"Tabungan," kata aktivis Haris Azhar, saat menggambarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada Maret lalu yang mencabut tiga pasal penyebaran kabar bohong dan pencemaran nama dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1946.
Majelis hakim konstitusi memakai bahasa hak asasi manusia, katanya, dan mereka menyimpulkan definisi yang tak jelas mengenai “berita bohong” dalam KUHP tersebut dapat digunakan untuk bungkam kritik terhadap pemerintah.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, pembela hak asasi manusia lainnya, bersama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, mengajukan uji materil terhadap pasal-pasal tersebut setelah Haris dan Fatia menghadapi tuntutan pidana penodaan nama yang diajukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, seorang menteri koordinator di kabinet Presiden Joko Widodo. Dalam gugatannya Luhut beralasan bahwa kedua aktivis itu mencemarkan namanya dalam diskusi YouTube milik Haris Azhar pada Agustus 2022. Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskan kedua aktivis itu pada Januari 2024.
Pejabat, penguasa dan pengusaha di Indonesia sering gunakan pasal-pasal tersebut untuk memperkarakan para aktivis dan kritisi lainnya. Menurut Safenet, sebuah organisasi kebebasan berpendapat, antara tahun 2020 dan 2023, terdapat 32 kasus pidana penodaan nama di Indonesia. Setelah putusan mahkamah, beberapa kasus langsung dibatalkan.
Namun Indonesia memiliki lusinan pasal pidana pencemaran nama yang dapat melemahkan hak buat berekspresi, termasuk undang-undang yang baru-baru ini disahkan, termasuk KUHP tahun 2022 dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2023.
Haris menunjukkan bahwa UU ITE “bahkan lebih brutal” dibandingkan KUHP 1946, yang sebagian besar berasal dari KUHP era Hindia Belanda, karena undang-undang tersebut mengizinkan pemerintah untuk hapus konten media digital tanpa persetujuan pengadilan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan KUHP tahun 2022, yang dijadwalkan mulai berlaku dan menggantikan KUHP tahun 1946 pada Januari 2026, mengancam kebebasan dasar.
KUHP baru ini membuat penyebaran berita yang seharusnya diketahui atau dicurigai oleh seseorang bersifat “tidak pasti”, “dibesar-besarkan”, atau “tidak lengkap”, dan dapat menimbulkan keresahan, menjadi tindak pidana yang dapat dihukum hingga dua tahun penjara.
Pasal-pasal lain membatasi siapa pun, selain petugas kesehatan, untuk menyebarkan informasi tentang kontrasepsi kepada anak-anak, atau memberikan informasi kepada siapa pun tentang cara melakukan aborsi.
Pemerintah seharusnya revisi KUHP baru ini untuk mencerminkan keputusan Mahkamah Konstitusi. “Kita perlu gugat undang-undang baru ini begitu dijalankan,” kata Haris.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah tabungan buat mendasari berbagai uji materiil di masa depan di Indonesia untuk melawan aturan-aturan beracun lain yang merugikan hak kebebasan berpendapat.