- Dua serangan Israel terhadap sekelompok jurnalis asal Lebanon, Amerika, dan Irak di Lebanon selatan pada 13 Oktober 2023, tampaknya merupakan serangan yang disengaja terhadap warga sipil, dan merupakan kejahatan perang.
- Bukti menunjukkan bahwa militer Israel mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa sekelompok orang yang mereka tembaki adalah warga sipil.
- Sekutu utama Israel – Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Jerman – seharusnya menangguhkan bantuan militer dan penjualan senjata ke Israel, mengingat adanya risiko bahwa senjata-senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan berbagai pelanggaran berat.
(Beirut) – Dua serangan Israel di Lebanon pada 13 Oktober 2023, yang menewaskan jurnalis Reuters Issam Abdallah dan melukai enam jurnalis lainnya, tampaknya merupakan serangan yang disengaja terhadap warga sipil dan dengan demikian merupakan kejahatan perang, kata Human Rights Watch hari ini.
Pernyataan para saksi serta bukti video dan foto yang diverifikasi oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa para jurnalis tersebut berada jauh dari lokasi pertikaian yang sedang berlangsung, dengan jelas dapat diidentifikasi sebagai pekerja media, dan telah berada di tempat lokasi setidaknya 75 menit sebelum terkena dua serangan beruntun. Human Rights Watch tidak menemukan bukti adanya target militer di dekat lokasi para jurnalis itu.
“Ini bukan kali pertama pasukan Israel sengaja menyerang jurnalis, dan yang berakibat fatal dan menghancurkan,” kata Ramzi Kaiss, peneliti Lebanon di Human Rights Watch. “Mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban, dan perlu ditegaskan bahwa jurnalis dan warga sipil lainnya bukanlah sasaran yang sah menurut hukum.”
Human Rights Watch mewawancarai tujuh saksi, termasuk tiga jurnalis yang terluka, dan menganalisis 49 video dan puluhan foto, selain citra satelit. Human Rights Watch juga mewawancarai perwakilan Pasukan Interim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Lebanon (UNIFIL) dan berkonsultasi dengan beberapa pakar militer, video, serta audio. Pada 17 dan 26 Oktober, Human Rights Watch mengirimkan surat berisi temuan dan pertanyaan kepada angkatan bersenjata Lebanon dan Israel, namun tidak mendapat tanggapan dari kedua belah pihak.
Bukti yang dikaji oleh Human Rights Watch mengindikasikan bahwa militer Israel mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kelompok orang yang mereka tembaki adalah warga sipil.
Pada 14 Oktober, juru bicara militer Israel, Richard Hecht, mengatakan bahwa mereka “sangat menyesalkan kematian jurnalis tersebut.” Pada 17 Oktober, Hecht mengatakan kepada Reuters bahwa militer sedang “melihat rekaman tersebut dan [akan] memberikan jawaban ketika kami sudah siap.” Namun hal itu belum terjadi.
Bukti video, analisis audio oleh ahli, dan keterangan saksi menunjukkan bahwa kelompok jurnalis tersebut tertangkap kamera kendaraan udara tak berawak (UAV) di dekatnya yang kemungkinan besar milik Israel, berada dalam jarak pandang lima menara pengawas Israel, dan kemungkinan besar menjadi sasaran setidaknya satu amunisi yang ditembakkan dari senjata utama tank dari militer Israel yang berjarak sekitar 1,5 kilometer arah tenggara. Human Rights Watch tidak dapat mengidentifikasi amunisi kedua yang mengenai para jurnalis.
Serangan itu terjadi sekitar pukul 18.00 pada 13 Oktober. Sekelompok jurnalis itu telah berkumpul sejak pukul 16:45, di sebuah lapangan terbuka di puncak bukit di Alma al-Shaab, untuk merekam pertempuran yang sedang berlangsung di perbatasan selatan Lebanon dengan Israel, kata orang-orang yang diwawancarai. Sekitar satu jam sebelum serangan, sebuah upaya infiltrasi yang dicurigai dilakukan oleh sejumlah militan bersenjata dari Lebanon ke kota Hanita di Israel, yang berjarak sekitar 2,2 kilometer, disusul dengan baku tembak lintas batas antara pasukan Israel dan kelompok-kelompok bersenjata.
