Setelah serangan Hamas terhadap Israel, dan diikuti operasi pengeboman Israel di Jalur Gaza, ada banyak diskusi, baik yang melibatkan para ahli maupun non-ahli, mengenai hukum humaniter internasional (IHL), hukum yang mengatur konflik bersenjata dan pendudukan militer, serta penerapannya dalam pertikaian saat ini yang melibatkan Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina.
Seiring dengan semakin banyaknya tuduhan yang muncul, penting untuk memahami definisi hukum dari istilah-istilah seperti ‘kejahatan perang’ dan apa artinya dalam hukum.
IHL, atau hukum perang, telah ada dalam beberapa bentuk selama ribuan tahun, namun versi modernnya diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949, bersama dengan sejumlah perjanjian lain, dan hukum kebiasaan internasional.
Perjanjian ini mengikat negara-negara, termasuk Israel, serta kelompok-kelompok bersenjata non-negara yang terlibat dalam konflik, termasuk Hamas dan Jihad Islam, meskipun mereka tidak dapat secara resmi meratifikasi perjanjian tersebut.
Penting untuk mengatakan bahwa peraturan hukum bersifat non-timbal balik, artinya peraturan tersebut berlaku terlepas dari apa yang telah dilakukan pihak lain. Pelanggaran – seperti dengan sengaja menyasar warga sipil atau menjatuhkan hukuman kolektif – tidak pernah bisa dibenarkan dengan mengeklaim bahwa pihak lain telah melakukan pelanggaran, atau bahwa ada ketimpangan kekuasaan atau ketidakadilan lainnya.
Hukum perang hanya berlaku dalam situasi tertentu, khususnya selama konflik bersenjata atau pendudukan. Hukum-hukum lain, khususnya hukum hak asasi manusia internasional, berlaku sepanjang waktu, mengatur kewajiban semua negara untuk melindungi hak-hak masyarakat di wilayah di mana mereka mempunyai yurisdiksi atau tingkat kendali.
Hukum humaniter internasional mengatur perilaku permusuhan dan berbeda dengan hukum yang mengatur keputusan untuk menggunakan pasukan. Apapun legalitas suatu keputusan untuk menggunakan pasukan, semua pihak harus mematuhi IHL.
Sekumpulan hukum ini juga mengatur pendudukan ketika sebuah negara mempunyai kendali efektif, tanpa persetujuan, atas suatu wilayah yang tidak mempunyai hak kedaulatan, seperti halnya pendudukan Israel atas wilayah Palestina.
Terlepas dari banyak klaim yang dibuat mengenai aneksasi, berdasarkan IHL, negara yang menduduki tidak memperoleh kedaulatan atas wilayah yang diduduki. Kekuatan yang menduduki harus menjamin perlakuan manusiawi terhadap penduduknya dan menyediakan kebutuhan dasar mereka, termasuk makanan dan perawatan medis.
Aturan Dasar Hukum Perang
Aturan dasar hukum humaniter internasional dalam konflik adalah bahwa semua pihak harus membedakan, setiap saat, antara kombatan dan warga sipil. Warga sipil dan objek sipil tidak pernah dibolehkan menjadi sasaran serangan; pihak-pihak tersebut hanya boleh menyasar kombatan dan sasaran militer.
Tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa warga sipil bukanlah sasaran serangan; hukum humaniter internasional mewajibkan pihak-pihak yang berkonflik untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang layak dilakukan untuk meminimalkan kerugian terhadap warga dan objek-objek sipil.
Jika suatu serangan tidak bisa membedakan antara kombatan dan warga sipil atau diperkirakan akan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional terhadap penduduk sipil dibandingkan dengan keuntungan militer, maka serangan tersebut juga dilarang.
Berdasarkan IHL, siapapun yang ditahan, misalnya tawanan perang, harus diperlakukan secara manusiawi. Penyanderaan dan penggunaan orang sebagai “perisai manusia”, adalah sesuatu yang dilarang.
Jika terjadi serangan yang menghadirkan dampak pada penduduk sipil, hukum perang mengharuskan pihak-pihak yang terlibat untuk memberikan “peringatan dini yang efektif”, kecuali jika situasinya tidak memungkinkan. Apa yang dimaksud efektif tergantung pada situasinya, dan jika warga sipil tidak dapat pergi ke wilayah yang lebih aman, peringatan tersebut tidak akan efektif.
Namun pemberian peringatan itu tidak membebaskan pihak-pihak tersebut dari kewajiban melindungi warga sipil. Warga sipil yang tidak mengungsi setelah ada peringatan tetap harus dilindungi. Mereka tetap tidak boleh menjadi sasaran, dan para penyerang harus mengambil semua tindakan yang mungkin untuk melindungi mereka.
Pernyataan yang bukan merupakan peringatan murni namun dimaksudkan sebagai ancaman kekerasan untuk menyebarkan teror di antara penduduk – misalnya dengan memaksa mereka untuk pergi – merupakan sesuatu yang dilarang.
Pendudukan Israel
Israel telah menduduki Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan Gaza, yang secara kolektif merupakan Wilayah Pendudukan Palestina (OPT), sejak tahun 1967.
Bertentangan dengan klaim pemerintah Israel, penarikan pasukan darat Israel dari Gaza pada tahun 2005 tidak mengakhiri pendudukannya di Gaza.
Hal ini dikarenakan, sejak saat itu, Israel tetap mempertahankan kendali efektif atas Gaza, termasuk perairan dan wilayah udaranya, pergerakan orang serta barang, kecuali di perbatasan Gaza dengan Mesir, dan infrastruktur yang menjadi tumpuan Gaza, sehingga menjadikan Jalur Gaza sebagai sebuah penjara terbuka.
