(Taipei) – Pemerintah Tiongkok semakin memberlakukan semakin sewenang-wenang dalam membatasi hak-hak orang yang dilindungi secara internasional untuk meninggalkan negara itu, kata Human Rights Watch hari ini.
Pihak berwenang Tiongkok mewajibkan warga negara dari daerah yang secara umum mereka anggap berisiko tinggi terhadap penipuan daring atau emigrasi "melawan hukum" untuk menyerahkan dokumen tambahan dan memperoleh persetujuan dari beberapa kantor pemerintah selama proses pengajuan paspor. Mereka yang tidak memenuhi persyaratan rumit ini sering ditolak untuk mendapatkan paspor. Pemerintah telah lama membatasi akses masyarakat untuk mendapatkan paspor di daerah yang sebagian besar dihuni warga Tibet dan Uighur.
"Meskipun banyak warga negara Tiongkok yang menikmati perjalanan internasional, hak untuk meninggalkan Tiongkok tampaknya dibatasi bagi banyak kategori warga di seluruh negeri," kata Maya Wang, Direktur Muda Urusan Tiongkok di Human Rights Watch. "Pihak berwenang melampaui batasan yang sudah diberlakukan terhadap warga Tibet dan Uighur untuk membatasi perjalanan orang-orang di seluruh Tiongkok dengan kedok kampanye anti-kejahatan."
Semua warga negara Tiongkok dapat mengajukan permohonan “paspor umum” (因私普通护照) dengan kartu identitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah badan kepolisian yang bertanggung jawab untuk menerbitkan paspor semakin membuat pemohon dari berbagai daerah menjalani proses yang lebih rumit. Kesimpulan ini didasarkan pada pengaduan resmi yang diajukan oleh mereka yang terdampak serta unggahan media sosial oleh penduduk, agen perjalanan, dan agen tenaga kerja luar negeri di daerah-daerah tersebut.
Di daerah-daerah ini, orang harus menyerahkan dokumen yang lebih banyak, yang mungkin mencakup penyediaan dokumen yang menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki catatan kriminal, bukti kontribusi jaminan sosial, laporan bank yang menunjukkan pendapatan dan tabungan rutin, serta kontrak kerja. Mereka mungkin juga diwajibkan untuk mendapatkan persetujuan dari beberapa kantor polisi dan Partai Komunis Tiongkok. Meskipun banyak yang berhasil setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan bepergian bolak-balik ke sejumlah instansi itu untuk memenuhi deretan persyaratan ini, beberapa orang dilaporkan menyerah begitu saja.
Daerah-daerah ini juga sering memberlakukan pembatasan tambahan untuk bepergian, seperti mengharuskan pelamar untuk mengajukan permohonan di kota asal mereka tempat dokumen pendaftaran rumah tangga (“hukou”) mereka tercatat. Pembatasan ini tampaknya berlaku bahkan bertahun-tahun setelah orang-orang tersebut memindahkan hukou mereka ke provinsi lain.
Tidak ada daftar daerah terdampak yang dipublikasikan. Berbagai kesulitan telah dilaporkan oleh orang-orang dengan hukous di Provinsi Fujian, seperti Kotamadya Fuqing, Longyan, Anxi; Distrik Sujiatun di Kota Shenyang dan Kota Tieling di Provinsi Liaoning; Kotamadya Donghai di Provinsi Jiangsu; Kotamadya Shangcai dan Yiyang di Provinsi Henan; dan Kota Changde serta Shaoyang di Provinsi Hunan. Human Rights Watch berhasil mengonfirmasi laporan pembatasan tersebut dengan sejumlah orang dari Provinsi Fujian.
Dalam beberapa kasus pihak berwenang telah memberi tahu para pemohon bahwa daerah asal mereka "sensitif" karena "prevalensi [penduduk] kota tertentu yang keluar dari negara itu untuk terlibat dalam penipuan daring dan kejahatan transnasional serta perjudian." Beberapa daerah ini muncul dalam daftar "lokasi incaran" dalam upaya gabungan departemen untuk menindak penipuan daring yang dibentuk pada tahun 2015, meskipun daftar ini belum diperbarui. Penduduk di daerah lain tampaknya dihukum semata-mata karena ada penduduk lain beremigrasi ke beberapa negara lain "secara ilegal." Pemerintah Tiongkok belum menanggapi pertanyaan yang dikirim Human Rights Watch melalui email tentang pembatasan ini.
Persyaratan paspor yang memakan waktu ini mengingatkan kita pada persyaratan yang berlaku sebelum tahun 2002, ketika para pemohon paspor biasa diwajibkan untuk mengumpulkan sejumlah besar materi dokumenter untuk mendukung permohonan mereka dan menjalani prosedur berlarut-larut yang mencakup “pemeriksaan politik”.
