan hanya diramaikan anggota keluarga sendiri. Kami takut tetangga akan melaporkan pernikahan kami.[241]
Di Sukadana, Lampung, Sumatra, Human Rights Watch mewawancarai dua keluarga Baha’i yang tak bisa mendapatkan KTP dan akta kelahiran. Salah satu keluarga tak memperoleh akta kelahiran untuk anak mereka.
Riyon Irfanus, pemilik toko sepeda berumur 26 tahun, menuturkan dia pergi ke kantor kelurahan di Sukadana, minta KTP baru tapi petugas menolak:
Mereka awalnya mencantumkan Islam sebagai agama saya. Saya menolak KTP itu dan menginginkan Baha’i sebagai agama saya. Saya tak ingin hidup dalam kebohongan. Mereka tak mau melakukannya. Saya kembali lagi, mereka menolak, dan lima bulan kemudian datang lagi. Mereka akhirnya berkata kepada saya untuk pergi ke Departemen Agama. Jika [departemen] setuju, petugas kelurahan akan memproses KTP baru saya.
Kementerian Agama mengatakan bahwa mereka tak berwenang mengurus KTP, dan hingga kini Riyon tak punya KTP. Dia sulit memperoleh akta pernikahan. Guna mendaftarkan kelahiran anaknya, Riyon terpaksa mencantumkan agama Kristen karena Kantor Catatan Sipil menolak mencetak Baha’i sebagai agamanya.[242]
Dalam praktik, para penganut minoritas agama seringkali terpojok dalam situasi aneh. Jika kolom agama dibiarkan kosong, yang dibolehkan secara resmi menurut UU Administrasi Kependudukan 2006, petugas pemerintah menuduh mereka sebagai ateis — tuduhan yang bisa dipidanakan lewat pasal penodaan agama. Jika mereka memilih salah satu dari enam agama yang ditawarkan, yang meniadakan keyakinan agama mereka sendiri, mereka dapat dituduh memalsukan identitas. “KTP adalah makanan kami sehari-hari,” kata Soesiana Tri Ekawati, pemimpin Baha’i pusat di Jakarta, menambahkan bahwa banyak penganut Baha’i didesak petugas pemerintah untuk memilih Islam di daerah mayoritas Muslim, atau Kristiani di daerah mayoritas Kristen.[243]
IV. Kegagalan Negara Melindungi Minoritas Agama dari Kekerasan
Mereka menyeret saya dari sungai. Mereka pegang tangan saya dan melepas sabuk saya dengan parang. Mereka lepas kaos, celana dan kaos dalam saya. Saya hanya pakai celana dalam. Mereka ambil uang Rp 2,5 juta dan Blackberry saya. Mereka lepaskan celana dalam saya dan mau memotong alat kelamin. Saya terbaring posisi bayi. Saya hanya berusaha melindungi muka saya, tapi mata kiri saya ditikam. Kemudian saya dengar mereka teriak, “Sudah mati, sudah mati.”
—Ahmad Masihuddin, 25, korban luka dalam serangan massa pada pertemuan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011, setelah polisi di tempat kejadian gagal menghalangi kekerasan.[244]
Pemerintah Indonesia di tingkat pusat dan daerah sering gagal melindungi—baik melalui langkah penegakan hukum, pencegahan, maupun penuntutan— komunitas agama minoritas di bawah ancaman atau serangan dari kelompok Islamis militan. Kelompok militan ini terlibat langsung dalam serangan pada rumah ibadah minoritas atau menghasut massa setempat atau sekelompok orang untuk lakukan kekerasan. Sering bersama ketua Rukun Tetangga atau ketua Rukun Warga, para pemuka Islamis memimpin protes, yang bertujuan mengintimidasi atau mengancam peribadatan atau pertemuan keagamaan lain.[245]
Ada alasan-alasan politis dan birokratis mengapa pemerintah Indonesia gagal memenuhi kewajiban hukum dalam melindungi kaum minoritas dari ancaman atau serangan kelompok Islamis militan.
Keengganan pemerintah Indonesia untuk mencegah kekerasan terhadap minoritas agama atau mengadili mereka yang bertanggung jawab menjadikan pemerintah bertanggungjawab terhadap kekerasan yang berulang-ulang. Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyatakan, dalam General Comment 31, tentang kewajiban negara, bahwa “… kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang pantas atau mengambil tindakan guna mencegah, menghukum, menyelidiki, atau mengganti rugi kerusakan … yang ditimbulkan oleh orang perseorangan atau kelompok” di mana hak-hak asasi manusia yang diatur Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dapat dianggap sebagai pelanggaran oleh negara.[246]Selain itu, ketika hak-hak dilanggar, negara “harus menjamin pelakunya diadili. Jika terjadi kegagalan menyelidiki, kegagalan mengadili para pelaku kejahatan semacam itu ke pengadilan, bisa dengan sendirinya jadi pelanggaran terhadap Kovenan.”[247]
Di beberapa daerah Indonesia, intimidasi dan ancaman terhadap komunitas agama oleh kelompok-kelompok Islamis berlangsung cukup lama, tanpa atau dengan sedikit upaya dari para pejabat pemerintah untuk mengatasinya. Catatan khusus soal Front Pembela Islam (FPI), yang terkesan diistimewakan para penegak hukum padahal mereka berulangkali terlibat aksi premanisme. Sebagaimana International Crisis Group menulis: “Tak cuma gubernur Jakarta, … [kepala] Kepolisian Indonesia dan Menteri Agama menghadiri kegiatan-kegiatan FPI, … Kapolri menyambut FPI sebagai rekan dalam menjaga hukum dan ketertiban di Jakarta. Prakarsa berkawan dengan kelompok yang dikenal intoleran itu bukanlah jalan mengembangkan kerukunan umat beragama.” [248]
Orang Kristen dan penganut agama minoritas lain, yang diwawancarai Human Rights Watch, berkata bahwa mereka merasa di bawah tekanan tiada henti dari kelompok-kelompok militan, Majelis Ulama Indonesia, pejabat Kementerian Agama, beberapa polisi tertentu, dan pejabat pemerintah daerah. Mereka mengatakan, tekanan ini menjadikan penganut agama minoritas menghentikan peribadatan atau meninggalkan rumah ibadah.
Saat upaya minoritas agama menuntut hak-hak mereka ditegakkan, pemerintah dan polisi daerah malah berusaha memaksa semua pihak mencapai apa yang disebut “upaya damai.” Seorang jenderal Kepolisian Indonesia di Jakarta berkata pada Human Rights Watch, “Kami mengajak semua pemuka agama untuk membuat kesepakatan.” [249] Namun penyelesaian macam itu seringnya bertujuan agar minoritas-minoritas agama dipaksa mengabaikan hak-hak mereka. Misalnya, guna memenuhi kepentingan keamanan, pejabat pemerintah atau kepolisian menekan minoritas agama pergi dari daerah mereka masing-masing.
Human Rights Watch mencatat 10 kasus di mana polisi gagal mengusut pengaduan kekerasan terhadap minoritas agama. Pada sebagian kecil peristiwa di mana pihak berwenang melakukan penahanan, ia lebih sering didorong oleh liputan media yang gencar. Pada sembilan kasus yang didokumentasikan Human Rights Watch, termasuk serangan dan pembakaran gereja HKBP Ciketing di Bekasi dan pembakaran empat gereja di Kuantan Singingi, Riau, penyelidikan polisi sangat lamban. Kendati ada beberapa pelaku dipenjara, tapi para tersangka lain tak sepenuhnya diusut tuntas.
Di antara kasus yang diinvestigasi Human Rights Watch, hanya satu kasus di mana pemerintah dan kepolisian daerah merespon dengan cepat atas kekerasan terhadap minoritas agama. Setelah militan Islamis membakar tiga gereja dan sebuah sekolah Kristen di Temanggung pada Februari 2011, pemerintah daerah seketika menjaga jarak dari para penyerang. Kepolisian Jawa Tengah mengerahkan ratusan polisi untuk memulihkan ketertiban dan menangkap para pelaku. [250]
Polisi Bersekongkol dengan Militan Islamis
Polisi seringkali berpihak pada militan Islamis dengan mengorbankan hak-hak minoritas agama seakan-akan untuk menghindari kekerasan. Setelah tindakan menghasut atau serangan fisik oleh para Islamis, alih-alih menyelidiki dan menuntut mereka yang bertanggung jawab, polisi kadang kala meyakinkan minoritas agama, yang jadi sasaran serangan, untuk meninggalkan daerahnya atau menutup rumah ibadah mereka dengan dalih menjaga ketertiban umum. Misalnya, seorang mubaligh Ahmadiyah di Sukadana, kecamatan Campaka, Cianjur, berkata pada Human Rights Watch bahwa polisi mengusulkan dia keluar dari Sukadana karena kehadirannya bisa memancing amarah kalangan Muslim dan mungkin memicu kekerasan.[251]
Alasan polisi gagal melindungi minoritas agama dari serangan fisik bervariasi dari kasus demi kasus. Pada beberapa kasus, polisi berkolusi dengan para penyerang karena alasan agama, ekonomi atau politis; pada kasus lain, mereka sepenuhnya minim instruksi yang jelas dari atasan mereka atau merasa kalah jumlah dengan para militan. Pada semua kasus, sangat kurangnya respons polisi ini mencerminkan kegagalan institusi kepolisian dalam menegakkan hukum dan menangkap para pelaku kejahatan pidana. Beberapa pejabat polisi bahkan terlibat terang-terangan mengusulkan ajaran Syiah dilarang di Pulau Madura. Pernyataan tersebut jelas mengabaikan peraturan polisi Indonesia, tapi mereka tak pernah diminta pertanggungjawaban.
Pada Juni 2011, polisi memasuki sebuah masjid Ahmadiyah di Sukadana dengan anggota kelompok militan Gerakan Reformis Islam (Garis). Sebuah video menunjukkan Ajun Komisaris Polisi Rusnaedi, kepala polisi sektor Campaka, datang ke masjid bersama para militan Garis, memasang dua papan pengumuman bahwa kegiatan Ahmadiyah dilarang.
Mukhtar Assegaf, yang mengelola sekolah Syiah di Bangil, dan berada di lokasi serangan kekerasan pada Februari 2011, berkata bahwa dia melaporkan serangan pada polisi:
Kami terus melaporkan lemparan batu, penganiayaan, perusakan jendela dan bahkan membawa tombak, arit, dan pentungan yang dipakai menyerang ke pesantren kami ke polisi. Tapi polisi terus berkata sedang membangun komunikasi dengan para pelaku.[252]
Di Sukadana, Lampung, polisi berpihak pada militan Islamis menekan dua orang Baha’i. Sesudah tekanan dari anggota komunitas Muslim, yang menandatangani surat pernyataan agar Baha’i pindah ke Islam atau keluar dari Sukadana, wakil kepala polisi Lampung Timur, Dwi Sulistyawan, dan dua penganut Baha’i, Syahroni dan Iwan Purwanto, setuju untuk “musyawarah” di kantor polisi Lampung Timur pada 2 Juni 2010. Dua orang Baha’i ini menandatangani pernyataan yang sudah disiapkan polisi, isinya setuju menghentikan semua “kegiatan agama dan ekonomi” Baha’i. Para perwira polisi serta pejabat Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia ikut teken sebagai saksi penandatanganan pernyataan itu.[253]
Di Sampang, Madura, pada Februari 2006, empat pejabat polisi di kecamatan Omben menandatangani pernyataan terbuka, minta ulama Madura mengeluarkan fatwa bersama melarang Syiah. [254] Ini menunjukkan bahwa keempat polisi tersebut berpihak dengan mayoritas Sunni bahkan saat kaum minoritas Syiah mengadu terjadi intimidasidan ancaman. Polisi Resor Sampang, yang membawahi sektor Omben, juga berperan menekan seorang ulama Syiah agar meninggalkan kampung mereka. [255]
Pemerintah dan polisi daerah juga memakai ancaman dan serangan kekerasan oleh kelompok militan untuk menghentikan kelompok minoritas agama dari peribadatan terbuka dan kegiatan keagamaan lain. Pada HKBP Ciketing, polisi mencegah jemaat Batak tersebut menggunakan tanah calon gereja sesudah penikaman 4 September 2010 terhadap satu anggota jemaat. Panitua gereja, Asia Lumbantoruan, berkata, “Pemerintah memaksa kami meninggalkan gereja demi mencegah kekerasan berdarah. Mereka bilang, ‘Kami tak ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi kalau kalian terus melakukan ibadah di sini.’”[256]
Polisi Bekasi mengusut penikaman terhadap Asia Lumbantoruan dan mendakwa 13 penyerang. Ketua FPI Bekasi, Murhali Barda, yang memakai Facebook untuk menggerakan massa melakukan penganiayaan terhadap jemaat HKBP Ciketing, dan Adji Achmad Faisal, yang terbukti menikam Lumbantoruan, diadili di pengadilan negeri Bekasi. Vonis mereka antara 3 hingga 7,5 bulan penjara.
Polisi Gagal Mencegah Kekerasan meski Ada Peringatan
Pada kasus-kasus yang dirinci Human Rights Watch, pemerintah dan polisi daerah di Bekasi, Bogor, Cianjur, Kuantan Singingi, Kupang, Sampang, dan Sukadana, gagal melindungi secara layak minoritas agama yang menghadapi intimidasi atau penganiayaan. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, empat jemaat HKBP di Bekasi mengalami intimidasi berkali-kali: HKBP Filadelfia di kampung Jejalen Jaya; HKBP Getsemane di daerah Jati Mulya; HKBP Pondok Timur Indah di daerah Ciketing (lebih dikenal HKBP Ciketing); dan HKBP Kaliabang di daerah Kaliabang, Bekasi Utara. Keempat jemaat ini tak bisa menggunakan bangunan gereja mereka karena polisi gagal melindungi mereka dari kelompok-kelompok militan Islamis.
Asia Lumbantoruan dari HKBP Ciketing di Bekasi berkata pada Human Rights Watch bahwa pada 1 Agustus 2010, anggota FPI mencoba mencegah kebaktian Minggu mereka. FPI memobilisasi Muslim Sunni setempat untuk menutup gereja sejak awal 2010. Lumbantoruan berkata, pada 1 Agustus, sekitar 1.000 Islamis dan 600 polisi datangi gereja. Polisi berusaha menghalau para militan dari gereja tapi gagal mencegah mereka dari penyerangan jemaat, menyebabkan lebih dari 30 orang terluka. Lumbantoruan mengatakan pada Human Rights Watch:
Mereka mendorong kami dan banyak dari kami jatuh. Saat kami jatuh, mereka [para Islamis] lari mengejar dan menginjak-injak dan memukul kami, termasuk dua pendeta. Saat seorang pendeta dipukul, polisi hanya melihat. Kami memberi nama-nama yang bertanggung jawab pada polisi. Polisi tak berbuat apa-apa.[257]
Lumbantoruan juga menjelaskan bagaimana pemuda dengan sepeda motor menikamnya dan menyerang pendeta perempuan pada 4 September 2010. Polisi sekali lagi diam saat ada indikasi kekerasan, hanya turun sesudah serangan dimulai, gagal mencegah eskalasi atau melakukan penangkapan para penyerang sesegera mungkin. Lumbantoruan berkata:
Pengendara sepeda motor mendekati saya dan mencoba memukul saya. Saat menunduk, saya lihat saya berdarah. Polisi ada 100 meter jaraknya. Para penyerang juga berada di dekatnya. Mereka menyerang dan memukul Pendeta Luspida Simanjuntak sampai dia terjatuh. Polisi membawa saya dan ibu pendeta dengan sepeda motor. Para penyerang mengejar dan memukul ibu pendeta tiga kali dengan batang kayu. Polisi buru-buru ngebut sementara kami dibonceng, meninggalkan jemaat di belakang.[258]
Pelecehan dan penyerangan, beserta kesadaran jemaat HKBP Ciketing bahwa polisi akan kurang melindungi mereka, bikin beberapa orang Kristen ketakutan ikut ibadah Minggu. Lumbantoruan berkata:
Jemaat kami biasanya 500 orang, tapi tekanan dan pelecehan yang bertubi-tubi, bikin beberapa orang enggan datang ke gereja dan mulai berdoa di tempat lain. Jumlahnya berkurang signifikan karena pemerintah terus menganjurkan kami pergi dan menempatkan kami di bangunan berbeda dan terus mengusulkan kami pindah lokasi.[259]
Komisaris polisi Herry Wibowo, mantan kepala kepolisian Bekasi dan kini seorang perwira di bagian internal Markas Besar Kepolisian Indonesia, berkata pada Human Rights Watch bahwa polisi kadang-kadang gagal melindungi minoritas agama di Bekasi tapi mengklaim bahwa menjamin perlindungan mereka itu sulit karena ada lebih dari 300 gereja Kristen di wilayah tersebut:
Polisi memberi perlindungan semua gereja setiap Minggu. Di kecamatan Tambun, kami melakukan perlindungan pada HKBP Filadelfia selama setahun. Sebelah gereja ada madrasah. Jika ada kebaktian Minggu, suaranya yang kencang memprovokasi orang-orang [di madrasah] yang tak bisa toleran dengan suara mereka.[260]
Pada 2010, HKBP Filadelfia mulai mengadakan kebaktian Minggu di desa Jejalen dan mengalami pelecehan tiap pekan. Pada 26 Januari 2012, kelompok Islamis yang dipimpin Haji Naimun mulai memakai empat pengeras suara besar-besar, mengudarakan qasidah (musik Islam) berbahasa Arab ke arah ibadah HKBP Filadelfia, yang jaraknya hanya semeter atau dua atau tiga. Pendeta Palti Panjaitan berkata jemaatnya hampir tak bisa mendengar doa mereka sendiri. Menurut Panjaitan:
Mereka berteriak-teriak, “Tutup gereja! Usir! Tak boleh ada gereja di sini!” atau “Batak Babi!” Jumlah mereka terus bertambah setiap minggu. Pada Sabtu malam, mereka membuang bangkai ayam, kotoran sapi dan telur busuk. Kami bilang pada polisi dan mereka menjawab mereka tahu siapa para pelakunya. Mereka tak melakukan apa-apa.[261]
Serangan paling brutal terjadi pada sekelompok Ahmadiyah di Cikeusik, provinsi Banten. Pada 6 Februari 2011, 1.500 militan Islamis menyerang sekitar 21 anggota komunitas Ahmadiyah di halaman rumah mereka di dusun Umbulan. Tiga Ahmadi terbunuh dan lima lain terluka.
Serangan itu direkam dalam sebuah video oleh Arif Rachman, Ahmadi yang bekerja sambilan sebagai videografer pernikahan, yang kemudian diunggah ke You Tube.[262] Video berdurasi 28 menit dan wawancara Human Rights Watch dengan para penyintas menggambarkan bahwa polisi setempat berada di lokasi peristiwa sebelum serangan, tapi banyak di antara mereka menghindar, setelah massa Islamis menuju ke rumah Ahmadiyah. Massa menyerang para Ahmadi dengan batu, bilah tongkat, dan golok sambil teriak-teriak slogan anti-Ahmadiyah.
Seorang Ahmadi berusia 25 tahun berkata pada Human Rights Watch:
Setelah sarapan, seorang perwira polisi datang ke rumah kami dan berkata ada demonstran datang kemari. Kami menduga cuma ada 100 sampai 200 orang. Saat polisi keluar rumah, massa hampir mendekati jembatan terdekat. Itu jam 10 pagi. Saya pikir polisi akan menghentikan mereka, tapi massa memasuki halaman rumah dan polisi diam saja. Kelompok itu teriak, “Kafir! Sesat!” Kami memutuskan bertahan. Tapi kami kalah jumlah.[263]
Ahmadi lain, Ahmad Muhamad, menuturkan pada Human Rights Watch, bagaimana dia melihat polisi dengan perlengkapan tameng, pentungan, dan gas airmata meninggalkan lokasi kejadian saat massa mendekati rumah. Yang lain melaporkan ada segelintir perwira polisi, yang hadir pada saat-saat paling brutal. Beberapa petugas polisi tetap di lokasi, tapi jumlah mereka yang sangat sedikit dan tindakan mereka tak cukup menahan para penyerang.
Video itu merekam segelintir polisi yang menyaksikan serangan cuma seadanya membendung kekerasan. Mereka hanya beberapa meter saat pembunuhan dua Ahmadi. Seorang perwira, kepala polisi sektor Cikeusik, Madsupur, menghela massa hanya dengan merentangkan tangan saat mereka mendekati rumah Ahmadiyah.[264]
Namun, dua polisi turut melindungi lima Ahmadi setelah tiga Ahmadi lain dipukul hingga tewas. Ahmad Muhammad dipukul dengan bilah bambu pada wajah hingga rahangnya retak:
Massa memakai tangan, tongkat dan golok menghajar muka saya. Mereka menghantam kaki kiri, kepala belakang saya dengan golok. Beberapa memakai turban di kepala dan yang lain berpakain putih dan lainnya mengenakan emblem FPI. Mereka berkata pada saya untuk membaca syahadat. [265] Saya membaca syahadat dan setelah selesai, mereka berkata, “Jangan serang! Dia Muslim!”
