Skip to main content

 

(New York) – Pemerintah Indonesia harus segera cabut semua tuntutan dan bebaskan Tajul Muluk, ulama Syiah di Pulau Madura yang divonis hari ini dengan hukuman dua tahun penjara karena “penodaan” agama,” demikian Human Rights Watch.

Human Rights Watch mendesak pemerintah untuk mengamendemen atau mencabut pasal penodaan agama dan membubarkan lembaga dengan identitas Islamis, biasa disebut Bakor Pakem, atau Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, yang secara resmi berada di bawah Kejaksaan Agung, di mana lembaga ini getol lakukan kriminalisasi kegiatan keagamaan.

“Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan kasus terhadap Tajul Muluk. Pasal penodaan agama bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch. “Pemerintah perlu menghentikan tren meningkatnya kekerasan dan tindakan hukum terhadap minoritas agama di Indonesia.”

Pengadilan negeri Sampang pada 12 Juli memutuskan ustad Syiah, Tajul Muluk, bersalah melakukan penodaan agama karena ajarannya. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a, pelanggaran “penodaan terhadap suatu agama” diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.

Selama bertahun-tahun, komunitas Syiah di dusun Nangkernang, kecamatan Omben, kabupaten Sampang, menghadapi beragam gangguan dari otoritas pemerintah dan keagamaan. Pada Februari 2006, 40 ulama Sunni dan empat polisi menandatangani pernyataan publik, mengumumkan bahwa Islam Syiah sebagai “aliran sesat.” Pernyataan ini menyebut dua pertemuan dengan ulama Syiah, di mana jemaat Syiah diminta untuk kembali ke “jalan Ahlussunnah wal-Jamaah dan sesepuh terdahulu” tapi mereka “membangkang.” Surat pernyataan ini juga minta lembaga-lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan terhadap Tajul Muluk.

Pernyataan itu merupakan langkah pertama siar kebencian terhadap jemaat Syiah di Sampang. Pada 2009, Tajul Muluk berselisih pendapat dengan adiknya, Roisul Hukama, yang mendorong Roisul bergabung dalam kampanye anti-Syiah di Madura. Pada Juli 2011, polisi dan pejabat pemerintah Sampang mendesak Tajul Muluk untuk meninggalkan kampungnya dan memberi bantuan keuangan bila pergi dari Nangkernang. Polisi dan pejabat Indonesia belakangan mengatakan persoalan terhadap Muluk merupakan “sengketa keluarga” dengan adiknya bukan perkara keyakinan.

Selama 2011, warga Sunni melancarkan pelecehan dan intimidasi terhadap jemaat Syiah di dusun kecil Nangkernang. Misalnya, 6 Desember 2011, saat merayakan Asyura, hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam yang menggambarkan arti penting spiritual bagi umat Syiah, militan Sunni mencegah 60 jemaat Syiah meninggalkan dusunnya dengan blokade jalan. Ustad Syiah, Iklil al Milal berkata dia minta polisi setempat untuk ambil tindakan mengakhiri ancaman, tapi polisi justru membiarkan.

Pada 29 Desember 2011, militan Sunni menyerang dusun Nangkernang, membakar beberapa rumah dan madrasah, dan menyebabkan sekira 500 warga Syiah mengungsi. Polisi hanya menangkap dan mendakwa seorang lelaki Sunni atas serangan pembakaran. Di sisi lain, serangan ini mendorong polisi memaksa ulama Syiah, termasuk Tajul Muluk dan Iklil al Milal, untuk meninggalkan Nangkernang. Kementerian Agama di Sampang mengumumkan mereka akan “membina” ratusan jemaat Syiah untuk “belajar Islam.”

Pada 4 Januari 2012, kepala kejaksaan negeri Sampang, Danang Purwoko Adji Susesno, sebagai ketua Bakor Pakem, minta Kejaksaan Agung untuk melarang “ajaran Tajul Muluk” dan menyatakan dalam sebuah surat bahwa kejaksaan Sampang akan mendakwa Tajul Muluk. Jaksa membuat bermacam argumentasi tentang ajaran Tajul Muluk dan mengapa Syiah bertentangan dengan Islam. Tajul Muluk mulai diinterogasi polisi pada Februari 2012, dan mendakwa serta menahannya dengan pasal penodaan agama dan “perbuatan tak menyenangkan” pada 24 April 2012.

Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat atau Bakor Pakemmerupakan lembaga koordinasi di bawah Kejaksaan Agung, dengan perwakilan di setiap provinsi dan kabupaten di tiap kantor kejaksaan daerah. Menurut Undang-Undang 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Bakor Pakem diberi mandat untuk mengawasi “penyalahgunaan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.” Bakor Pakem biasanya bekerja di bawah seksi intelijen dari kantor kejaksaan, dan berhubungan dekat dengan Departemen Agama, polisi, militer, pemerintah daerah, dan lembaga keagamaan.

Bakor Pakem sangat berpengaruh dalam merekomendasi pemerintah dalam melarang komunitas keagamaan, menurut Human Rights Watch. Bakor Pakem merekomendasikan pelarangan Muslim Ahmadiyah pada April 2008, dan dua bulan kemudian minoritas agama itu dilarang. Di Dharmasraya, Sumatra Barat, Bakor Pakem mengawali tuntutan terhadap Alexander An, admin grup Facebook “Ateis Minang.” Dia akhirnya dibebaskan dari tuduhan penodaan agama Islam tapi, pada Juni 2012, pengadilan negeri Sijunjung memvonisnya 2,5 tahun penjara dan menjatuhkan denda Rp 100 juta atas pasal perbuatan menganggu ketertiban umum lewat Facebook.

Bakor Pakem juga memainkan peran dalam memprakarsai penuntutan terhadap Andreas Guntur, tokoh gerakan spiritual Amanat Keagungan Ilahi, yang divonis empat tahun penjara pada Maret 2012 oleh pengadilan negeri Klaten, Jawa Tengah, karena pasal penodaan agama Islam.

Indonesia terikat dengan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pasal 18 menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran. … Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”

“Pemerintah Indonesia membiarkan Bakor Pakem melakukan kriminalisasi kaum minoritas dengan pasal penodaan agama,” kata Pearson. “Pemerintah harus mengakhiri praktik lembaga yang mendukung diskriminasi terhadap keyakinan dan keberagamaan untuk punya tempat dalam sistem peradilan Indonesia.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country