Ringkasan
Tadinya hidup kami sederhana. Memang tidak kaya, tapi berkecukupan. Sejak ada kelapa sawit, kami jadi lebih menderita. Saya jadi tidak bisa menafkahi keluarga. Saya punya bayi. Setiap hari saya mesti memberi makan keluarga. Tapi bagaimana bisa, kalau kami [saya dan suami] tidak bekerja. Setiap hari kami harus mencari akal supaya bisa menyambung hidup.
—Leni, Semunying Bongkang, Mei 2018
Satu setengah dekade silam, hutan yang rimbun dengan pohon rambutan mengelilingi rumah Leni, perempuan suku Dayak Iban berusia 43 tahun dan ibu dari dua anak, di Kecamatan Jagoi Babang, Provinsi Kalimantan Barat—daerah yang telah berabad-abad menjadi tempat tinggal masyarakat adat. Kini, mereka hanya punya sepetak lahan untuk bertani, sementara hutan yang dulunya menjadi tempat mereka mencari makan telah dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit yang dikelola sebuah perusahaan domestik.
Ribuan kilometer ke barat, di Pulau Sumatra, tepatnya Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Maliau, seorang perempuan suku Anak Rimba dan ibu dari sembilan anak, kesulitan bertahan hidup dari lahan yang dulu menghidupi sukunya, namun kini hancur akibat perkebunan kelapa sawit yang mulai beroperasi di sana hampir tiga dekade lalu. “Dulu hidup kami lebih baik,” kata Maliau. “Para perempuan di sini bisa menemukan berbagai jenis makanan. Ada juga yang menganyam tikar dan keranjang dari daun kering. Kami merakit lampu dari getah damar. Sekarang tidak ada lagi bahan untuk membuat itu semua.”
Leni dan Maliau adalah dua dari ribuan masyarakat adat yang hidupnya hancur akibat perkebunan kelapa sawit di Indonesia—negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Indonesia adalah rumah bagi 50–70 juta masyarakat adat dan lebih dari 2.330 suku adat, kira-kira seperempat populasi negara ini.
Pergulatan orang-orang seperti Leni dan Maliau tak terlihat dalam berbagai produk konsumen. Turunan minyak sawit masuk ke banyak toko produk bahan makanan termasuk piza beku, cokelat dan hazelnut, kue, dan margarin. Itu semua juga digunakan dalam pembuatan berbagai losion dan krim, sabun, alat rias, lilin, dan detergen. Minyak sawit mentah juga diproses menjadi campuran biodiesel untuk menggerakkan kendaraan dan mesin industri.
Sebuah jaringan kompleks—terdiri dari perusahaan domestik dan internasional—terlibat mulai dari penanaman kelapa sawit, konversi tanaman sawit menjadi minyak, produksi bahan-bahan, dan akhirnya penggunaan bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan produk-produk konsumen yang dijual di seluruh dunia.
Berdasarkan wawancara dengan lebih dari 100 orang, termasuk belasan anggota masyarakat adat dan perwakilan dari berbagai organisasi nonpemerintah, laporan ini mendokumentasikan bagaimana pendirian dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah merugikan masyarakat adat dan merenggut hak-hak mereka atas hutan, penghidupan yang layak, makanan, air, dan kebudayaan.
Human Rights Watch berfokus pada pengoperasian perkebunan sawit milik dua perusahaan—PT Ledo Lestari di Kabupaten Bengkayang-Provinsi Kalimantan Barat, dan PT Sari Aditya Loka 1 di Kabupaten Sarolangun-Provinsi Jambi. Kedua perkebunan sawit ini menghadirkan dampak buruk pada dua kelompok masyarakat adat: Dayak Iban, bagian dari suku asli Dayak di Kalimantan; dan Suku Anak Dalam, masyarakat adat semi-nomaden yang bergantung pada hasil hutan di wilayah Sumatra bagian tengah.
Tambal-sulam hukum dan peraturan yang lemah, diperparah dengan minimnya pengawasan pemerintah dan kegagalan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi uji tuntas hak asasi manusia, mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat di provinsi Kalimantan Barat dan Jambi, menurut hasil penelitian kami. Temuan-temuan ini konsisten dengan penelitian Human Rights Watch sebelumnya, pada 2003 dan 2009, yang menyoroti dampak buruk dari industri pulp dan kertas di Sumatra, serta korupsi, tak memadainya pengawasan, dan kurangnya akuntabilitas perusahaan di sektor kehutanan Indonesia di Kalimantan Barat terhadap masyarakat adat dan komunitas petani.
Konflik-konflik terkait lahan sering kali dikaitkan dengan perkebunan kelapa sawit. Indonesia memiliki sekitar 14 juta hektar lahan yang ditanami kelapa sawit. Tidak ada perkiraan yang jelas tentang jumlah sengketa lahan yang ada, maupun jumlah rumah tangga yang terlantar atau kehilangan akses ke hutan dan tanah adat mereka, termasuk lahan pertanian, akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit ke desa-desa mereka. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah organisasi nonpemerintah, mendokumentasikan lebih dari 650 konflik terkait lahan yang memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga pada 2017—tahun terakhir di mana data yang dibuka untuk umum tersedia. Diperkirakan, rata-rata, ada hampir dua konflik terkait lahan yang muncul setiap hari pada tahun itu.
