(Jakarta) – Sebagian besar provinsi dan puluhan kota serta kabupaten di Indonesia memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif dan keras terhadap para perempuan dan anak perempuan, kata Human Rights Watch hari ini. Dampak dari peraturan-peraturan ini terlihat dalam keterangan sejumlah perempuan – sebagai siswi, guru, dokter, dan lainnya – yang dikumpulkan berikut ini.
Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah daerah, seharusnya membatalkan berbagai aturan daerah tersebut, jumlahnya lebih dari 60, yang berlaku di seluruh negeri. Memang pemerintah pusat tak memiliki kewenangan hukum untuk mencabut legislasi daerah, seperti peraturan daerah Aceh soal “busana Muslim” tahun 2004, yang diilhami Syariat Islam. Namun hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif di tingkat lokal, dari gubernur, walikota sampai bupati, yang bertentangan dengan hukum-hukum nasional dan konstitusi.
“Presiden Joko Widodo seharusnya segera membatalkan berbagai peraturan diskriminatif di tingkat daerah yang melanggar hak perempuan dan anak perempuan,” kata Elaine Pearson, penjabat direktur Asia di Human Rights Watch. “Peraturan-peraturan tersebut sungguh berbahaya dan praktis hanya bisa diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat.”
Sejumlah pemerintah daerah menerbitkan peraturan wajib jilbab, sebagai perintah eksekutif, mulai tahun 2001 di tiga kabupaten – Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Tanah Datar di Sumatra Barat. Peraturan daerah yang mengekang itu muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, mendorong jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab -- penutup kepala perempuan yang menutupi rambut, leher, dan dada. Biasanya dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.
Para pejabat yang mengeluarkan peraturan tersebut berpendapat jilbab “wajib bagi Muslimah” untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap mencakup rambut, lengan, dan kaki, kadang juga lekuk tubuh. Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi kecuali mereka mematuhi aturan.
Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami pelecehan dan dampak jangka panjang karena menolak memakai jilbab. Human Rights Watch mengumpulkan peraturan-peraturan tersebut dan memasukkan semua itu sebagai lampiran sebuah laporan yang terbit pada 2021. Pejabat Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman bikin keputusan serupa, termasuk yang paling terakhir, pada Agustus 2021.
Laporan Human Rights Watch tahun 2021 mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka pakai jilbab, serta tekanan kejiwaan mendalam yang dapat ditimbulkan. Setidaknya pada 24 dari total 34 provinsi di tanah air, sejumlah anak perempuan yang memilih kemerdekaan dalam berpakaian, terpaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri karena tekanan, sementara sejumlah pegawai negeri perempuan, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri.
Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Dalam dua kasus terpisah, Human Rights Watch mendokumentasikan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook. Dari sejumlah wawancara, Human Rights Watch juga mempelajari berbagai intimidasi dan ancaman wajib jilbab, disampaikan lewat aplikasi WhatsApp.
Zubaidah Djohar, seorang penyair, sekaligus alumnus sebuah madrasah di Padang Panjang, Sumatra Barat, menerima ancaman pembunuhan -- “dibacok” dan “diracun”-- setelah terlibat debat soal jilbab dengan Gusrizal Gazahar, ketua umum Majelis Ulama Indonesia di Sumatra Barat, pada 28 Februari 2021. Rekannya Deni Rahayu juga menerima ancaman pembunuhan, diduga banyak dari anggota grup Facebook alumni madrasah tersebut. Keduanya melaporkan ancaman kepada kepolisian, namun belum ada tanda-tanda bahwa kepolisian telah melakukan penyelidikan berarti atas pengaduan tersebut.
