Skip to main content
Para kepala negara berfoto bersama pada Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) – Australia, di Jakarta, 7 September 2023. © 2023 Willy Kurniawan/Pool Photo via AP

Pekan ini, di Melbourne, pemerintah Australia untuk kali kedua menjadi tuan rumah bagi para kepala negara yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Khusus Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) – Australia.

Enam tahun sudah berlalu sejak pertemuan terakhir di tanah Australia.

Meski banyak negara di kawasan ini mengalami pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut, penindasan dan kemunduran demokrasi juga semakin meningkat. Hak-hak masyarakat di seluruh kawasan ini diinjak-injak atau diabaikan. KTT ini merupakan sebuah kesempatan untuk mengangkat isu-isu tersebut, serta hak-hak masyarakat Asia Tenggara, ke permukaan.

Pada tahun 2018, Aung San Suu Kyi mewakili pemerintah Myanmar di KTT tersebut. Sejak saat itu, militer telah menggulingkan pemerintahan sipil dan menyeret negara ini ke dalam krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan yang semakin parah.

Militer telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan - Aung San Suu Kyi menjadi satu di antara puluhan ribu orang yang ditahan secara sewenang-wenang. Ia menjalani hukuman 27 tahun penjara atas berbagai tuduhan palsu.

Enam tahun yang lalu, Hun Sen adalah pemimpin Kamboja yang berswafoto di Pelabuhan Sydney dan dengan terang-terangan mengancam warga Kamboja yang berani memprotes bahwa ia akan “menghajar mereka”. Kini putranya, Hun Manet, menjadi pemimpin.

Seperti yang Human Rights Watch dokumentasikan, serangan fisik terhadap sejumlah anggota oposisi terus berlanjut. Pemimpin oposisi Kem Sokha sedang menjalani hukuman tahanan rumah selama 27 tahun penjara, dan partai oposisi utama dilarang berpartisipasi dalam pemilu palsu tahun 2023.

Presiden Joko Widodo sebelumnya hadir sebelumnya dan akan kembali berpartisipasi dalam KTT ini, namun masa jabatannya akan segera berakhir. Lembaga-lembaga demokrasi Indonesia yang dimaksudkan untuk mengawasi kekuasaan seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami kemunduran, dengan kembalinya politik dinasti.

Sosok yang kemungkinan menjadi penggantinya adalah Menteri Pertahanan saat ini, Prabowo Subianto - yang terlibat dalam pembantaian di Timor Timur pada tahun 1983, dan penculikan para aktivis pada tahun 1997-1998 di Jawa yang berujung pada pemecatannya dari dinas kemiliteran.

Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa ketika tidak ada pertanggungjawaban yang layak dari sebuah komisi kebenaran seperti yang terjadi di Timor-Leste, bahkan para pelanggar hak asasi manusia yang terkenal sekalipun bisa terus mempertahankan kekuasaan politik. Prabowo mendapat dukungan dari Jokowi, yang memasangkan putranya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden Prabowo.

Presiden Filipina saat itu Rodrigo Duterte melewatkan KTT sebelumnya. Sekarang Ferdinand Marcos jnr putra mendiang diktator Ferdinand Marcos. Putranya sangat ingin merehabilitasi nama keluarga dan dielu-elukan oleh para pemimpin Barat dari Washington hingga Canberra.

Meskipun pemerintah Australia mungkin merasa lega karena memiliki mitra pro-Barat yang tidak mudah berubah di Istana Malacanang, pembunuhan kilat terhadap para tersangka kasus narkoba masih sering terjadi karena kurangnya pertanggungjawaban atas kekerasan yang dilakukan polisi.

Pemerintah menolak untuk bekerja sama dengan penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas berbagai pembunuhan dalam “perang melawan narkoba”, dan pembunuhan terhadap sejumlah aktivis sayap kiri dan anggota serikat buruh terus berlanjut, dipicu oleh praktik pihak berwenang yang “memberi label merah”atau “red-tagging” pada mereka sebagai “komunis.”

Perdana Menteri Thailand saat itu, Jenderal Prayut Chan-ocha, yang merebut kekuasaan melalui kudeta militer tahun 2014, menghadiri KTT sebelumnya. Seperti di Myanmar, para jenderal Thailand berpandangan jauh ke depan untuk menopang dominasi berkelanjutan mereka atas proses politik melalui kerangka kerja konstitusional dan hukum yang memungkinkan militer menentukan siapa yang menjadi perdana menteri.