Dia menceritakan bagaimana petugas polisi datang dan mengangkut dia pergi:
Tiba-tiba seorang pria menggunakan badannya untuk melindungi saya. Kemudian polisi datang. Mereka melemparkan saya ke dalam mobil polisi dan supir melaju kencang. Saya pikir dia [supir] menyelamatkan diri dari massa, bukan karena saya.[266]
Setelah serangan, beberapa polisi bukannya bersimpati pada korban. Seorang perempuan Ahmadiyah berkata pada Human Rights Watch, “Kami kemudian dievakuasi ke kantor kepolisian Pandeglang dan menginap di sana selama tiga hari. Polisi dari Brimob [Brigade Mobil] berkata pada kami, “Ini orang kampung bodoh! Ini pindah agama hanya karena Sarimie!” [267]
Seminggu setelah serangan, Markas Besar Kepolisian Indonesia memanggil kepala polisi daerah provinsi Banten, Brigjen Agus Kusnadi, dan kepala polisi Pandeglang, Komisaris Alex Fauzi Rasad, untuk ditanyai di Jakarta. Kepolisian Indonesia melakukan penyelidikan internal atas kekerasan Cikeusik. Saat laporan ini ditulis, dua tahun sejak serangan, polisi belum mengumumkan hasil penyelidikannya. Hanya tiga polisi berpangkat rendah yang dijadwalkan akan diadili di Pandeglang dengan tuduhan lalai menjalankan tugas. Mereka diduga, pada saat kejadian, cuma menyaksikan serangan brutal itu sambil merokok.[268]
Saat kerusuhan Temanggung di Jawa Tengah pada Februari 2011, polisi merespons dengan cepat atas kekerasan anti-terdakwa yang meletup sesudah vonis terhadap pengkhotbah dan mantan penganut Khatolik yang kontroversial, Antonius Richmond Bawengan. Dia didakwa pasal penodaan agama Islam. Polisi mengatur evakuasi para hakim dan jaksa dari pengadilan, tempat massa ratusan orang yang berkumpul berteriak, “Bunuh! Bunuh!” Para militan Islamis yang hadir di ruang sidang mulai membakar ban di luar gedung pengadilan dan kemudian melampiaskan sasaran pada tempat-tempat Kristen.
Para saksi berkata pada Human Rights Watch bahwa para militan merusak empat gereja, sebuah sekolah Kristen, serta membakar sejumlah sepedamotor dan mobil. Mereka memasuki gereja Katholik Santo Petrus Paulus, memecahkan jendela kaca patri, dan menghancurkan benda-benda dan patung peribadatan. [269]
Polisi Jawa Tengah segera menerjunkan ratusan polisi anti huru-hara ke Temanggung. Mayjen Edward Aritonang, kepala kepolisian Jawa Tengah, memerintahkan bawahannya untuk mengusut lingkaran penghasut yang menyebarkan pesan pendek untuk memobilisasi pertemuan di pengadilan negeri Temanggung.[270] Pada 13 Februari 2011, polisi menangkap Syihabuddin, pengasuh pondok pesantren Al-Hadist di Temanggung, atas tuduhan menggerakkan santri-santri pergi ke gedung pengadilan. Polisi juga menangkap 24 perusuh lain.
Pada 14 Juni 2011, pengadilan negeri Semarang memvonis Syihabuddin atas pasal penghasutan selama setahun penjara. Enambelas terdakwa dihukum antara 5 hingga 10 bulan penjara. [271]
Pejabat Kepolisian Indonesia berkata pada Human Rights Watch bahwa mereka menegakkan kebebasan beragama, termasuk hak beribadah, karena ia hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia. Polisi merujuk kasus yang diusut mereka, seperti penikaman di Bekasi, menyediakan keamanan untuk mengawal jemaat gereja saat ibadah Minggu, dan bekerja dengan cepat mengantisipasi kekerasan pada masjid Ahmadiyah. Namun mereka menegaskan, mereka sering kerepotan dengan politisi, yang lebih cenderung mendulang suara pemilih. Brigjen RM Panggabean, wakil divisi hukum Mabes Polri, berkata pada Human Rights Watch:
Di Cikeusik kami meremehkan masalah. Ada begitu banyak penyerang. Kami kalah jumlah. Kami belajar dari kesalahan seperti itu. Kami mengambil tindakan disipliner. Para perwira polisi itu diturunkan pangkatnya dan dipindahkan.[272]
Menyalahkan Minoritas Agama
Pada sejumlah kasus yang diinvestigasi Human Rights Watch, polisi mengancam atau mengusut penganut minoritas agama dengan pasal penodaan atau penghasutan, mengklaim bahwa aktivitas damai mengungkapkan keyakinan dan ibadah mereka di depan umum menyebabkan kekerasan massa. Pada kasus lain, polisi bersalah dengan mengintervensi atau menekan komunitas minoritas untuk menghentikan kegiatan keagamaan demi menghindari kekerasan. Di Cikeusik, Inspektur Pertama Hasanuddin, kepala intelijen polisi sektor Cikeusik, bersaksi di depan pengadilan negeri Serang bahwaorang-orang Ahmadiyah menolak meninggalkan rumah di mana mereka berkumpul yang memprovokasi serangan mematikan pada mereka.[273] Polisi begitu tanggap mengajukan berkas dakwaan pada Deden Sujana, penasihat keamanan Ahmadiyah, mengkalim dia tak mematuhi perintah polisi dengan menolak meninggalkan rumah pertemuan dan dakwaan pemukulan terhadap seorang militan yang mengancam Ahmadiyah dengan golok.
Pada kasus Lampung, Juni 2010, di mana massa melempari batu ke rumah Baha’i, pengacara dua penganut Baha’i menyatakan, “Anggota Baha’i melaporkan intimidasi pada polisi tapi tak direspon.” Alih-alih, polisi Lampung Timur menahan dua pria Baha’i untuk ditanyai terkait dugaan mereka membujuk anak-anak Muslim pindah ke ajaran Baha’i. [274]
Pada kasus terdakwa ateis Alexander “Aan” An, 18 Januari 2012, lebih dari selusin pria datang ke kantornya dan menuduh dia menodai agama. Beberapa pria memukul Aan, mendorong polisi patroli menghentikan dan membawa Aan ke kantor polisi Dharmasraya. Aan kemudian didakwa penodaan agama, sementara tiada tindakan yang diambil terhadap pria yang memukulnya. Aan, yang besar sebagai Muslim, berkata pada Human Rights Watch:
Facebook secara otomatis membuat akun kita jadi ruang publik. Setiap orang dapat membaca posting di dinding Facebooksaya. Saya tak pernah mendiskreditkan Islam. Tentu saja saya sering bicara tentang Islam karena saya mengenal Islam lebih dari agama lain.[275]
Mungkin kasus terbaru paling
simbolis dari polisi menyalahkan minoritas agama adalah yang menimpa guru Syiah,
Tajul Muluk, yang dipidana penodaan agama. Selama bertahun-tahun, komunitas
Syiah di desa Nangkernang, kecamatan Omben, kabupaten Sampang, menghadapi
gangguan dari aparat pemerintah dan agama setempat. Pada Februari 2006, 40
ulama Sunni dan empat pejabat polisi menandatangani pernyataan, menyebut Islam
Syiah dipandang “sesat.” Pernyataan itu merujuk dua pertemuan yang
mereka adakan dengan Tajul Muluk dimana mereka minta Muslim Syiah pindah ke
Islam Sunni tapi menolaknya. Para penandatangan petisi minta aparat penegakan
hukum menerapkan pasal penodaan agama pada Tajuk Muluk. “Kami meminta
semua pejabat MUI di Madura untuk mengeluarkan fatwa bersama tentang bahaya
ajaran Syiah yang menyimpang dari ajaran Kitab Suci al-Quran, keadilan yang
dibawa sahabat Nabi, dan mengakui adanya Ahlul Bait,” isi pernyataan itu.
Mereka menamakan kelompoknya Forum Musyawarah Ulama (FMU). Penandatangan
pertama dari FMU adalah Ali Karrar, ulama senior di Proppo, dekat Omben.
[276]
Pernyataan itu adalah langkah pertama dalam kampanye gencar menentang Syiah di
Sampang. Pada 2009, Tajul Muluk berselisih dengan adiknya, Roisul Hukama, yang
membuat Roisul ikut kampanye anti-Syiah di Madura. Pada Juli 2011, perwira
polisi dan pejabat Sampang membujuk Tajul Muluk meninggalkan desa Nangkernang,
dan mengongkosi kepergiannya. Dia tidur di kantor polisi Sampang dari 23 Juli
hingga 7 Agustus 2011.
Selama 2011, para militan Islamis melancarkan kampanye pelecehan dan intimidasi terhadap penganut Syiah di dusun Nangkernang. Misalnya, pada 6 Desember 2011, saat merayakan Asyura, hari ke-10 Muharram dalam kalender Islam yang menggambarkan arti penting spiritual bagi penganut Syiah, militan Sunni mencoba menghalang-halangi 60 penduduk Syiah pergi dari dusun mereka dengan blokade jalan. Para militan Sunni mengancam akan membunuh mereka dengan mengacungkan celurit dan mendesak mereka tak meninggalkan kampung. Seorang pemuka Syiah, Iklil al Milal, berkata bahwa dia minta polisi untuk mengambil tindakan guna mengakhiri ancaman, tapi polisi justru membiarkan. [277]
Pada 29 Desember 2011, para militan Sunni menyerang dusun Nangkernang, membakar rumah-rumah dan madrasah, menyebabkan sekitar 500 warga Syiah mengungsi. [278] Polisi hanya menangkap dan menuntut seorang militan Sunni atas serangan pembakaran, dan malahan menekan ulama Syiah, termasuk Tajul Muluk dan Iklil al Milal, untuk meninggalkan Nangkernang. Kementerian Agama di Sampang juga menyatakan akan “membina” ratusan penganut Syiah agar “mereka belajar Islam Sunni,” berpangku pada asumsi Kementerian Agama bahwa solusi kerukunan umat beragama adalah mendesak Syiah pindah ke Sunni. [279]
Itu berujung pada pemenjaraan Tajul Muluk, didakwa dengan pasal penodaan agama dan “perbuatan tak menyenangkan.” Siasat menyalahkan dan membebankan tanggung jawab pada penganut minoritas agama, yang jadi sasaran para militan, biasanya dipakai kelompok-kelompok Islamis dan para pendukungnya. Pada 12 Juli 2012, pengadilan Jawa Timur memvonis Tajul Muluk empat tahun penjara karena penodaan agama.
Warga Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, memohon perlindungan polisi selama bulan puasa Ramadhan pada Agustus 2012, mewanti-wanti bahwa mereka akan diserang militan Sunni pada akhir Ramadhan, 20 Agustus 2012. Polisi mengabaikan peringatan itu. Pada 26 Agustus 2012, ratusan militan Sunni bersama Forum Musyawarah Ulama menyerang rumah-rumah Syiah di dusun Nangkernang, Sampang. Para militan itu membakar sekitar 50 rumah Syiah, membunuh seorang penganut Syiah dan seorang lagi luka serius. [280] Beberapa polisi berada di tengah peristiwa serangan, menolak untuk melindungi Syiah. [281] Bupati Sampang Noor Tjahja membalas kritikan tentang ketakmampuan dan keengganan dia melindungi Syiah di wilayahnya dengan menyatakan “Saya tak peduli [tentang] hak asasi manusia selama saya melindungi orang-orang yang memilih saya sebagai pemimpin mereka.” [282]
Kegagalan Menyelidiki Kekerasan
Polisi Indonesia gagal melakukan penyelidikan yang layak pada serangan kelompok Islamis terhadap minoritas agama. Bahkan saat ada bukti seperti saksi peristiwa dan bukti video atau foto, polisi kerap gagal menangkap mereka yang terlibat kekerasan. Misalnya, di Jejalen Jaya, kabupaten Bekasi, kelompok Islamis menyiarkan pernyataan rasis dan sektarian guna menghasut orang untuk mencegah jemaat HKBP Filadelfia dari kebaktian Minggu. Pada 15 April 2012, seorang pria yang diidentifikasi sebagai Muslim mengancam akan menggorok leher pastor gereja. Sebuah video menunjukkan beberapa petugas polisi di lokasi kejadian tak ambil tindakan terhadap pria tersebut. [283]
Sidang keterangan saksi pada kasus Cikeusik mengungkapkan kerjasama antara pemerintah daerah dan para Islamis. Saksi di ruang sidang, termasuk terdakwa kyai Ujang M. Arif, berkata bahwa kepala desa Umbulan, Mohammad Johar, dan sekretaris Majelis Ulama Indonesia Pandeglang, Ahmad Baghawi, setuju menetapkan 6 Februari sebagai tanggal mengusir paksa Ahmadiyah dari Cikeusik. Baghawi sendiri bersaksi bahwa dia ambil bagian dalam pertemuan yang menentukan tanggal pengusiran Ahmadiyah dari Cikeusik. Namun polisi tak mengajukan berkas kasus terhadap Johar maupun Baghawi. [284]
Penyelidikan polisi atas serangan sangat tak memadai. Saat polisi mewawancarai kamerawan, yang merekam serangan dan dua dari lima Ahmadiyah menderita luka serius, mereka tak bertanya pada penganut Ahmadiyah lain yang terluka atau yang berada di lokasi penyerangan atau minta mereka bersaksi.
Ahmad Muhamad, seorang saksi peristiwa serangan itu, berkata dia tak diberi kesempatan untuk bersaksi di pengadilan:
Saya mungkin tak mengingat mereka satu demi satu, tapi saya bisa menceritakan situasinya. Kami hanya berusaha mempertahankan harta milik kami. Ratusan harta milik Ahmadiyah telah dihancurkan [di Jawa Barat] dan pemerintah hampir tak berbuat apa-apa.[285]
Panitua gereja, Asia Lumbantoruan, berkata setelah serangan massa terhadap HKBP Ciketing, satu-satunya surat resmi diterima gereja berupa surat dari Kementerian Agama Bekasi yang memerintahkan jemaat tak boleh mengadakan kebaktian gereja di Ciketing.
Serangan Pembakaran di SumatraDi Pulau Sumatra, penyerang tak dikenal telah membakar musnah empat gereja Batak di kabupaten Kuantan Singingi, Riau, pada April dan Agustus 2011. Sejauh ini, tak ada satu orang pun diusut atas pembakaran empat gereja tersebut. Pada 11 April 2011 sekitar pukul 14:00, lima atau enam pria memasuki gereja Santo Antonius di kota Taluk Kuantan. Mereka merusak pintu gerbang, menuangkan bensin di dalam gereja, membakar bangunan, serta menghancurkan perkakas dan barang-barang gereja. Seorang saksi berkata pada Human Rights Watch, “Itu hangus terbakar sekitar sejam. Petugas pemadam api belum datang saat semuanya sudah terlambat.” [286] Bupati Sukarmis mengunjungi gereja esoknya serta menugaskan rombongan polisi bantu membersihkan reruntuhan. Hanya empat hari sebelumnya, Sukarmis memenangkan pemilihan kepala daerah melawan seorang kandidat Islamis, antara lain, berkat suara dari pemilih Batak Kristen dari daerah-daerah pedesaan di Kuantan Singingi. [287] Polisi menangkap 21 anak muda atas serangan pembakaran 11 April tapi tak ada satupun yang dipidana. [288] Kegagalan pemerintah untuk bertindak tegas terhadap mereka yang bertanggung jawab atas serangan itu bisa mendorong kekerasan berikutnya. Pada 31 Juli 2011, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Logas, kecamatan Tanah Darat, sekitar sejam berkendaraan dari Taluk Kuantan, diserang sekelompok massa. Gereja tersebut terletak dalam perkebunan sawit terpencil dengan jemaat sekitar 50 keluarga Batak yang bermukim di sana. Panitua gereja, Salmon Ketaren, mencatat, “Kejadiannya hampir tengah malam. Tiba-tiba massa datang. Batu-batu dilempar mengenai atap. Saya keluar dan lihat beberapa Honda di luar.” Seorang pengendara sepeda motor mengeluarkan golok dan mengancam akan membunuh Ketaren. Dia lari menjauh. Massa membakar dinding kayu gereja. [289] Kurang dari 24 jam kemudian, massa membakar Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI) di kecamatan Pangean, sekitar tiga kilometer dari gereja GBKP, menurut Lasni Simanjuntak, yang tinggal di sampingnya. Dia bilang, “Seorang pengendara Honda mendobrak pintu gereja. Mereka melempar bangku-bangku dan sekat. Saya dengar orang berteriak, ‘Allahu Akbar’.” Dia segera berkata pada suami dan anaknya untuk lari. Dari tempat tersembunyi, mereka melihat rumahnya hangus dibakar. [290] Malam berikutnya, 2 Agustus, sekelompok massa menyerang Gereja Methodist Indonesia (GMI) di kecamatan Pangean, sekitar 200 meter dari gereja Pantekosta yang dibakar. Petani Dimer Siregar, yang menyaksikan serangan, berkata, “Mereka menumpuk bangku di dalam gereja dan membakarnya.” [291] Polisi mengajak pengurus gereja ke kantor polisi. John Saprianto Purba dari gereja Methodist berkata, dia melihat polisi menangkap dan kemudian membebaskan seorang remaja dengan sepeda motor Yamaha Vixen. Purba bertanya pada polisi mengapa anak muda itu dibebaskan, dan menurutnya, polisi itu menjawab: “Kita juga ingin menegakkan hukum. Kitalakukan. Kita tangkap dan kita tanyai. Tapi kalau kita tetap tahan dia di sini, kantor polisi yang akan dibakar habis.” [292] |
Kegagalan Sistem Peradilan
Sistem peradilan pidana Indonesia terbukti tidak efekif dalam penuntutan kasus-kasus kekerasan terhadap minoritas agama. Sangat jarang kasusnya diproses ke pengadilan dan, saat itu dilaksanakan, para jaksa dan hakim tampak berprasangka buruk terhadap individu dan kelompok dari minoritas agama; sebaliknya memberi vonis ringan pada militan Islamis yang terlibat pelanggaran pidana berat.
Pada serangan Cikeusik, yang membunuh tiga penganut Ahmadiyah, para jaksa tak menuntut para terdakwa dengan pasal pembunuhan atau pembunuhan bersama-sama, tapi hanya mendakwa pidana lebih ringan termasuk penyerangan hingga tewas, mengganggu ketertiban umum, dan penganiayaan (kurang serius dari penyerangan), turut serta dalam penyerangan, dan membawa senjata tajam. Meski serangan yang menyebabkan kematian bisa diancam pidana 12 tahun penjara, jaksa penuntut hanya mengancam tujuh bulan penjara atau kurang dari itu. Mereka berdalih hukuman harus dikurangi karena sebagian penganut Ahmadiyah memprovokasi serangan dan memfilmkan serta menyebarkan video serangan. Alhasil, 12 pelaku yang diadli akhirnya hanya divonis antara tiga hingga enam bulan penjara.
Deden Sujana, penganut Ahmadiyah yang kemudian dipidana dengan pasal penghasutan, hanya satu-satunya dari pihak Ahmadiyah yang diminta bersaksi. Dia diejek oleh hakim karena keyakinan dan motivasinya pergi ke Cikeusik pada hari itu—kesaksiannya direkam dan tersedia di YouTube. [293] Menjawab pertanyaan dari para hakim, jaksa mengklaim mereka tak bisa menemukan alamat saksi lain, kendati dua dari mereka kemudian bersaksi pada sidang Sujana.
Para hakim membiarkan para pembela terdakwa untuk mengajukan pertanyaan tak patut dan tak relevan pada beberapa saksi—misalnya pertanyaan yang menyelidiki keyakinan agama Sujana—dalam upaya nyata intimidasi mereka. Di luar ruang pengadilan, seorang pengacara terdakwa berkata bahwa Sujana harus “digencet hingga mencret,” tapi tak ditegur oleh pengadilan. [294]
Sebaliknya, pada pengadilan terpisah terhadap Sujana, yang diduga berperan dalam “provokasi” serangan, jaksa begitu agresif. Mereka menyebut Sujana harus dihukum setidaknya enam tahun penjara, dengan dakwaan penghasutan, menolak perintah polisi, dan penganiayaan. Akhirnya, Sujana divonis enam bulan penjara, hukuman yang sama yang dijatuhkan pada 12 pelaku serangan mematikan. [295]
Penjelasan penting atas bias penuntutan dalam kasus-kasus pidana, yang melibatkan minoritas agama, adalah kehadiran yang kuat dari Bakor Pakem. Keberadaan Bakor Pakem menciptakan hubungan resmi antara kejaksaan dan institusi agama seperti Majelis Ulama Indonesia. Ini membuat kejaksaan punya komunikasi dengan orang-orang yang bisa mempengaruhi dakwaan penodaan agama.
