Skip to main content

Aktivis Indonesia Diadili atas Tindak Pidana Pencemaran

Cabut Tuntutan terhadap Pembela HAM yang Mengkritik Peran Militer di Papua

Fatia Maulidiyanti dari KontraS diwawancarai di saluran YouTube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021, di mana mereka membahas sejumlah laporan terbaru tentang pelanggaran hak asasi manusia di dua provinsi di Papua. © 2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch

(Jakarta) – Pihak berwenang Indonesia seharusnya membatalkan tuntutan pidana pencemaran terhadap dua pembela hak asasi manusia terkemuka di Jakarta, kata Human Rights Watch hari ini. Pada 3 April 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memulai persidangan dengan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti selaku terdakwa berdasarkan laporan Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi dalam Kabinet Presiden Joko Widodo, pada Agustus 2021.

Laporan itu berkaitan dengan diskusi kedua aktivis tersebut di YouTube tentang sebuah laporan yang berisi dugaan pemerintah Indonesia telah melakukan “operasi militer ilegal” di Dataran Tinggi Tengah Papua untuk mengakses simpanan emas yang menguntungkan. Jaksa Penuntut Umum mendakwa keduanya dengan tuduhan pencemaran berdasarkan KUHP, fitnah berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan “penyebaran berita bohong” berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman penjara maksimal masing-masing 9 bulan, 4 tahun, dan 10 tahun.

“Menuntut aktivis hak asasi manusia karena mengomentari isu-isu penting hak asasi manusia memundurkan hak-hak sipil di Indonesia selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch. “Pihak berwenang seyogianya segera membatalkan tuntutan pidana terhadap Haris dan Fatia serta memberikan perhatian yang lebih besar untuk menangani sejumlah kebijakan pemerintah yang kejam di Papua.”

Haris (47 tahun) menjabat sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) antara 2010 hingga 2016. Haris juga adalah pendiri kelompok hak asasi manusia Lokataru yang berbasis di Jakarta dan mengoperasikan saluran YouTube miliknya sendiri di mana ia memiliki acara bincang-bincang reguler untuk 220.000 pelanggannya.

Fatia (30 tahun) telah menjadi koordinator KontraS sejak 2020. Ia juga merupakan wakil presiden Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) yang berbasis di Paris.

Pada 20 Agustus 2021, Fatia berpartisipasi dalam sebuah wawancara di saluran YouTube Haris yang membahas sebuah laporan yang baru dirilis, “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua”, tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia di dua provinsi Papua. Laporan tersebut diterbitkan bersama oleh 10 organisasi nonpemerintah, antara lain KontraS, #BersihkanIndonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, Lembaga Bantuan Hukum Papua, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.

Laporan setebal 17 halaman itu menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan “operasi militer ilegal” di Dataran Tinggi Tengah Papua, dan bahwa militer berusaha untuk menguasai simpanan emas yang sangat besar di sisi utara Grasberg, sebuah daerah yang dikenal sebagai “Blok Wabu” di Kabupaten Intan Jaya. Laporan tersebut menduga pengerahan militer dimaksudkan untuk mengurangi populasi orang asli di daerah tersebut, sehingga memudahkan untuk melanjutkan operasi penambangan. Sebuah survei tahun 1999 memperkirakan ada sekitar 117 juta ton bijih emas di Blok Wabu.

Saat hadir di unjuk wicara Haris itu, Fatia membahas keterlibatan Luhut Pandjaitan dalam mendapatkan akses konsesi tambang bagi perusahaan yang beroperasi di Intan Jaya. Haris sendiri telah mengunjungi Intan Jaya untuk menyelidiki konsesi pada tahun 2020. Video Haris yang berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada!! serta laporan organisasi nonpemerintah juga merujuk dugaan hubungan antara mantan jenderal di Badan Intelijen Negara (BIN) dan sejumlah perusahaan yang beroperasi di Intan Jaya.

Pada 26 Agustus 2021, Luhut mengirimkan somasi kepada kedua aktivis tersebut, dan menyangkal bahwa dia memiliki peran yang tidak pantas dalam sejumlah perusahaan yang beroperasi di Dataran Tinggi Tengah. Dia menuntut permintaan maaf dari kedua aktivis tersebut dan ganti rugi sebesar Rp100 miliar. Pada 22 September 2021, Pandjaitan  membuat laporan dugaan tindak pidana pencemaran terhadap kedua aktivis tersebut ke Polda Metro Jaya.

Human Rights Watch telah berulang kali mengatakan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya mencabut ketentuan pidana pencemaran dari berbagai undang-undang, termasuk UU ITE dan juga KUHP. Laporan Human Rights Watch 2010 tentang Indonesia, menemukan bahwa aturan yang mengizinkan orang-orang berkuasa, termasuk pejabat publik, untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap para aktivis, jurnalis, dan pihak lain yang mengkritik mereka melanggar hak atas kebebasan berekspresi. Human Rights Watch menganggap pencemaran nama dalam ranah hukum perdata sudah cukup untuk tujuan melindungi reputasi orang, meskipun hal itu juga bisa disalahgunakan.

Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan ahli independen yang memantau kepatuhan terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, menyatakan dalam Komentar Umum tentang kebebasan berekspresi bahwa “pemenjaraan tidak pernah menjadi hukuman yang pantas” untuk pencemaran. Selain itu, “semua tokoh publik …adalah subjek yang sah untuk dikritik.”

Namun, alih-alih mereformasi undang-undang untuk menghapus ketentuan pidana pencemaran, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan KUHP baru pada 6 Desember 2022, yang berisi ketentuan yang secara serius melanggar hukum dan standar hak asasi manusia internasional. Beberapa pasal bermasalah dalam KUHP yang baru termasuk ketentuan pidana pencemaran yang melemahkan hak atas kebebasan berbicara.

“Pengawasan terhadap pengerahan pasukan keamanan oleh pemerintah Indonesia di Papua dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi setelahnya adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi yang berfungsi dengan baik,” kata Andreas. “Otoritas Indonesia seharusnya tidak menanggapi kritik seperti itu dengan kasus pidana pencemaran, yang merongrong kebebasan berekspresi bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic