(Bangkok) — Sebanyak 48 pria Uighur yang telah ditahan selama lebih dari satu dekade di Thailand menghadapi risiko penghilangan paksa, hukum penjara jangka panjang, penyiksaan, dan penganiayaan berat lainnya jika Thailand secara paksa mengirim mereka ke Tiongkok, kata Human Rights Watch hari ini. Orang-orang Uighur tampaknya berada dalam risiko serius setelah pejabat imigrasi Thailand membuat langkah-langkah baru belakangan ini, termasuk menyuruh para tahanan agar melengkapi dokumen baru dan memotret mereka, langkah-langkah yang diyakini kelompok tersebut sebagai persiapan untuk pemindahan paksa mereka.
“Pemerintah Thailand secara berturut-turut telah menahan orang-orang Uighur dalam penahanan yang tidak manusiawi , sementara mendapat tekanan dari pemerintah Tiongkok agar mengirim mereka ke Tiongkok,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch. “Pemerintahan Perdana Menteri Thailand saat ini, Paetongtarn Shinawatra, dapat mengakhiri siklus penindasan ini dengan segera membebaskan orang-orang Uighur yang ditahan dan mengizinkan mereka untuk bepergian ke negara ketiga yang aman.”
Pada bulan Maret 2014, kepolisian Thailand di Provinsi Songkhla, dekat perbatasan Malaysia, menangkap sekitar 220 laki-laki, perempuan, dan anak-anak Uighur, menuduh mereka melakukan pelanggaran imigrasi, dan segera memindahkan mereka ke fasilitas penahanan imigrasi di Bangkok. Dalam beberapa insiden terpisah kurang lebih pada periode yang sama, pihak berwenang menangkap puluhan orang Uighur lainnya dan menempatkan mereka di fasilitas penahanan imigrasi di seluruh negeri. Pada bulan Juli 2015, sekitar 170 perempuan dan anak-anak Uighur yang ditahan di Songkhla dibebaskan ke Turki. Namun, seminggu kemudian, pihak berwenang Thailand secara paksa memindahkan lebih dari 100 laki-laki Uighur ke pihak berwenang Tiongkok, yang menerbangkan mereka ke Tiongkok.
Ada 48 warga Uighur yang masih ditahan telah menjalani penahanan selama lebih dari 10 tahun, dalam kondisi kumuh dengan kondisi kebersihan yang buruk, dan perawatan medis yang tidak memadai, di bawah ketakutan tiada henti bahwa mereka mungkin juga akan dipindahkan ke tahanan Tiongkok. Lima warga Uighur yang ditahan sejak 2014 telah meninggal dalam penahanan, termasuk seorang bayi yang baru lahir dan anak berusia tiga tahun.
Dalam surat yang diperoleh media dari 48 tahanan tertanggal 10 Januari 2025, kelompok Uighur itu mengatakan: “Kami bisa saja dipenjara, dan bahkan mungkin kehilangan nyawa. Kami memohon dengan sangat kepada semua organisasi internasional dan negara-negara yang peduli dengan hak asasi manusia agar segera turun tangan menyelamatkan kami dari nasib tragis ini sebelum terlambat.” Saat ini mereka sedang melakukan aksi mogok makan.
Pemerintah Thailand berkewajiban untuk menghormati prinsip hukum internasional nonrefoulement, yang melarang negara-negara di dunia memulangkan siapa pun ke tempat di mana mereka akan menghadapi risiko nyata persekusi, penyiksaan atau perlakuan buruk serius lainnya, ancaman terhadap nyawa, atau pelanggaran hak asasi manusia serius lain yang sebanding. Pemulangan ini dilarang oleh Konvensi Antipenyiksaan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang Thailand tandatangani serta hukum kebiasaan internasional, dan larangan tersebut dimasukkan dalam Undang-Undang Thailand tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penindasan Penyiksaan dan Penghilangan Paksa.
Orang-orang Uighur adalah Muslim berbahasa Turki, yang sebagian besar tinggal di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di barat laut Tiongkok. Pemerintah Tiongkok telah lama memusuhi ekspresi identitas Uighur. Selama 10 tahun terakhir, penindasan Tiongkok terhadap orang-orang Uighur telah meningkat secara signifikan karena pihak berwenang telah mengintensifkan kampanye pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan sistematis terhadap mereka, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pihak berwenang telah menjadikan penduduk tersebut sebagai sasaran penahanan sewenang-wenang, hukuman penjara yang tidak adil, pengawasan massal, kerja paksa, dan pembatasan pergerakan yang ketat. Diperkirakan setengah juta orang Uighur masih dipenjara sebagai bagian dari penumpasan yang sedang berlangsung, di mana pihak berwenang secara rutin mencampuradukkan perilaku damai sehari-hari, seperti berdoa atau menghubungi kerabat di luar negeri, dengan terorisme dan ekstremisme.
Warga Uighur yang dianggap telah meninggalkan Tiongkok secara ilegal, jika dipulangkan, akan dipandang dengan penuh kecurigaan dan menjadi sasaran penahanan, interogasi, penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat lainnya.
Dalam laporan tahun 2022, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mendokumentasikan pelanggaran yang semakin menjadi-jadi dan menyimpulkan bahwa tindakan Tiongkok dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Thailand bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi PBB untuk Pengungsi 1951 dan tidak memiliki mekanisme nasional yang efektif untuk menilai klaim suaka. Otoritas imigrasi Thailand telah berulang kali menolak untuk mengizinkan badan pengungsi PBB (UNHCR) mengakses para pria tersebut, sehingga mereka tidak bisa menggunakan hak mereka untuk mendapatkan pengakuan atas status pengungsi mereka. Penahanan berkepanjangan yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap warga Uighur juga melanggar hukum hak asasi manusia internasional yang melarang penahanan sewenang-wenang, kata Human Rights Watch.
“Pemerintah Thailand seharusnya membantu orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan, bukan memenjarakan mereka, dan tentu saja semestinya tidak melanggar hukum internasional dan mengirim mereka ke tempat berbahaya,” kata Elaine Pearson. “Pihak berwenang Thailand seharusnya segera mengizinkan UNHCR untuk memeriksa 48 warga Uighur dan memastikan perjalanan mereka selanjutnya ke negara ketiga yang aman.”