Misalnya, ketika tiga terdakwa yang diadili pada April 2011 atas pembakaran masjid, madrasah, dan rumah-rumah Ahmadiyah di Cisalada, Bogor, seorang kyai dari Majelis Ulama Indonesia Bogor berkata kepada tim penuntut kejaksaan negeri Bogor bahwa jika ketiga pemuda itu tak dibebaskan, “… akan ada masalah berikutnya.” [296] Para hakim memutuskan mereka bersalah, tapi hanya menghukum mereka antara empat dan enam bulan penjara, dan saat itu pula mereka segera bebas karena dipotong masa tahanan. [297]
Pada beberapa contoh, pemerintah daerah menawarkan ganti-rugi pada gereja-gereja yang dirusak sebagai ganti ketiadaan penyelidikan dan penuntutan. Di Kuantan Singingi, Riau, menurut panitua gereja, pihak kecamatan menawarkan bantuan keuangan pada tiga gereja yang hangus dibakar. Pejabat kecamatan menawarkan Rp 5 juta pada masing-masing gereja jika mereka menandatangani “perjanjian damai” serta mengharapkan ketiga gereja tak mengajukan gugatan hukum pada pemerintah atau mereka yang diduga sebagai pelaku. Panitua gereja menolak. Pemerintah dan polisi tak berusaha menyelidiki atau menuntut pertangungjawaban pelaku pembakaran atas penghancuran keempat gereja itu. [298]
Dalam kasus Baha’i pada 2011 di Sukadana, para militan Islamis dari Forum Umat Islam berteriak dan dengan jelas menekan pengadilan. Kuasa hukum pembela, Yulius Setiarto, percaya tindakan itu mempengaruhi vonis dan mencatatnya dalam pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, “Itu bisa dilihat dari bendera, spanduk, dan ikat kepala. Beberapa massa duduk di bangku ruang sidang, membuat keributan selama sesi-sesi persidangan.”[299]Setiarto berkata para pemrotes juga menganggu kuasa hukum pembela, membuat komentar akan melakukan kekerasan yang dibenarkan Islam, tanpa ada respons dari pengadilan: “Mereka bilang darah saya halal.”[300]
Rekaman video persidangan, di luar gedung pengadilan, menunjukkan para Islamis memegang spanduk bertuliskan “Baha’i kafir” dan “Jaksa jangan takut, kami semua mendukung Anda.” [301] Hanya setengah hari bagi para hakim menentukan hukuman bersalah di mana biasanya para hakim di Indonesia butuh dua minggu menetapkan vonis.
Contoh lain adalah vonis dari pengadilan Sampang yang diputuskan untuk seorang penduduk desa Islam Sunni, yang terlibat serangan mematikan terhadap penganut Syiah. Ia hanya menghukum Saripin, warga desa Nangkernang, selama delapan bulan penjara.[302] Ini sangat kontras dari ulama Syiah, Tajul Muluk, yang rumahnya dibakar, keluarganya dipaksa mengungsi, yang temannya dibunuh saat serangan, dan dia sendiri divonis empat tahun penjara.
Kekerasan Terbaru atas Kebebasan Berekspresi
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengendalikan kekerasan oleh para militan Islamis telah memicu dampak negatif pada kebebasan berekspresi. Polisi dan pihak berwenang lain, yang segan melindungi minoritas agama dari serangan, menunjukkan keengganan serupa untuk melindungi para seniman, penulis, dan perusahaan media, yang terkena imbas kemarahan kelompok-kelompok Muslim militan.
Pada 4 Mei 2012, Front Pembela Islam melakukan protes di luar Teater Salihara di Jakarta saat penulis Kanada, Irshad Manji, mendiskusikan buku terbaru dia: Allah, Liberty and Love. Mereka mengepung halaman teater dan merusak pintu masuk gerbang. [303] Kepala polisi setempat, Adry Desas Puryanto, memasuki teater tanpa diduga-duga dan memberitahu pengunjung bahwa dia menghentikan diskusi buku. Puryanto membenarkan interupsi diskusi Manji dengan alasan bahwa teater tak punya izin mengundang “warga asing” bicara di sini. Itu tentu saja dalih yang dibuat-buat karena tak ada peraturan dalam hukum Indonesia yang menuntut warga luar negeri, yang datang ke Indonesia, secara hukum harus memperoleh izin sebelum dia terlibat dalam diskusi publik. Dia juga menyebut penduduk setempat menolak Manji dengan alasan reputasinya sebagai aktivis lesbian. [304]
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta kemudian membatalkan jadwal diskusi publik Manji di kampus, lima hari setelah ada serangan Jakarta, karena kecemasan keamanan sesudah “ratusan Muslim” dari berbagai organisasi mengadukan pada universitas bahwa Manji harus dilarang ke kampus. [305]
Pada 10 Mei 2012, sekelompok orang, mengenakan pakaian yang didentifikasi anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengganggu diskusi Manji di Lembaga Kajian Islam dan Sosial, sebuah perusahaan penerbitan Yogyakarta. Anggota MMI memecahkan jendela dan menendang serta memukul sejumlah peserta diskusi. Seorang penyerang dilaporkan memukul kolega Manji, Emily Rees, dengan besi, dan satu ruas tulang belakangnya patah.[306]
Minggu yang sama saat kelompok Islamis menyerang tur buku Manji, demonstran lain menentang rencana konser 3 Juni 2012 yang mendatangkan bintang pop Amerika, Lady Gaga, di Jakarta, yang tiketnya sudah habis terjual untuk 52.000 bangku stadion di Jakarta. Sebuah koalisi dari kelompok Islamis menentang konser itu dengan alasan si penyanyi “mengenakan pakaian seksi dan tariannya bisa mempengaruhi mental anak muda.” [307] FPI mengancam akan mengerahkan 30.000 anggotanya untuk mencegah konser. [308] Menteri Agama Suryadharma Ali mendukung kelompok-kelompok Islamis menentang konser, menyatakan Lady Gaga “tergolong pornografi dengan memakai pakaian terbuka” dan Gaga bisa “berpengaruh negatif” pada remaja Indonesia:
Liriknya mengindikasikan dia juga orang anti-agama. Selama konsernya, Lady Gaga terlihat seperti pemuja setan.[309]
Kendati polisi Jakarta membantah bahwa keputusan melarang konser itu karena tuntutan kelompok-kelompok Islamis, penyelenggara konser membatalkan acara itu setelah polisi menolak mengeluarkan izin pertunjukan, dengan alasan “potensi memicu konflik.”[310]
V. Peran Masyarakat Internasional
Masyarakat Internasional sering memuji Indonesia atas toleransi agama dan, sementara beberapa negara menyuarakan keprihatinan pada serangan terhadap komunitas minoritas agama, mereka kurang sekali mendorong pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas untuk mencegah kekerasan itu, menuntut para pelaku, atau mengakhiri diskriminasi oleh pemerintahan pusat dan daerah. Negara-negara donor harus juga mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa proyek bantuan, program, dan bantuan teknis yang mereka danai di Indonesia, secara langsung atau melalui bank-bank pembangunan multilateral, tidak mempromosikan maupun fasilitasi diskriminasi atau kekerasan atas nama agama.
Pada 23 Mei 2012, saat Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review, UPR) di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, lebih dari 20 negara, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa serta Australia, Brazil, Kanada, Jepang, Meksiko, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, menyuarakan keprihatinan dan mengeluarkan rekomendasi atas meningkatnya intoleransi agama di Indonesia.
Rekomendasi itu termasuk mendesak Indonesia mencegah kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi terhadap keyakinan minoritas, memastikan para pelaku kekerasan terhadap minoritas agama dibawa ke pengadilan, dan menerima permintaan pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama atau keyakinan mengunjungi Indonesia. Beberapa negara mengusulkan Indonesia mengevaluasi atutan dan kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk PNPS penodaan agama 1965, keputusan menteri tentang pendirian rumah ibadah dan peraturan anti-Ahmadiyah 2008, serta menjamin semua peraturan perundangan memenuhi standar-standar internasional.[311]
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menanggapi keprihatinan itu dengan mengatakan bahwa kebebasan beragama dijamin dalam undang-undang dasar Indonesia. Dia berkata ada “kesalahpahaman” bahwa Indonesia mengakui “hanya enam agama resmi: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu” berasal dari “membaca setengah-setengah” PNPS penodaan 1965. Natalegawa berujar bahwa ketentuan itu tak memberikan pengakuan resmi pada agama apapun dan ada banyak agama berkembang di Indonesia . [312]
Tahun sebelumnya, Mei 2011, Komisioner Tinggi HAM PBB Navanethem Pillay mengusulkan kunjungan oleh pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama atau keyakinan untuk datang ke Indonesia guna menyelidiki “sejumlah besar surat dan dan laporan” yang dia terima “dalam beberapa bulan terakhir yang prihatin atas kekerasan terhadap penganut minoritas agama di Indonesia.” Dia berkata dia “terutama terganggu dengan laporan kekerasan dan diskirminasi meluas terhadap komunitas [Ahmadiyah], termasuk sanksi negara pada penutupan masjid-masjid Ahmadi, pembakaran rumah dan tempat ibadah, dan bahkan kekerasan fisik dan pembunuhan.”[313]
Parlemen Eropa pada Juli 2011 juga mendesak pemerintah Indonesia mengundang pelapor khusus PBB tentang kebebasan beragama atau keyakinan untuk mengunjungi Indonesia.[314] Sejauh ini pemerintah Indonesia belum menanggapi permintaan ini.
Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan Lainnya
Sejumlah pemimpin dunia pada beberapa tahun terakhir memuji Indonesia atas “toleransi beragama” dan sebagai “model” demokrasi di negara mayoritas Muslim. Hal itu boleh jadi bertujuan untuk mendorong pemerintah Indonesia bekerja lebih giat lagi mempromosikan toleransi beragama, meski pernyataan itu tampaknya hanya dirasakan di antara pemimpin Indonesia yang tanpa perubahan penting dalam aturan, kebijakan, maupun praktik yang dibutuhkan:
- Pada Desember 2010, Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd, saat berpidato di Bali, berkata Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa Islam dan demokrasidapat berjalan harmonis.[315]
- Pada Agustus 2011, ketua umum Uni Demokrasi Kristen Jerman, Volker Kauder, saat berkunjung ke Jakarta, berkata akan kekagumannya pada Indonesia, yang “menegakkan toleransi dan kerukunan umat beragama.”[316]
- Pada November 2010, Presiden AS Barack Obama, saat berkunjung ke Jakarta, memuji “spirit toleransi beragama yang dikekalkan dalam konstitusi Indonesia, dan salah satu negara yang melukiskan dan menginspirasi karakternya yang unik.” [317]
- Pada Februari 2011, pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan keprihatinannya atas kekerasan massa di Indonesia yang ditujukan kepada para penganut komunitas Ahmadiyah, sementara pada saat yang sama menyatakan bahwa respon pemerintah menunjukkan komitmennya pada aturan hukum dan perlindungan masyarakat minoritas.[318]
- Pada April 2012, Perdana Menteri Inggris David Cameron, saat berpidato di Universitas Al Azhar di Jakarta, berkata, “Apa yang ditunjukkan Indonesia adalah, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia ini, kemungkinannya menolak ancaman ekstremis dan membuktikan demokrasi dan Islam dapat berjalan berdampingan satu sama lain.” Cameron menambahkan, “Ini mencerminkan peran vital dalam berdiri melawan kekerasan dan penganiayaan kejam terhadap minoritas – apakah dia Kristen, Ahmadi atau lainnya.”[319]
Amerika Serikat adalah rekanan Indonesia yang paling berpengaruh. Bersama dengan Australia dan Jepang, mereka adalah tiga negara donor bilateral terbesar untuk Indonesia. [320] Pemerintahan Obama menyuarakan keprihatinannya tentang kekerasan terhadap minoritas-minoritas agama pada pemerintah Indonesia, tapi tak cukup menegaskan perlunya mencabut peraturan yang memfasilitasi diskriminasi dan kekerasan, atau kurang menyampaikan secara memadai pada para pejabat Indonesia bahwa minimnya kemajuan atas masalah itu akan berdampak pada hubungan bilateral.
Komisi AS tentang Kebebasan beragama Internasional, sebuah komisi bipartisan pemerintah AS, kini mencantumkan Indonesia dalam Daftar Pantauan. Artinya, Indonesia memerlukan “pengawasan ketat” karena sifat dan meluasnya pelanggaran kebebasan beragama di mana pemerintah Indonesia terlibat atau mentoleransinya. [321]
Pada Juli 2011, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang mengutuk serangan pada properti Kristen dan Ahmadiyah di Indonesia. Isinya, “Keprihatinan mendalam pada insiden kekerasan terhadap minoritas agama, terutama Muslim Ahmadi, Kristen, Baha’i, dan Buddha” dan mencatat “pelanggaran kebebasan beragama mengabaikan hak asasi manusia yang dijamin undang-undang dasar Indonesia, termasuk larangan diskriminasi kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul secara damai.” Parlemen Eropa menyerukan pemerintah Indonesia “untuk menjamin aturan hukum dilaksanakan dan ditegakkan serta para pelaku kekerasan dan siar kebencian agama dibawa ke pengadilan.” Parlemen Eropa juga mendesak “pemerintah Indonesia menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh anggota pasukan keamanan dan menuntut mereka bertangung jawab, termasuk mereka yang memegang tanggung jawab komando.” [322]
Kedutaan besar luar negeri di Jakarta sudah menyadari dengan baik akan pertumbuhan intoleransi agama di Indonesia serta menggelar seminar dan konferensi mengenai isu agama. Pada Januari 2010, Kedutaan Besar AS dan pemerintah Indonesia mengadakan acara bersama Dialog Lintas Agama Indonesia-AS di Jakarta bertajuk "Membangun Kerjasama Kolaborasi Komunitas: Meningkatkan Kerjasama di antara Warga Berbeda Keyakinan.” [323]
Pada Oktober 2011, Uni Eropa, bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama, mengadakan konferensi dua hari bertajuk “Hak Asasi Manusia dan Kepercayaan dalam Sorotan” di Jakarta. [324]
Pada Maret 2012, Kedutaan Besar Iran, yang mewakili negara Syiah terbesar di dunia, mengadakan konferensi bertajuk “Peran dan Kontribusi Bangsa Iran pada Peradaban Islam” di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta. Dalam pembukaannya, Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar berkata kepada peserta konferensi bahwa kekerasan terhadap minoritas Syiah di Indonesia harus diatasi dengan “dialog lintas-iman.” Kemudian pada bulan yang sama, Kedutaan Besar Kanada di Jakarta menggelar konferensi, “Agama dalam Ruang Publik di Asia Tenggara Kontomporer,” sekali lagi bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta.[325]
Sementara konferensi dan seminar mengandung keperluan terbatas sebagai forum yang bertukar pandangan pada isu-isu tertentu, tiada perubahan bagi pernyataan publik dan upaya-upaya diplomasi yang khusus berusaha mengubah aturan diskriminatif, lembaga-lembaga negara yang sektarian, dan penegakan hukum yang bias, yang melanggar hak-hak minoritas agama. Sebulan setelah konferensi tentang kontribusi “bangsa Iran” pada peradaban Islam, polisi Indonesia menangkap ulama Syiah di Madura, mendakwanya dengan pasal penodaan agama, dan mengusir beberapa ulama dari kampung mereka. Ulama Syiah itu, Tajul Muluk, kemudian diputuskan bersalah dan dihukum dua tahun penjara. Para militan Sunni segera menyerang dusunnya, membunuh seorang temannya dan mengusir ratusan penganut Syiah di sana.
VI. Rekomendasi
Kepada Pemerintah Indonesia
Kepada Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlaku inkonsisten dalam membela hak beragama. Absennya kepemimpinan kian mendorong kelompok-kelompok menggunakan kekerasan terhadap minoritas-minoritas agama dan para pejabat daerah dan pusat mendukung mereka. UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama, dan undang-undang pemerintahan daerah, yang mengatur desentralisasi, menetapkan bahwa kebebasan beragama adalah kewenangan pemerintah pusat. Apa yang paling diperlukan adalah itikad politik untuk memegang otoritas tersebut. Kendati sesekali beretorika positif, Presiden Yudhoyono sangat lemah menanggapi kekerasan agama dan intoleransi yang meningkat, tanpa bersikeras dengan gigih menegakkan undang-undang nasional, dan seringkali sungkan memakai kekuasaannya sebagai presiden guna menegakkan hukum nasional.
Presiden amat sering menunda kewenangan yang dimilikinya saat didesak mengatasi serangan pada minoritas agama. Sangat sering dia menutup mata pada kelompok garis keras yang terlibat serangan itu dan jarang menyatakan dengan terbuka saat para pemimpin pemerintah lain, khususnya menteri agama, membuat pernyataan diskriminatif yang menyulut permusuhan. Pernyataan dukungan dan kehadiran para pejabat di acara-acara yang diselenggarakan Front Pembela Islam (FPI), yang berulangkali terlibat dalam aksi premanisme , adalah salah satu poin kritis. Alhasil, konflik agama dengan sasaran kelompok-kelompok agama minoritas makin parah dari tahun ke tahun. Beberapa pejabat daerah, yang mewakili pandangannya maupun konstituen penting mereka, menolak menegakkan keputusan pengadilan tertinggi Indonesia.
Kepemimpinan lebih tegas sangat diperlukan. Human Rights Watch mendesak agar Presiden Yudhoyono bekerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merencanakan dan mengimplementasikan suatu strategi nasional untuk toleransi beragama dan kebebasan beragama.[326] Upaya ini harus dipimpin satuan tugas independen yang terdiri dari para ahli dan individu yang punya komitmen pada kebebasan beragama dan bekerja di luar pengawasan Kementerian Agama. Satuan tugas macam ini harus diberikan mandat kuat dan sumberdaya penting guna menyusun rencana kerja. Unsur-unsur kunci rencana kerja ini termasuk:
- Tak berkompromi dengan premanisme agama. Tiap kekerasan terhadap minoritas harus dipidanakan.
- Langkah-langkah tegas terhadap para pejabat daerah yang tak hormati putusan pengadilan yang menjamin kebebasan beragama, termasuk pembangunan rumah ibadah. Satuan tugas dan Presiden Yudhoyono harus bekerja untuk memastikan bahwa contempt of court dipakai sebagai pijakan untuk menskors para pejabat daerah dari jabatan publik saat peraturan baru pemeritah daerah sedang dirancang, dan mendesak parlemen mengesahkan peraturan soal menghina peradilan.
- Mengevaluasi peraturan dan keputusan terkait agama, guna mengidentifikasi pasal-pasal yang merintangi kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani, disertai tenggat waktu untuk merevisi atau mencabut pasal-pasal itu.
- Mengembangkan capaian nasional dalam prinsip-prinsip dasar kebebasan beragama dan toleransi beragama, termasuk program pendidikan yang dikembangkan melalui media dan sekolah, serta kebijakan dan tanggapan lebih tegas pada hasutan kekerasan terhadap minoritas agama, termasuk mendudukkan persoalan itu dengan jelas saat kebebasan berekspresi menjadi hasutan untuk kekerasan.
Bahkan sebelum satuan tugas dibentuk dan strategi kebebasan beragama dan toleransi beragama disetujui, Presiden Yudhoyono harus:
- Mengamandemen atau mencabut aturan yang mendiskriminasi minoritas agama atau yang memperburuk intoleransi di Indonesia, termasuk PNPS penodaan agama 1965, keputusan menteri tentang rumah ibadah, dan SKB anti-Ahmadiyah 2008.
- Mengambil tindakan disipliner terhadap semua pejabat pemerintah, termasuk menteri agama, yang bikin pernyataan atau terlibat tindakan yang mempromosikan diskriminasi atau memaklumkan kekerasan agama.
- Menuntut secara pidana para pejabat pemerintah yang menghasut kekerasan terhadap minoritas agama dan minoritas lain.
- Menggunakan kekuasaan yang dimiliki Presiden, termasuk kendali alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada pemerintah daerah, untuk memberi sanksi bagi para pejabat daerah yang menentang putusan pengadilan.[327]
- Evaluasi dan merestrukturasi fungsi-fungsi Kementerian Agama guna menjamin representasi yang layak dari ratusan agama dan kepercayaan atau keyakinan di Indonesia, serta mempromosikan dialog lintas-iman dan pendidikan lintas-agama yang substansial. Selanjutnya harus dimulai pengakuan yang jujur soal hal apa saja yang merusak kebebasan beragama dan bagaimana mengatasinya.
- Memerintahkan semua pejabat pusat dan daerah mematuhi putusan pengadilan dan mengizinkan pembangunan gereja dan rumah ibadah lain yang telah memenuhi kriteria administratif sesuai hukum saat ini.