Mereka juga melaporkan berbagai ancaman tersebut ke Facebook tapi tak dapat tanggapan. Human Rights Watch kemudian mengirim dokumentasi lengkap tentang perundungan dan intimidasi itu ke Facebook pada April 2021. Facebook menanggapi pada Agustus 2021 dengan mengatakan bahwa pihaknya, “reported the speech to one of escalation channels,” tapi tak informasi apa hasilnya. Pada April 2022, setelah beberapa permintaan soal perkembangan terkini dari Human Rights Watch, seorang staf Facebook di Singapura menawarkan diri bertemu dengan Zubaidah, saat dia liburan Lebaran di Jakarta. Zubaidah enggan menjawab. Facebook belum menyampaikan apa yang perusahaan tersebut lakukan dengan ancaman itu.
Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia saat ini memberlakukan aturan wajib jilbab berdasarkan peraturan daerah dan nasional. Di beberapa daerah Muslim konservatif seperti Aceh dan Sumatra Barat, bahkan pelajar perempuan non-Muslim, juga dipaksa untuk memakai jilbab.
Pada 2012 dan 2014, Gerakan Pramuka yang wajib diikuti oleh anak sekolah, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “murid Muslimah” dari kelas 1 hingga 12, yang jelas bertentangan dengan peraturan menteri tahun 1991 yang mengizinkan sekolah untuk membiarkan pelajar perempuan memilih “atribut khusus” mereka. Peraturan Gerakan Pramuka dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tingkat nasional ini memperkuat dan menegakkan keputusan di daerah. Sekolah biasanya mewajibkan para pelajar untuk memakai seragam Pramuka seminggu sekali.
Pada Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mengubah Peraturan Menteri Pendidikan 45/2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi siswa dari kelas 1 hingga 12. Surat keputusan mereka menetapkan bahwa para siswa perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Menurut Makarim, peraturan 2014 sering digunakan untuk merundung para siswi dan guru. Namun pada Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan peraturan tersebut. Mahkamah Agung secara efektif memutuskan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka sendiri di sekolah negeri. Putusan Mahkamah Agung itu mengakhiri upaya pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada para anak perempuan dan guru dalam memilih apa yang mereka kenakan.
Lebih dari 800 tokoh masyarakat menandatangani sebuah petisi yang mengecam putusan Mahkamah Agung dan minta Komisi Yudisial agar mempelajari putusan tersebut, serta menyatakan bahwa aturan wajib jilbab inkonstitusional dan diskriminatif. Pada Juni 2021, Komisi Yudisial menolak permohonan tersebut karena alasan teknis.
Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas menjalankan agama dan keyakinan seseorang, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dewasa dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dan anak laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan yang dikenakan terhadap pemenuhan hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.
Segenap pelindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, lalu Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia telah meratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab juga melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk bebas “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.
Pada tahun 2006, Asma Jahangir, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan paksaan dan penerapan sanksi pada individu yang tidak mau mengenakan busana agamis atau simbol tertentu yang dilihat sebagai kewajiban oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang secara khusus tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”
“Pemerintah Indonesia seharusnya segera mengambil tindakan guna mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat biasa yang berani membahas masalah jilbab secara terbuka dan menyuarakan keprihatinan bahwa peraturan-peraturan daerah ini melanggar hak asasi manusia,” kata Pearson. “Pemerintah seharusnya menyelidiki setiap insiden tersebut dan meminta pertanggungjawaban dari para pihak yang bertanggungjawab sehingga setiap perempuan dewasa dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.”
Cerita Beberapa Perempuan Indonesia
Human Rights Watch wawancara beberapa perempuan tentang perjuangan mereka melawan peraturan wajib jilbab di Indonesia. Para perempuan itu menuliskan cerita mereka, yang lantas disunting seperlunya agar mudah dipahami, dan diterbitkan dengan persetujuan akhir mereka.
Anggun Purnawati, seorang pemandu wisata di Kebumen, Jawa Tengah, juga penganut agama Kejawen Maneges – sebuah agama lokal di Pulau Jawa:
Kami sekeluarga penganut Kejawen Maneges, termasuk anak perempuan saya, Gendhis Aurora, umur 7 tahun, kelas 2 SD Negeri di desa Waluya, Kebumen. Kami percaya bahwa perempuan Maneges tak perlu pakai jilbab.