Pada akhir tahun 2002, Biro Administrasi Masuk dan Keluar di Kementerian Keamanan Publik, badan yang bertanggung jawab untuk menerbitkan paspor, memprakarsai sistem "sesuai permintaan" yang baru guna menyederhanakan proses pengajuan paspor. Sistem ini kemudian diperluas ke sebagian besar wilayah di Tiongkok, meskipun Xinjiang, Tibet, dan 13 prefektur otonomi Tibet atau Hui di Provinsi Qinghai, Gansu, Sichuan, dan Yunnan tidak pernah diberi izin untuk menggunakan sistem pengajuan paspor jalur cepat.
Para pemohon dari daerah-daerah ini diharuskan untuk menyediakan dokumen yang jauh lebih lengkap untuk mendukung pengajuan paspor mereka dibandingkan sejumlah wilayah lain di Tiongkok dan mereka menghadapi penundaan sangat lama, sering kali berlangsung beberapa tahun, sebelum paspor diterbitkan, atau terus-menerus ditolak paspornya tanpa alasan yang sah.
Selain itu, pada tahun 2016, otoritas Xinjiang juga menyita semua paspor yang telah diterbitkan sebelumnya, sebagai bagian dari tindakan kejam di wilayah tersebut.
Pihak berwenang juga semakin mewajibkan para pegawai pemerintah untuk menyerahkan paspor mereka untuk "disimpan dengan aman", yang memerlukan persetujuan resmi agar paspor-paspor itu dikembalikan. Meskipun praktik semacam itu telah lama menjadi hal umum di kalangan pejabat tinggi, berbagai praktik tersebut kini telah meluas hingga mencakup pegawai tingkat bawah, termasuk mereka yang bekerja di sekolah, universitas, dan rumah sakit. Pihak berwenang mengklaim bahwa berbagai tindakan ini dilakukan untuk mencegah korupsi dan menghindari kebocoran rahasia negara.
Undang-Undang Administrasi Keluar dan Masuk Tiongkok dalam pasal 12(5) secara umum menyatakan bahwa warga negara yang “dapat membahayakan keamanan atau kepentingan nasional” bisa dilarang meninggalkan negara tersebut. Begitu juga dengan pasal 13 dari UU Paspor yang memungkinkan pihak berwenang untuk menolak penerbitan paspor bagi mereka yang kepergiannya secara umum dianggap “membahayakan keamanan nasional atau menyebabkan kerugian signifikan bagi kepentingan nasional. Pasal 36 dari UU baru tentang Pemberantasan Penipuan Jaringan Telekomunikasi mengarahkan polisi untuk melarang warga meninggalkan negara tersebut jika mereka “amat dicurigai bahwa perjalanan tersebut terkait dengan penipuan telekomunikasi.”
Hak atas kebebasan bergerak diakui berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang dianggap mencerminkan hukum internasional adat, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Tiongkok menjadi salah satu penandatangannya. Berdasarkan pasal 12 ICCPR, “setiap orang bebas meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri.”
Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Komentar Umumnya tentang Hak atas Kebebasan Bergerak, menyatakan bahwa “Karena perjalanan internasional biasanya memerlukan dokumen-dokumen yang selayaknya, maka diperlukan dokumen perjalanan.” Pemerintah hanya boleh membatasi kebebasan bergerak jika “diatur oleh undang-undang” dan jika diperlukan “untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan orang lain.”
Pembatasan tersebut sama sekali tidak boleh diskriminatif, diperlukan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang sah, proporsional dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai, dan harus merupakan tindakan yang paling tidak membatasi guna mencapai tujuan tersebut. Pembatasan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang sah harus secara spesifik menjelaskan bagaimana, misalnya, keamanan nasional akan terancam jika orang-orang yang dilarang bepergian tapi diizinkan pergi.
Undang-undang Tiongkok yang memungkinkan pihak berwenang untuk secara luas membatasi hak orang untuk meninggalkan negara tersebut dengan alasan keamanan nasional yang tidak jelas tidak memenuhi standar ini, kata Human Rights Watch.
“Semakin ketatnya pembatasan hak untuk memperoleh paspor telah membangkitkan kecemasan bahwa pemerintahan Xi Jinping sedang mengembalikan praktik-praktik di mana hanya sedikit orang yang bisa bepergian ke luar negeri,” kata Maya Wang. “Pihak berwenang Tiongkok seharusnya menghentikan berbagai praktik yang sewenang-wenang dan diskriminatif ini sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk meninggalkan negara ini.”