- Mengambil langkah-langkah untuk memberi sanksi para pejabat pemerintah yang menolak izin pembangunan rumah ibadah, termasuk gereja GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi.
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat
- Mencabut RUU Kerukunan Umat Beragama dari daftar legislasi yang hendak dibahas. Alih-alih menyediakan perlindungan bagi minoritas agama, RUU itu akan memberi pijakan hukum lebih keras bagi peraturan kementerian yang menggerogoti hak minoritas agama.
- Mengamandemen atau mencabut undang-undang yang mendiskriminasi minoritas agama atau memperburuk intoleransi di Indonesia, termasuk PNPS penodaan agama 1965.
Kepada Kepolisian Indonesia
- Melakukan penyelidikan segera, menyeluruh, dan imparsial atas pelanggaran displiner dan, bila perlu, menghukum para pejabat kepolisian, tanpa pandang pangkat, yang terlibat kekerasan terhadap minoritas agama atau yang membantu dan bersekongkol dengan kelompok-kelompok militan dalam perbuatan melanggar hukum.
- Memastikan unit kepolisian daerah, di mana para ektremis menyerang minoritas agama lewat ancaman atau kekerasan fisik serius, agar memiliki perlengkapan dan personel terlatih guna mencegah kemungkinan kekerasan dan mengintervensi pada waktu yang tepat saat kekerasan akan terjadi demi mencegah jatuhnya korban.
- Melarang setiap dukungan (endorsement) pada kelompok yang menganjurkan dan menggunakan kekerasan terhadap minoritas agama, serta melarang kerja sama polisi dengan kelompok itu dalam kampanye “anti kemungkaran” dan inisiatif terkait.
- Menerapkan suatu pendekatan zero tolerance terhadap perusakan, intimidasi, penyerangan, pembakaran dan kejahatan lain terhadap bangunan keagamaan dan orang-orang yang beribadah di dalamnya.
- Memberikan ganti-rugi segera dan layak bagi korban kekerasan di mana aparat keamanan berpartisipasi langsung, membantu atau bersekongkol dengan kelompok-kelompok militan, atau gagal mengambil langkah-langkah yang tersedia guna mencegah atau mengakhiri kekerasan.
- Mengeluarkan instruksi kepada jajaran polisi untuk tidak berpihak dalam perselisihan agama, termasuk tak menandatangani petisi anti ajaran atau agama apapun, yang akan menciptakan kesan tak berpihak terhadap polisi, saat mereka diminta mencegah kekerasan atau memeriksa pelanggaran atas nama agama.
- Menegur polisi yang menandatangani surat pernyataan yang menciptakan pertanyaan terhadap ketidakberpihakan polisi bila bekerja menegakkan hukum soal agama.
- Meningkatkan kerja antara Kepolisian Indonesia dengan Kontras dalam mengembangkan panduan polisi menangani kekerasan atas nama agama.
- Melakukan pelatihan bagi para pejabat polisi tentang Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum, Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api, dan Peraturan Kepala Kepolisian Indonesia tentang Penggunaan Kekuatan (No. 01/2009) serta menerapkan sanksi keras bagi para petugas polisi yang melanggar atau mengabaikan standar-standar itu.[328]
Kepada Kementerian Agama
- Melaksanakan suatu studi independen yang menguji kemungkinan restrukturasi kementerian sehingga menghasilkan representasi lebih layak dari ratusan agama dan kepercayaan atau keyakinan yang berkembang di Indonesia, bukan membatasi strukturnya pada enam agama resmi yang disebut dalam penjelasan PNPS penodaaan agama 1965.
- Mengeluarkan perintah pada semua gubernur, walikota, dan bupati untuk menjamin bahwa kantor Forum Kerukunan Umat Beragama di daerah-daerah bertindak dengan independen dan imparsial. Memastikan setiap anggota FKUB, yang terbukti memakai posisinya untuk mendiskriminasi kelompok minoritas agama, dipecat dari kedudukan mereka.
Kepada Kementerian Dalam Negeri
- Menerapkan suatu pendekatan tanpa kompromi bagi para pegawai negeri sipil yang, secara pasif maupun aktif, melakukan toleransi atau mendorong diskriminasi, ancaman, atau kekerasan fisik terhadap minoritas agama.
- Membentuk sebuah kantor layanan yang menerima pengaduan umum soal diskriminasi oleh pegawai negeri sipil terhadap individu dari agama minoritas dan membentuk mekanisme internal sehingga pegawai negeri sipil dapat melaporkan tindakan diskriminasi oleh PNS lain. Membentuk mekanisme terbuka untuk menyelidiki pengaduan dan laporan itu, dan memastikan ditangani dengan tindakan layak dalam waktu yang tepat.
- Memastikan bahwa bupati Bekasi dan walikota Bogor melaksanakan putusan Mahkamah Agung tentang gereja HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin.
Kepada Amerika Serikat, Negara-negara Anggota Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Pemerintah Lain
- Mendesak pemerintah Indonesia cara dengan terbuka mapun pribadi untuk menghormati hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia lain, termasuk mengamandemen atau mencabut pasal-pasal dan kebijakan yang diskriminatif, serta mengusut dan menuntut aksi ancaman, pelecehan, dan penyerangan terhadap minoritas agama.
- Mendesak pemerintah Indonesia untuk mengundang Pelapor Khusus PBB tentang kebebasan beragama atau keyakinan untuk datang ke Indonesia.
- Memanfaatkan para diplomat di Jakarta untuk mengawasi beragam peristiwa diskriminasi atau kekerasan terhadap minoritas agama dan pengadilan yang berpengaruh pada hak kebebasan beragama, terutama di Jawa dan Sumatra.
- Memeriksa semua program beasiswa maupun pelatihan buat pegawai negeri Indonesia untuk memastikan mereka tak terlibat maupun terdakwa dalam kekerasan atas nama agama maupun pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
- Mengambil langkah-langkah penting demi menjamin program-program di Indonesia, yang didanai langsung maupun lewat perantara Bank Pembangunan Asia atau bank-bank pembangunan multilateral lain, termasuk bantuan bagi madrasah, agar mereka tak mempromosikan atau fasilitasi diskriminasi maupun kekerasan atas nama agama.
Lampiran I
Penduduk Indonesia berdasarkan Agama Tahun 2010
No | Provinsi |
Muslim |
Kristen |
Katholik |
Hindu |
Buddha |
Khonghucu |
Lainnya |
Total |
1 |
Aceh |
4,427,874 |
44,459 |
5,263 |
351 |
7,551 |
58 |
1,013 |
4,486,570 |
2 |
Sumatra Utara |
9,284,958 |
2,904,970 |
502,093 |
13,601 |
270,368 |
4,060 |
5,026 |
12,985,075 |
3 |
Sumatra Barat |
4,739,034 |
62,947 |
40,748 |
761 |
642 |
1,710 |
155 |
4,845,998 |
4 |
Riau |
5,142,416 |
230,434 |
81,412 |
3,762 |
75,183 |
6,478 |
3,346 |
5,543,031 |
5 |
Jambi |
2,966,736 |
73,426 |
26,243 |
381 |
17,303 |
4,529 |
- |
3,088,618 |
6 |
Sumatra Selatan |
7,284,097 |
49,223 |
38,460 |
39,749 |
33,441 |
1,171 |
261 |
7,446,401 |
7 |
Bengkulu |
1,679,291 |
19,460 |
6,007 |
7,454 |
1,181 |
- |
- |
1,713,393 |
8 |
Lampung |
7,248,727 |
75,734 |
68,401 |
163,281 |
39,434 |
188 |
351 |
7,596,115 |
9 |
Bangka Belitung |
1,053,535 |
13,649 |
17,606 |
800 |
85,439 |
52,019 |
- |
1,223,048 |
10 |
Kepulauan Riau |
1,448,229 |
107,065 |
55,037 |
2,345 |
62,683 |
10,257 |
82 |
1,685,698 |
11 |
Jakarta |
8,425,500 |
449,505 |
391,922 |
12,330 |
255,032 |
49,723 |
4,187 |
9,588,198 |
12 |
Jawa Barat |
42,078,858 |
523,290 |
323,454 |
25,628 |
57,472 |
12,987 |
137 |
43,021,826 |
13 |
Jawa Tengah |
31,448,855 |
509,966 |
336,046 |
23,271 |
48,777 |
7,564 |
6,208 |
32,380,687 |
14 |
Yogyakarta |
3,194,905 |
92,818 |
155,107 |
5,210 |
4,099 |
- |
251 |
3,452,390 |
15 |
Jawa Timur |
36,668,339 |
383,746 |
273,889 |
96,527 |
42,528 |
5,797 |
5,185 |
37,476,011 |
16 |
Banten |
10,208,694 |
159,876 |
129,708 |
5,750 |
109,122 |
3,446 |
27,434 |
10,644,030 |
17 |
Bali |
454,668 |
39,130 |
16,381 |
3,371,658 |
8,698 |
707 |
185 |
3,891,428 |
18 |
Nusa Tenggara Barat |
4,391,781 |
6,913 |
9,018 |
62,420 |
26,550 |
174 |
- |
4,496,855 |
19 |
East Nusa Tenggara |
405,268 |
1,614,443 |
2,550,539 |
1,718 |
1,676 |
1,354 |
104,318 |
4,679,316 |
20 |
West Kalimantan |
2,574,777 |
395,378 |
1,130,814 |
2,226 |
231,070 |
57,722 |
1,252 |
4,393,239 |
21 |
Central Kalimantan |
1,622,394 |
386,082 |
39,463 |
87,103 |
- |
565 |
66,991 |
2,202,599 |
22 |
Kalimantan Selatan |
3,516,938 |
25,646 |
22,447 |
36,771 |
18,164 |
1,585 |
4,569 |
3,626,119 |
23 |
Kalimantan Timur |
3.020.182 |
337.006 |
162.701 |
15.825 |
11.498 |
2.273 |
1.101 |
3.550.586 |
24 |
Sulawesi Utara |
649.747 |
1.499.408 |
77.787 |
27.545 |
2.064 |
455 |
8.931 |
2.265.937 |
25 |
Sulawesi Tengah |
2.101.127 |
400.216 |
31.393 |
88.621 |
6.347 |
1.107 |
4.607 |
2.633.420 |
26 |
Sulawesi Selatan |
7.132.497 |
665.908 |
125.905 |
58.396 |
34.933 |
1.926 |
12.987 |
8.032.551 |
27 |
Sulawesi Tenggara |
2.129.412 |
29.466 |
27.373 |
43.300 |
770 |
248 |
- |
2.230.569 |
28 |
Gorontalo |
1.018.398 |
11.769 |
1.805 |
5.914 |
614 |
85 |
- |
1.038.585 |
29 |
Sulawesi Barat |
928.445 |
182.606 |
15.834 |
31.090 |
360 |
- |
- |
1.158.336 |
30 |
Maluku |
699.851 |
715.498 |
97.964 |
4.429 |
387 |
853 |
12.420 |
1.531.402 |
31 |
Maluku Utara |
776.986 |
244.548 |
13.251 |
407 |
112 |
174 |
- |
1.035.478 |
32 |
Papua Barat |
184.78 |
450.032 |
124.678 |
579 |
100 |
322 |
364 |
760.855 |
33 |
Papua |
378.851 |
1.813.151 |
651.125 |
5.638 |
3.234 |
- |
- |
2.851.999 |
Total |
209.286.151 |
14.517.766 |
7.549.874 |
4.244.841 |
1.456.832 |
229.538 |
271.362 |
237.556.363 |
|
% |
88,10% |
6,11% |
3,18% |
1,79% |
0,61% |
0,10% |
0,11% |
100,00% |
Lampiran II
Jumlah Rumah Ibadah di Indonesia Tahun 2010
No |
Provinsi |
Masjid |
Gereja Protestan |
Gereja Katholik |
Pura |
Vihara |
Kelenteng |
Total |
1 |
Aceh |
3,648 |
153 |
21 |
1 |
13 |
1 |
3,837 |
2 |
Sumatra Utara |
15,752 |
9,777 |
1,855 |
194 |
128 |
135 |
27,841 |
3 |
Sumatra Barat |
4,846 |
186 |
10 |
2 |
4 |
1 |
5,049 |
4 |
Riau |
5,667 |
1,102 |
233 |
7 |
56 |
7 |
7,072 |
5 |
Jambi |
3,177 |
269 |
43 |
4 |
17 |
24 |
3,534 |
6 |
Sumatra Selatan |
7,677 |
133 |
59 |
261 |
99 |
- |
8,229 |
7 |
Bengkulu |
2,937 |
299 |
39 |
40 |
9 |
- |
3,324 |
8 |
Lampung |
13,496 |
763 |
239 |
781 |
151 |
- |
15,430 |
9 |
Bangka Belitung |
1,179 |
80 |
31 |
13 |
39 |
85 |
1,427 |
10 |
Kepulauan Riau |
1,086 |
380 |
38 |
4 |
105 |
27 |
1,640 |
11 |
Jakarta |
8,513 |
1,108 |
45 |
25 |
242 |
4 |
9,937 |
12 |
Jawa Barat |
45,721 |
628 |
168 |
30 |
153 |
22 |
46,722 |
13 |
Jawa Tengah |
22,370 |
2,269 |
534 |
160 |
394 |
35 |
25,762 |
14 |
Yogyakarta |
7,088 |
243 |
30 |
24 |
21 |
- |
7,406 |
15 |
Jawa Timur |
36,618 |
2,073 |
501 |
347 |
168 |
30 |
39,737 |
16 |
Banten |
17,941 |
123 |
43 |
15 |
59 |
3 |
18,184 |
17 |
Bali |
574 |
158 |
19 |
552 |
26 |
3 |
1,332 |
18 |
Nusa Tenggara Barat |
4,159 |
35 |
7 |
406 |
44 |
1 |
4,652 |
19 |
Nusa Tenggara Timur |
1,026 |
6,039 |
2,873 |
25 |
1 |
- |
9,964 |
20 |
Kalimantan Barat |
4,804 |
3,717 |
1,884 |
18 |
398 |
314 |
11,135 |
21 |
Kalimantan Tengah |
3,536 |
1,477 |
77 |
97 |
12 |
2 |
5,201 |
22 |
Kalimantan Selatan |
7,611 |
86 |
11 |
62 |
16 |
3 |
7,789 |
23 |
Kalimantan Timur |
3,677 |
1,285 |
237 |
41 |
34 |
- |
5,274 |
24 |
Sulawesi Utara |
2,016 |
3,963 |
340 |
27 |
27 |
6 |
6,379 |
25 |
Sulawesi Tengah |
2,496 |
1,597 |
106 |
320 |
9 |
1 |
4,529 |
26 |
Sulawesi Selatan |
6,874 |
2,063 |
371 |
2,064 |
26 |
- |
11,398 |
27 |
Sulawesi Timur |
3,021 |
110 |
66 |
217 |
15 |
- |
3,429 |
28 |
Gorontalo |
1,535 |
132 |
10 |
32 |
2 |
- |
1,711 |
29 |
Sulawesi Barat |
1,029 |
635 |
93 |
597 |
4 |
- |
2,358 |
30 |
Maluku |
1,087 |
1,088 |
346 |
16 |
6 |
2 |
2,545 |
31 |
Maluku Utara |
960 |
601 |
31 |
1 |
1 |
1 |
1,595 |
32 |
Papua Barat |
453 |
413 |
172 |
9 |
3 |
- |
1,050 |
33 |
Papua |
625 |
4,121 |
1,295 |
25 |
8 |
- |
6,074 |
Total |
243,199 |
47,106 |
11,827 |
6,417 |
2,290 |
707 |
311,546 |
|
% |
78.06% |
15.12% |
3.80% |
2.06% |
0.74% |
0.23% |
100.00% |
Penghargaan
Laporan ini disunting Elaine Pearson dan Phelim Kine, wakil direktur Asia Human Rights Watch; James Ross, direktur hukum dan kebijakan; dan Joseph Saunders, wakil direktur program. Tinjauan khusu dilakukan oleh Jessica Evans, advokat/peneliti senior, Divisi Bisnis dan Hak Asasi Manusia; Bede Sheppard, peneliti senior, Divisi Hak-hak Anak; dan Aruna Kashyap, peneliti Asia, Divisi Hak-hak perempuan. Terima kasih untuk Tirana Hasan, peneliti situasi genting dan Emily Hower, intern Asia, buat dukungan riset.
Tata letak dan bantuan produksi oleh Julia Bleckner and Storm Tiv, associate Asia, dan Kathy Mills, spesialis penerbitan. Terimakasih khusus bagi semua individu dan organisasi yang membantu penelitian kami dan orang-orang yang dengan baik hati menyediakan waktu, energi, dan pengalamannya dengan Human Rights Watch. Human Rights Watch terutama menyatakan penghargaan kepada para korban intoleransi agama di Indonesia yang menyediakan waktu guna cerita pelanggaran yang mereka alami.
[1]Setara Institute, “Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2007-2011,” http://www.setara-institute.org/en/category/galleries/indicators (diakses 20 Januari 2012).
[2]Lembar presentasi Wahid Institute dalam konferensi pers di kantornya Jakarta, 29 Desember 2011 yang dihadiri Human Rights Watch.
[3]Ibid., hal. 18.
[4]Perdebatan tentang peran Islam di Indonesia dimulai selama pemerintahan kolonial Belanda. Pada 1920-an, Sukarno menganjurkan pemisahan agama, terutama Islam, dan negara. Dia menulis perjuangan melawan kolonialisme Belanda memerlukan dukungan dari minoritas etnis seluruh negeri. Beberapa pemikir Muslim mempertanyakan apakah ajaran Islam hanya sebatas mengurusi perihal pribadi dan perseorangan dan menyerukan pendirian republik Islam.
[5]Pada Maret 1942, Jepang dengan sukses menginvansi Hindia Belanda. Pemerintahan pendudukan Jepang mempertimbangkan banyak kelompok Muslim sebagai sekutu karena nasionalisme Indonesia anti-Belanda dan mendirikan sebuah kantor urusan Islam, Shumubu. Mereka juga mendirikan Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) sebagai organisasi payung semua kelompok Muslim di Indonesia. Pada April 1945, pemerintahan pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) untuk menyusun konstitusi Indonesia. BPUPKI meliputi pendukung utama kemerdekaan Indonesia dan jadi pusat perdebatan tentang peran Islam di Indonesia.
[6] Saafroedin Bahar (ed), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995, edisi ketiga).
[7]Beberapa pemimpin dan sarjana Muslim menganjurkan untuk mencantumkan Syariat ke dalam Undang-Undang Dasar. Yang lain berpendapat agar memprioritaskan prinsip monoteisme, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sebagai prinsip pertama Pancasila ketimbang Syariat. Lihat D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).
[8]Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) hal. 168-69.
[9]Lihat Holk H. Dengel, Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo: Angan-angan yang Gagal (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2011) hal. 147.
[10]Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) hal. 168-69.
[11] Muhammad Natsir, “The Dangers of Secularism,” pidato pada 12 November 1957, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) hal. 215-19.
[12]Adnan Buyung Nasution, yang menulis disertasi tentang perdebatan Dewan Konstituante 1956-1959, berpendapat Sukarno terburu-buru membubarkan dewan. Kaya dengan wawancara narasumber, termasuk Muhammad Natsir, Nasution menulis bahwa Natsir menyimpulkan perdebatan itu nyaris selesai. Nasution menguraikan perdebatan Konstituante sungguh produktif dan cendikia. Draf konstitusi berisi perlindungan hak asasi manusia lebih kuat ketimbang UUD 1945. Lihat Adnan Buyung Nasution, The aspiration for constitutional government in Indonesia: A socio-legal study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992).
[13]Pada Juni 1964, pemerintah Kuningan mengumumkan pernikahan antara penganut Sunda Wiwitan tidaklah sah. Langkah itu mendorong 5,000 penganut Sunda Wiwitan pindah ke Katholik. Lihat Iman C. Sukmana, Menuju Gereja Yang Semakin Pribumi: Analisis Konflik Internal Dalam Gereja Eks-Ads (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011).
[14]Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/Pnps Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama” ditandangani Presiden Sukarno pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3.