Di sekolah, Gendhis jadi sorotan. Peraturan seragam sekolah mewajibkan jilbab, baju lengan panjang dan bawahan panjang. Tak ada pilihan. Gendhis tak mau pakai jilbab, selain alasan keyakinan, juga kesehatan. Gendhis sering dapat ejekan bahkan cibiran dari teman-teman sekolah. Dia sering ditakut-takuti “bakal masuk neraka” dan “disiksa karena tak berhijab.” Beberapa guru juga sering menyuruhnya maju ke depan kelas, untuk dicecar tentang alasannya tak pakai jilbab. Kami juga sering dipersoalkan karena tak mengaji dan ikut ibadah lain dalam agama mayoritas Islam.
Widiya Hastuti, usia 24 tahun, mahasiswi Universitas Sumatra Utara, Medan, asal Bener Meriah, Aceh:
Sejak saya masih kecil di Aceh, saya diberitahu bahwa perempuan harus menutupi aurat mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya tidak sepatuh itu. Saya kadang-kadang melepas jilbab dan memakai celana pendek ketika saya pergi ke luar rumah. Jaraknya dekat. Saya takut polisi Syariah akan menangkap saya kalau saya pergi terlalu jauh. Akibatnya, orang tua saya jadi bahan gosip. Beberapa sepupu saya menyebut saya preman. Orang tua saya sering memperingatkan saya, bukan karena mereka ingin saya memakai jilbab, tetapi karena mereka tidak tahan dengan gosip.
Tahun 2016, saya pindah ke Medan, Sumatra Utara, untuk kuliah. Saya merasa lebih bebas untuk berekspresi, memakai apa yang ingin saya pakai. Ibu saya tidak pernah protes. Tapi banyak orang yang penasaran. Mereka bertanya: "Mengapa kamu, seorang gadis Aceh, tidak memakai jilbab?" Atau, "Kalau pulang ke Aceh tidak pakai hijab?" Jawabannya, ketika saya kembali ke Aceh, saya tidak berani melepas jilbab saya. Masyarakat Aceh sekarang semakin menghakimi.
Siti Rokhani, dosen bidang kesehatan masyarakat, Way Jepara, Lampung:
Ini berawal dari Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 1 Lampung Timur. Putri saya mengenakan seragam sekolah lengkap dengan atributnya, tanpa jilbab. Panitia MPLS bertanya, "Agamamu apa?"
Putri saya menjawab, "Islam." Panitia menyampaikan bahwa siswi Muslim wajib pakai jilbab.
Esoknya putri saya tetap tak mengenakan jilbab. Bullying pun dimulai. Dibilang tidak bermoral, dicemooh, dipandang dengan tatapan hina dan diberi kalimat-kalimat dari Hadits yang mereka yakini, yang begitu jauh dari apa yang kami yakini di keluarga. Tiap pulang sekolah anak saya menangis histeris, minta keluar dari sekolah, tidak kuat dengan bullying.
Ketika anak saya menjadi kurang percaya diri, merasa tertekan dan haknya terbelenggu, saya sebagai orang tua melakukan penguatan. Saya menemui guru kesiswaan dan panitia MPLS, guna memastikan aturan seragam sekolah, berdasarkan aturan yang berlaku. Kesimpulannya, sekolah negeri tidak ada aturan yang mewajibkan siswi Muslim berjilbab. Praktik wajib jilbab terjadi sebagai “imbauan” dari guru agama Islam sehingga menjadi kebiasaan. Mereka sepakat tak ada lagi teguran maupun bullying pada siswi yang tidak berjilbab.
Dina Fitriya, guru sekolah negeri, asal Desa Caracas, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat:
Kedua orang tua saya adalah guru. Ibu saya, Ipah Maripah, guru SD Negeri 1 Caracas. Bapak saya, Zubaedi Djawahir, guru Madrasah Aliyah milik Persatuan Ummat Islam Cilimus. Bapak juga menjabat sebagai ketua PUI serta sebagai sekretaris panitia pembangunan masjid Caracas dan Cilimus.