Sejumlah pejabat militer Israel mengatakan kepada Reuters bahwa Hizbullah melepaskan tembakan ke beberapa lokasi perbatasan, termasuk dengan “rudal anti-tank yang menghantam pagar keamanan Israel.” Dalam pernyataan hari itu, UNIFIL mengatakan bahwa “baku tembak besar-besaran terjadi antara Lebanon dan Israel di sekitar Alma Shaab, Ayta Ash Shab, Al Dihaira, El Adeysse dan Houla” sekitar pukul 17.20. Empat puluh menit kemudian, dua amunisi menghantam lokasi para jurnalis. Lima kamera milik jurnalis secara tidak langsung merekam serangan tersebut dan dampak yang ditimbulkannya, menjelaskan bagaimana dan dari mana serangan tersebut dilakukan.
Para jurnalis yang diwawancarai mengatakan bahwa amunisi pertama menghantam jurnalis Reuters Issam Abdallah dan sebuah tembok beton rendah, menewaskan sang jurnalis seketika dan membuat jurnalis foto Agence France-Presse (AFP), Christina Assi, terluka parah. Tiga puluh tujuh detik kemudian, serangan lain menghancurkan mobil milik Al Jazeera, sehingga mobil itu terbakar, dan melukai enam jurnalis, termasuk Carmen Joukhadar dan Elie Brakhya dari Al Jazeera, Dylan Collins dan Christina Assi dari AFP, serta Thaer al-Sudani dan Maher Nazeh dari Reuters.
Collins, Joukhadar, dan Brakhya mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ketujuh jurnalis tersebut mengenakan helm dan rompi balistik warna biru dengan label bertuliskan “PRESS,” dan dapat dengan jelas diidentifikasi sebagai jurnalis. Hal ini dikonfirmasi melalui video yang dianalisis oleh Human Rights Watch. Sebuah video, yang diunggah ke akun Instagram Assi setidaknya satu jam sebelum serangan, menunjukkan lima jurnalis, termasuk Abdallah, mengenakan rompi balistik biru dan helm dengan label yang terlihat jelas. Rekaman lain juga menunjukkan kelompok tersebut mengenakan rompi dan helm yang ditandai jelas di area yang sama, di dekat sebuah mobil bertanda “TV” dengan huruf besar di kapnya.
Para jurnalis berada di lokasi yang terbuka ini, dalam jarak pandang ke lokasi militer Israel di Israel utara, sejauh 2,2 kilometer, setidaknya selama 1 jam 15 menit, menurut pernyataan dan bukti video mereka. Para jurnalis dari Al Jazeera telah menyajikan dua laporan langsung di televisi, yang pertama pada pukul 16:55 dan yang kedua pada pukul 17:24, dari lokasi yang sama. Siaran langsung oleh Reuters dan AFP juga disiarkan oleh beberapa stasiun televisi selama periode tersebut.
Human Rights Watch mengkonfirmasi keberadaan sebuah helikopter di sebelah selatan posisi para jurnalis, satu jam, 30 menit, dan 5 menit sebelum serangan, dalam video yang mereka periksa. Pernyataan saksi mata dan pernyataan oleh para reporter yang saat itu menggelar siaran langsung menunjukkan bahwa sebuah helikopter terbang di atas kepala mereka selama beberapa waktu sebelum serangan pertama, termasuk dalam 15 menit terakhir dan satu menit sebelum serangan.