[15]Oei Tjoe Tat, menteri kabinet Sukarno yang memimpin misi pencarian fakta pada 1966, menaksir 78.000 orang terbunuh antara 1965-1966. Tapi Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin operasi militer terhadap kalangan komunis, berkata pada delegasi parlemen pada 1989 di ranjang pembaringannya sebelum ajal bahwa sekitar tiga juta orang terbunuh. Lihat Oei Tjoe Tat et. al. Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (Jakarta: Hasta Mitra, 1995); Tempo, Sarwo Edhie dan Misteri 1965 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
[16] Di Jakarta, sekelompok orang menyerang dan membakar gereja yang baru dibangun pada 28 April 1969. Di Meulaboh pada 1967, para politisi terlibat dalam perdebatan parlemen tentang rencana pembangunan gereja Methodist. Di Makassar pada 1 Oktober 1967, para pelajar Muslim dipimpin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyerang sembilan gereja Protestan, empat gereja Katholik, sebuah biara, sebuah kampus teologi, sebuah asrama mahasiswa Katholik dan dua sekolah Katholik. HMI Makassar saat itu dipimpin ketua umum Jusuf Kalla yang kelak menjabat wakil presiden Indonesia pada 2004. Lihat Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order (Amsterdam University Press, 2006) hal. 29-40. Lihat juga, Melissa Crouch, “Implementing the Regulation on Places of Worship in Indonesia: New Problems, Local Politics and Court Action,” Asian Studies Review 34:4(2010), hal. 403-19.
[17] Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order, hal.28-49.
[18]Lihat Tapol, Muslims on Trial (London: Tapol, 1987); Kontras, “Massacre of Tanjung Priok in 1984” dan “Massacre of Talangsari in Lampung, 1989,” situsweb Kontras http://www.kontras.org/eng/index.php?hal=pastabuse (diakses 19 Juni 2012).
[19]Lihat Clinton Fernandes, Reluctant saviour: Australia, Indonesia, and the independence of East Timor (Victoria: Scribe Publications, 2004); Richard Tanter, Geert Arend Van Klinken, Desmond Ball, Masters Of Terror: Indonesia's Military And Violence In East Timor (Maryland:Rowman & Littlefield, 2006).
[20] Lihat Jamie Davidson, From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo (The University of Wisconsin Press, 2008); Geerd Arend van Klinken, Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars (Oxford: Routledge, 2007); Patricia Spyer, “Fire without Smoke and Other Phantoms of Ambon's Violence: Media Effects, Agency, and the Work of Imagination” in Indonesia, Volume 74 (2002) hal. 21-36.
[21]Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context, Singapore: Equinox, 2006 hal. 15.
[22]Wawancara Human Rights Watch dengan Jeirry Sumampauw, pegawai Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang bertugas menyusun laporan tahunan tentang beragam pelanggaran terhadap umat Kristen, di Jakarta, 7 September 2011. Lihat juga situsweb PGI www.pgi.or.id http://st291735.sitekno.com/page/36867/tahun-2005.html (diakses 25 Juni 2012).
[23] Lihat Lampiran 1: Penduduk Indonesia berdasarkan Agama Tahun 2010, diterbitkan Kementerian Agama, http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf (diakses 3 Maret 2012).
[24] Pew Research Center, Mapping The Global Muslim Population: A Report on the Size and Distribution of the World’s Muslim Population, Oktober 2009 , Washington DC, http://www.pewforum.org/newassets/images/reports/Muslimpopulation/Muslimpopulation.pdf (diakses 19 Juli 2012).
[25] Leo Suryadinata, Evi N. Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape (Singapore: ISEAS, 2003) hal. 106-11.
[26]Lihat Lampiran 1: Penduduk Indonesia berdasarkan Agama Tahun 2010, diterbitkan Kementerian Agama, http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf (diakses 3 Maret 2012).
[27] Wahabisme didirikan pada 1744 sewaktu ulama Abd al-Wahhab (1703-1792) menemukan tempat perlindungan di dekat daerah yang kini bernama Riyadh di Arab Saudi dengan pemimpin lokal Muhammad bin Sa’ud. Mereka sepakat membuat kehidupan masyarakat dengan Abd al-Wahhab penguasa legitimasi agama, dan Ibn Sa’ud mengabulkan kebebasan al-Wahhab untuk memurnikan para penduduk dari apa yang dia lihat abad perkembangan penuh dosa dan mengembalikan mereka ke jalan Islam murni. Lihat International Crisis Group, “Why Salafism and Terrorism Mostly Don't Mix,” 13 September 2004, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/83_indonesia_backgrounder_why_salafism_and_terrorism_don_t_mix_web.pdf (diakses 25 Januari 2013).
[28]Robin Bush, “A Snapshot of Muhammadiyah: social change and shifting markers of identity and values,” makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Internasional Muhammadiyah (Malang, 29 Nov-2 Dec, 2012).
[29]Lihat Ja’far Shodiq, Pertemuan antara Tarekat dan NU, Studi Hubungan Tarekat dan NU dalam Konteks Komunikasi Politik 1955-2004 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
[30]Tokoh terkemuka ini Abdurrahman Wahid dan Musdah Mulia dari NU serta Dawam Rahardjo dan Ahmad Syafi'i Maarif dari Muhammadiyah.
[31]Lihat Jeremy Menchik, “The origins of intolerance toward Ahmadiyah, The Jakarta Post, 2 Oktober 2011, http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/10/the-origins-intolerance-ward-ahmadiyah.html (diakses 23 April 2012).
[32]“PWNU Jatim Dukung Fatwa MUI Sampang Soal Syiah Tajul Muluk,” Bersama Dakwah, 5 Januari 2012, http://www.bersamadakwah.com/2012/01/pwnu-jatim-dukung-fatwa-mui-sampang.html (diakses 30 Januari 2013). Lihat juga MUI Jawa Timur, Fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 ditandatangani pada 22 Januari 2012 oleh ketua umum K.H. Abdusshomad Buchori dan sektretaris Imam Tabroni.
[33]Lihat Ian Douglas Wilson, “As Long As It’s Halal: Islamic Preman in Jakarta,” in Fealy, Greg and White, Sally (eds), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2008).
[34]“Insiden Monas: Habib dan Munarman Divonis 1,5 Tahun,” Indosiar, 30 Oktober 2008, http://www.indosiar.com/fokus/habib-dan-munarman-divonis-15-tahun_76525.html (diakses 7 Mei 2012).
[35]Wikileaks, “Indonesian Biographical and Political Gossip,” kabel dari Kedutaan AS pada 9 Mei 2006, http://www.cablegatesearch.net/cable.php?id=06JAKARTA5851&q=agung%20fpi%20indonesia%20islam%20laksono%20police%20rizieq%20shihab (diakses 3 Mei 2012).
[36]“Police deny relations with FPI following Wikileaks Release,” The Jakarta Post, 4 September 2011, http://www.thejakartapost.com/news/2011/09/04/police-deny-relations-with-fpi-following-wikileaks-release.html (diakses 3 Mei 2012).
[37]Lihat Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Wajah Para “Pembela” Islam (Jakarta: Setara Institute, 2011) hal. 91-92.
[38]Lihat Abu BakarBa’asyir, “Khiththoh Jamaah Ansharut Tauhid,” 20 Juni 2011, http://ansharuttauhid.com/read/jamaah/180/khiththoh-jat/ (diakses 7 Mei 2012).
[39]Lihat International Crisis Group, “The Dark Side of Jama’ah Ansharut Tauhid,” 6 Juli 2010, http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/B107-indonesia-the-dark-side-of-jamaah-ansharut-tauhid-jat.aspx (diakses 7 Mei 2012).
[40]Lihat International Crisis Group, “From Vigilantism to Terrorism in Cirebon,” 26 Januari 2012, http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/media-releases/2012/asia/indonesia-from-vigilantism-to-terrorism-in-cirebon.aspx (diakses 7 Mei 2012)
[41]Departemen Luar Negeri AS, “Terrorist Designations of Jemmah Anshorut Tauhid,” 23 Februari 2012,
http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2012/02/184509.htm (diakses 20 Juni 2012).
[42]Perserikatan Bangsa-Bangsa, “The List established and maintained by the 1267 Committee with respect to individuals, groups, undertakings and other entities associated with Al-Qaida,” diperbarui 6 Juni 2012, http://www.un.org/sc/committees/1267/pdf/AQList.pdf (diakses 20 Juni 2012).
[43]Laman Facebook IJABI, “Pengantar singkat Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia,” 29 Januari 2009, https://www.facebook.com/pages/IJABI-THE-ALL-INDONESIAN-ASSEMBLY-OF-AHLULBAYT-ASSOCIATIONS/47173758562?sk=info (diakses 8 Mei 2012).
[44]Ahlul Bait Indonesia, “Sejarah Ahlulbait Indonesia,” 27 Juni 2011, http://ahlulbaitindonesia.org/index.php/profil/sejarah/ahlulbait-indonesia.html (diakses 8 Mei 2012).
[45]Wawancara Human Rights Watch dengan pengajar YAPI, Muhammad Alwi, di Bangil, 18 September 2011.
[46]Kabel Kedutaan AS di Jakarta, “Indonesia's Shias: A Small Community Under Some Pressure,” 13 September 2007, http://www.cablegatesearch.net/cable.php?id=07JAKARTA2556&q=ijabi%20indonesia%20shia (diakses 25 November 2011).
[47] Situsweb PGPI mengenai daftar nama-nama gereja individual dalam kelompok mereka, http://www.pglii.org/members/gereja.htm, (diakses 21 Juni 2012).
[48]Situsweb PGLI mengatakan gereja Pantekosta mulai berorganisasi pada 1925 di Surabaya, http://www.pgpi-news.org/index.php?limitstart=5 (diakses 21 Juni 2012).
[49]Lihat Hans J. Hillerbrand, Encyclopedia of Protestantism Volume 1 (Taylor & Francis-Routledge, 2003) hal. 337-38.
[50] Lihat Leo Suryadinata, “Buddhism and Confucianism in Indonesia” in Tim Lindsey dan Helen Pausacker (eds), Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting (Singapore: ISEAS, 2005).
[51]Pada 1964, Parisada Hindu Dharma Bali, organisasi Hindu terbesar di Pulau Bali, mengubah namanya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, mencerminkan upaya lanjut untuk menegaskan Hinduisme sebagai agama nasional yang tak sebatas lingkup warga Bali. Lihat Lampiran 1: Penduduk Indonesia berdasarkan Agama 2010 dipublikasikan Kementerian Agama.
[52]Lihat Aubrey Belford, “Borneo Tribe Practices Its Own Kind of Hinduism,” New York Times, 25 September 2011, http://www.nytimes.com/2011/09/26/world/asia/borneo-tribe-practices-its-own-kind-of-hinduism.html?pagewanted=all (diakses 8 Mei 2012).
[53]Lihat Unesco, “Borobudur Temple Compounds”, http://whc.unesco.org/en/list/592 (diakses 18 Juni 2012).
[54]Pasukan Mongol terdiri 20.000 prajurit dikirim ke Jawa pada 1293 guna menghukum Raja Kertanegara atas sikap murkanya yang amat besar, jika bukan konsekuensi yang tak diharapkan. Wijaya, menantu Kertanegara, sanggup memanfaatkan pasukan China untuk keuntungannya sendiri. Ribuan prajurit China dilaporkan tewas di Jawa, tapi banyak juga yang ditangkap rakyat Jawa atau tetap diperlakukan sebagai sukarelawan. Episode ini tak hanya not menandai naiknya dinasti baru Majapahit, tapi juga membawa pengaruh utama teknologi China ke Jawa. Itu dianggap migrasi awal rakyat China ke Pulau Jawa. Lihat Lynn Pan, The Encyclopedia of the Chinese Overseas (Singapore: Chinese Heritage Centre, 2006) hal. 50.
[55] Bisnis orang China terbesar pertama di Hindia Belanda adalah Perusahaan Oei Tiong Ham, berdiri di Semarang, Pulau Jawa, pada 1863. Pada 1890, putra Oei Tiong Ham mengambil alih perusahaan, membangun salah satu perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Ia melibatkan perdagangan karet, kapuk, gambir, tepung ubi kayu, dan kopi. Dia meninggal pada1924 di Singapura. Lihat Kunio Yoshihara, Oei Tiong Ham Concern: the first business empire of Southeast Asia (Kyoto University: Center for Southeast Asian Studies, 1989).
[56] Lihat Jemma Purdey, Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999, PhD thesis, Department of History and Melbourne Institute of Asian Languages and Societies (University of Melbourne, 2006), http://dtl.unimelb.edu.au/R/DPNV4AJV3EVN3UKM2QUVREKRVEX8MT9XNC9T894V9AVRR2EUT4-00471?func=dbin-jump-full&object_id=66101&local_base=GEN01&pds_handle=GUEST (diakses 24 Januari 2013).
[57] Lihat Lampiran 1: Penduduk Indonesia berdasarkan Agama 2010 dipublikasikan Kementerian Agama, http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf (diakses 3 Maret 2012).
[58] Andreas Harsono, “Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia,” 18 Februari 2010, http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-rechtstaat-dan-hak-asasi_18.html (diakses 8 Mei 2012).
[59] Human Rights Watch mengunjungi masjid yang ditutup di Padang pada 6 April 2012.
[60] “Menteri Agama Bantah Jumlah Anggota Ahmadiyah Capai 400 Ribu,” Republika, 10 Februari 2011, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/02/10/163354-menteri-agama-bantah-jumlah-anggota-ahmadiyah-capai-400-ribu (diakses 8 Mei 2012).
[61] Fatwa MUI No. 11/Munas VII/MUI/15/2005 bertanggal 29 Juli 2005 oleh anggota komisi fatwa Ma’ruf Amin (ketua) dan Hasanudin (sektretaris) serta anggota sidang pleno Umar Shihab (ketua) dan Din Syamsuddin (sektretaris).
[62]Komisi HAM PBB, Komentar Umum 22, Pasal 18 (sesi keempatpuluh delapan, 1993), U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.4 (1993), dicetak ulang dalam Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum yang Diadopsi Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.6 at 155 (2003), para. 2.
[63]Ibid. para. 9.
[64]“Indonesia: ‘Restrictive bill threatens freedoms of association, expression and religion,’ warn UN rights experts,” Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia, 14 Februari 2013, http://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=12989&LangID=E (diakses 14 Februari 2013). “Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Masyarakat mewajibkan persyaratan dalam mendirikan perkumpulan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila – filosofi resmi Negara di Indonesia yang mengekalkan keyakinan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ia juga menetapkan bahwa organisasi memiliki tugas memelihara nilai-nilai agama.”
[65] Ibid.
[66]Lihat Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2004 pasal 10 ( 3), http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf (diakses 2 Februari 2013).
[67]Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, http://www.humanrights.asia/countries/indonesia/laws/uud1945_en (diakses 28 Desember 2011)
[68]Majelis Permusyawaratan Rakyat, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, disahkan 18 Agustus 2000 dan ditandatangani Ketua MPR Amien Rais dan tujuh wakil MPR: Ginandjar Kartasasmita; Sutjipto; Matori Abdul Djalil; Husnie Thamrin; Hari Sabarno; Jusuf Amir Feisal; Nazri Adlani.
[69]Lihat Musdah Mulia, “Masalah Implementasi Hak Kebebasan Beragama di Indonesia,” makalah disampaikan pada Konferensi Uni Eropa – Indonesia, bertajuk “Hak Asasi Manusia dan Kepercayaan dalam Sorotan,” diadakan Uni Eropa dan bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama di Jakarta, 24-25 Oktober 2011. Musdah Mulia adalah direktur Indonesian Conference on Religion and Peace.
[70]Lihat Suryadharma Ali, Makalah Presentasi pada Rapat Kerja Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR, Jakarta, 9 Februari 9 2011.
[71]Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/Pnps Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama” ditandatangani Presiden Sukarno dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3.
[72]Mahkamah Agung, Putusan No. 140/PUU-VII/2009 dalam situsweb http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20PUU%20140_Senin%2019%20April%202010.pdf (diakses 19 Juni 2012).
[73]Duncan Graham, “Yusman Roy: Fighting To Pray In Peace,” The Jakarta Post, Nov. 22, 2006.
[74]Human Rights Watch, “Court Ruling a Setback for Religious Freedom: Blasphemy Law Puts Religious Minorities at Risk,” 10 April 2010, http://www.hrw.org/news/2010/04/19/indonesia-court-ruling-setback-religious-freedom (diakses 29 Desember 2011).
[75]“Two former Al-Qiyadah activists get three years for blasphemy,” The Jakarta Post, 3 Mei 2008, http://www.thejakartapost.com/news/2008/05/03/two-former-alqiyadah-activists-get-three-years-blasphemy.html (diakses 29 Juni 2012).
[76]“Violence at blasphemy trial in Central Java,” The Jakarta Post, 8 Februari 2011, http://www.thejakartapost.com/news/2011/02/08/violence-blasphemy-trial-central-java.html (diakses 3 Januari 2012)
[77]“Prison for ‘Minang atheist’,” The Jakarta Post, 15 Juni 2012; “Atheist civil servant arrested for blasphemy,” The Jakarta Post, 20 Januari 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/20/atheist-civil-servant-arrested-blasphemy.html (diakses 15 Februari 2012).
[78]“Spiritual Group Leader Gets 4 Years In Jail for Blasphemy, Plans Appeal,” The Jakarta Globe, 14 Maret 2012, http://www.thejakartaglobe.com/news/spiritual-group-leader-gets-4-years-in-jail-for-blasphemy-plans-appeal/504573 (diakses 19 Juni 2012).
[79]Human Rights Watch, “Ulama Syiah Dipidana Penodaan Agama,” 12 Juli 2012, http://www.hrw.org/node/108926 (diakses 19 Juli 2012). “Sampang court rejects Shiite cleric’s objection,” The Jakarta Post, 23 Mei 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/23/sampang-court-rejects-shiite-cleric-s-objection.html (diakses 29 Juni 2012).
[80] Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Siaran Pers “Keadilan di Angan-angan,” 21 Januari 2013. Salinan dipegang Human Rights Watch.
[81] “Hukuman Penghina Agama di Facebook Diperberat,” Januari 2013, Tempo, http://www.tempo.co/read/news/2013/01/23/058456441/Hukuman-Penghina-Agama-di-Facebook-Diperberat (diakses 25 Januari 2013)
[82]Para penggugat termasuk tujuh organisasi nonpemerintah hak asasi manusia: Imparsial, Elsam, Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Demos, Setara Institute, Yayasan Desantara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; serta empat intelektual Muslim: Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Lihat situsweb Mahkahmah Konstitusi, Putusan No. 140/PUU-VII/2009, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20PUU%20140_Senin%2019%20April%202010.pdf (diakses 19 Juni 2012).
[83]Ibid.
[84]Sutradara film Garin Nugroho, yang menentang undang-undang penodaan agama, berkata pada harian Kompas bahwa sejumlah Islamis menyetop mobilnya dan melempari batu untuk mengintimidasinya. “Garin Hadir di Sidang MK, Mobilnya Dirusak?” Kompas, 24 Maret 2010, http://entertainment.kompas.com/read/2010/03/24/14115546/Garin.Hadir.di.Sidang.MK.Mobilnya.Dirusak (diakses 19 Juni 2012).
[85]Situsweb Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 140/PUU-VII/2009 (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20PUU%20140_Senin%2019%20April%202010.pdf (diakses 19 Juni 2012).
[86]Human Rights Watch, “Court Ruling a Setback for Religious Freedom: Blasphemy Law Puts Religious Minorities at Risk,” 10 April 2010 (http://www.hrw.org/news/2010/04/19/indonesia-court-ruling-setback-religious-freedom (diakses 29 Desember 2011).
[87]Beberapa Muslim menerbitkan dengan gencar tentang ketakutan apa yang disebut “Kristenisasi” di Indonesia. Misalnya, sebuah video berjudul“Save Maryam,” http://www.youtube.com/watch?v=6E9NcbVa4FU&fb_source=message, diunggah pada Juli 2012, memuat keterangan bahwa “dua juta Muslim pindah agama dari Islam setiap tahun” di Indonesia menjadi Kristen, betapapun tiada dasar yang membuktikan klaim ini.
[88]Secara pribadi, Menteri Pendikan dan Kebudayaan semasa pemerintahan Suharto, Daoed Joesoef, yang mendaku diri sebagai Muslim taat, memprotes surat keputusan menteri 1969. Dalam memoar 2006, Joesoef menulis percakapannya dengan Suharto tentang aturan itu. Dia berkata pada Suharto bahwa aturan itu takkan menciptakan “kerukunan umat beragama.” Dia berpendapat, aturan itu akan menyediakan “dasar formal bagi para sektarian ekstrem” untuk menindas kaum minoritas di Indonesia dan akan menciptakan ketidaksetaraan di antara warga negara Indonesia. Joesoef minta Suharto untuk membatalkan aturan itu. Namun Suharto tak merespon usulan Joesoef. Dalam memoarnya, Joesoef menyesali birokrat dan politisi Kristiani tak bicara terbuka menentang surat keputusan bersama menteri itu. Daoed Joesoef, Dia Dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 743-47.
[89]Surat Keputusan Bersama No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 ditandatangani 13 September 1969 oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama Mohammad Dahlan.
[90]Weinata Sairin, “SKB 1969 Diskriminatif dan Kontraproduktif,” Sinar Harapan, 27 November 2004, http://kliping.kemenag.go.id/downloads/c1236345bd87f0ff00e0aeffd6c2e238.pdf (diakses 29 Desember 2011).