Pada 2000, Bapak, keluarga dan pengikutnya dipanggil puluhan tokoh agama Islam di Hotel Ayong Linggajati. Ada lebih dari 100 orang datang ke sana. Mereka berpendapat pandangan-pandangan keislaman Bapak tak sama dengan pandangan mereka. Undangannya dialog, tapi yang terjadi (seolah) Bapak diadili dengan simpulan: sesat. Buntutnya, Majelis Ulama Indonesia bikin fatwa sesat.
Bapak tidak diterima berceramah di masjid mana pun di Kuningan. Namun Bapak tak berhenti, bahkan pengikutnya semakin banyak. Ketegangan dengan MUI cabang Kuningan juga naik.
Pada 20 Januari 2010, rumah kediaman Bapak diserang dan dirusak oleh segerombolan orang bermotor. Mereka berteriak takbir sambil menyerang rumah Bapak saya. Mereka melempari rumah dengan batu, teriak, "Usir orang sesat." Rumah disegel oleh pemerintah Kuningan. Kami sekeluarga terpaksa mengungsi ke Jakarta kecuali saya. Saat saya ambil barang-barang, untuk pindah ke rumah kontrakan di wilayah lain di Kuningan, saya diintimidasi, dimulai dari penaburan paku di jalan agar truk yang membawa barang tidak bisa lewat dan jalan dihalangi pohon tumbang. Pada Februari 2010, Majelis Ulama Indonesia di Kabupaten Kuningan mengeluarkan fatwa bahwa Bapak dan pengajiannya, Millah Ibrahim, “sesat.”
Bapak tak juga mundur. Pada 2011, Bapak perlahan-lahan mulai bicara soal jilbab bukan kewajiban, mula-mula kepada anggota keluarganya, termasuk anak-anaknya, dan diumumkan ke publik pada 2019. Tekanan dan intimidasi terhadap kami makin besar.
Saya sendiri mulai pakai jilbab pada 1991 ketika kelas lima. Pada 2011, saya memutuskan tidak berjilbab ke mana-mana kecuali bekerja di sekolah --semua ID card saya pakai foto berjilbab. Saya melepas jilbab karena klarifikasi Bapak bahwa jilbab hanya sekadar budaya. Bukan syariat. Saya juga tak mau menjadi bagian dari orang-orang yang kampanye jilbabisasi. Pada 2013, Bapak pindah dari Jakarta ke Cirebon, kota besar dekat Kuningan. Tapi insiden-insiden lain masih terjadi pada keluarga kami dan pengikut Bapak saya.
Nisa Alwis, penulis buku Puber Beragama di Negeriku, pengasuh sebuah pondok pesantren di Pandeglang, Banten:
Saya berjilbab sejak lulus SD dan masuk pesantren pada 1986. Jilbab itu terus melekat hingga kuliah S1 dan S2 tamat. Kami biasa diskusi terbuka, juga soal filsafat, di Flinders University, Australia, tapi jilbab tidak terpikir untuk ditanggalkan. Kode etik, yang dua dekade ditanamkan, jadi mengikat. Jilbab diposisikan no debate. Di lingkungan sosial terbangun bahwa jilbab itu bagus, ayo semua berjilbab, yang sudah berjilbab jika melepasnya kurang bagus. Namun saya tak berpikir inilah hidayah, yang tidak berjilbab level imannya lebih rendah. Tapi untuk melepasnya tetap tidak bisa.
Sampai ketika friksi politik agama meninggi di Jakarta. Nurani dibuat muak dengan sikap kelompok "pembela agama" tetapi sikap dan perilaku mereka sulit diterima logika. Betapa nilai-nilai etika di negeri ini sudah bergeser seiring bombastisnya jargon agama. Laju fanatisme nyaris tak ada penahan, dan jilbabisasi adalah gerbang dari simbolisme agama ini. Perempuan seperti saya, maupun anak saya, jadi menanggung risiko dan beban untuk sebuah identitas primordial yang tak berujung pangkal. Jika sekadar berpakaian saja sudah didikte, bagaimana perempuan bisa merdeka dengan pilihan hidup lainnya? Perempuan jika dilemahkan, sebangsa senegara kena imbasnya.