Pernyataan para saksi dan analisis audio video oleh dua tim ahli yang dimintai masukan oleh Human Rights Watch, termasuk kelompok nonpemerintah Earshot dan seorang ahli yang tinggal di Amerika Serikat, mengidentifikasi keberadaan kendaraan udara tak berawak yang digerakkan oleh baling-baling sebelum serangan pertama. Menurut analisis audio oleh dua ahli, kendaraan tersebut berputar di dekat posisi para jurnalis sebanyak 11 kali dalam 25 menit sebelum serangan. Analisis ketiga yang dilakukan oleh sekelompok ahli audio di Inggris menemukan bahwa suara tersebut konsisten dengan suara motor listrik yang berputar-putar di sekitar lokasi para jurnalis sebelum serangan pertama, dan bisa menjadi bukti adanya pesawat tanpa awak (UAV) yang digerakkan oleh baling-baling.
Semua bukti yang dikaji menunjukkan bahwa para jurnalis tidak berada di dekat wilayah di mana pertempuran sedang berkecamuk. Dalam 49 video yang dianalisis dan dilacak lokasinya oleh Human Rights Watch, para peneliti menemukan bahwa para jurnalis berada antara satu hingga dua kilometer dari wilayah-wilayah yang dilaporkan terjadi pertempuran. Semua saksi mengatakan, bahwa serangan udara dan bentrokan bersenjata antara pasukan Israel dan kelompok bersenjata Hizbullah dan Palestina terkonsentrasi di wilayah dekat pagar perbatasan, antara satu hingga dua kilometer dari lokasi para jurnalis.
Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan adanya sasaran militer di dekat para jurnalis itu. Serangan terhadap posisi para jurnalis langsung menyasar mereka, dengan dua serangan berturut-turut dalam waktu 37 detik.
Seorang saksi di Alma al-Shaab mengatakan, dia melihat dua garis merah menghantam lokasi jurnalis dari kawasan puncak bukit dekat Jordeikh di Israel utara, sekitar 1,5 kilometer dari posisi jurnalis. Citra satelit dari lahan terbuka sekitar 1,5 kilometer tenggara lokasi jurnalis, di Jordeikh, yang direkam pada pagi hari tanggal 12, 13, dan 14 Oktober, mengonfirmasi adanya aktivitas militer di posisi tersebut.
Prinsip dasar dalam hukum humaniter internasional, atau hukum perang, adalah “kekebalan sipil.” Prinsip ini mewajibkan, sepanjang waktu selama konflik, untuk hanya menyasar para kombatan dan sasaran militer lainnya. Dalam keadaan apapun dilarang melakukan serangan langsung terhadap warga sipil. Jurnalis mendapatkan keuntungan dari perlindungan umum yang dinikmati oleh warga sipil dan tidak boleh menjadi sasaran serangan kecuali mereka mengambil bagian langsung dalam permusuhan.
Pihak-pihak yang bertikai wajib mengambil semua tindakan pencegahan yang mungkin dilakukan guna menghindari bahaya yang merugikan warga sipil. Mereka harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memverifikasi bahwa targetnya adalah sasaran militer.
Seseorang yang melakukan pelanggaran serius terhadap hukum perang dengan niat kriminal – yaitu dengan sengaja atau ceroboh – dapat dituntut atas kejahatan perang. Individu juga dapat dituntut secara pidana karena mendampingi, memfasilitasi, membantu, atau bersekongkol dalam kejahatan perang.
Sekutu utama Israel – Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Jerman – seharusnya menangguhkan bantuan militer dan penjualan senjata ke Israel, mengingat risiko nyata bahwa bantuan tersebut akan digunakan untuk melakukan pelanggaran berat. Kebijakan Amerika Serikat melarang transfer senjata ke negara-negara yang “kemungkinan besar” menggunakannya untuk melanggar hukum internasional. Pemerintah Amerika Serikat semestinya menyelidiki serangan tersebut mengingat adanya cedera yang dialami salah satu warga negaranya.
“Bukti yang ada menunjukkan dengan gamblang bahwa pasukan Israel mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kelompok yang mereka serang adalah jurnalis,” kata Kaiss. “Ini adalah serangan yang melanggar hukum dan tampaknya disengaja terhadap sekelompok orang yang jelas-jelas adalah jurnalis.”