[91]Human Rights Watch wawancara dengan Pendeta Elson Lingga dari Gereka Kristen Protestan Pakpak Dairi di Singkil, pada 7 Juni 2012 di Jakarta. Lingga memberikan dokumen 1979 pada Human Rights Watch. Pemerintah Singkil juga mencegah gereja merenovasi bangunanannya.
[92]Ismatu Ropi, “Regulating worship,” Inside Indonesia, 8 Januari 2007, http://www.insideindonesia.org/edition-89-jan-mar-2007/regulating-worship-1407013 (diakses 31 Desember 2011).
[93]Human Rights Watch mewawancarai dan mengevaluasi dokumen empat gereja HKBP di Bekasi – HKBP Getsemane di Jati Mulya (kabupaten Bekasi); HKBP Pondok Timur Indah di Ciketing (kota Bekasi); HKBP Kaliabang (kota Bekasi); HKBP Filadelfia (kabupaten Bekasi)—serta gereja GKI Yasmin di Bogor. Mereka semua kesulitan mengadakan ibadah Minggu di kediaman pribadi. Pejabat pemerintah, yang sering menghentikan ibadah mereka, menyatakan larangan penggunaan “rumah pribadi” untuk kegiatan keagamaan.
[94]Wawancara Human Rights Watch dengan Andreas Yewangoe, ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, di Jakarta, 20 Juni 2012.
[95]Rancangan Ma'ruf Amin’s merekomendasikan jemaah sedikitnya 100 anggota dan mereka mendapatkan tandatangan sedikitnya 70 warga setempat. “Draf Surat Keputusan Rumah Ibadah Sudah Kelar,” Tempo, 9 Februari 2006, http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2006/02/09/brk,20060209-73694,id.html (diakses 3 Januari 2012).
[96]Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9/2006, tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.” 21 Maret 2006, http://hukum.unsrat.ac.id/men/menag_mendagri_2006.pdf (diakses 20 Juni 2012).
[97]Ibid. pasal 13.
[98]Ibid. pasal 14.
[99] Ibid. pasal 14.
[100]Ibid. pasal 16.
[101]Ibid. pasal 18.
[102]Ibid. pasal 10. FKUB harus maksimal beranggotan 21 orang. FKUB kotamadya atau kabupaten harus maksimal 17 anggota.
[103]Wawancara Human Rights Watch dengan Andreas Yewangoe, ketua PGI, di Jakarta pada 20 Juni 2012.
[104]Indonesian Conference on Religion and Peace, “Inilah Hasil Pertemuan ICRP dengan Mahkamah Konstitusi Terkait Kasus Blitar,” 29 Januari 2013, http://icrp-online.org/012013/post-2804.html (diakses 2 Februari 2013).
[105]Fatwa MUI No. 11/Munas VII/MUI/15/2005 ditandatangani 29 Juli 2005 oleh anggota komisi fatwa Ma’ruf Amin (ketua) dan Hasanudin (sekretaris) serta anggota pertemuan pleno Umar Shihab (ketua) dan Din Syamsuddin (sekretaris).
[106]Lebih dari 200 orang—termasuk para sarjana Muslim, pastur Katholik, pendeta Protestan, penganut Confusius, penganut Buddha, Hindu, penyair, penulis, dan pembela hak asasi manusia—menandatangani petisi pada 10 Mei 2008,menyatakan pemerintah harus melindungi Ahmadiyah, bukannya melarang. Lihat International Crisis Group, Indonesia: Implications of the Ahmadiyah Decree, 7 Juli 2008, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/b78_indonesia___implications_of_the_ahmadiyah_decree.pdf (diakses 2 Januari 2012).
[107]“Wantimpres Upayakan Cegah Keluarnya SKB Penghentian Ahmadiyah,” Antara, 22 April 2008, http://www.antaranews.com/view/?i=1208864066&c=NAS&s (diakses 22 Juni 2012). Adnan Buyung Nasution kemudian menulis buku, Nasehat Untuk SBY (Jakarta: Kompas, 2012), tentang pekerjaannya sebagai anggota dewan pertimbangan presiden.
[108]Andreas Harsono, “Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia,” blog post, 18 Februari 2010, http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-rechtstaat-dan-hak-asasi_18.html (diakses 22 Juni 2012).
[109]“Cabut SKB Anti-Ahmadiyah,” siaran pers Human Rights Watch, 11 Juni 2008, http://www.hrw.org/node/109343 (diakses 3 Desember 2011).
[110]“Insiden Monas: Habib dan Munarman Divonis 1,5 Tahun,” Indosiar, 30 Oktober 2008, http://www.indosiar.com/fokus/habib-dan-munarman-divonis-15-tahun_76525.html (diakses 3 Maret 2012).
[111]“Indonesia: Reverse Ban on Ahmadiyah Sect,” siaran pers Human Rights Watch, 10 Juni 2008, http://www.hrw.org/news/2008/06/09/indonesia-reverse-ban-ahmadiyah-sect (diakses 2 Januari 2011).
[112]Human Rights Working Group et. al., “List of Regulation that Prohibit Ahmadiyya Congregation Activity until 2011,” dalam laporan yang disampaikan pada Dewan HAM PBB untuk Universal Periodic Review Indonesia di Jenewa pada 23 Mei 2012. Laporan ini ditulis bersama Human Rights Working Group, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Institute for Policy Research and Advocacy, Setara Institute, Indonesia Legal Resource Center, Wahid Institute, dan Center for Marginalized Communities Studies.
[113]“Cabut Peraturan Provinsi yang Melarang Keyakinan Agama,” siaran pers Human Rights Watch, 15 Maret 2011, http://www.hrw.org/node/109346 (diakses 2 Juni 2012).
[114]Peraturan Gubernur Sumatra Barat No. 17/2011 ditandatangani Irwan Prayitno pada 24 Maret 2011.
[115]“Buyung Minta Presiden Tegur Daerah yang Larang Ahmadiyah,” Tempo, 8 Maret 2011, http://www.tempo.co/read/news/2011/03/08/173318526/Buyung-Minta-Presiden-Tegur-Daerah-yang-Larang-Ahmadiyah (diakses 22 Juni 2012).
[116]“Gamawan Fauzi: SK Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah Tidak Menyimpang,” Suara Islam, 8 Maret 2011, http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2104-gamawan-fauzi-sk-pelarangan-aktivitas-ahmadiyah-tidak-menyimpang (diakses 22 Juni 2012).
[117]Kementerian Agama, The Policy of the Government on the Issue of Ahmadiyaa in Indonesia, Jakarta: 2011. Buklet 44 halaman berisi SKB 2008 dan surat edaran bersama tentang pelaksanaan SKB. Prof. Atho Mudzhar, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan pada Kementerian Agama, menulis kata pengantar.
[118]Setara Insitute, “Reports on Freedom of Religion and Belief 2007-2011,” http://www.setara-institute.org/en/category/galleries/indicators (diakses 19 Juli 2012). Lihat juga Human Rights Watch, “Indonesia: Revoke Decree Against Religious Minority,” 7 Februari 2011, http://www.hrw.org/news/2011/02/07/indonesia-revoke-decree-against-religious-minority (diakses 2 Januari 2012).
[119]Ulma Haryanto dan Anita Rachman, “Debate Over Indonesian Religion Bill Heats Up,” The Jakarta Globe, 24 Oktober 2011, http://www.thejakartaglobe.com/home/debate-over-indonesian-religion-bill-heats-up/473591 (diakses 3 Maret 2012).
[120] Rumadi Ahmad dari Wahid Institute mengatakan fokus“kerukunan umat beragama” mengancam minoritas agama. “Akan jauh lebih baik kalau pemerintah mengajukan rancangan undang-undang kebebasan beragama,” kata Ahmad (Pernyataannya pada konferensi pers Wahid Institute di Jakarta, 29 Desember 2011). Nathan Setiabudi, yang mengetuai Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pada 2000-2005, mengatakan bahwa dengan menegaskan “kerukunan umat beragama”, rancangan undang-undang akan menyediakan dalih bagi aparat penegak hukum untuk mendesak minoritas agama menghentikan praktik keagamaan yang mungkin mengganggu kalangan mayoritas (wawancara Human Rights Watch dengan Nathan Setiabudi di Jakarta, 22 Juni 2012).
[121]Pada 1978, Deliar Noer, sarjana Muslim, berpendapat bahwa umat Kristiani tak merasa membutuhkan sama sekali departemen seperti itu, mengingat mereka sudah punya organisasi sendiri, yakni Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). “Umat Protestan dan Katholik di Indonesia menerima dukungan substansial dari misi luar negeri dan internasional yang juga punya akses langsung ke kawasan Indonesia. … Hanya umat Muslim yang merasa butuh kementerian itu,” tulisnya. Lihat Deliar Noer, Administration of Islam in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2010) hal. 23.
[122]Selama pemerintahan Presiden Suharto, Menteri Agama pada saat itu dipimpin sarjana Muslim yang dihormati termasuk Mukti Ali (1973-1978), Munawir Sjadzali (1988-1993), dan Quraish Shihab (1998). Mereka tak mengeluarkan aturan diskriminatif dan berfokus mengadakan riset tentang kehidupan beragama di Indonesia. Banyak sarjana ini meninggalkan kementerian lebih dari satu dekade terakhir. Pada 2002, Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri Jakarta menulis surat pada Menteri Agama agar mengubah diri dari “departemen sektarian,” yang disokong para Muslim, guna menjadikan lembaga yang memperlakukan semua keyakinan dengan setara. Djohan Effendi, yang bertindak sebagai kepala divisi penelitian di kementerian, berkata. “Kementerian menjadi negara di dalam negera. Ia sekan-akan mampu mengurusi banyak hal tapi sesungguhnya telah gagal.” Lihat Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam Dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011).
[123]Situsweb Kementerian Agama bagian struktur dan direktorat jenderal kementerian, http://kemenag.go.id/ (diakses 3 Maret 2012).
[124]“Ini 7 Kementerian dan Lembaga dengan Alokasi Anggaran Terbesar,” Metro TV, 16 Agustus 2011 (http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/08/16/134207/Ini-7-Kementerian-dan-Lembaga-dengan-Alokasi-Anggaran-Terbesar (Diakses 23 Juni 2012).
[125]Kementerian Agama: Kemenag dalam Angka 2011 (http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf (diakses 3 Maret 2012). Sekolah Dasar, sebutan untuk pengelolaan sekolah di bawah Kementerian Pendidikan, disebut Madrasah Ibtidaiyah di bawah manajemen Kementerian Agama. Begitupun Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Kampus di bawah Kementerian Agama biasanya bernama Institut Agama Islam Negeri.
[126]Presiden Republik Indonesia, “Kabinet Indonesia Bersatu II,” tanpa tanggal, http://www.presidenri.go.id/index.php/statik/kabinet.html (diakses 25 Januari 2013).
[127]“KPK probes graft in Koran procurement,” The Jakarta Post, 21 Juni 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/21/kpk-probes-graft-koran-procurement.html (diakses 22 Juni 2012).
[128]Kementerian Agama Jawa Timur, “Silaturahim Ulama dan Umara Menyikapi Masalah Syiah,” April 2012, http://jatim.kemenag.go.id/file/file/mimbar307/pyca1336000319.pdf (diakses 25 Januari 2013).
[129]“Suryadharma Ali: Ahmadiyah Lebih Baik Dibubarkan, Daripada Dibiarkan,” Republika, 19 Maret 2011, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/19/170812-suryadharma-ali-ahmadiyah-lebih-baik-dibubarkan-daripada-dibiarkan (diakses 20 Juli 2012).
[130]“Menag Tegaskan Syiah Bertentangan dengan Islam,” Media Indonesia, 25 Januari 2012, http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/25/293947/293/14/Menag-Tegaskan-Syiah-Bertentangan-dengan-Islam (diakses 26 Januari 2012).
[131]Pernyataan 26 Oktober 2009 yang ditandatangani ulama Syiah Tajul Muluk yang ditempatkan sebagai “saksi” termasuk kantor Kementerian Agama Sampang.
[132] Akun YouTube dari Syiah Sampang, “Muslim Syiah Sampang Dipulangkan Paksa,” video tentang pengusiran 13 Januari 2012, http://www.youtube.com/watch?v=519BvWqwI1A (diakses 25 Januari 2012).
[133] Wawancara Human Rights dengan Alexander An di Lembaga Pemasyarakat Sijunjung, 9 April 2012.
[134]Kejaksaan Agung, Laporan Tahunan 2011: Pelayanan Penuntutan Umum Republik Indonesia, Januari 2012.
[135] Uli Parulian Sihombing, Menggugat Bakor Pakem: kajian hukum terhadap pengawasan agama dan kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Indonesian Legal Resource Center, 2008).
[136] Ibid. hal. iii.
[137]Surat tanpa nomor, berjudul, “Laporan Pertemuan Bakor Pakem di Kabupaten Sampang pada 4 Januari 2012” dan ditandatangani kepala jaksa agung Sampang, Danang Purwoko Adji Susesno.
[138]Wawancara Human Rights Watch dengan Achmad Suprijatna, jurubicara polisi di Cianjur, 15 April 2012.
[139]Wawancara Human Rights Watch dengan Ibrahim Khalil, penuntut Alexander An, di Sijunjung pada 9 April 2012. Khalil juga kepala intelijen dari kantor jaksa agung Dharmasraya di Pulau Punjung, ibukota kabupaten Dharmasraya. Dia juga kepala Bakor Pakem.
[140]Wawancara Human Rights Watch dengan Asfinawati Ajub di Jakarta pada 29 Januari 2013.
[141]MUI memiki berbagai macam jaringan luas yang membuatnya sulit untuk diketahui anggaran keuangan yang sebenarnya. Alokasi anggaran tiap-tiap provinsi berbeda, begitupun masing-masing kabupaten. Pada sebuah wawancara, Abdussomad Bukhori, ketua MUI Jawa Timur, mengatakan dia memimpin MUI hanya menerima“honorarium” dan mereka tak mengharapkan bayaran. Lihat, “Jadi Ketum MUI Karena Panggilan Nurani,” Hidayatullah, 21 April 2011, http://hidayatullah.com/read/16539/21/04/2011/jadi-ketum-mui-karena-panggilan-nurani.html (diakses 22 Juni 2012). Syibli E. Sarjaya, sekretaris MUI Banten, berkata bahwa tanpa dana pemerintah MUI takkan bekerja dengan baik. Lihat, “KH Syibli: Tanpa Hibah, MUI Berjalan Terseok-seok,” Okezone, 22 September 2011, http://news.okezone.com/read/2011/09/22/337/505983/kh-syibli-tanpa-hibah-mui-berjalan-terseok-seok (diakses 23 Juni 2012). Di kabupaten Siak, provinsi Riau, pemerintah menyumbangkan dari masing-masing kecamatan sejumlah Rp 5 juta guna membantu para khatib selama bulan Ramadhan. Lihat, “Bantuan MUI, Setiap Kecamatan Rp5 Juta,”Hallo Riau,26 Juli 2011 (http://www.halloriau.com/read-otonomi-12833-2011-07-26-bantuan-mui-setiap-kecamatan-rp5-juta-.html (diakses 23 Juni 2012).
[142]Ada empat anggota kabinet pada dewan MUI: Menteri Agama Suryadharma Ali (juga ketua umum Partai Persatuan Pembangunan); Menteri Koordinator Ekonomi Hatta Rajasa (juga ketua umum Partai Amanat Nasional dan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono); Menteri Pendidikan Muhammad Nuh; dan Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri. Penulis novel laris Andrea Hirata juga duduk sebagai anggota komisi pembinaan seni budaya Islam bersama bintang film Yenny Rahman, pelawak Cici Tegal, dan model Ratih Sanggarwati. Lihat situsweb MUI, “Susunan Pengurus MUI Pusat,” 8 Mei 2009, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=52&Itemid=54 (diakses 23 Juni 2012).
[143]“Peran Ulama Djawa Barat dalam Operasi Pagar Betis,” Serba Sejarah, 11 Juni 2010, http://serbasejarah.wordpress.com/2010/06/11/peran-ulama-djawa-barat-dalam-operasi-pagar-betis/ (diakses 27 Desember 2011); Pondok Pesantren Al-Jawami, “Mama Sudja’i,” 27 Maret 2009, http://ponpes-sindangsari-aljawami.blogspot.com/2009/03/mama-sudjai.html (diakses 27 Desember 2011).
[144]Deliar Noer, Administration of Islam in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2010) hal. 81-90.
[145]Situsweb MUI, “Lembaga-lembaga MUI,” tanpa tanggal, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_wrapper&view=wrapper&Itemid=80 (diakses 23 Juni 2012).
[146]Jeremy Menchik, “Illiberal but not intolerant: Understanding the Indonesian Council of Ulamas,” Inside Indonesia, 26 November 2007.
[147]Susilo Bambang Yudhoyono, pidato presiden saat membuka Kongres Nasional MUI, 26 Juli 2005, http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2005/07/26/370.html (diakses 25 Januari 2013).
[148]“Suryadharma Ali: Ahmadiyah Lebih Baik Dibubarkan, Daripada Dibiarkan,” Republika, 19 Maret 2011, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/19/170812-suryadharma-ali-ahmadiyah-lebih-baik-dibubarkan-daripada-dibiarkan (diakses 23 Juni 2012).
[149]Situsweb MUI, “Diperlukan Peraturan Daerah (Perda), Fatwa MUI Tak Cukup Tangani Masalah Ahmadiyah,” 28 Februari 2011, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=416:diperlukan-peraturan-daerah-perda-fatwa-mui-tak-cukup-tangani-masalah-ahmadiyah&catid=1:berita-singkat&Itemid=50 (diakses 23 Juni 2012).
[150]Fatwa MUI No. 11/Munas VII/MUI/15/2005 ditandatangani pada 29 Juli 2005 anggota komisi fatwa MUI Ma’ruf Amin (ketua) dan Hasanudin (sekretaris) serta anggota rapat pleno Umar Shihab (ketua) dan Din Syamsuddin (sekretaris).
[151]Wawancara Human Rights Watch dengan Amidhan dari MUI di Jakarta, 17 September 2011.
[152] Uli Parulian Sihombing, Menggugat Bakor Pakem: kajian hukum terhadap pengawasan agama dan kepercayaan di Indonesia (Jakarta: Indonesian Legal Resource Center, 2008), hal. 37-38.
[153] “MUI Sampang Keluarkan Fatwa Sesat Syiah yang Dibawa Tajul Muluk,” Hidayatullah, 3 Januari 2012, http://www.hidayatullah.com/read/20493/03/01/2012/mui-sampang-keluarkan-fatwa-sesat-syiah-yang-dibawa-tajul-muluk.html (diakses 23 Juni 2012).
[154]Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, ditandatangani pada 21 Januari 2012 oleh ketua KH. Abdusshomad Buchori dan sekretaris Imam Tabroni.
[155]Mereka termasuk: Yusman Roy, khatib Muslim yang menyulih-suarakan doa dan pepujian dalam bahasa Indonesia; Lia Eden, M. Abdul Rachman, dan Wahyu Andito Putro Wibisono, tiga guru kelompok spiritual bernama “Komunitas Eden” di Jakarta, yang menyatakan bahwa Lia Eden telah menerima wahyu dari Malaikat Jibril; Andreas Guntur, pemimpin kelompok spiritual Amanat Keagungan Ilahi, yang menafsirkan ayat al-Quran tapi berbeda dari ajaran yang sudah diyakini secara umum; Dedi Priadi dan Gerry Lufthy Yudistira, ayah dan anak, yang mengikuti tarekat Al-Qiyadah di pengadilan Padang, Sumatra Barat; dan Tajul Muluk, ulama Syiah di Sampang, pulau Madura.
[156]“Semalam Bersama Dewan Dakwah, Bekasi Jadi Sasaran Pemurtadan,” Dakta, 26 Desember 2011, http://www.dakta.com/berita/lintas-megapolitan/17572/semalam-bersama-dewan-dakwah-bekasi-jadi-sasaran-pemurtadan.html/ (diakses 21 Juni 2012).
[157]“FKUB: Bupati Bekasi Dilema Cabut Izin Gereja Filadelfia,” Bekasi Raya, 3 Juni 2012, http://bekasiraya.com/berita-730-fkub--bupati-bekasi-dilema-cabut-izin-gereja-filadelfia.html (diakses 23 Juni 2012).
[158] “Walikota Bogor: Saya Terima 3 Karung Surat,” Vivanews, 15 November 2012, http://metro.vivanews.com/news/read/264289-walikota-bogor--saya-terima-3-karung-surat (diakses 25 Juni 2012).
[159] Pasal 10 menetapkan, jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan tingkat kabupaten/kota paling banyak 17 orang.
[160] Pasal 10 (2) Keputusan Bersama 2006.
[161]Selama penelitian, dari Agustus 2011 hingga Desember 2012, Human Rights Watch beberapa kali mengontak anggota 10 FKUB di Sumatra Utara, Riau, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Tak ada satupun anggotanya dari Ahmadiyah atau Syiah.