Deforestasi dalam skala masif seperti itu tidak hanya mengancam kesejahteraan dan budaya masyarakat adat, tetapi juga memiliki signifikansi global, berkontribusi terhadap emisi karbon dan meningkatnya kekhawatiran seputar perubahan iklim.
Tanpa reformasi pemerintah yang diperlukan—baik dari segi legislatif maupun pengawasan—masyarakat adat akan terus menanggung dampak perkebunan kelapa sawit, dan berisiko kehilangan identitas hakiki mereka. Masyarakat adat memiliki hubungan intrinsik dengan lingkungan mereka. Tradisi, pengetahuan, dan identitas budaya mereka berhubungan erat dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Gangguan apapun terhadap lingkungan mereka, seperti dalam kasus suku Dayak Iban dan Suku Anak Dalam, memengaruhi budaya, bahasa, pengetahuan, dan tradisi unik mereka.
Beberapa pemerintahan yang silih berganti di Indonesia menutup mata terhadap pembukaan hutan yang meluas, memfasilitasi pesatnya penyebaran perkebunan kelapa sawit. Dari 2001 sampai 2017, Indonesia kehilangan 24 juta hektar tutupan hutan, sebuah area yang hampir setara dengan luas Inggris Raya.
Pada 2018, Presiden Joko Widodo mengumumkan moratorium atas perizinan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Ini adalah awal yang baik. Tetapi reformasi lanjutan sudah lama tertunda. Dengan mandat baru untuk melanjutkan kepemimpinannya setelah terpilih kembali pada April 2019, Presiden Jokowi memiliki mandat baru untuk memberlakukan dan melaksanakan reformasi yang melindungi hak-hak masyarakat adat agar diakui, dan menikmati hak-hak komunitas mereka atas tanah dan hutan.
Kegagalan Berkonsultasi
Sejumlah undang-undang Indonesia, mulai tahun 1999, mewajibkan perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan perkebunan kelapa sawit untuk berkonsultasi dengan masyarakat setempat di setiap tahapan proyek yang melibatkan serangkaian izin pemerintah.
Dusun Semuning Bongkang dan Pareh di Provinsi Kalimantan Barat, tempat PT Ledo Lestari mulai beroperasi sejak 2004, saat itu adalah rumah bagi sekitar 93 keluarga Dayak Iban. Human Rights Watch tidak menemukan bukti adanya konsultasi yang dilakukan dengan keluarga-keluarga terdampak sampai setelah hutan dihancurkan secara signifikan. Sejumlah warga desa yang diwawancarai Human Rights Watch mengaku terkejut dengan operasi perusahaan; baru menyadari bahwa hutan mereka akan diratakan dengan tanah ketika buldoser dan alat berat lainnya meluncur ke daerah tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut sebelumnya tidak mengadakan konsultasi secara sistematis dan bermakna dengan masyarakat adat pada tahapan-tahapan proyek, untuk memahami sifat dan tingkat risiko terhadap hak asasi manusia. Mormonus, 49 tahun, kepala desa Semunying Jaya (mencakup dusun Pareh dan Semunying Bongkang), mengatakan:
Saya saat itu terkejut melihat alat berat di dekat sungai. Saya tanya, alat-alat itu buat apa. Tukang-tukang itu bilang, untuk membangun jalan negara ke Samarahan, Sarawak [di Malaysia]. Saya mengunjungi barak pangkalan mereka pada 2005, sebulan setelah saya ditunjuk jadi kepala desa. Saya diberi tahu bahwa perusahaan itu namanya PT Ledo Lestari.
Hal serupa terjadi di Kabupaten Sarolangun, tempat PT Sari Aditya Loka 1 memulai operasi mereka pada 1989. Perusahaan itu punya banyak kesempatan untuk berkonsultasi dengan Suku Anak Dalam untuk memitigasi kerugian apapun yang sedang dialami setelah reformasi hukum secara jelas menyatakan kewajiban tersebut. Hukum internasional mengatur agar perusahaan-perusahaan mengadakan konsultasi berkelanjutan. Sampai saat ini, mereka gagal mengorganisir konsultasi yang bermakna dan mencapai kesepakatan untuk memberikan ganti rugi bagi Suku Anak Rimba yang terusir paksa dari hutan mereka. Dalam tanggapannya, perusahaan menyebut bahwa mereka telah mendapatkan hak untuk mengolah tanah dari negara.