Latar Belakang
Sejumlah serangan Israel terjadi dalam konteks meningkatnya ketegangan di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel. Serangan roket dan rudal serta bentrokan bersenjata antara tentara Israel dan berbagai kelompok bersenjata Palestina dan Lebanon, termasuk Hizbullah, telah berlangsung sejak 8 Oktober, sehari setelah serangan pimpinan Hamas di Israel selatan yang mengakibatkan terbunuhnya sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, menurut pemerintah Israel. Hamas dan Jihad Islam menyandera lebih dari 200 orang, termasuk anak-anak, penyandang disabilitas, dan orang tua.
Per tanggal 5 Desember, lebih dari 16.200 orang, termasuk ribuan warga sipil, dan lebih dari 7.100 anak-anak telah terbunuh, dan lebih dari 1,8 juta orang mengungsi, di tengah pengeboman besar-besaran dan operasi militer yang gencar di Gaza oleh pasukan Israel sejak 7 Oktober. Otoritas Israel telah memutus aliran listrik, air, bahan bakar, dan makanan bagi penduduk sipil di Gaza, yang dapat dikategorikan sebagai hukuman kolektif. Hal ini memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan akibat dari penutupan yang tidak sah oleh Israel selama 16 tahun, yang merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan berupa apartheid dan penganiayaan yang dilakukan oleh otoritas Israel terhadap warga Palestina. Di Tepi Barat, pasukan dan pemukim Israel telah membunuh 243 warga Palestina antara 7 Oktober hingga 3 Desember, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA).
Sejak 7 Oktober, serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 56 jurnalis Palestina, sebagian besar di Gaza, dan sekurangnya 4 jurnalis Israel terbunuh dalam serangan pimpinan Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ). Organisasi tersebut mengatakan bahwa bulan pertama pertempuran di Israel dan Gaza adalah “bulan paling mematikan bagi para jurnalis” sejak organisasi tersebut mulai mendokumentasikan kematian jurnalis pada 1992.
Human Rights Watch memverifikasi penggunaan proyektil artileri yang mengandung fosfor putih di Lebanon selatan oleh pasukan Israel, selain serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil pada tanggal 5 November, yang kemungkinan termasuk dalam kejahatan perang. Pasukan Israel juga menggunakan fosfor putih di pelabuhan kota Gaza yang padat penduduk, seperti yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch. Pada 23 November, serangan Israel di Lebanon dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 15 warga sipil, menurut penghitungan AFP, selain setidaknya 85 militan Hizbullah, menurut laporan media. Serangan roket dan rudal serta serangan lainnya ke Israel oleh Hizbullah dan berbagai kelompok bersenjata Palestina di Lebanon dilaporkan telah menewaskan sedikitnya tiga warga sipil dan enam tentara.
Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyatakan dalam pidatonya di televisi pada 3 November bahwa serangan Israel terhadap warga sipil di Lebanon akan ditanggapi dengan serangan balasan terhadap warga sipil di Israel. Berdasarkan hukum humaniter internasional, pembalasan terhadap warga sipil merupakan tindakan yang dilarang. Pihak-pihak yang berkonflik wajib mematuhi hukum humaniter internasional tanpa memandang tindakan pihak lain. Pelanggaran hukum perang oleh satu pihak tidak membenarkan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain.
Secara keseluruhan, tiga jurnalis Lebanon telah terbunuh akibat serangan Israel pada 21 November, menurut CPJ. Pada 21 November, dua jurnalis Lebanon, Rabih Al-Maamari dan Farah Omar, bersama sopir mereka, Hussein Akil, dilaporkan terbunuh dalam serangan Israel di kota Tayr Harfa di Lebanon selatan, 2,3 kilometer dari tempat Issam Abdallah terbunuh. Para jurnalis tersebut saat itu sedang meliput untuk Al Mayadeen TV, sebuah stasiun televisi pan-Arab yang berbasis di Lebanon yang secara politis bersekutu dengan Hizbullah dan pemerintah Suriah.