[162]Situsweb Pusat Kerukunan Umat Beragama: http://pkub.kemenag.go.id/
[163]Wawancara Human Rights Watch dengan Palti Panjaitan dari HKBP Filadelfia di Bekasi, 21 Juni 2012.
[164] Wawancara Human Rights Watch dengan Palti Panjaitan, HKBP Filadefia, Bekasi, 12 September 2011.
[165]“Tiga Gereja di Bekasi Disegel,” Metro TV, 11 Februari 2012, http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/11/81585/Tiga-Gereja-di-Bekasi-Disegel/6 (diakses 3 Maret 2012).
[166] Wawancara Human Rights Watch secara bersama-sama dengan Alexander A.M., Hendrikus M. Hena, dan Alfonsus Sutarno dari kongregasi Johannes Baptista berbasis di St. Parung, Depok, Jakarta selatan, 12 September 2011.
[167]Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Ulyas Taha (di Manado), 25 Juni 2012.
[168] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Aloys Budi Purnomo Pr. (Semarang), 25 Juni 2012.
[169]Wawancara Human Rights Watch dengan Andreas Yewangoe, ketua PGI, di Jakarta, 20 Juni 2012.
[170]Wawancara Human Rights Watch dengan Pendeta Hendrik Malelak di Kupang, 15 Januari 2012.
[171] Wawancara Human Rights Watch dengan Jeirry Sumampauw, pegawai PGI, yang berugas menyusun laporan tahunan tentang berbagai pelanggaran terhadap umat Kristiani, di Jakarta pada 7 September 2011. PGI memberikan daftar pada Human Rights Watch. Beberapa situsweb menampilkan daftar tahunan gereja-gereja yang dihancurkan, dibakar, dirusak atau disegel. Lihat, http://st291735.sitekno.com/page/36867/tahun-2005.html (diakses 25 Juni 2012). Situs lain masih menampilkan daftar gereja-gereja yang dihancurkan sejak 1969, lihat http://indonesia.faithfreedom.org/forum/daftar-penghancuran-gereja-foto2-mengenaskan-t94/ (diakses 25 Juni 2012).
[172]12 kasus ini termasuk GKI Yasmin (kota Bogor); HKBP Getsemane di daerah Jati Mulya (kabupaten Bekasi); HKBP Pondok Timur Indah di daerah Ciketing (kota Bekasi); HKBP Kaliabang (kota Bekasi); GKRI (kota Bekasi); Gereja Pantekosta di Kaliabang (kota Bekasi); Gereja Baptista St. Joannes di Parung (kabupaten Bogor); Gereja Protestan Batak Karo (kecamatan Logas Tanah Darat, kabupaten Kuantan Singingi); Gereja Pantekosta di Indonesia (kabupaten Kuantan Singingi); Gereja Methodis di Indonesia (kabupaten Kuantan Singingi); dan masjid Batuplat (Kupang). Human Rights Watch juga mendokumentasikan kasus penutupan 19 gereja dan 1 rumah ibadah keyakinan lokal di Singkil, Aceh, pada Mei 2012.
[173]Wawancara Human Rights Watch dengan Thomas Wadu Dara, koordinator pembangunan GKI Yasmin, 11 September 2011.
[174]“Churches Can’t Be Built in Streets With Islamic Names: Bogor Mayor,” The Jakarta Globe, 19 Agustus 2011, http://www.thejakartaglobe.com/home/churches-cant-be-built-in-streets-with-islamic-names-bogor-mayor/460241 (diakses 22 Juli 2012). Muhammad Mustofa, yang ayahnya senama dengan jalan itu, menyatakan secara terbuka bahwa dia tak keberatan dengan gereja GKI Yasmin.
[175] Putusan Mahkamah Agung tentang GKI Yasmin No. 127/PK/TUN/2009 bertanggal 9 Desember 2010.
[176]Rekomendasi No. 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 tentang permohonan GKI Yasmin ditandatangani Danang Girindrawardana, ketua Kantor Ombudsman Republik Indonesia, pada 8 Juli 2011.
[177]“Walikota Bogor: Saya Terima 3 Karung Surat,” Vivanews, 15 November 2012, http://metro.vivanews.com/news/read/264289-walikota-bogor--saya-terima-3-karung-surat (diakses 25 Juni 2012).
[178]“Lagi, SBY Dorong Kasus GKI Yasmin Dituntaskan,” Kompas, 15 Februari 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/02/15/14325169/Lagi.SBY.Dorong.Kasus.GKI.Yasmin.Dituntaskan (diakses 25 Juni 2012).
[179]“President can't interfere in GKI Yasmin dispute, spokesman says,” The Jakarta Post, 6 Februari 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/06/president-cant-interfere-gki-yasmin-dispute-spokesman-says.html (diakses 25 Mei 2012).
[180] Palti Panjaitan, “Kronologi Permasalahan HKBP Filadelfia Tambun Bekasi,” 26 Maret 2012, http://www.andreasharsono.net/2012/03/gereja-hkbp-filadelfia.html (diakses 25 Juni 2012).
[181] Peraturan Menteri Bersama 2006 pasal 14 (3).
[182]Ferry Putra, “Pemerintah Berbulu Domba,” 11 April 2012, http://vimeo.com/40148064 (diakses 25 Juni 2012).
[183]Wawancara Human Rights Watch dengan Asia Lumbantoruan pada 13 September 2011 di Bekasi.
[184] Front Pembela Islam, “Klarifikasi FPI Bekasi Raya Atas Insiden HKBP,” 16 September 2010, http://fpi.or.id/?p=detail&nid=219 (diakses 3 Februari 2012).
[185]Wawancara Human Rights Watch dengan Demak Simanjuntak dari HKBP Kaliabang di Bekasi, 9 Februari 2012. Tiga gereja lain secara terpisah juga melihat Murhali Barda di daerah Kaliabang.
[186] “Tiga Gereja di Bekasi Disegel,” Metro TV, 11 Februari 2012, http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/11/81585/Tiga-Gereja-di-Bekasi-Disegel/6 (diakses 3 Maret 2012).
[187] Wawancara Human Rights via telepon dengan Pendeta Panjaitan pada 2 Februari 2012.
[188]“Umat Islam Bekasi: Tertibkan Gereja Liar dan Hentikan Kristenisasi!” Voice of al Islam, 28 November 2011, http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/11/28/16841/umat-islam-bekasi-tertibkan-gereja-liar-dan-hentikan-kristenisasi/ (diakses 3 Maret 2012).
[189]“Tiga Gereja di Bekasi Disegel,” Metro TV, 11 Februari 2012, http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/11/81585/Tiga-Gereja-di-Bekasi-Disegel/6 (diakses 3 Maaret 2012).
[190]“260 Rumah Ibadah di Bekasi Terancam Disegel,” Antara, 12 Februari 2012, http://www.suarapembaruan.com/home/260-rumah-ibadah-di-bekasi-terancam-disegel/16995 (diakses 23 Juli 2012).
[191]Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Jaendar Gultom di Bekasi, 25 Juni 2012.
[192]Wawancara Human Rights Watch dengan Alexander Adrian Makawangkel di Parung, 22 Januari 2012.
[193]Surat No. 453.2/556-Huk pada 20 November 2010 ditandatangani bupati Bogor Rachmat Yasin.
[194]Surat No. 453.2/557-Huk pada 30 November 2010 ditandatangani bupati Bogor Rachmat Yasin.
[195]Wawancara Human Rights Watch dengan Abjon Sitinjak pada 22 Oktober 2011 di Taluk Kuantan.
[196]Pada 7-13 Juni 2012, perwakilan dari gereja Singkil datang ke Jakarta. Mereka juga bertemu Human Rights Watch dan membagikan dokumen 50 halaman, “Penutupan 20 Rumah Ibadah di Kabupaten Singkil Aceh.” Pemerintah Singkil menyegel rumah ibadah itu pada 1 Mei, 3 Mei, dan 8 Mei 2012. Gereja tertua, GKPPD Kuta Kerangan, dibangun pada 1932 saat pemerintahan kolonial Belanda. Beberapa dibangun saat pendudukan Jepangpada 1942-45. Satu-satunya gereja terbaru, Gereja Misi Injili Indonesia (GMII), dibangun pada 2003.
[197]“Hindus Lament "Islamization" of Indonesia,” berdasarkan kabel Keduataan AS yang bocor, diunggah di situsweb Wikileaks pada 30 Agustus 2011, http://wikileaks.org/cable/2007/02/07JAKARTA268.html (diakses 2 Maret 2012).
[198] Wawancara Human Rights Watch dengan I Made Erata, 13 September 2011 di Jakarta.
[199] Surat rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama No. 025/FKUB/KK/VI/2010 ditandatangani Pendeta Hendrik NE Malelak.
[200]“Kronologis” kasus masjid Nur Musafir oleh Wahid Institute (tanpa tanggal). Salinan dipegang Human Rights Watch.
[201] Wawancara Human Rights Watch dengan Pendeta Judith Nunuhitu-Folabessy di Batuplat, Kupang pada 16 Januari 2012.
[202] Pada 1976, ulama Syiah, Husein al-Habsyi, mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YAPI) . Ia sekolah tinggi Al-Ma’hadul Islami yang dengan akreditasi A oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah Jawa Timur, lihat http://www.ban-sm.or.id/provinsi/jawa-timur/akreditasi/view/190601 (diakses 21 November 2011).
[203] Rekaman khotbah, tanpa tanggal, diberikan pada Human Rights Watch.
[204] Lihat laporan kepolisian No. STPL/70/XII/2010/Jatim/Res Pas/Sek Bgl bertanggal 19 Desember 2010 dan ditandatangani signed kepala polisi Brigadir Sanadi.
[205]Lihat laporan kepolisian No. STPL/08/II/2011/Jatim/Res Pas/Sek Bgl bertanggal 13 Februari 2011 dan ditandatangani Brigadir satu M. Suntoro; laporan kepolisian No. STPL/10/II/2011/JATIM/Res Pas/Sek Bgl bertanggal 15 Februari 2011 dan ditandatangani Brigadir satu Puguh Santoso.
[206] Wawancara Rights Watch interview dengan seorang pelajar (nama dirahasiakan) di Bangil, 18 September 2011.
[207]Wawancara Human Rights Watch dengan guru YAPI Muhammad Alwi di Bangil, 18 September 2011.
[208]Para terdakwa dituntut pasal 170(2.2) KUHP, yang terancam maksimal pidana penjara sembilan tahun. Lihat situsweb Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, “Kasus YAPI Pasuruan Terdakwa divonis 3 bulan,” 8 Juni 2011, http://www.kejati-jatim.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=174:kasus-yapi-pasuruan-terdakwa-divonis-3-bulan&catid=47:berita-umum&Itemid=108 (diakses 6 Oktober 2011).
[209] Fatwa MUI Sampang ditandatangani Mahrus Zamroni (sekretaris komisi fatwa), KH Mahmud Huzaini (ketua komisi fatwa), Moh. Sjuaib (sekretaris jenderal), dan KH Buchori Ma’shum. Surat bernomor A-035/MUI/Spg/I/2012 dan bertanggal 1 Januari 2012.
[210]“Ulama Jatim Minta Dukungan MUI Pusat untuk Larang Ajaran Syiah,” Pelita, 25 Januari 2012, http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14419/ulama-jatim-minta-dukungan-mui-pusat----untuk-larang-ajaran-syiah/ (diakses 25 Januari 2012).
[211] “Menag Tegaskan Syiah Bertentangan dengan Islam,” Media Indonesia, 25 Januari 2012, http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/25/293947/293/14/Menag-Tegaskan-Syiah-Bertentangan-dengan-Islam (diakses 26 Januari 2012).
[212] Surat tak bernomor, berjudul “Laporan Rapat Bakor Pakem di Kabupaten Sampang pada 4 Januari 2012” dan ditandantangani kepala kejaksaan negeri Sampang Danang Purwoko Adji Susesno.
[213]Human Rights Watch, “Ulam Syiah Dipidana Penodaan Agama,” 12 Juli 2012, http://www.hrw.org/id/news/2012/07/16/ulama-syiah-dipidana-penodaan-agama (diakses 19 Juli 2012). Lihat, “Sampang court rejects Shiite cleric’s objection,” The Jakarta Post, 23 Mei 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/23/sampang-court-rejects-shiite-cleric-s-objection.html (diakses 29 Juni 2012).
[214] Siaran pers Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, “Keadilan di Angan-angan,” 21 Januari 2013. Salinan dipegang Human Rights Watch.
[215]Wawancara Human Rights Watch dengan pelajar Riza Fadilla Junior di Sukadana, 17 Oktober 2011.
[216]Memori Kasasi Kasus Setiarto dan Yulius Nomor 130/Pid/2010/PN.TK pengadilan negeri Lampung Timur atas nama Syahroni dan Iwan Purwanto, 8 Maret 2011, hal. 5
[217]Human Rights Watch mengunjungi Syahroni dan Iwan Purwanto di penjara Sukadana pada 17 Oktober 2011.
[218]Seorang aktivis Ahmadiyah memberikan daftar pada Human Rights Watch di Jakarta, 14 September 2011.
[219]Peraturan Walikota No. 40 Tahun 2011 tentang “Pelarangan Kegiatan Ahmadiyah di Kota Bekasi.”
[220]Wawncara Human Rights Watch dengan Rahmat Rahmadijaya di masjid Ahmadiyah pada 6 November 2011.
[221]Wawancara Human Rights Watch dengan Titik Sartika di masjid Ahmadiyah pada 6 November 2011.
[222] Wawancara Human Rights Watch dengan Rahmat Rahmadijaya di masjid Ahmadiyah pada 6 November 2011.
[223]Peraturan gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 ditandatangani Ahmad Heryawan pada 2 Maret 2011.
[224]Wawancara Human Rights Watch dengan Hafiz di Cianjur pada 5 April 2012.
[225]Wawancara Human Rights Watch dengan Hasan Suwandi di Cianjur pada 5 April 2012.
[226]Wawancara Human Rights Watch dengan perempuan Ahmadiyah (nama dirahasiakan), 19 September 2011 di Bintaro, Jakarta.
[227]Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Ismael Suparman pada 26 Juni 2012.
[228] Wawancara Human Rights Watch dengan guru Ahmadiyah (nama dirahasiakan), di Sukadana, 14 September 2011.
[229]Wawancara Human Rights Watch dengan pelajar kelas delapan di sekolah menengah pertama negeri di kecamatan Campaka, Sukadana, 14 September 2011.
[230] Wawancara Human Rights Watch dengan Riyon Irfanus di Metro, Lampung, 17 Oktober 2011.
[231] Ibid.
[232]Wawnacara Human Rights Watch dengan Dewi Kanti di Jakarta, 11 Juni 2012.
[233]Diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan juga terjadi di kabupaten Kuningan saat pemerintah menolak mengeluarkan KTP elektronik. Pada September 2012, lebih dari 5.000 muslim Ahmadiyah melaporkan tak punya KTP baru di Kuningan. Lihat, “Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan Tidak Bisa Ikut E-KTP,” Tempo, 2 September 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/09/02/176426999 (diakses 2 September 2012). Di Tasikmalaya, MUI mendesak pemerintah tak mencantumkan kata “Islam” untuk KTP muslim Ahmadiyah. Lihat, “Warga Ahmadiyah Diminta Tak Cantumkan Islam di KTP,” Tempo, 14 September 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/09/14/058429511/Warga-Ahmadiyah-Diminta-Tak-Cantumkan-Islam-di-KTP?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter (diakses 14 September 2012).
[234]Pada Juni 1964, Bakor Pakem Kuningan mengumumkan pernikahan penganut Agama Sunda Djawa, organisasi utama Sunda Wiwitan, tidak sah. Kantor kejaksaan Kuningan kemudian menahan sembilan penganutnya, termasuk Djatikusumah, seorang pendeta, dan delapan pengantin muda, yang dituduh menikah dengan ritual Sunda. Mengantisipasi meningkatnya permusuhan, pemimpin mereka dan ayah Djatikusumah, Tedja Buana, memutusakan keluar organisasi, bergabung ke gereja Katholik dan membuka gereja dipakai rumah ibadah Sunda. Langkah ini mendorong 5.000 penganut Sunda Wiwitan pindah ke Katholik. “Ini keputusan penting. Kakek saya menyelamatkan ribuan pengikut kami dari tuduhan ateis. Kami tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau tak melakukannya,” kata Dewi Kanti, merujuk pembantaian terhadap pengikut komunis pada 1965-1966. Namun pada Maret 1981, Djatikusumah, anak sulung Tedja Buana, menyatakan dia keluar dari gereja Katholik dan kembali ke kepercayaan lokal. Langkah ini mendorong 1.600 penganutnya pindahj ke Sunda Wiwitan. Katedral Katholik kembali diubah sebagai rumah ibadah Sunda Wiwitan. Lihat Iman C.Sukmana, Menuju Gereja Yang Semakin Pribumi: Analisis Konflik Internal Dalam Gereja Eks-Ads (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2011).
[235]Wawancara Human Rights Watch dengan Dewi Kanti di Jakarta, 11 Juni 2012.
[236]Rezim Suharto secara resmi mendiskriminasi Konfusianisme antara 1979 dan 1998. Namun diskriminasi ini dimulai lebih awal saat melarang segala yang terkait dengan identitas China, buku-buku China, dan sekolah berbahasa China. Lihat Leo Suryadinata, “Buddhism and Confucianism in Indonesia” dalam Tim Lindsey dan Helen Pausacker (eds), Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting (Singapore: ISEAS 2005).
[237] IzakLattu, “Violence against indigenous religions,” The Jakarta Post, 1 Maret 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/03/violence-against-indigenous-religions.html
[238]Human Rights Watch mendokumentasikan laporan tentang isu serupa soal KTP di Mesir. Lihat, “Egypt: Allow Citizens to List Actual Religion on ID Cards,” 11 November 2007, http://www.hrw.org/news/2007/11/11/egypt-allow-citizens-list-actual-religion-id-cards
[239]UU Administrasi Kependudukan, ketentuan penuh pada pasal 64.
[240]Wawancara Human Rights Watch dengan Dewi Kanti di Jakarta pada 11 Juni 2012.
[241]Wawancara Human Rights Watch dengan pria Ahmadiyah (nama dirahasiakan) dari Manis Lor, di Jakarta pada 16 September 2011. Dia menunjukkan akta pernikahannya pada Human Rights Watch.
[242] Wawancara Human Rights Watch dengan Riyon Irfanus di Metro, Lampung, 17 Oktober 2011.
[243]Wawancara Human Rights Watch dengan Soesiana Tri Ekawati di Bandar Lampung, 17 Oktober 2011.
[244] Wawancara Human Rights Watch dengan Ahmad Masihuddin, Jakarta, 10 September 2011.
[245]Rukun Tetangga, yang kali pertama dibentuk saat pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, ialah unit pemerintahan paling rendah di Indonesia. Biasanya tiap Rukun Tetangga membawahi 10 hingga 20 rumahtangga. Masing-masing Rukun Warga mengelola sekitar 5 hingga 10 Rukun Tetangga.
[246]Komisi Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 31, Sifat Kewajiban Hukum Umum Negara-negara Pihak pada Kovenan, U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.13 (2004), para. 8.
[247]Ibid., para. 18.
[248]International Crisis Group, “Indonesia: “Christianization” and Intolerance,” Asia Briefing no. 114, 24 November 2010, hal. 17.
[249]Kepolisian bekerjasama dengan Kontras, organisasi hak asasi manusia di Jakarta, mengembangkan panduan polisi terkait pelanggaran kebebasan beragama. Program ini dibantu Pemerintahan Inggris. Human Rights Watch bertemu dengan lima jenderal dari Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta pada 9 November 2011, dan membahas inisiatif tersebut, di antara topik lain.
[250]“Amuk Temanggung, Polisi Kantongi Nama Pelaku,” Vivanews, 8 Februari 2011 http://nasional.vivanews.com/news/read/203559-polisi-kantongi-identitas-pelaku (diakses 3 Maret 2012).
[251]Wawancara Human Rights Watch dengan Rusgandi, Sukadana, Campaka, kabupaten Cianjur, 6 November 2011.
[252]Wawancara Human Rights Watch dengan Mukhtar Luthfi, Bangil, 18 September 2011.
[253]“Surat Pernyataan” ditandatangani Syahroni dan Iwan Purwanto pada 2 Juni 2011 dengan 15 saksi, termasuk para pemuka Muslim dan enam pejabat pemerintah. Ia juga ditandatangani Dwi Sulistyawan, wakil kepala polisi Lampung Timur. Enam pejabat polisi itu Komisaris Polisi Medi Iswanda, Ajun Komisaris Polisi Julianto PA, Inspektur Kedua Polisi M. Faisal, Ajun Komisaris Polisi Waryono, Brigadir Pertama Joni Paamsyah, dan Brigadir Kedua Budiyono.