Saya akhirnya membuka jilbab perlahan sekali, seperti tahapan terapi. Dengan beralih pada selendang dan kain kebaya atau dress biasa untuk me-recall ingatan era 1980an. Debat saya layani, dicemooh saya sabar. Dukungan perlu dikondisikan dari keluarga inti maupun lingkaran teman. Kami lakukan ini, berharap lebih banyak orang tersadar; fanatisme agama ada beragam bentuk juga lapisan dan dengan wajib jilbab sesungguhnya kita terpapar.
Hukum aurat dan jilbab adalah tafsiran ulama dan itu bisa relatif dari masa ke masa. Tinjauan Ushul Fikih mengenai jilbab pun sesungguhnya fleksibel: "Segala sesuatu itu boleh. Kecuali ada dalil yg melarangnya.”
Tak satu pun ayat Al-Qur'an menyatakan rambut adalah aib atau jilbab itu wajib. Pakaian hanyalah bungkus, tampilan, bukan esensi. Ratusan tahun ulama kita tak melarang masyarakat menari, berkesenian, mengenakan berbagai ornamen keindahan, hingga khazanah itu sampai di era kita. Lalu kini orang-orang dipaksa berubah dan meninggalkannya? Jangan sampai kita jadi bangsa yang linglung karena tercerabut dari akar budayanya.
Sheilana Nugraha, 25 tahun, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta:
Sejak SD kelas 4 saya dipaksa pakai jilbab oleh ibu tiri saya. Suasana di rumah tidak baik, saya sering ditinggal ayah, dianggapnya baik saja. Realitasnya parah.
Saya masuk SMAN 2 Sragen pada 2012, diminta pakai jilbab di sekolah. Pada 2013, saya ditabrak seorang ibu naik motor sampai semaput. Saya ingin tinggal dengan mama di Sragen, dekat SMAN 2.
Mama saya Kristen. Papa saya Muslim. Saya lepas jilbab dan baju seragam juga pendek, walau mama masih antar saya ikut pengajian. Saya satu-satunya murid Muslim yang tidak pakai jilbab di sekolah. Ada siswi Kristen, jumlahnya kecil tak sampai 10 orang di sekolah, tak pakai jilbab semua.
Saya dihampiri guru sejarah, perempuan pakai jilbab, juga tetangga saya. Dia memarahi, menunjuk-nunjuk saya, dibilang “tidak akan sukses tanpa jilbab dan akan masuk neraka.” Saya menangis, dipermalukan, disaksikan banyak murid, di depan kelas dekat whiteboard dan pintu kelas. Malu, nangis saya, tertekan batin.
Berhari-hari begitu, berturut-turut, ada tiga guru perempuan (biologi, matematika, bahasa Prancis) plus guru agama Islam (lelaki), ikut merundung. Guru agama Islam tak bikin saya menangis tapi menyindir. Guru matematika juga wali kelas saya. Nilai saya dibikin jeblok. Kepala sekolah diam saja.
Pada 2014, guru sejarah memarahi saya lagi, saya menunduk sambil nangis. Dia memukul kepala saya di sekolah. Guru biologi bikin jeblok nilai saya di rapor. Dia sering tak bahas soal kimia di kelas, tapi soal jilbab saya.
Saya lulus pada 2015 dan diterima di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Pada 2020, saya diminta mengumpulkan foto buat ijazah S1. Seorang petugas administrasi fakultas mengirim pesan dan bilang foto saya tak pakai jilbab. “Ini mau ditempel di ijazah lho? Kok mbak nggak pakai jilbab?” kata petugas. Dia bilang semua teman saya pakai jilbab. Dia minta saya memikirkan lagi, dikasih waktu seminggu. Ada desakan agar saya pakai foto berjilbab lewat WhatsApp. Tapi saya tolak.