Tidak Adanya Kompensasi yang Adil dan Layak
Pihak perkebunan kelapa sawit tidak hanya merusak hutan, lahan, dan sumber daya di dalamnya yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dari generasi ke generasi. Pihak perkebunan juga gagal menciptakan mekanisme untuk menjajaki restitusi atau memberikan kompensasi yang adil dan layak atas kerugian yang diderita, dengan berkonsultasi dengan masyarakat adat yang terdampak.
Di Kalimantan Barat, setelah suku Dayak Iban mengadakan serangkaian protes sejak 2004 sampai 2010, PT Ledo Lestari tampak terlibat dalam konsultasi untuk membujuk sejumlah individu agar menjual tanah keluarganya, tetapi para perempuan adat mengatakan bahwa mereka tidak disertakan dalam diskusi tersebut. Perusahaan melakukan sejumlah pembayaran berkisar antara Rp1.000.000 dan Rp2.000.000 per hektar kepada sebagian dari 93 keluarga yang terdampak. Akan tetapi, kompensasi tersebut tidak memperhitungkan hancurnya hutan adat, karet, dan produk hutan lainnya yang digunakan khususnya oleh kalangan perempuan sebagai bahan pangan atau sumber penghasilan.
Perusahaan tidak memperhitungkan kerugian hebat yang diderita perempuan adat akibat tidak bisa meneruskan pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, seperti menganyam tikar dan keranjang yang bisa dijual untuk menambah penghasilan mereka, dan hilangnya kebudayaan unik milik mereka. Kerugian pada identitas budaya masyarakat adat tampak jelas dalam keseharian masyarakat adat yang kehilangan akses ke hutan adat mereka. Kerugian ini diperparah oleh minimnya rencana untuk mempertahankan apa yang tersisa, dan untuk menyediakan kompensasi atas kerugian yang tidak dapat diperbaiki.
PT Ledo Lestari memberikan “perjanjian” kepada sebagian dari 93 keluarga adat untuk ditandatangani. Sebuah keluarga yang ditinjau oleh Human Rights Watch berjanji akan menukar rumah dan pekarangan dengan yang baru beberapa kilometer dari desa mereka. Tetapi menurut anggota masyarakat, perwakilan perusahaan menjanjikan sejumlah hal lain kepada mereka, seperti kemampuan untuk terus memanen di halaman mereka, sertifikat tanah, saham dari plasma, atau perkebunan warga yang akan didirikan perusahaan, serta fasilitas lain termasuk klinik kesehatan dan sekolah, supaya mereka bersedia meninggalkan daerah tersebut. Tak ada satupun dari itu semua yang terwujud. Komunitas mereka kini berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit PT Ledo Lestari. Menurut mereka, dalam beberapa kasus ketika anggota masyarakat berani memanen tandan buah segar kelapa sawit dari halaman belakang mereka untuk digunakan sebagai bahan bakar memasak, petugas keamanan perusahaan menandai mereka sebagai "pencuri." Human Rights Watch menulis surat untuk PT Ledo Lestari pada dua kesempatan, meminta respons dan umpan balik, tetapi tak ada tanggapan dari perusahaan. Kepolisian Bengkayang pada beberapa kesempatan telah mengutarakan kesediaannya untuk menjadi penengah antara masyarakat yang terdampak dan PT Ledo Lestari.
Warga memperhatikan bahwa lama-kelamaan sungai Kumba dan Semunying, yang terletak di dekat tempat tinggal mereka, yang mereka andalkan untuk minum, memancing, dan melakukan pekerjaan rumah tangga, menjadi semakin tercemar. Human Rights Watch tidak dapat secara independen memverifikasi klaim mereka, tetapi sejumlah warga mengaitkan polusi dengan peningkatan erosi tanah, penggunaan pupuk, ramuan dan pestisida, dan limbah cair dari perkebunan kelapa sawit yang meresap ke tanah dan sungai. Keluarga yang tinggal di sini memiliki pengetahuan tentang sumber daya air dan perikanan yang telah diwariskan turun-temurun melalui metode berbagi pengetahuan tradisional. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidup ini, para warga meyakini bahwa operasi perusahaan dan polutan di sungai berhubungan dengan berkurangnya populasi ikan di sungai terdekat. Untuk menangkap ikan demi memberi makan keluarga mereka, mereka bilang mereka harus menunggu selama satu jam di atas perahu. Para perempuan merasakan dampak karena tidak bisa menangkap ikan di perairan terdekat, karena tidak memiliki perahu sendiri. Warga mengatakan mereka bisa seharian mencari ikan di sungai-sungai terdekat tanpa hasil; kalau sudah begini, mereka terpaksa menghabiskan sedikit uang yang mereka miliki, untuk membeli ikan. Francesca, perempuan suku Dayak Iban berusia 28 tahun dari Semunying Bongkang, mengatakan:
Kadang kita bisa melihat bangkai ikan mengapung di permukaan Sungai Semunying… Itu artinya ada sesuatu yang membunuh mereka—racun dari berhektar-hektar lahan yang dipenuhi sawit. Ketika hujan turun, banyak ikan mati. Kami tidak bisa makan itu.
