Pada tanggal 19-20 Desember, Thailand menjadi tuan rumah bagi para perwakilan regional dalam pertemuan terbaru mereka yang membahas krisis Myanmar. Negara-negara tetangga akan terlebih dulu berkumpul untuk membahas keamanan perbatasan dengan menteri luar negeri junta Myanmar, Than Swe, yang disusul dengan pertemuan menteri luar negeri dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Tidak ada laporan mengenai perwakilan pihak oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang menerima undangan, meskipun ASEAN menyatakan komitmennya untuk berdialog secara konstruktif di antara semua pihak guna mencapai “solusi damai dan berkelanjutan yang dimiliki dan dipimpin Myanmar.”
Keterlibatan resmi yang luas dengan perwakilan junta tingkat tinggi merupakan respons tak masuk akal terhadap situasi hak asasi manusia yang kian memburuk di Myanmar. Di tengah semakin banyaknya wilayah yang jatuh ke tangan kelompok-kelompok oposisi bersenjata, militer telah menggencarkan taktik "bumi hangus" terhadap warga sipil. Operasi udara dan artileri yang diperluas oleh junta militer telah mengakibatkan pemboman terhadap sejumlah sekolah, barak pengungsian, serta berbagai fasilitas kesehatan. Warga sipil menggambarkan bagaimana mereka hidup dalam ketakutan akan penangkapan, penyiksaan, dan serangan militer.
Demi terwujudnya solusi yang benar-benar “dimiliki dan dipimpin oleh Myanmar”, pemerintah regional semestinya berfokus pada dialog dan penciptaan perdamaian pada suara rakyat Myanmar, bukan pada junta yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung.
ASEAN terus berpegang teguh pada Lima Poin Konsensus (5PC) yang gagal, meskipun mengakui "kekhawatirannya atas kemajuan yang tidak memadai dalam penerapan 5PC" pada pertemuan KTT bulan Oktober. Kesepakatan tersebut – yang ditandatangani pada April 2021, kurang dari tiga bulan setelah kudeta militer Myanmar, dan langsung diabaikan oleh junta – akan dibahas pada pertemuan menteri luar negeri pada 20 Desember.
Dukungan ASEAN terhadap perundingan Bangkok, dengan persetujuan Indonesia, Laos, dan Malaysia sebagai ketua terdahulu, saat ini, dan yang akan datang, atau “troika,” menandakan upaya yang salah arah untuk menyelamatkan strategi blok yang lemah dan stagnan di Myanmar.
Ketika sebelumnya Thailand menjadi tuan rumah bagi para menteri luar negeri junta dalam dialog pada bulan Desember 2022 dan Juni 2023, Indonesia, Malaysia, dan Singapura menolak untuk hadir, dan mengkritik pembicaraan tersebut karena dianggap melemahkan respons ASEAN, yang mencakup larangan perwakilan “politik” junta pada pertemuan tingkat tinggi.
Penolakan undangan ini menandai adanya garis patahan yang muncul dalam respons blok ASEAN terhadap Myanmar antara negara-negara anggota yang lebih vokal mendesak tindakan lebih tegas dan negara-negara anggota yang enggan mengisolasi junta – terutama adalah Thailand. Indonesia, yang saat itu menjabat ketua ASEAN, mengatakan tentang ketidakhadirannya pada Juni 2023 bahwa blok tersebut telah mencapai “tidak adanya konsensus untuk terlibat kembali atau mengembangkan pendekatan baru,” sementara Singapura menyebut keterlibatan dengan junta “terlalu dini … bahkan di tingkat menteri luar negeri.”
Lalu mengapa Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang akan menjabat sebagai ketua ASEAN tahun 2025, mengindikasikan keterlibatan baru dengan junta pada konferensi pers pada tanggal 16 Desember bersama Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra? “Kami mengambil langkah-langkah melalui dialog informal di berbagai tingkat untuk memastikan bahwa Myanmar berpartisipasi dan mengembalikan negara tersebut ke ASEAN sepenuhnya,” kata Anwar.
Menyebut keterlibatan tersebut sebagai sesuatu yang “informal” tidak membatasi potensi berbahaya untuk melegitimasi junta atau melemahkan kerja para aktivis demokrasi Myanmar.
Perombakan dalam pendekatan ASEAN terhadap Myanmar jelas dibutuhkan, tapi kecenderungan untuk mendukung junta adalah arah yang keliru, yang akan semakin melemahkan kredibilitas blok tersebut dan memperluas defisit kepercayaan di kalangan masyarakat Myanmar.
Untuk mengatasi krisis Myanmar, negara-negara anggota ASEAN, Tiongkok, India, serta negara-negara lain yang ikut serta dalam dialog semestinya berupaya meningkatkan tekanan pada militer agar mengakhiri pelanggaran yang dilakukannya, bukan justru menampung pejabat junta yang telah diberi sanksi oleh Uni Eropa karena "melemahkan demokrasi dan supremasi hukum di Myanmar." Pengaruh yang sesungguhnya akan membutuhkan pengembangan konsekuensi yang nyata dan terikat waktu atas pelanggaran junta terhadap Lima Poin Konsensus serta hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional, melalui konsultasi dengan pemerintah negara-negara lain, seperti sejumlah negara yang memiliki rezim sanksi.
Thailand juga belum menunjukkan strategi yang konsisten dan kohesif dalam mengurai konflik negara tetangganya, meskipun mengklaim sebagai penengah utama dalam konflik tersebut, bahkan melalui pergolakan politiknya sendiri.
Daripada mencari jalan buntu diplomatik, para pemimpin Thailand seharusnya mengerahkan energi mereka pada bidang-bidang yang jelas-jelas dapat memberi manfaat bagi rakyat Myanmar: mengakhiri eksploitasi, pemerasan, dan pemulangan paksa para pencari suaka Myanmar; memerangi semakin menjadi-jadinya xenofobia dan sentimen anti-Myanmar baik secara daring maupun luring; menyalurkan bantuan lintas batas melalui kelompok-kelompok berbasis masyarakat; memblokir semua penjualan senjata ke Myanmar sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB tahun 2021; dan menginstruksikan jajaran perbankan di Thailand agar menghentikan transaksi keuangan yang melibatkan entitas junta yang dikenai sanksi.
Sebagai ketua pada tahun 2025, Malaysia seharusnya mengubah pendekatan ASEAN sesuai dengan retorika yang lebih keras yang dianut sebelumnya, mendukung tindakan hukuman dan diplomatik dari koalisi pemerintah yang bersangkutan. Malaysia seyogianya menyambut baik resolusi tindak lanjut yang memberlakukan embargo senjata global oleh Dewan Keamanan PBB, yang telah menegaskan "dukungan penuhnya terhadap peran sentral ASEAN dalam memfasilitasi solusi damai." Dan Malaysia semestinya terlibat, secara formal dan konsisten, dengan masyarakat sipil Myanmar, masyarakat terdampak, serta tokoh-tokoh oposisi.
Baru enam bulan lalu, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyuarakan dukungannya untuk "jalur yang lebih kreatif dan beragam" terkait Myanmar. "Kegagalan untuk bertindak," katanya, "ketika ada cukup alasan untuk meyakini bahwa satu negara anggota melanggar semangat Piagam ASEAN, merupakan pengabaian kewajiban moral kita."