Ruhadie Bae, seorang pengusaha kecil, Cirebon:
Saya sekeluarga adalah penganut agama Islam. Putri pertama saya, Keyla Aleyda Nirvana Putri, sekolah di SMUN 1 Babakan Cirebon. Putri kedua, Cleonara Aura Nareswari, sekolah di SMPN 1 Babakan Cirebon.
Kami memahami tak ada secuil perintah dalam Al-Qur'an soal wajib jilbab. Saya belajar dari Bapak Zubaedi Djawahir pada 2016 bahwa Qur’an justru kita diarahkan untuk lebih dekat dengan pakaian dan budaya lokal. Kami sekeluarga tak mau berdusta pada prinsip ini. Namun di sekolah, putri-putri saya ditekan agar pakai jilbab.
Kami percaya seorang Muslim di Jawa harus dekat dengan kebaya. Tuhan menciptakan keberagaman. Tuhan mengajarkan kita untuk mencintai negeri sendiri, budaya sendiri.
Putri-putri saya selalu dapat bully dari guru-guru atau teman-temannya. “Hey, kamu Kristen ya? Kok jilbabnya nggak dipakai ya? Kalau pelajaran agama jilbabnya dipakai ya?” Tapi kami diam saja.
Saya datang ke sekolah dan beritahu ke wali kelas masing-masing. Kedua sekolah memberikan kebebasan. Wali kelas sangat support. Tapi ada saja guru lain intimidasi secara halus. Dan bully dari teman selalu ada. Syukur, putri-putri saya pandai bergaul. Sahabatnya banyak. Jadi ada teman-temannya ikut ngebela.
Henny Supolo Sitepu, Ketua Yayasan Cahaya Guru, Jakarta:
Yayasan Cahaya Guru sering memberikan pelatihan pengelolaan kelas untuk sekolah-sekolah negeri. Sejak 2007, saya mulai sering dapat keluhan guru-guru perempuan mengenai “kewajiban berjilbab.” Tak ada aturan tertulis. Para guru menerima tekanan berat karena jilbab dikaitkan dengan moral. Tidak mengenakan jilbab dianggap tidak Islami, bukan contoh yang baik untuk para murid.
Dua kasus yang saya ingat. Seorang guru dianggap menggoda kepala sekolah karena tak pakai jilbab, serta satu guru [di sekolah lain] tak diberi jatah seragam sekolah. Tapi, keluhan disampaikan dengan berbisik. Dan ada syarat: saya tidak boleh membukanya pada umum. Ketakutan terasa sekali.
Berbagai peraturan daerah menulis kewajiban berjilbab disertai sanksi. Sekolah menyerap apa yang terjadi di masyarakat tanpa sikap kritis. Ia memperlihatkan kecenderungan umum: saat busana dikaitkan dengan agama seakan tabu mempertanyakan.
Kelambanan Polisi dan Media Sosial Menyikapi Intimidasi dan Ancaman Terkait Jilbab
Sebagian besar perempuan dan anak perempuan di Indonesia yang kami wawancarai tak melaporkan perundungan atau intimidasi yang mereka alami tapi berusaha menanganinya sendiri. Beberapa dari mereka menyalahkan diri sendiri, dan bilang bahwa mereka percaya mereka belum siap, belum cukup Islami, menggunakan ungkapan: “Belum menerima hidayah.” Tapi beberapa dari mereka melaporkan pelecehan itu ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak kepolisian.
Beberapa pria menyerang Ade Armando, seorang pembawa acara Cokro TV, yang telah menyiarkan laporan tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan dan anak perempuan, ketika dia menghadiri sebuah demonstrasi di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 April 2022. Polisi menangkap enam pria, termasuk Arif Pandiani, yang diduga “provokasi massa” untuk menyerang Ade. Pandiani kemudian membuat video yang berisi klaim bahwa Ade telah meninggal dunia. Ade mengalami cedera otak, mengakibatkan pendarahan, dan dirawat di rumah sakit selama lima minggu, sementara keluarganya pindah sementara dari rumah mereka di Depok, demi keselamatan. Para pria penyerang itu kini sedang menunggu persidangan.
