(Jakarta) - Pemerintah Indonesia seyogyanya menegakkan peraturan baru yang melarang aturan berpakaian yang tidak adil dan diskriminatif bagi siswi dan guru perempuan di berbagai sekolah negeri di Indonesia, kata Human Rights Watch hari ini.
Pada 3 Februari 2021 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mengizinkan setiap siswi atau guru perempuan untuk memilih apa yang akan dikenakan di sekolah, dengan atau tanpa “atribut keagamaan”. Keputusan tersebut memerintahkan pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk meninggalkan peraturan yang mewajibkan jilbab, sebutan untuk penutup kepala, leher, dan dada, yang digunakan di ribuan sekolah negeri di Indonesia.
“Keputusan baru ini merupakan langkah yang sudah lama tertunda untuk mengakhiri aturan berpakaian yang diskriminatif bagi anak perempuan dan perempuan di sekolah negeri di seluruh Indonesia,” kata Brad Adams, direktur Asia di Human Rights Watch. “ Selama dua dekade, banyak sekolah negeri yang mewajibkan siswi dan guru perempuan memakai jilbab, yang menyebabkan perundungan, intimidasi, dan bahkan pengusiran atau pengunduran diri secara paksa. Siswa dan guru seharusnya diizinkan untuk memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak, tanpa ada paksaan atau tekanan.”
Sejak 2001, lebih dari 60 peraturan dan peraturan daerah telah dibuat untuk menegakkan apa yang diklaim oleh pejabat lokal sebagai “ajaran Islam” atau “busana muslimah.” Sebagian besar dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi mayoritas Muslim, mewajibkan siswi Muslim memakai jilbab sejak sekolah dasar. Beberapa pejabat sekolah mengakui bahwa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 45 tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah, tidak secara tersurat mensyaratkan jilbab, namun keberadaan peraturan tersebut menambah bahan bagi sekolah untuk menekan anak perempuan dan keluarga mereka agar anak perempuan memakai jilbab. Human Rights Watch menemukan sejumlah kasus di mana siswi dan guru Kristen non-Muslim juga dipaksa memakai jilbab.
Keputusan baru tersebut menyatakan bahwa siswi dan guru bisa memilih untuk memakai rok panjang dan kemeja lengan pendek atau panjang dengan atau tanpa jilbab. Keputusan ini hanya mencakup sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini tidak mempengaruhi sekolah negeri dan universitas Islam di bawah Kementerian Agama. Peraturan ini mengecualikan Aceh, yang punya pengaturan khusus dan memiliki otonomi lebih luas dibanding provinsi-provinsi lain dan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi mengikuti Syariat atau hukum Islam.
Kepala pemerintah daerah dan kepala sekolah diwajibkan untuk mencabut peraturan wajib jilbab selambatnya 5 Maret. Sanksi akan dijatuhkan kepada kepala daerah atau kepala sekolah yang tidak mematuhi SKB ini. Wali kota dan bupati berwenang memberikan sanksi kepada kepala sekolah yang tidak menegakkan aturan tersebut. Gubernur dapat memberikan sanksi kepada bupati atau wali kota, dan menteri dalam negeri bisa menjatuhkan sanksi kepada gubernur. Menteri pendidikan diberi wewenang untuk menahan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk sekolah yang mengabaikan peraturan tersebut.
Kementerian pendidikan juga menyiapkan layanan telepon 24 jam untuk menerima pengaduan dan memastikan peraturan tersebut ditegakkan sepenuhnya. Video saat pemerintah mengumumkan keputusan tersebut mendapat banyak komentar positif, terutama dari perempuan.
Nadiem Makarim mengatakan bahwa sekolah telah salah menafsirkan peraturan tahun 2014 tentang seragam sekolah di mana ada gambar yang menggambarkan “pakaian Muslimah” dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab, seakan-akan menunjukkan bahwa itu adalah satu-satunya pilihan bagi perempuan Muslim. Makarim mengatakan itu hanya “template” dan peraturan baru ini mengoreksi salah tafsir itu.
Keputusan baru tersebut menyusul laporan Elianu Hia, seorang Kristen, yang merekam seorang guru di sebuah sekolah negeri di Padang, Sumatra Barat, yang memintanya agar putrinya yang beragama Kristen untuk memakai jilbab. Hia mengunggah video tersebut di Facebook, mendorong media dan televisi nasional untuk mengangkat ceritanya ini. Pihak sekolah kemudian mengakui bahwa pihaknya telah memaksa 23 siswinya yang beragama Kristen untuk memakai jilbab. Kepala sekolah minta maaf setelah Makarim mengkritik pemaksaan tersebut, dan bisa jadi mendorong tiga menteri untuk mempercepat penyusunan keputusan tersebut.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kasus Padang hanya “puncak gunung es”. Dia mengatakan peraturan wajib jilbab telah digunakan untuk “mendiskriminasi, mengintimidasi dan menekan siswi sekolah.”
Perjanjian hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas menjalankan keyakinan agama seseorang dan hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi, kata Human Rights Watch. Perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan pakaian yang mereka pilih. Setiap batasan pada hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah, ditetapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif. Aturan wajib jilbab, termasuk yang ada di Aceh, merongrong hak anak perempuan dan perempuan untuk bebas “dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan Undang-undang Dasar 1945.
“Para pembela hak asasi manusia dan hak perempuan akan mengawasi dengan seksama untuk melihat apakah pemerintah menerapkan keputusan baru tersebut,” kata Adams. “Reformasi yang diumumkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi sering kali diabaikan ketika mendapat tentangan dari kekuatan politik dan agama konservatif. Sangat penting bagi pemerintah untuk berpegang teguh pada perlindungan hak-hak anak perempuan dan perempuan.”