Lini masa Peristiwa Penting Tanggal 13 Oktober
Lini masa berikut ini didasarkan pada analisis yang dilakukan oleh Lab Investigasi Digital di Human Rights Watch dan beberapa peneliti lain terhadap 49 video, puluhan foto, pernyataan saksi, dan laporan media sejak tanggal 13 Oktober, hari terjadinya serangan.
16:45 Setelah menjalani syuting di Naqoura, di Lebanon selatan, kru dari Al Jazeera, yang terdiri dari Carmen Joukhadar, seorang reporter, dan Elie Brakhya, seorang juru kamera, tiba di lokasi di puncak bukit di Alma al-Shaab. Mereka menyiapkan kamera dan bersiap untuk siaran langsung.
16:55 Tim Al Jazeera menyiarkan liputan langsung pertama mereka. Joukhadar terdengar di video mengatakan bahwa tembakan tank Israel dilaporkan terjadi di Alma al-Shaab, tetapi menurut sumber keamanan Lebanon, tidak ada roket yang ditembakkan dari Lebanon, meskipun ada laporan upaya penyusupan ke Israel oleh kelompok-kelompok bersenjata. Dampak dari serangan tersebut terekam kamera di beberapa lokasi di perbatasan Lebanon-Israel. Human Rights Watch mengkonfirmasi lokasi serangan yang terekam kamera berjarak sekitar 1-2 kilometer dari para jurnalis. Joukhadar mengatakan bahwa sejumlah helikopter terdengar terbang di udara, dan Brakhya sempat menyorot sebuah helikopter terbang di atas daerah perbatasan.
Sekitar pukul 17.00 Kru Reuters dan AFP, terdiri dari Issam Abdallah, Maher Nazeh, Thaer al-Sudani, Dylan Collins, dan Christina Assi, bergabung dengan Al Jazeera di Alma al-Shaab.
17:03 Militer Israel membagikan sebuah unggahan di Telegram yang mengatakan bahwa “beberapa saat lalu, terjadi ledakan di pagar keamanan yang berdekatan dengan komunitas Hanita,” yang menyebabkan kerusakan ringan, dan bahwa mereka membalasnya dengan tembakan artileri ke arah wilayah Lebanon. Militer Israel menambahkan bahwa telah terjadi penyusupan ke Hanita dan tentara Israel sedang menggeledah daerah tersebut.
17:24 Tim Al Jazeera menyiarkan liputan langsung kedua mereka di lokasi. Joukhadar terdengar mengatakan bahwa, setelah jeda beberapa menit, serangan Israel di daerah dekat Alma al-Shaab kembali dilanjutkan, menghantam beberapa daerah dari barat daya Lebanon di Naqoura hingga Alma al-Shaab. Joukhadar mengatakan bahwa telah terjadi upaya penyusupan yang gagal ke Israel dari Lebanon, yang lantas dibalas oleh pasukan Israel dengan tembakan tank ke sejumlah daerah di dekat pagar perbatasan. Joukhadar juga mengatakan bahwa sebuah helikopter Israel dan kendaraan udara tak berawak terdengar terbang di atas Alma al-Shaab. Kamera Al Jazeera menangkap beberapa serangan di berbagai wilayah di Alma al-Shaab. Human Rights Watch melakukan geolokasi terhadap wilayah yang terdampak serangan tersebut antara 1 hingga 2 kilometer dari lokasi kejadian.
Sekitar pukul 17.40. sebuah kamera Reuters menangkap suara tembakan tank, dan asap terlihat mengepul dari lokasi yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari para jurnalis.
17:53 Militer Israel membagikan sebuah unggahan di Telegram yang mengatakan bahwa “beberapa saat lalu, tembakan yang masuk diidentifikasi dari Lebanon ke arah wilayah Israel di perbatasan Lebanon” dan bahwa tentara Israel merespons dengan tembakan tank dan artileri ke arah sumber tembakan. The Times of Israel melaporkan bahwa tembakan tersebut diidentifikasi terjadi di sekitar kota Misgav Am, yang berjarak 35 kilometer dari lokasi para jurnalis.