Karna Wijaya, seorang profesor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kemudian mengunggah sebuah komentar di Facebook yang menyerukan agar Ade Armando dan rekan-rekan TV-nya, termasuk Nong Darol Mahmada dan suaminya Guntur Romli, “disembelih.” Romli melaporkan Wijaya ke Polda Metro Jaya atas tuduhan ujaran kebencian dan kekerasan. Polisi membenarkan telah menerima laporan Romli, namun belum memanggil Wijaya untuk diperiksa.
Kata Zubaidah, dia melaporkan berbagai komentar kasar di laman Facebook miliknya ke Mabes Polri di Jakarta pada Maret 2021. Di Facebook, Deni Rahayu mengunggah foto kunjungannya ke kantor Mabes Polri. Dia mengatakan polisi tak menindaklanjuti penyelidikan, tapi foto pengaduan setidaknya bisa menghentikan berbagai komentar kasar dari orang-orang di laman Facebook mereka.
Peraturan soal Jilbab di beberapa tempat Lain di Indonesia
Isu hijab dan pakaian perempuan telah memicu perdebatan global di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, maupun di negara-negara di mana warga Muslim merupakan populasi minoritas dengan jumlah cukup besar.
Sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim. Bali mayoritas Hindu Dharma, empat provinsi lain sebagian besar penduduknya beragama Kristen, dan lima provinsi lainnya seimbang, hampir 50-50 antara penduduk Muslim dan Kristen.
Di Indonesia, aturan wajib jilbab muncul setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Banyak kelompok Muslim konservatif menganjurkan aturan wajib jilbab di Indonesia, mulai dari provinsi-provinsi konservatif seperti Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Aceh. Mereka menggunakan dorongan otonomi daerah pasca-Soeharto untuk mendapat dukungan politik.
Saiful Mujani, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Jakarta, menulis, “Busana mahasiswi Muslimah seperti ini di tanah air adalah gejala umum sebelum tahun 1980an. Banyak pihak yang menyatakan bahwa berhijab dan bahkan bercadar merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Apakah sebelum tahun 1980an ayat-ayat terkait hijab dan cadar itu belum masuk Indonesia?”
Saiful menulis di laman Facebook pada Februari 2022, bahwa, “Yang paling mungkin adalah tafsiran baru atas ayat-ayat itu muncul setelah Revolusi Iran atau lebih belakangan karena pengaruh mode Arab yang semakin kuat di tanah air.”
Saiful melanjutkan, “Apapun alasannya, wajib atau tidak wajib berjilbab adalah soal tafsir manusiawi belaka … dan semuanya terbuka untuk salah. Karena itu seharusnya tidak boleh ada institusi publik seperti kantor pemerintah, sekolah atau madrasah negeri, universitas negeri sekalipun universitas Islam negeri misalnya, yang mewajibkan berjilbab. Mau berjilbab atau tidak diserahkan pada pilihan subyektif muslimah masing-masing.”
Pada Februari 2021, setelah aduan dari ayah seorang siswi SMKN2 Padang, yang beragama Kristen namun dipaksa berjilbab, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membolehkan tiap pelajar perempuan atau guru perempuan untuk memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak di sekolah.
Namun, pada 3 Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan SKB Tiga Menteri setelah ada uji materi yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau di Padang. Majelis hakim beranggotakan tiga laki-laki – Irfan Fachruddin, Is Sudaryono, dan H. Yulius – memutuskan bahwa SKB Tiga Menteri tersebut melanggar empat undang-undang dan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tak memiliki hak untuk memilih pakaian seragam mereka.