Saat ini di Provinsi Jambi yang terletak di pusat Pulau Sumatra, suku Anak Dalam hidup dalam kemiskinan yang parah. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa tinggal di tenda terpal, tanpa mata pencaharian. Suku Anak Dalam yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan bahwa dulu mereka hidup mandiri, tetapi sekarang terpaksa mengemis di jalanan atau "mencuri" buah sawit dari area perkebunan untuk dijual dan menghasilkan uang. Perkebunan hanya mempekerjakan segelintir dari sekian ratus orang dewasa Suku Anak Dalam yang diperkirakan tinggal di daerah tersebut. Pada September 2018, Human Rights Watch melihat banyak perempuan dan anak-anak Suku Anak Dalam menjadi peminta-minta uang atau makanan di sepanjang jalan raya di Sarolangun.
PT Agro Astra Lestari, perusahaan induk Sari Aditya Loka 1 yang mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi, memiliki sejumlah kebijakan mengenai keberlanjutan, keterlacakan, dan penanganan keluhan, yang berlaku untuk semua anak perusahaan dan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan tersebut menanggapi surat Human Rights Watch soal dampak yang mereka hadirkan pada Suku Anak Dalam dengan ringkasan terperinci tentang pendidikan, kesehatan dan layanan ekonomi serta program yang mereka sediakan, termasuk dukungan mata pencarian untuk kelompok Suku Anak Dalam yang berhubungan dengan mereka. Suku Anak Dalam dan sejumlah organisasi nonpemerintah di tingkat lokal telah mendekati perusahaan untuk mengembalikan sebagian lahan kepada mereka, tetapi mereka bilang usaha tersebut sia-sia.
PT Ledo Lestari, yang mengoperasikan perkebunan di Bengkayang, Kalimantan Barat, tidak punya kebijakan yang terbuka tentang keberlanjutan atau perlindungan hak-hak masyarakat adat. Mereka juga belum punya keterlibatan dengan Human Rights Watch atau organisasi nonpemerintah di level lokal.
Diperlukan Reformasi Pemerintah
Presiden Jokowi sebaiknya memprioritaskan pembentukan komisi tingkat tinggi yang mencakup perwakilan dari kelompok masyarakat adat guna menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat. Komisi ini sebaiknya memastikan keterlibatan penuh perempuan adat dalam kegiatannya. Menyelaraskan kerangka hukum yang rumit tentang kepemilikan tanah adat sebaiknya menjadi fokus komisi ini. Kelompok-kelompok pejuang hak masyarakat adat di Indonesia telah lama memperjuangkan reformasi ini.
Hak-hak masyarakat adat dikaburkan dalam serangkaian peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi masyarakat adat namun malah melakukan sebaliknya. Akibatnya, masyarakat adat Indonesia harus berjuang agar hak-hak mereka atas tanah adat diakui. Sejumlah besar wilayah adat memang telah dipetakan, tetapi menurut keterangan sejumlah organisasi nonpemerintah setempat masih sangat sedikit masyarakat adat yang memperoleh sertifikat tanah yang resmi.
Untuk mengatasi masalah yang sudah berlarut-larut ini, Presiden Jokowi seyogianya memprioritaskan konsultasi dengan perwakilan masyarakat adat guna merampungkan rancangan undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa prosedur pengakuan hak adat dibuat mudah dan diterapkan dengan baik. Hal ini akan membantu menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 yang memberikan hak bagi masyarakat adat atas hutan adat mereka.
Mengadopsi undang-undang baru dan membentuk komisi tingkat tinggi sangat penting untuk memastikan keberhasilan program strategis yang diusung Jokowi pada 2018, yaitu “Menyelesaikan Pendaftaran Tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap sampai dengan tahun 2025.” Inisiatif yang didanai Bank Dunia ini bertujuan menyelesaikan pendaftaran tanah di Indonesia hingga 2025.
Mekanisme sertifikasi pemerintah Indonesia sejak 2011 yang dikenal dengan sistem kelapa sawit berkelanjutan (ISPO), mengakreditasi perkebunan kelapa sawit yang telah mematuhi peraturan setempat dan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial. Mekanisme sertifikasi ini, yang merupakan pelengkap dari banyak sekali peraturan perundang-undangan terkait akuisisi lahan dan budi daya kelapa sawit, perlu dikaji ulang. LSM mengkritik ISPO karena hanya berfokus pada hukum nasional, perlindungan lingkungan yang tidak memadai, mengabaikan hak asasi manusia, pemantauan dan pengawasan yang lemah, kurangnya mekanisme pengaduan, dan penegakan yang lemah.
