(New York) - Berbagai peraturan yang telah direvisi oleh pemerintah Tiongkok di wilayah Xinjiang memperketat kontrol terhadap praktik-praktik keagamaan etnis Uighur yang mayoritas beragama Islam, demikian ungkap Human Rights Watch hari ini.
Revisi tersebut, yang berlaku efektif per 1 Februari 2024, berfokus pada “Sinifikasi” agama, sebuah prioritas pemerintah di bawah Presiden Xi Jinping sejak tahun 2016 untuk membuat tempat ibadah dan pengajaran agama lebih mencerminkan budaya Han Tiongkok dan ideologi Partai Komunis Tiongkok. Banyak dari revisi tahun 2024 ini yang tampaknya mengambil kerangka peraturan Xinjiang sejalan dengan pembatasan dalam undang-undang dan peraturan nasional yang diadopsi sejak tahun 2014.
“Beberapa peraturan baru pemerintah Tiongkok mengenai agama di Xinjiang adalah upaya terbaru untuk menekan budaya dan ideologi Uighur,” kata Maya Wang, Penjabat Direktur Tiongkok di Human Rights Watch. “Revisi tersebut bertujuan untuk secara paksa mengubah praktik keagamaan agar konsisten dengan ideologi Partai Komunis Tiongkok: jika melakukan hal sebaliknya ada risiko dipenjara.”
Pihak berwenang Tiongkok terakhir kali mengubah peraturan agama ini pada tahun 2014, menggantikan peraturan yang diumumkan dua dekade silam. Berbagai peraturan dan revisinya mencerminkan perubahan prioritas pemerintah Tiongkok di Xinjiang, tempat tinggal warga Uighur yang menjadi sasaran penindasan yang kejam.
Berdasarkan peraturan tahun 2024, agama harus “mempraktikkan nilai-nilai inti sosialisme” dan “mengikuti arah Sinifikasi agama” (pasal 5). Baik tempat ibadah yang sedang “dibangun, direnovasi, diperluas, atau dibangun kembali”, seharusnya “mencerminkan karakteristik dan gaya Tiongkok dalam hal arsitektur, patung, lukisan, dekorasi, dan lain-lain.” (pasal 26). Revisi tersebut juga memberlakukan persyaratan baru, lembaga keagamaan dapat mengajukan permohonan untuk mendirikan tempat ibadah (pasal 20), serta pembatasan yang lebih ketat dan proses persetujuan yang rumit untuk membangun, memperluas, mengubah dan memindahkan tempat ibadah (pasal 22 dan 25).
Namun, “Sinifikasi” agama lebih dari sekadar mengendalikan penampilan, jumlah, lokasi, dan ukuran tempat ibadah, kata Human Rights Watch. Tempat-tempat ibadah juga harus “menggali secara mendalam isi ajaran dan aturan [agama] yang kondusif bagi keharmonisan sosial … dan menafsirkannya sejalan dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan Tiongkok kontemporer, serta sejalan dengan budaya tradisional Tiongkok yang sangat baik” (pasal 11).
Kalimat tersebut diambil secara verbatim (kata demi kata) dari instruksi Xi pada tahun 2016 tentang Sinifikasi agama. Penggunaan istilah seperti “keharmonisan sosial,” dan khususnya “budaya tradisional Tiongkok yang unggul,” menunjukkan persyaratan ideologis untuk tempat ibadah. Tempat-tempat ibadah secara efektif harus menjadi tempat pelatihan yang mempromosikan nilai-nilai Partai Komunis Tiongkok kepada masyarakat.
Pada tahun 2014, pihak berwenang telah merevisi peraturan keagamaan di Xinjiang untuk memperluas kontrol negara atas kehidupan beragama warga Uighur secara daring, dan untuk membatasi apa yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai “pakaian ekstremis.” Sebagian besar “Kampanye Gebuk Keras Melawan Terorisme Kekerasan” – yang dimulai pada tahun yang sama dan meningkat pada tahun 2017, yang berpuncak pada kejahatan terhadap kemanusiaan – menghukum orang karena aktivitas daring mereka, seperti memiliki salinan digital bacaan Al-Qur'an, dan karena penampilan mereka, misalnya pria dengan janggut lebat.
Revisi tersebut juga memuat satu bab baru yang berdiri sendiri guna memastikan kontrol pihak berwenang atas pendidikan agama. Bab ini melarang pendidikan agama selain dari kelompok agama yang disetujui pemerintah (pasal 13). Sekolah keagamaan perlu “menjalankan sekolah yang berkarakter Tionghoa” (pasal 14), yang mencakup “menumbuhkan bakat keagamaan yang patriotik” dan menafsirkan kitab suci “dengan cara yang benar” (pasal 15). Bab ini juga memberlakukan persyaratan baru bahwa lembaga-lembaga keagamaan harus melaporkan dan meminta izin dari pihak berwenang untuk menyelenggarakan pelatihan keagamaan (pasal 18) serta untuk menyelenggarakan “kegiatan keagamaan berskala besar” (pasal 42).
Revisi tahun 2024 ini memberdayakan kader akar rumput di Partai Komunis untuk memantau masyarakat. Para kader yang tergabung dalam “komite desa” dan “komite lingkungan” harus melapor kepada otoritas keagamaan jika mereka menemukan “organisasi keagamaan ilegal, pengkhotbah ilegal, kegiatan keagamaan ilegal, atau penggunaan agama untuk mencampuri urusan masyarakat akar rumput” (pasal 7). Kekuasaan pengawasan pada tingkat rendah ini menjadi ciri penindasan khususnya di Xinjiang dan Tibet, sesuai dengan gaya pemerintahan dan kontrol sosial “mobilisasi massa” Xi, sebuah gaya yang biasanya disebut oleh media pemerintah Tiongkok terinspirasi oleh “pengalaman Fengqiao” Mao Zedong.
Sejak tahun 2017, pemerintah Tiongkok telah melakukan pelanggaran meluas dan sistematis terhadap warga Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang. Ini termasuk penahanan massal secara sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan paksa, pengawasan massal, penganiayaan budaya dan agama, pemisahan keluarga, kerja paksa, kekerasan seksual, dan pelanggaran hak-hak reproduksi. Human Rights Watch pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan,” sementara laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2022 juga menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini “mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Meskipun beberapa kamp “pendidikan ulang politik” di Xinjiang tampaknya telah ditutup, belum ada pembebasan massal dari penjara, tempat setengah juta umat Muslim Turki ditahan sejak dimulainya tindakan keras tersebut. Warga Uighur di luar negeri masih jarang atau bahkan tidak berkontak sama sekali dengan anggota keluarga mereka di dalam negeri. Beijing tidak menunjukkan banyak perubahan dalam arah kebijakannya di Xinjiang, yang secara paksa berupaya mengasimilasi warga Uighur.
Negara-negara yang peduli seharusnya menggunakan setiap kesempatan untuk mengangkat pelanggaran hak asasi manusia yang Beijing lakukan di Xinjiang dan mencari jalan menuju akuntabilitas, seperti membuka kasus pidana dalam negeri berdasarkan prinsip “yurisdiksi universal.” Mereka harus memobilisasi dukungan untuk penyelidikan formal PBB terhadap pelanggaran di Xinjiang.
“Peraturan-peraturan keagamaan yang baru ini merupakan bagian dari alat penindasan pemerintah Tiongkok untuk merampas hak-hak dan kebebasan dasar warga Uighur,” kata Maya Wang. “Negara-negara yang peduli harus mengambil tindakan yang kuat dan terkoordinasi untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin Tiongkok atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius di Xinjiang.”