Beberapa cendekiawan Muslim di Indonesia yang berpendapat bahwa jilbab seharusnya tidak diwajibkan, apalagi dirundung dan dipaksa dengan sanksi bahkan kekerasan. Pada Januari 2022, Nisa Alwis, seorang cendekiawan yang turut mengelola pesantren keluarganya di Pandeglang, Banten, menulis di Facebook, “Di antara hoax terbesar abad ini adalah ajaran bahwa terlihat rambut itu tidak sopan, bahwa rambut wanita menarik manusia masuk neraka. #enough. Tidak perlu berlebihan. Wajar-wajar saja, kasihan anak cucu kita.” Nisa mengatakan, sejak saat itu dia sering menerima pesan di Facebook, yang merundung dan mengintimidasinya.
Kurangnya Pertanggungjawaban Staf atas Pelecehan di Sekolah
Pada tahun 2021, setelah Human Rights Watch menerbitkan laporan tentang penderitaan yang dialami perempuan dan anak perempuan karena aturan wajib jilbab, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengirim sejumlah inspektur untuk mengunjungi sejumlah sekolah di Jawa dan Sumatra. Para inspektur membujuk para kepala sekolah yang mereka datangi untuk menurunkan papan reklame sekolah yang berisi pengumuman wajib jilbab. Para pengawas itu juga meminta para kepala sekolah agar tak memaksa para siswi untuk memakai jilbab. Namun, tak ada kepala sekolah atau guru yang dijatuhi sanksi. Kementerian juga menyiapkan layanan saluran email dan telepon pengaduan untuk menerima laporan pelanggaran.
Pada Januari 2021, di SMKN2 Padang, setelah video mengenai paksaan jilbab tersebar luas dan seorang pengawas sekolah berkunjung, sekolah tersebut berhenti menekan para pelajar beragama Kristen untuk wajib memakai jilbab dan baju lengan panjang. Video yang diunggah di Facebook tersebut dibuat oleh ayah dari seorang siswi yang bersekolah di sekolah itu.
Video tersebut merekam wakil kepala sekolah menekan sang ayah agar putrinya, yang beragama Kristen, mengenakan jilbab di sekolah. Dia bertanya kepada guru itu, "Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?" Guru menjawab, “Bagi SMK2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan.” Si ayah mengunggah surat sekolah kepadanya yang menyatakan bahwa putrinya perlu memakai jilbab. Media melaporkan kejadian itu secara luas. Namun para pejabat Kementerian Pendidiak tak jatuhkan sanksi kepada kepala sekolah dan sekolah masih menekan para pelajar perempuan, yang beragama Islam, untuk memakai jilbab.
Pada Februari 2019, seorang ibu melaporkan di SMPN8 Yogyakarta ke kantor Ombudsman di Jakarta karena kepala sekolah, guru agama Islam, dan siswa lainnya, rutin merundung putrinya agar memakai jilbab. Kantor Ombudsman mengirim seorang peninjau dan minta sekolah untuk mengakhiri pelecehan tersebut. Siswi itu diperbolehkan untuk tak memakai jilbab. Dia menjadi satu-satunya siswi muslim yang tak memakai jilbab di sekolah itu. Namun tak seorangpun dari pihak sekolah yang dijatuhi sanksi.
Seorang guru piano berusia 29 tahun di sebuah sekolah negeri di Bantul, Yogyakarta, kepada Human Rights Watch mengatakan secara bertahap mengatasi rasa sakit fisik dan psikologis yang mendalam akibat aturan jilbab. Dia tak lagi harus memakai jilbab setelah sejumlah inspektur Pendidikan mengunjungi sekolah pada April 2021. Namun para pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak menjatuhkan sanksi kepada kepala sekolah atau guru lain yang dia klaim sudah merundungnya.
Sejumlah penyintas kini mendirikan Forum Berbagi, sebagai tempat curahan hati korban perundungan dan intimidasi jilbab. Mereka mendengarkan korban-korban lain dan membagikan pengalaman mereka sendiri. Para penyintas rutin bicara bagaimana mengatasi trauma yang mereka alami dan mendapatkan kepercayaan diri untuk berjuang dan advokasi hak anak dan perempuan. Banyak perempuan lain mengenakan pakaian kebaya sebagai bentuk protes terhadap aturan wajib jilbab sekaligus menjadikannya cara melestarikan budaya Indonesia.