Yang terakhir, pihak donor seyogianya mendukung pemerintah Indonesia dalam melaksanakan sejumlah reformasi yang diperlukan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ini mencakup pembuatan basis data guna meningkatkan transparansi dan pengumpulan data konsesi perkebunan; izin-izin terkait yang diperlukan; dan jumlah konflik lahan, status, serta penyelesaiannya. Saat ini, kurangnya data diperparah dengan menempatkan sejumlah informasi yang ada tentang konsesi perkebunan di balik paywall. Sebagai contoh, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menolak memberi akses ke data izin perkebunan dengan alasan paywall, bahkan setelah Mahkamah Agung menegakkan prinsip keterbukaan informasi pada 2017.
Tanggung Jawab Perusahaan
Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengatur tanggung jawab perusahaan di luar yang diwajibkan pemerintah. Implikasi praktisnya adalah meski pengawasan pemerintah buruk, perusahaan seharusnya memiliki mekanisme uji tuntas hak asasi manusia yang independen.
Penelitian Human Rights Watch di Kalimantan Barat dan Sumatra bagian tengah mengindikasikan bahwa perusahaan masih belum memenuhi tanggung jawab mereka terkait hak asasi manusia.
Perkebunan kelapa sawit dan perusahaan-perusahaan terkemuka dalam rantai pasokan minyak sawit perlu membentuk dan menerapkan prosedur uji tuntas hak asasi manusia untuk memastikan agar produksi minyak sawit tidak menyebabkan atau turut berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia bagi masyarakat terdampak.
Perusahaan, investor, dan negara-negara yang mengimpor minyak sawit dari Indonesia—termasuk Tiongkok, India, Pakistan, dan Belanda—seharusnya secara cermat memantau reformasi yang diperlukan guna memastikan bahwa perkebunan sawit tidak menimbulkan dampak lingkungan dan manusia yang amat merugikan.
Penerapan sejumlah reformasi ini akan memungkinkan Indonesia mendukung berbagai investasi untuk meningkatkan perekonomiannya, dengan tetap melindungi wilayah hutan dan mereka yang terkena dampak dari investasi tersebut, terutama masyarakat adat.
Rekomendasi Kunci
Kepada Pemerintah Indonesia
- Segera mengakui dan melindungi masyarakat adat dan hak-hak mereka atas tanah dan hutan.
- Merevisi sistem sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil, ISPO) agar memenuhi standar-standar internasional hak asasi manusia.
- Menetapkan Mekanisme Resolusi Sengketa Lahan.
Kepada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia
- PT Ledo Lestari dan PT Sari Aditya Loka 1 sebaiknya berinisiatif untuk menggelar mediasi dengan masyarakat adat terdampak guna menyelesaikan keluhan berkepanjangan, dan menawarkan mereka kompensasi atau remediasi.
- Seluruh perusahaan yang menjalankan perkebunan sebaiknya melakukan uji tuntas hak asasi manusia dan menyediakan kompensasi yang adil dan layak, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.
Kepada Negara-Negara Importir Minyak Sawit
- Mewajibkan transparansi dari perusahaan-perusahaan mengenai rantai pasokan minyak sawit mereka.
Kepada Lembaga-Lembaga Donor
- Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lain sebaiknya mendukung pemerintah Indonesia dalam menjalankan reformasi yang diperlukan demi melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah.
Metodologi
Laporan ini disusun berdasarkan riset sejak Februari hingga September 2018, dengan kunjungan lapangan ke Indonesia selama 11 minggu. ini berfokus pada sengketa perkebunan kelapa sawit yang melibatkan klaim masyarakat adat atas lahan dan hutan adat di dusun Pareh dan Semunying Bongkang, Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang di Provinsi Kalimantan Barat, dan kelompok Suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, di Pulau Sumatra bagian tengah.
Kami mendasarkan penelitian kami pada Kalimantan dan Sumatra karena pulau-pulau ini memiliki area perkebunan kelapa sawit terluas dengan konflik berpuluh-puluh tahun antara perusahaan dan warga sekitar, termasuk masyarakat adat.
Para peneliti Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 anggota masyarakat adat, pengacara, dan perwakilan organisasi nonpemerintah bidang sengketa lahan dan reformasi terkait. Dari total jumlah wawancara, 57 dilakukan dengan masyarakat suku Dayak Iban dan Anak Dalam—42 di antaranya dengan perempuan. Human Rights Watch mengadakan empat wawancara dengan kelompok-kelompok berkisar 3 sampai 10 orang; selebihnya merupakan wawancara perorangan.
Sebagian besar wawancara itu dilakukan dalam Bahasa Indonesia, dengan bantuan juru bahasa perempuan. Sisanya dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Pihak yang diwawancara paham dan sadar akan tujuan wawancara ini, bahwa ini bersifat sukarela, sekaligus menyadari bagaimana data hasil wawancara akan dipergunakan. Mereka diberi tahu bahwa mereka punya pilihan untuk menolak menjawab pertanyaan atau mengakhiri wawancara tersebut kapanpun sesuai kehendak mereka. Mereka tidak menerima kompensasi atas partisipasi mereka pada riset ini. Mereka secara lisan menyetujui untuk diwawancara.