[254]Kepala polisi Omben Moh. Sofini menandatangani petisi tersebut bersama tiga bawahannya: Sudirman, Suncamin, dan Sudirmanto. “Surat Pernyataan” bertanggal 26 Februari 2006 ini ditandatangani 40 ulama di kabupaten Sampang dan Pamekasan serta empat perwira polisi.
[255]Organisasi hak asasi manusia Kontras mengajukan pengaduan terhadap kepala polisi Sampang Agus Santosa dan bawahannya, yang diduga melanggar jabatan karena mendesak penuntutan ulama Syiah Tajul Muluk. Lihat KBR68H, “Kapolres Sampang Dilaporkan ke Propam Mabes Polri,” 18 Januari 2012, http://www.kbr68h.com/berita/nasional/18238-kapolres-sampang-dilaporkan-ke-propam-mabes-polri (diakses 27 Juni 2012). Namun Budi Santosa, kepala polisi Sampang, dimutasi dari Magetan, Jawa Timur, mengepalai menggantikan Satosa pada Oktober 2011. Lihat Kedirijaya, “Mutasi Besar-besaran di Polda Jatim dan Jajaran,” 21 Oktober 2011, http://www.kedirijaya.com/2011/10/21/mutasi-besar-besaran-di-polda-jatim-dan-jajaran.html (diakses 27 Juni 2012).
[256]Wawancara Human Rights Watch dengan Asia Lumbantoruan,Bekasi, 13 September 2011.
[257]Wawancara Human Rights Watch dengan Asia Lumbantoruan, Bekasi, 13 September 2011.
[258]Wawancara Human Rights Watch dengan Asia Lumbantoruan, Bekasi, 13 September 2011.
[259]Wawancara Human Rights Watch dengan Asia Lumbantoruan, Bekasi, 13 September 2011.
[260] Human Rights Watch bertemu dengan beberapa perwira polisi, termasuk komisaris Herry Wibowo, di markas besar Kepolisian Indonesia di Jakarta, 9 November 2012.
[261] Wawancara Human Rights Watch dengan Pendeta Palti Hartoguan Panjaitan, pastor HKBP Filadefia, Jakarta,29 Februari 2012.
[262]Videografer Arif Rachman menyerahkan rekaman video serangan mematikan itu pada beberapa aktivis Ahmadiyah di Jakarta, yang kemudian memberikan pada Metro TV. Tapi Metro TV memutuskan tak menyiarkan video itu dengan penuh. Para aktivis minta seorang jurnalis di Jakarta mengunggah video itu di YouTube. Polisi dan jaksa memakai video ini dalam penyelidikan mereka. Lihat Andreas Harsono, “Indonesia’s Religious Violence: The Reluctance of Reporters to Tell the Story,” Nieman Reports, Musim Gugur Fall 2011, http://www.nieman.harvard.edu/reports/article/102685/Indonesias-Religious-Violence-The-Reluctance-of-Reporters-to-Tell-the-Story.aspx (diakses 22 Juli 2012).
[263] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang Ahmadi, Jakarta, 10 September 2011.
[264]Video YouTube diposkan oleh Andreas Harsono, “Anti-Ahmadiyah Violence in Cikeusik,” 6 February 2011, http://www.youtube.com/watch?v=UgY6N6Qe5EA&list=UUCclbzQxO11n4dMB6ZSpyCg&index=2&feature=plcp (diakses 22 Juli 2012).
[265]Syahadat adalah keyakinan paling mendasar bagi umat Islam yang harus diucapkan di bawah sumpah: "Saya berjanji tiada Tuhan selain Allah, dan saya berjanji bahwa Nabi Muhammada adalah utusan Allah." Umat Islam mendaraskan syahadat dalam doa mereka, dan bagi non-Muslim yang hendak pindah ke agama Islam diminta mengucapkan syahadat di bawah sumpah. Ahmadiyah juga mengucapkan syahadat.
[266]Wawancara Human Rights Watch dengan Ahmad Muhamad, seorang saksi pada serangan Cikeusik, Jakarta, 10 September 2011.
[267]Wawancara Human Rights Watch dengan perempuan Ahmadiyah [disebut ‘lajnah”], berumur 35 tahun, dari kampung Cikeusik, Jakarta, 10 September 2011. Sarimie merek mie instan; istilah ini biasa dipakai untuk mengejek orang yang mengubah agama mereka karena dorongan materi, misalnya, sekolah, bantuan keuangan, atau makanan lebih baik.
[268]“Korban Tragedi Cikeusik masih Trauma,” Berita Satu, 6 Februari 2012, http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/30110-korban-tragedi-cikeusik-masih-trauma.html (diakses 18 Maret 2012).
[269] Institusi yang dirusak termasuk Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan sekolah Shekinah; Gereja Pantekosta di Temanggung tempat perusuh membakar dua mobil yang diparkir di dalam halaman; dan gereja Katholik Santo Petrus Paulus. Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Dwinugraha Sulistia MSF, pastor St. Petrus Paulus, Temanggung, 27 Januari 2012.
[270] “Kapolda: SMS Undangan Dakwah, Pemicu Rusuh Temanggung,” Solopos, 8 Februari 2011, http://www.solopos.com/2011/channel/jateng/kapolda-sms-undangan-dakwah-pemicu-rusuh-temanggung-85182 (diakses 27 Februari 2012).
[271]“Terima Vonis, Syihabudin Batal Ajukan Banding,” Republika, 21 Juni 2011, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/06/21/ln46ya-terima-vonis-syihabudin-batal-ajukan-banding (diakses 6 Januari 2012).
[272]Wawancara Human Rights Watch dengan lima jenderal Kepolisian Indonesia, Jakarta, 9 November 2011. Brigjen RM Panggabean mengetuai pertemuan.
[273]“Polisi: Ahmadiyah Menyerang Lebih Dulu,” Vivanews, 3 Mai 2012, http://nasional.vivanews.com/news/read/218218-polisi--ahmadiyah-menyerang-lebih-dulu (diakses 15 Maret 2012).
[274]Wawancara Human Rights Watch dengan pengacara Yulius Setiarto, Jakarta, 13 September 2011.
[275] Wawancara Human Rights Watch dengan Alexander An, Lembaga Pemasyarakatan Sijunjung, 9 April 2012.
[276]“Surat Pernyataan” bertanggal 26 Februari 2006 ditandatangani 40 ulama di kabupaten Sampang dan Pamekasan serta empat pejabat polisi dari polsek Omben. Ke-40 ulama bergelar “kyai haji,” yang artinya semuanya pernah pergi ke Mekkah dan Madinah untuk naik haik dan semuanya pemilik pondok pesantren (bergelar “kyai”).
[277]Wawancara Human Rights Watch dengan pembantu pengurus madrasah Ali Mullah dan Mohammad Zaini, Nangkernang ,19 September 2011.
[278]Akun YouTube bernama hariri58, “Aksi Pembakaran Kelompok Syiah oleh Sunni di Sampang Madura,” 29 Desember 2011, http://www.youtube.com/watch?v=362RWe8H0zQ (diakses 29 Desember 2011).
[279]Ini pandangan umum yang disiarkan para ulama Syiah dalam sejumlah dokumen yang dirilis 2006–2012. Menteri Agama Suryadharma Ali mengulangi pandangannya sewaktu rapat dengan anggota DPR pada 5 September 2012. Ali berkata, “Solusi terbaik untuk apa yang terjadi di sana adalah dialog. Banyak hal terjadi setelah dialog. Kami berpengalaman dengan Ahmadiyah [...] yang pindah ke Islam umumnya setelah dialog.” Pendapat ini merujuk para Ahmadi yang dipaksa menjadi penganut Sunni. “Shia conversion is solution: Minister,” The Jakarta Post, 6 September 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/06/shia-conversion-solution-minister.html (diakses 9 September 2012).
[280]Sita W. Dewi, “Two Shia followers reportedly killed in Sampang melee,” The Jakarta Post, 26 Agustus 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/26/two-shia-followers-reportedly-killed-sampang-melee.html (diakses 4 September 2012).
[281] “Kontras: Ada Pembiaran Polisi di Kasus Sampang,” Tempo, 29 Agustus 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/08/29/078426154/Kontras-Ada-Pembiaran-Polisi-di-Kasus-Sampang.
[282]“Persecution: From Lombok to Sampang,” The Jakarta Post, 4 September 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/04/persecution-from-lombok-sampang.html (diakses 4 September 2012).
[283]Ferry Putra, video “Ancaman untuk Pendeta Palti”, 19 April 2012, http://vimeo.com/40669418 (diakses 25 Juni 2012).
[284] “Indonesia: Monitor Trials of Deadly Attack on Religious Minority,” rilis pers Human Rights Watch, 17 Juni 2011, http://www.hrw.org/news/2011/06/16/indonesia-monitor-trials-deadly-attack-religious-minority (diakses 3 Maret 2012).
[285] Wawancara Human Rights Watch dengan Ahmad Muhamad, saksi pada serangan Cikeusik, Jakarta, 10 September 2011.
[286]Wawancara Human Rights Watch dengan Herida Sinaga, seorang penjual yang kiosnya di dekat gereja Santo Antonius, Taluk Kuantan, 21 Oktober 2011.
[287]Pada 14 April 2011, komisi pemilihan umum daerah mengumumkan hasil final penghitungan suara: Sukarmis menang dengan 82,504 suara (54 persen) dan Mursini mendapatkan 69,600 (45 persen). Lihat Riau Terkini, “Pleno KPU Kuansing Tegaskan Kemenangan Sukarmis,” 14 April 2011.
[288]Katekis gereja St. Antonius, Petrus Sakur, yang menyaksikan serangan, berkata dia percaya pembakaran itu aksi balasan terhadap perkumpuan Batak di Kuantan Singingi yang secara terbuka mendukung Sukarmis. Wawancara Human Rights Watch dengan Petrus Sakur,Taluk Kuantan, 21 Oktober 2011.
[289]Wawancara Human Rights Watch dengan Salmon Ketaren dari Gereja Protestan Batak Karo,Taluk Kuantan, 22 Oktober 2011.
[290]Wawancara Human Rights Watch dengan Lasni Simanjuntak dari Gereja Pantekosta di Indonesia, Taluk Kuantan, 22 Oktober 2011.
[291] Wawancara Human Rights Watch dengan Dimer Siregar dari Gereja Methodist Indonesia, Taluk Kuantan, 22 Oktober 2011 .
[292] Wawancara Human Rights Watch dengan John Saprianto Purba dari Gereja Methodist Indonesia, Taluk Kuantan, 22 Oktober 2011.
[293]YouTube Cikeusik Trial, “Cikeusik Trial - Session VII - May 31, 2011,” diunggah 6 Juni 2011, http://www.youtube.com/watch?v=5ryhfl_no3I (diakses 12 Juni 2012).
[294] “Letter to Judiciary Commission regarding Ahmadiyah trials,” rilis pers Human Rights Watch, 17 Juni 2011, http://www.hrw.org/news/2011/06/16/indonesia-letter-judiciary-commission-regarding-ahmadiyah-trials (diakses 12 Juni 2012).
[295]“Indonesian Assault Victim Gets Harsher Sentence Than His Attackers,” New York Times, 15 Agustus 2011, http://www.nytimes.com/2011/08/16/world/asia/16indonesia.html (diakses 12 Juni 2012).
[296]“Young Attackers of Cisalada Ahmadiyah Sent to Prison,” The Jakarta Globe, 14 April 2011, http://www.thejakartaglobe.com/home/young-attackers-of-cisalada-ahmadiyah-sent-to-prison/435301 (diakses 27 Juni 2012).
[297]Ibid.
[298]Wawancara Human Rights Watch dengan sembilan paitua gereja, Kuantan Singingi, 22 Oktober 2011: Pertua Trima Ketaren; Makmur Tarigan; Abjon Rianto Sitinjak; Dimer Siregar; Maralop Sitorus; Salmon Ketaren; Lasni Simanjuntak; Goklas Mian Tambunan; dan Jon Saprianto Purba.
[299] Memori Kasasi Kasus Setiarto, Yulius, Nomor 130/Pid/2010/PN.TK pengadilan negeri Lampung Timur atas nama Syahroni dan Iwan Purwanto, 8 Maret 2011, hal. 12.
[300] Wawancara Human Rights Watch interview dengan pengacara Yulius Setiarto, Jakarta, 13 September 2011. Setiarto juga memberikan keping DVD dengan gambar pemrotes di ruang sidang.
[301]Pengacara Yulius Setiarto memberikan video itu pada Human Rights Watch.
[302] “Pelaku kerusuhan Sampang divonis 8 bulan penjara,” Merdeka, 22 Januari 2013, http://www.merdeka.com/peristiwa/pelaku-kerusuhan-sampang-divonis-8-bulan-penjara.html (diakses 25 Januari 2013).
[303]Salihara, “Kronologi Pembubaran Paksa Diskusi Irshad Manji,” 5 Mei 2012, http://salihara.org/community/2012/05/05/kronologi-pembubaran-paksa-diskusi-irshad-manji (diakses 28 Juni 2012).
[304]Ibid.
[305]“Alasan UGM Larang Diskusi Irshad Manji,” Tempo, 9 Mai 2012, http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402711/Alasan-UGM-Larang-Diskusi-Irshad-Manji (diakses 2 September 2012).
[306] Michael Bachelard, “Lady Gaga concert under threat from Islamic hardliners after attack on author,” Sydney Morning Herald, 15 Mei 2012, http://www.smh.com.au/entertainment/music/lady-gaga-concert-under-threat-from-islamic-hardliners-after-attack-on-author-20120514-1ymyd.html (diakses 2 September 2012)
[307] “Lady Gaga Cancels Indonesian Show After Threats,” Associated Press, 27 Mei 2012, http://bigstory.ap.org/content/lady-gaga-cancels-indonesian-show-after-threats (diakses 25 Januari 2013). Kelompok ini termasuk Majelis Ulama Indonesia, FPI, Forum Umat Islam (FUI), Gerakan Umat Anti-Maksiat (Gumam), Wahdah Islamiyah, dan Lembaga Kebudayaan Indonesia, serta Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.
[308] “Hard-Line FPI Buys 150 Tickets to Stop Lady Gaga Concert,” Jakarta Globe, May 21, 2012 http://www.thejakartaglobe.com/home/hard-line-fpi-buys-150-tickets-to-stop-lady-gaga-concert/519194 (accessed June 29, 2012).
[309]“Gaga is a devil worshipper’: Minister,” The Jakarta Post, 17 Mei 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/17/gaga-a-devil-worshipper-minister.html (diakses 25 Januari 2013).
[310]“Police Threaten to Disperse Lady Gaga’s Jakarta Concert,” The Jakarta Globe, 17 Mei 2012, http://www.thejakartaglobe.com/home/police-threaten-to-disperse-lady-gagas-jakarta-concert/518431
(diakses 25 Januari 2013).
[311] Pada 23 Mei 2012, 74 negara mengambil peran dalam Tinjauan Periodik Universal untuk Indonesia di Dewan HAM PBB, Jenewa. Dokumen dengan evaluasi dan video evalusinya tersedia di situsweb Dewan HAM PBB: http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/Highlights23May2012am.aspx (diakses 27 Juni 2012) dan waktu perhelatan evaluasi http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/RegularSession/Session21/A-HRC-21-7-Add1_en.pdf (diakses 24 September 2012).
[312] Pemerintah Indonesia berhak menanggapi rekomendasi yang dibuat di UPR dalam pertemuan Dewan HAM PBB pada 19 September 2012.
[313] “UN ‘Disturbed’ by Indonesia’s Religious Violence,” The Jakarta Globe, 17 Mei 2011 http://www.thejakartaglobe.com/home/un-disturbed-by-indonesias-religious-violence/441540 (diakses 8 Mei 2012).
[314] Resolusi Parlemen Eropa 7 Juli 2011 tentang Indonesia, pasal 8 (ditujukan untuk serangan pada minoritas), http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=-//EP//TEXT+TA+P7-TA-2011-0341+0+DOC+XML+V0//EN&language=EN (diakses 8 Mei 2012).
[315] “Australia claims Islam and democracy in harmony,” Antara, 10 Desember 2010, http://www.antaranews.com/en/news/1291921080/australia-claims-islam-and-democracy-in-harmony (diakses 29 Juni 2012).
[316] “President Yudhoyono receives senior German parliamentarian,” Antara, 25 Agustus 2010, http://www.antaranews.com/en/news/1282728327/president-yudhoyono-receives-senior-german-parliamentarian (diakses 25 Juni 2012).
[317] Presiden Barack Obama, Pidato di Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, 10 November 2010, http://www.whitehouse.gov/photos-and-video/video/2010/11/10/indonesia-s-example-world#transcript (diakses 8 Mei 2012).
[318] P.Crowley, Pembantu Menteri, Biro Publi, Departemen Luar Negeri, Pernyataan Pers, “Religious Violence in Indonesia,” 9 Februari 2011, http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2011/02/156238.htm
[319] Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, “David Cameron's speech at Al Azhar University,” 12 April 2012, http://ukinindonesia.fco.gov.uk/resources/en/news/2012/April/david-cameron-al-azhar-speech (diakses 29 Juni 2012).
[320] Pada 2011-2012, bantuan Australia ke Indonesia akan bernilai sekira A $558 juta, membuat Indonesia menjadi negara penerima donor terbesar dari bantuan Australian. Lihat situsweb Australia: http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/indonesia_brief.html. Bantuan luar negeri dari semua badan AS yang disimpan untuk Millenium Challenge Corporation (MCC) dilaporkan sekitar US $180 juta pada 2012, http://www.foreignassistance.gov/OU.aspx?OUID=184&FY=2012&AgencyID=0&budTab=tab_Bud_Planned&tabID=tab_sct_Peace_Planned. Pada November 2011, selama lima tahun, $600 juta Millenium Challenge Corporation sudah ditandatangani, http://www.mcc.gov/pages/countries/program/indonesia-compact. Pada Agustus 2011, sebuah kesepakatan dengan Jepang akan memberikan dana pada Indonesia sebesar $ 809 juta dalam bantuan iklim sudah diumumkan, Hisane Masaki, “Japan to give $809 million climate aid to Indonesia: Pt Carbon,” Reuters, 19 Agustus 2011, http://www.reuters.com/article/2011/08/19/us-japan-point-carbon-idUSTRE77I2WZ20110819 (diakses 8 Mei 2012).
[321]Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional, Laporan Tahunan tentang Indonesia 2006-2011, http://www.uscirf.gov/indonesia.html (diakses 19 Maret 2012).
[322]Resolusi Parlemen Eropa tentang Indonesia termasuk serangan pada minoritas, 7 Juli 2011, http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=-//EP//TEXT+TA+P7-TA-2011-0341+0+DOC+XML+V0//EN&language=EN (diakses 8 Mei 2012).
[323]Agama untuk Perdamaian, video YouTube tentang konferensi 25-27 Januari 2010 conference di Hotel Borobudur, Jakarta, http://religionsforpeace.org/news/press/building-collaborative.html (diakses 19 Maret 2012).
[324]Human Rights Watch menghadiri konferensi ini di Hotel JW Marriot di Jakarta. Lihat, situsweb European Union External Action, “Human Rights and Faith in Focus: Indonesia and the EU explore the role of religion in realising rights,” 24 Oktober 2011, http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/press_corner/all_news/news/2011/20111024_01_en.htm.
[325]Human Rights Watch menghadiri kedua konferensi ini, yang diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, di Jakarta. Lihat juga, “The Role and Contribution of Iranian Nation to Islamic Civilization,” 8 Maret 2012, http://www.ppim.or.id/main/agenda/detail.php?artikel=20120209160018 (diakses 19 Maret 2012); Pemerintah Kanada, “Canadian Ambassador Opens International Conference on Religion in Public Spaces in Contemporary Southeast Asia,” 13 Maret 2012, http://www.canadainternational.gc.ca/indonesia-indonesie/highlights-faits/2012/press_release-13mar2012-communique_presse.aspx?lang=en&view=d (diakses 24 Juli 2012). Kanada mengadakan sebuah pertemuan khusus di antara sarjana Muslim, yang beberapa di antaranya studi di Toronto McGill University, menurut Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar dalam pidatonya di seminar Kedutaan Besar Kanada di Hotel Grand Sahid, Jakarta, 13 Maret 2012.
[326]Ibid., hal. 18.
[327] Untuk gambaran kekuasaan sekarang ini yang dimiliki presiden, lihat International Crisis Group, “Indonesia: Defying the State, Asia Briefing no. 138,” 30 Agustus 2012, hal. 18.
[328]Pada Juni 2009, Amnesty International mempublikasikan sejumlah rekomendasi kepada Kepolisian Indonesian, di antaranya terkait mengatasi kekerasan berbasis agama. Amnesty International, “Unfinished Business: Police Accountability In Indonesia,” 24 Juni 2009.