17:54 Elie Brakhya, juru kamera Al Jazeera, mengirimkan foto selfie dirinya dan Issam Abdallah ke sebuah grup percakapan WhatsApp. Dalam foto tersebut, baik Brakhya maupun Abdallah mengenakan rompi balistik berwarna biru dengan label “PRESS” dan helm. Jurnalis foto AFP, Christina Assi, terlihat di belakang mereka duduk di dinding beton pendek yang kemudian roboh terkena serangan.
17:58 Sebuah kamera Reuters mengarah ke lokasi militer Israel di Hanita. Sebuah tank terlihat melepaskan tembakan ke suatu daerah di barat daya Lebanon, sekitar 3 kilometer dari para jurnalis. Tank itu kemudian bergerak menuruni bukit dan menghilang dari pandangan.
18:02 Jurnalis AFP, Dylan Collins, mengeluarkan ponselnya dan merekam, dengan iPhone 12 Pro Max, lokasi militer Hanita. Kamera ponselnya menangkap kilatan cahaya yang cepat dan berurutan, yang datang dari lokasi militer. Dua kamera TV yang merekam dari lokasi yang sama merekam cahaya ini sebagai cahaya statis, tidak berkedip. Dalam video yang diambil dari kamera keempat, kamera mirrorless yang merekam pemandangan yang sama dari lokasi yang sama persis, cahaya tersebut tidak terlihat. Para ahli mengatakan bahwa perbedaan antara empat kamera yang merekam pemandangan yang sama persis bisa menjadi bukti bahwa cahaya yang dimaksud adalah cahaya inframerah-dekat dan bisa menjadi bukti penggunaan laser yang digunakan untuk membidik atau mencari jarak dari posisi Israel.
Keempat kamera ini semuanya diarahkan ke lokasi militer Israel di Hanita dan merekam ketika amunisi menghantam lokasi mereka. Terdengar sebuah ledakan keras, disusul dengan teriakan para jurnalis di lokasi. Tiga puluh tujuh detik kemudian, amunisi lain mendarat di posisi para jurnalis itu.
Siaran langsung oleh kru TV Lebanon Broadcasting Corporation International (LBCI), sekitar 120 meter dari posisi para jurnalis tersebut, juga menangkap suara kedua serangan yang menghantam para jurnalis. Tiga puluh detik sebelum serangan, terdengar seorang reporter LBCI mengatakan bahwa sebuah helikopter Apache terbang berputar-putar di atas area tersebut, begitu juga dengan kendaraan udara tak berawak, dan seorang reporter terdengar mengatakan bahwa tembakan dari senjata otomatis dapat terdengar di lokasi tersebut untuk kali pertama, yang tidak terdengar di siaran langsung mereka. Setelah serangan kedua, kamera LBCI menyorot ke lokasi jurnalis AFP, Reuters, dan Al Jazeera. Api dan asap hitam terlihat mengepul dari lokasi.
Kru LBCI TV untuk sementara menghentikan liputan mereka dan kemudian melanjutkan pengambilan gambar dari lokasi serangan. Setelah pengambilan gambar dilanjutkan, beberapa menit kemudian, sebuah ambulans dan truk pertahanan sipil terlihat di lokasi. Sebuah ceruk di dekat mesin mobil di sisi pengemudi juga terlihat jelas. Jasad Issam Abdallah terlihat tergeletak di tanah, di balik dinding batu beton rendah.
Analisis Senjata
Foto-foto serpihan amunisi, yang diteliti oleh Human Rights Watch dan dipastikan ditemukan di lokasi serangan, menunjukkan bahwa salah satu amunisi yang mengenai para jurnalis adalah peluru tank 120 mm yang dilengkapi sirip stabil (tank shell). Serpihan-serpihan peluru itu berada beberapa meter dari tubuh Abdallah.
Human Rights Watch tidak dapat mengidentifikasi serpihan dari amunisi kedua.
Analisis Audio
Analisis audio para ahli yang dilakukan oleh dua kelompok independen menunjukkan bahwa lokasi peluncuran amunisi pertama berada antara 1,45 hingga 1,8 kilometer dari lokasi para jurnalis dan kemungkinan besar ditembakkan dari arah tenggara. Lokasi yang diidentifikasi para saksi, Jordeikh di Israel utara, kira-kira berjarak 1,5 kilometer arah tenggara dari lokasi jurnalis.