Pada Agustus 2018, Human Rights Watch mengirimkan beberapa surat yang menjelaskan riset kami dan daftar pertanyaan kepada PT Ledo Lestari dan PT Sari Aditya Loka 1. Kedua perusahaan tersebut tidak menanggapi surat-surat kami. Pada Juni 2019, Human Rights Watch mengantarkan langsung serangkaian surat berbeda kepada kedua perusahaan itu, berisi temuan-temuan kami dan daftar pertanyaan. Surat-surat ini juga dikirim lewat surat elektronik kepada PT Sari Aditya Loka 1 pada Agustus 2018 dan Juni 2019. PT Ledo Lestari belum memberi tanggapan. Pada Agustus 2019, Human Rights Watch menerima surat melalui email dari Bandung Sahari, Vice-President of Sustainability di PT Astra Agro Lestari Tbk.
Pada Juni 2019, Human Rights Watch mengirimkan sebuah surat kepada Kantor Staf Presiden Indonesia, menjelaskan temuan-temuan kami secara umum terkait konflik lahan, termasuk di dalamnya daftar pertanyaan. Pada Juli 2019, Human Rights Watch mengirimkan sejumlah pesan singkat dan menelepon pejabat pemerintahan daerah di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jambi untuk menjelaskan temuan-temuan kami dan meminta tanggapan mereka. Kami berbincang lewat telepon dengan pejabat Kementerian Sosial di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi; obrolan tersebut telah disertakan dalam laporan ini. Saat ini kami masih menunggu tanggapan dari pejabat-pejabat publik lain yang telah kami hubungi.
Para peneliti kami telah menelaah sumber-sumber data primer, termasuk sejumlah undang-undang, peraturan menteri, tiga putusan pengadilan, dan dokumen hukum lain terkait operasi perkebunan yang kami selidiki di Kalimantan Barat dan Sumatra bagian tengah. Selain itu, kami telah menelaah sumber-sumber data sekunder seperti laporan-laporan organisasi nonpemerintah dan lembaga riset, serta liputan media untuk menguatkan temuan-temuan kami.
Kami menggunakan nama samaran untuk individu-individu yang kami wawancarai, untuk melindungi mereka. Pada beberapa kasus, rincian identifikasi lebih lanjut dirahasiakan untuk mencegah segala bentuk balas dendam terhadap responden kami.
Nilai tukar yang berlaku saat laporan ini terbit adalah sekitar US$1 = Rp14,287; kurs ini digunakan untuk konversi dalam laporan ini, yang secara umum telah dibulatkan.
I. Kelapa Sawit dan Konflik Lahan di Indonesia
Konsumen, tanpa disadarinya, menggunakan minyak sawit dalam keseharian. Minyak sawit adalah minyak nabati yang terbuat dari buah sawit. Minyak sawit ditemukan dalam berbagai produk, termasuk sebagian kosmetik, adonan pizza beku, mi instan, es krim, penganan, sabun mandi, sampo, detergen, dan biodiesel.[1]
Jaringan rumit, yang terdiri dari perusahaan lokal dan mancanegara, terlibat dalam berbagai tahapan penanaman kelapa sawit dan pembuatan produk-produk di atas. Tahapan-tahapan tersebut mencakup penanaman dan pengoperasian perkebunan kelapa sawit besar, ekstraksi dan pemurnian minyak kelapa sawit, pembuatan bahan-bahan, dan penggunaan bahan-bahan untuk membuat dan menjual produk-produk secara global. Perusahaan asing maupun lokal—baik milik swasta maupun pemerintah—membeli dan mengembangkan lahan luas untuk perkebunan kelapa sawit.[2]
Produsen Minyak Sawit Terbesar
Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada 2018, negara ini menghasilkan lebih dari 40 miliar ton minyak kelapa sawit, setara dengan lebih dari setengah total produksi dunia dan lebih dari dua kali lipat dari hasil produksi Malaysia, negara penghasil minyak kelapa sawit kedua terbesar di dunia.[3] Pada 2017, Indonesia diperkirakan mengekspor 75 persen minyak kelapa sawit, utamanya ke negara-negara di Asia—Tiongkok, Vietnam, India, dan Pakistan adalah pasar terbesarnya—diikuti dengan negara-negara di Afrika dan Uni Eropa.[4]
Produksi minyak kelapa sawit diproyeksikan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang, didorong oleh permintaan akan biodiesel di tingkat global.[5] Tetapi permintaan diperkirakan akan menurun di Uni Eropa, yang telah menanggapi kekhawatiran lingkungan sekitar produksi minyak kelapa sawit dengan membatasi penggunaannya di sektor transportasi. UE telah mengumumkan pagu semua impor minyak kelapa sawit untuk bahan bakar nabati (biofuel) pada tingkat 2019 hingga 2023, dan penghentian total pada tahun 2030.[6]
Cepatnya Penurunan Tutupan Hutan
