Skip to main content

 

Smoke rises after an air strike in the Gaza Strip on Monday, Oct. 9, 2023. © AP 2023

Pekan lalu, sejumlah pejuang yang dipimpin Hamas menyeberang ke Israel dan membantai warga sipil Israel, menewaskan ratusan warga sipil dan menyandera sejumlah orang, termasuk anak-anak, penyandang disabilitas dan lansia. Para militan itu menyergap pengunjung sebuah pesta, menembaki sejumlah keluarga dan membakar rumah-rumah. Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya di Gaza tanpa pandang bulu menembakkan ribuan roket ke kota-kota di Israel, mengakibatkan kematian dan cedera. Hamas telah melakukan banyak kejahatan perang, termasuk penyanderaan.

Tetapi, kejahatan perang yang dilakukan oleh satu pihak tidak membenarkan kejahatan perang oleh pihak lain. Pada hari Jumat, tentara Israel memerintahkan lebih dari 1 juta orang –  setengah dari populasi – untuk meninggalkan Gaza utara dalam waktu 24 jam, sebelum operasi darat militer yang akan segera dimulai. Meskipun tenggat waktu awal tersebut telah berlalu, perintah itu menimbulkan sejumlah masalah hukum dan kemanusiaan yang serius – dan kekhawatiran akan keselamatan warga sipil.

Menanggapi serangan yang dipimpin Hamas ini, pihak berwenang Israel telah melakukan serangan udara besar-besaran terhadap lingkungan padat penduduk di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 2,400 orang. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan Sabtu lebih dari 700 korban tewas adalah anak-anak. Israel telah memutus pasokan makanan, bahan bakar dan listrik ke Gaza dan memblokir bantuan yang masuk. Seperti yang telah dinyatakan PBB, tindakan semacam  itu merupakan bentuk hukuman kolektif, yang merupakan kejahatan perang dan dilarang oleh Konvensi Jenewa Keempat.

Meski pasukan Israel mengatakan serangan udara mereka membidik aset-aset Hamas, tapi menjatuhkan senjata peledak di daerah padat penduduk menyebabkan kerugian signifikan bagi warga sipil dan meningkatkan risiko serangan tanpa pandang bulu yang melanggar hukum. Lebih dari 2,2 juta orang tinggal di Jalur Gaza, yang luasnya kira-kira sama dengan kota Philadelphia. Hampir setengah dari populasinya adalah anak-anak. Daerah itu sebagian besar tertutup bagi dunia luar oleh pagar, tembok dan angkatan laut Israel, yang berpatroli di perairan Gaza.

Jika mengevakuasi lebih dari satu juta orang di daerah padat penduduk tidak cukup sulit saat itu, penyeberangan Jalur Gaza dengan Mesir dan Israel ditutup, sehingga pindah ke rumah kerabat dan teman yang penuh sesak di Gaza selatan saat ini adalah satu-satunya pilihan. Jalan-jalan penuh dengan puing-puing. Bahan bakar langka. Bagi banyak lansia, penyandang disabilitas dan pasien rumah sakit, evakuasi mustahil dilakukan.

Setidaknya puluhan ribu orang telah melarikan diri dari Gaza utara, menggunakan rute yang ditentukan oleh militer Israel, tetapi serangan udara dan roket terus berlanjut tanpa jeda. Sudah 70 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, tewas saat mereka dievakuasi, menurut Kementerian Kesehatan Palestina. Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza sedang berjuang untuk merawat sebagian besar dari 9.000 lebih warga Palestina yang terluka sejauh ini, dan mengevakuasi pasiennya bukanlah pilihan.

Hukum humaniter internasional, atau hukum perang, menjabarkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dengan warga sipil, apa pun yang dilakukan pihak lain. Fakta bahwa para pejuang yang dipimpin Hamas menargetkan warga sipil tidak memungkinkan militer Israel untuk menyasar warga sipil atau melalaikan kewajibannya untuk melindungi mereka.

Perintah evakuasi menghadirkan setidaknya tiga kekhawatiran di bawah hukum humaniter internasional.

Pertama, pihak-pihak yang berkonflik seharusnya mengeluarkan peringatan yang efektif kepada warga sipil, guna membantu mereka menghindari bahaya. Tetapi memperingatkan warga sipil untuk melarikan diri, ketika tidak ada tempat yang aman untuk dituju dan tidak ada cara untuk mencapainya dengan aman, tidak cukup atau bahkan tidak sungguh-sungguh melindungi mereka. Warga sipil yang tetap bertahan di tempat setelah peringatan untuk mengungsi – termasuk mereka yang takut akan perjalanan berbahaya ke selatan dan kondisi yang akan mereka temukan di sana – tidak kehilangan perlindungan hukum humaniter internasional. Apa pun pilihan mustahil yang diambil banyak keluarga di Gaza – militer Israel berkewajiban untuk tidak menyasar warga sipil atau infrastruktur sipil dan untuk mengambil semua langkah guna meminimalkan bahaya pada warga sipil dan fasilitas sipil seperti rumah, sekolah dan rumah sakit.

Kedua, hukum perang melarang "ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan teror di antara penduduk sipil." Seruan untuk mengungsi, yang bukan merupakan peringatan sebenarnya melainkan terutama dimaksudkan untuk menyebabkan kepanikan di antara penduduk, atau memaksa mereka meninggalkan rumah mereka karena alasan selain keselamatan mereka, dilarang. Luasnya sifat perintah yang diberikan pemerintah Israel dan ketidakmungkinan untuk dipatuhi dengan aman menimbulkan kekhawatiran bahwa tujuannya bukan untuk melindungi warga sipil, melainkan untuk menakut-nakuti mereka agar meninggalkan rumah mereka. Pernyataan juru bicara Pasukan Pertahanan Israel bahwa mereka yang dievakuasi dari Gaza utara "melakukan hal yang cerdas" menambah kekhawatiran tentang bagaimana pasukan Israel akan memperlakukan warga sipil yang tetap tinggal.

Ketiga, perintah tersebut berisiko memicu pemindahan paksa, yang merupakan kejahatan perang. Sekitar 70% penduduk Gaza adalah pengungsi yang  meninggalkan rumah mereka di tempat yang sekarang disebut Israel pada tahun 1948, dan keturunan mereka. Banyak lansia di Gaza utara mengingat dengan baik pelarian mereka dari tentara Israel 75 tahun yang lalu – dan penolakan Israel berikutnya  untuk mengizinkan mereka kembali. Pernyataan para pejabat Israel yang menyerukan warga Gaza untuk melarikan diri ke Mesir memperparah ketakutan banyak pengungsi Palestina di Gaza bahwa mereka akan kembali kehilangan rumah mereka.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan bahwa memerintahkan ratusan ribu orang untuk mengungsi dalam waktu singkat, ketika tidak ada tempat yang aman untuk dituju, akan menghadirkan konsekuensi kemanusiaan yang amat buruk. Badan-badan internasional dan kemanusiaan setuju.

Pemerintah AS, yang menyediakan bantuan militer tahunan sebesar US$ 3.8 miliar untuk Israel, semestinya segera mendesak agar pemerintah negara tersebut agar membatalkan perintah itu, mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza dan memenuhi kewajibannya untuk melindungi warga sipil, termasuk mereka yang masih berada di Gaza utara. Apa pun yang telah dilakukan Hamas, tidak ada pembenaran untuk melucuti hak warga sipil di Gaza untuk mendapatkan perlindungan yang diberikan oleh hukum perang.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.