Jadi, ketika Partai Move Forward yang reformis dengan gemilang meraih suara terbanyak pada pemilu Mei 2023, kepentingan-kepentingan yang sudah mengakar punya cara untuk mencegah partai tersebut mengambil alih kekuasaan. Kini Thailand dipimpin oleh Srettha Thaivisin, mantan pengusaha dari partai Pheu Thai, sementara mantan perdana menteri yang diasingkan Thaksin Shinawatra kembali ke negaranya, dengan pembebasan bersyarat dan mengambil hati para politisi asal partai penguasa.

Pemimpin Malaysia yang hadir adalah Perdana Menteri Anwar Ibrahim, yang dengan gigih memenangkan pemilu terakhir setelah bertahun-tahun menghadapi tuduhan palsu terhadapnya. Ketika Anwar berjuang untuk mempertahankan koalisi partai-partai yang rapuh, banyak janjinya untuk melakukan reformasi tidak terpenuhi.

Vietnam dan Laos masih merupakan negara Partai Komunis yang bahkan tidak berpura-pura menyelenggarakan pemilu independen. Laos menjadi Ketua ASEAN tahun ini. Vietnam sedang mendapat perhatian dari ibu kota negara-negara Barat serta sejumlah perusahaan yang ingin “menghindari risiko” dari Tiongkok. Sementara itu, tindakan keras yang dilakukan pemerintah semakin intensif terhadap para aktivis, termasuk para pembela lingkungan hidup.

Kemunduran demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan ini seharusnya menjadi perhatian besar bagi pemerintah dan warga Australia. Pemerintah Australia sangat mengkhawatirkan pengaruh pemerintah Tiongkok yang semakin besar di kawasan ini. Di seluruh Asia Tenggara, perusahaan-perusahaan Tiongkok sebagai bagian dari infrastruktur pengawasan massal Tiongkok sedang membangun sistem kota "pintar" yang mengumpulkan data pribadi dan berbagai data lain dalam jumlah besar tanpa pengawasan.

Beijing secara aktif berusaha untuk mendapatkan dukungan suara dari pemerintah negara-negara di kawasan tersebut untuk menghindari pertanggungjawaban di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan di arena global.

Beijing juga mendesak pemerintah negara-negara Asia Tenggara untuk memulangkan para pembangkang dan etnis Uighur, dengan mengirimkan peringatan keras kepada warga negara Tiongkok bahwa meskipun mereka telah meninggalkan daratan, mereka tidak benar-benar aman.

Alih-alih mengambil langkah berani untuk membela demokrasi dan hak asasi manusia, Australia dan negara-negara demokratis lainnya justru kurang menunjukkan kemauan untuk meminta pertanggungjawaban para pelanggar hak asasi manusia jika para pelaku tersebut adalah sekutu strategis, mitra dagang dalam “menghindari risiko” atau dianggap membantu dalam membendung Tiongkok.

Pendekatan ini dianggap “pragmatis” namun melibatkan pemantauan secara pasif terhadap kemerosotan kondisi hak asasi manusia dan demokrasi di seluruh kawasan atau mengangkat masalah secara privat, di mana kecil kemungkinannya untuk berdampak.

Sementara itu, para aktivis masyarakat sipil, pengkritik pemerintah, dan jurnalis menghadapi intimidasi, ancaman, pelecehan, dan dalam beberapa kasus serangan fisik.

ASEAN terbukti sangat tidak memadai dalam mengatasi krisis hak asasi manusia di level regional – yang paling jelas terlihat dari respons mereka yang tidak berdaya dan tidak efektif terhadap kekejaman di Myanmar.

Hal ini hampir mustahil akan membaik setelah Laos menjadi Ketua ASEAN. Australia seharusnya memanfaatkan KTT ini untuk mendesak diambilnya tindakan terkoordinasi yang berarti terhadap Myanmar.

Australia sudah mengambil langkah yang tepat dengan menjalin hubungan perdagangan dan keamanan yang lebih besar dan memperkuat hubungannya di kawasan ini.

Namun ikatan tersebut tidak akan cukup untuk menghentikan kemerosotan otoritarian. Dalam kapasitasnya sebagai tuan rumah KTT, Pemerintah Australia dapat mengarahkan pembicaraan dengan fokus pada hak asasi manusia.

Hal ini dapat mendorong keterbukaan dengan mengakui sejumlah kekurangan dalam catatan hak asasi manusia di dalam negerinya.

Pendekatan yang terus terang ini akan mengirimkan pesan bahwa hubungan diplomatik yang kuat masih dapat berkembang tanpa saling memaafkan atau menutupi persoalan-persoalan hak asasi manusia satu sama lain.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.