Produksi minyak kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya hutan secara besar-besaran. Antara tahun 2001 dan 2017, usaha komersial di Indonesia telah menghancurkan lebih dari 24 juta hektar tutupan pohonnya, area yang hampir seluas Inggris.[7] Sejumlah sumber pemerintah memperkirakan bahwa perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih dari setengah dari semua penipisan hutan di Indonesia selama periode ini, dengan lebih dari 12,3 juta hektar lahan di bawah produksi kelapa sawit.[8]
Sejumlah perusahaan telah menebangi dan membakari hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan kertas[9], merusak penyerap karbon alami dan berkontribusi terhadap polusi udara yang serius, risiko terhadap kesehatan pernapasan di seluruh kawasan,[10] dan lonjakan emisi karbon.[11] Para ahli memproyeksikan bahwa hilangnya tutupan hutan pada tingkat berkelanjutan akan memiliki konsekuensi krisis iklim yang serius terkait dengan kekeringan yang sering terjadi, gelombang panas, dan efek kenaikan permukaan laut di wilayah pesisir.[12]
Persebaran Konflik Lahan
Perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada hilangnya hutan Indonesia dengan cepat, dan banyak konflik yang timbul terkait kepemilikan dan penggunaan lahan. Banyak perselisihan ini melibatkan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Indonesia adalah rumah bagi sekitar 50 hingga 70 juta masyarakat adat, sekitar seperempat dari populasi negara itu.[13]
Selama bertahun-tahun, konflik-konflik ini terus berlanjut, diperburuk oleh kombinasi berbagai faktor seperti perlindungan yang buruk untuk hak lahan masyarakat adat dan sistem tata kelola lahan yang rumit, yang gagal mencegah ataupun menyelesaikan perselisihan.
Jumlah Sengketa Lahan Terkait Kelapa Sawit
Meski data resmi yang menyeluruh dan terkini tentang konflik tanah sulit diperoleh, data yang sedikit demi sedikit kami dapatkan dari berbagai pihak berwenang memberikan wawasan tentang masalah tersebut.
Misalnya, antara 2012 dan 2014 (tahun-tahun terakhir di mana informasi publik tersedia), Komnas HAM menerima lebih dari 4.800 pengaduan —20 persen dari seluruh pengaduan yang masuk— terkait lahan.[14] Pada 2016, lembaga tersebut memproyeksikan bahwa sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan, termasuk yang menyangkut hutan adat masyarakat adat, akan meningkat.[15]
Menurut Ombudsman RI, lembaga negara independen yang menyelidiki keluhan terhadap administrasi, perkebunan kelapa sawit berkontribusi terhadap jumlah konflik tertinggi di semua sektor pada 2016 dan 2017.[16] Pada 2017, Ombudsman menerima 450 laporan konflik terkait lahan—163 konflik di antaranya melibatkan perkebunan kelapa sawit.[17] Pada 2018, lembaga ini mencatat lebih dari 1.000 pengaduan tanah oleh masyarakat, termasuk oleh masyarakat adat terhadap perusahaan.[18]
Pada 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), koalisi beranggotakan 153 organisasi (petani, masyarakat adat, perempuan, nelayan, dan masyarakat miskin kota), mendokumentasikan sekitar 659 "konflik agraria" (perselisihan terkait lahan) di seluruh Indonesia, membawa dampak pada lebih dari 650.000 rumah tangga.[19]
Perjuangan Masyarakat Adat untuk Mendapatkan Pengakuan Hukum
Di tengah konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat dan korporasi, berbagai kelompok masyarakat adat kesulitan mendapatkan pengakuan hukum atas identitas dan hak-hak kolektif mereka. Organisasi non-pemerintah lokal telah berulang kali menyerukan prosedur yang efektif, ramping, dan terikat waktu dalam pengakuan dan perlindungan atas hak-hak lahan masyarakat adat.
Menurut para ahli bidang hak masyarakat adat, lebih dari 2.330 komunitas adat berbeda tersebar di seluruh nusantara.[20] Tetapi tidak ada data resmi mengenai jumlah komunitas adat yang diakui secara hukum. Satu organisasi nonpemerintah mencatat bahwa pihak berwenang mengakui 18 komunitas adat antara 2015 dan 2017.[21] Pada April 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan peta hutan adat seluas 472.981 hektar, dengan rencana untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan memvalidasi wilayah adat lainnya.[22]
Undang-undang dan hukum di Indonesia mengakui bahwa masyarakat adat ada dan menegaskan hak-hak komunal mereka atas lahan.[23] Pada praktiknya, mewujudkan hak-hak ini memerlukan proses rumit yang mewajibkan kelompok-kelompok masyarakat adat untuk membuktikan keberadaan mereka dan mendaftarkan hak-hak mereka atas lahan. Tanpa pengakuan hukum, kelompok-kelompok yang mengaku sebagai masyarakat adat tidak dapat mendaftarkan hak komunal atas lahan.