Berdasarkan IHL, Israel, sebagai kekuatan yang menduduki, diharuskan memastikan agar kebutuhan dasar penduduk Gaza, seperti makanan dan air, bisa terpenuhi.
Hukum hak asasi manusia internasional juga mengatur kewajiban hukum yang disandang otoritas Israel terhadap penduduk OPT, terutama mengingat lamanya masa pendudukan.
Selain itu, Hamas dan Otoritas Palestina, yang secara de facto merupakan otoritas pemerintahan atas banyak warga Palestina, bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia penduduk yang mereka pimpin. Fungsi-fungsi mereka tidak meniadakan tugas Israel sebagai kekuatan yang menduduki.
Kejahatan perang
Kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum perang yang dilakukan oleh individu dengan maksud kriminal, secara sengaja atau sembarangan. Kejahatan perang termasuk secara sengaja melakukan penyerangan terhadap warga sipil, penyanderaan, dan hukuman kolektif.
Serangan udara dan serangan roket oleh Israel, Hamas dan kelompok bersenjata lainnya yang menyasar warga sipil atau tanpa pandang bulu melanggar hukum perang, dan jika dilakukan dengan niat kriminal, merupakan kejahatan perang.
Siapa pun yang melakukan kejahatan perang bertanggung jawab secara pidana, begitu pula mereka yang bertanggung jawab dalam memerintahkan, membantu, atau memfasilitasi kejahatan perang. Para komandan dan pemimpin sipil dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan prinsip tanggung jawab komando jika mereka mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang dilakukan para bawahan mereka dan gagal mencegah kejahatan tersebut atau menghukum para pihak yang bertanggung jawab.
Selama 20 hari terakhir, berbagai kejahatan perang telah dan terus berlanjut di Israel dan Palestina, dengan kekhawatiran besar bahwa pasukan Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina melakukan serangan membabi buta yang melanggar hukum dan merugikan warga sipil.
Pembunuhan secara sengaja terhadap warga sipil Israel dan penyanderaan ratusan orang oleh Hamas dan kelompok bersenjata lainnya adalah kejahatan perang, begitu juga dengan peluncuran roket tanpa pandang bulu ke komunitas-komunitas Israel. Sekitar 1.400 warga Israel telah tewas sejak 7 Oktober, menurut pemerintah Israel.
Israel terus-menerus membombardir Jalur Gaza yang padat penduduk, yang dihuni oleh 2,3 juta jiwa. Lebih dari 7.000 warga Palestina telah tewas sejak 7 Oktober, termasuk hampir 3.000 anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Dalam beberapa kasus, bom telah mengubah seluruh blok dan bahkan sebagian besar permukiman menjadi puing-puing.
Pasukan Israel telah menggunakan fosfor putih, bahan kimia yang terbakar ketika bersentuhan dengan oksigen, menyebabkan luka bakar yang parah dan mengerikan, di lingkungan padat penduduk. Fosfor putih dapat membakar hingga ke tulang, dan luka bakar hingga 10% pada tubuh manusia seringkali berakibat fatal.
Israel juga menerapkan hukuman kolektif terhadap penduduk Gaza dengan memutus pasokan makanan, air, listrik, dan bahan bakar. Ini adalah kejahatan perang, karena dengan sengaja menghalangi bantuan kemanusiaan agar tidak bisa menjangkau warga sipil yang membutuhkan.
Selama rangkaian permusuhan sebelumnya, termasuk pada tahun 2021, Human Rights Watch mendokumentasikan sejumlah pelanggaran serius terhadap hukum perang yang dilakukan baik oleh pasukan Israel maupun kelompok bersenjata Palestina.
Ada juga kekhawatiran bahwa Israel memerintahkan pemindahan sebagian besar penduduk sipil Gaza, yang hanya diperbolehkan jika diperlukan demi keamanan warga sipil atau alasan militer yang sangat penting. Penduduk sipil harus bisa pulang secepat mungkin – perpindahan permanen adalah sebuah kejahatan.
Selain itu, otoritas pendudukan Israel telah dan terus melakukan kejahatan internasional lainnya, termasuk terhadap pemukiman Tepi Barat. Jika penguasa yang menduduki memindahkan penduduk sipilnya ke wilayah pendudukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka hal tersebut merupakan kejahatan perang.
Human Rights Watch dan sejumlah organisasi hak asasi manusia lainnya juga menemukan bahwa pemerintah Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa apartheid dan penganiayaan terhadap jutaan warga Palestina. Penindasan sistematis terhadap penduduk Gaza merupakan bagian dari kejahatan yang sedang berlangsung.
Kejahatan internasional harus mengarah pada pertanggungjawaban. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag mempunyai yurisdiksi atas kejahatan perang dan kejahatan internasional serius lainnya yang dilakukan di atau dari Wilayah Pendudukan Palestina (wilayah Negara Palestina, yang merupakan anggota ICC), dan oleh warga negara Palestina.
Jaksa penuntut di mahkamah sedang melakukan penyelidikan, yang dibuka oleh pendahulunya pada tahun 2021, terhadap kemungkinan kejahatan di Palestina.
Human Rights Watch telah mendesak jaksa penuntut untuk membuat pernyataan resmi yang jelas tentang bagaimana mandat ICC berlaku dalam konteks saat ini, yang akan memberikan sinyal penting bahwa semua pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dapat diadili.
Pertanggungjawaban yang efektif sangat penting untuk mengakhiri kekejaman ini.