Tiga puluh detik setelah serangan kedua, kamera merekam audio peluru senjata ringan yang ditembakkan dari sumber tidak dikenal. Analisis audio para ahli dan keterangan saksi menunjukkan bahwa peluru-peluru tersebut tidak berasal dari lokasi yang dekat dengan para jurnalis. Analisis para ahli audio menunjukkan bahwa sumber tembakan berjarak ratusan meter, namun jarak pastinya tidak dapat dihitung. Dalam wawancara, para saksi mata di lokasi semuanya mengatakan bahwa suara peluru tampaknya berasal dari arah lokasi militer Israel di dekat Hanita, sisi barat daya lokasi para jurnalis. Human Rights Watch tidak dapat memverifikasi secara pasti dari mana peluru-peluru itu ditembakkan.
Analisis audio ahli juga mengidentifikasi suara kendaraan udara tak berawak di atas para jurnalis dan mengindikasikan bahwa kendaraan tersebut berputar-putar di dekat posisi jurnalis sebanyak 11 kali dalam 25 menit sebelum serangan pertama. Semua saksi mata di lokasi kejadian mengatakan bahwa mereka bisa mendengar suara drone di atas mereka. Human Rights Watch tidak dapat secara independen menentukan merek kendaraan udara tersebut.
Pergerakan kendaraan udara di atas para jurnalis dan pola penerbangannya yang berdekatan dengan helikopter Apache milik Israel, ditambah dengan sejumlah laporan yang terdokumentasi tentang penerbangan pesawat tanpa awak milik Israel di Lebanon selatan, menunjukkan bahwa kendaraan tersebut kemungkinan besar milik Israel. Pada pukul 19.40 tanggal 13 Oktober, militer Israel membagikan sebuah unggahan di media sosial yang menyatakan bahwa “Sebuah pesawat tanpa awak milik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) saat ini sedang menyerang sasaran teroris milik Hizbullah di Lebanon.” Sebuah laporan UNIFIL pada November 2023 menunjukkan bahwa penerbangan pesawat tanpa awak milik Israel di Lebanon selatan menyumbang lebih dari 80 persen dari 188 pelanggaran wilayah udara yang dilakukan militer Israel di Lebanon antara Juni hingga Oktober 2023.
Menara-menara Pengawas
Human Rights Watch mengidentifikasi lima menara pengawas perbatasan di dekat posisi militer Israel. Data topografi serta bukti foto dan video yang diverifikasi oleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa menara-menara tersebut, yang terletak di posisi militer dekat kota Hanita, Jordeikh dan Shlomi di Israel, masing-masing dilengkapi kamera dan sensor dan memiliki garis pandang langsung ke posisi para jurnalis. Empat menara berjarak antara 1,8 hingga 2,2 kilometer dari para jurnalis, dan menara kelima berjarak 5,5 kilometer.
Menara pengawas yang ditemukan di sepanjang perbatasan dengan Lebanon dan di Israel selatan, biasanya dilengkapi dengan sensor pengawas yang canggih, seperti sistem “SPEED-ER”. Platform ini, menurut produsennya, dapat mengidentifikasi manusia pada jarak 5 kilometer dan kendaraan pada jarak 10 kilometer, dan dapat menyediakan video, pencitraan termal dan inframerah, serta kemampuan membidik sasaran. Human Rights Watch tidak dapat memastikan apakah lima menara di dekat posisi para jurnalis itu dilengkapi dengan platform kamera “SPEED-ER”.
Namun, posisi menara yang berada dalam jarak pandang para jurnalis, bersama dengan bukti adanya penerbangan drone dan helikopter serta kemampuan pengawasan lainnya, menunjukkan bahwa para jurnalis itu kemungkinan besar terlihat dan dapat diidentifikasi oleh militer Israel pada saat serangan terjadi.