Simpang Siur Prosedur Terkait Pengakuan Hukum Masyarakat Adat
Hak-hak masyarakat adat hilang dalam labirin undang-undang Indonesia yang sesungguhnya dirancang untuk melindungi mereka namun pada praktiknya justru sebaliknya. Beberapa undang-undang dan peraturan menjabarkan prosedur untuk pengakuan hukum masyarakat adat atas identitas dan hak komunal mereka atas tanah,[24] yang paling awal dimulai pada 1999 dan yang terbaru sampai 2016.[25]
Pertama-tama, kelompok yang menamai diri sebagai masyarakat adat perlu mendaftar agar diakui secara hukum. Tetapi, sebagian besar kabupaten belum menetapkan prosedur pengakuan. Dan di kabupaten dan provinsi yang telah menetapkan prosedur,[26] peraturan menetapkan antara empat sampai tujuh kriteria yang perlu dipenuhi agar mendapatkan pengakuan.[27] Pihak berwenang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memroses pengajuan: lembaga lokal non-pemerintah seperti Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), mengatakan masyarakat adat yang mengajukan pendaftaran pada 2011 masih menunggu pengakuan secara resmi.[28]
Setelah memperoleh pengakuan hukum, masyarakat adat kemudian perlu mengajukan permohonan kepada beberapa pihak berwenang di setiap tingkatan—kabupaten, provinsi, dan pusat—agar hak-hak mereka atas lahan, hutan, lembaga, dan ilmu pengetahuan adat diakui. Proses ini memberatkan dan sulit dilacak.[29]
Meski sebagian besar wilayah adat telah dipetakan, lembaga lokal non-pemerintah mengatakan hanya sedikit yang diakui secara hukum. Sampai Desember 2018, sebuah inisiatif lokal nonpemerintah terkemuka telah memetakan lebih dari 1.100 wilayah adat yang tersebar di lebih dari 14 juta hektar.[30] Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Indonesia (AMAN) Kalimantan Barat, hanya dua kelompok masyarakat adat yang dapat mendaftarkan hak komunal mereka di Kalimantan Barat.[31]
Putusan atas Lahan Tak Kunjung Diimplementasikan
Pada Mei 2013, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan penting yang memberikan hak masyarakat adat atas hutan adat mereka. Sebelum putusan ini, semua hutan (termasuk adat) secara hukum dianggap bagian dari hutan milik negara; pihak berwenang memberikan hak guna terbatas kepada komunitas adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.[32]
Putusan itu mencegah pemerintah mengeluarkan izin untuk investasi berbasis lahan di hutan adat tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang tinggal di dalam dan di sekitarnya.[33] Namun, enam tahun setelah putusan itu dibuat, PBB dan para ahli lainnya menemukan hanya sebagian kecil dari putusan itu yang sudah diimplementasikan.[34]
Banyak Komitmen Kebijakan dan Tuntutan Legislatif Tidak Dipenuhi
Pencapaian besar selanjutnya dari segi hukum dan kebijakan yang berusaha mengakui hak-hak masyarakat adat terjadi pada 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta pemerintah daerah untuk membuat demarkasi dan melindungi hutan adat.[35] Pada tahun yang sama, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode 2015-2019 menetapkan target untuk memetakan dan membangun hutan masyarakat di lebih dari lima juta hektar hutan adat.[36]
Terlepas dari rencana ambisius ini, pemerintah yang berwenang sejauh ini tidak mengerahkan banyak upaya untuk mengidentifikasi dan melindungi hutan masyarakat adat. Pada 2016 dan 2017, Presiden Jokowi menyerahkan 29.500 hektar hutan adat kepada 18 kelompok masyarakat adat; hal ini jauh dari yang dijanjikannya dalam rencana pembangunan negara 2015.[37] Menurut data resmi, per 1 April 2019, Indonesia telah membangun 49 hutan adat dengan total area sekitar 32.791 hektar dalam rencana reformasi agraria.[38] Pada tahun 2018, Jokowi mengumumkan moratorium izin perkebunan kelapa sawit baru, sebuah upaya untuk menghentikan deforestasi lebih lanjut dan melindungi lingkungan.[39]
Proses Hukum Utama dan Tanggung Jawab Perusahaan Perkebunan
Beberapa undang-undang dan peraturan Indonesia menetapkan izin yang diperlukan untuk memperoleh lahan dan membangun perkebunan. Perusahaan seyogianya mengajukan izin kepada pihak berwenang yang relevan, dan melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial, termasuk berkonsultasi dengan masyarakat sekitar yang diperkirakan akan terkena dampak.
Mengajukan Izin
Untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit, undang-undang Indonesia mewajibkan perusahaan untuk mendapatkan serangkaian izin pemerintah dari berbagai departemen. Ini termasuk Izin Lokasi[40] yang seharusnya dikeluarkan oleh gubernur, atau bupati, setelah meninjau kepemilikan dan setiap hak yang bersaing atas lahan tersebut.
Sebelum memulai operasi perkebunannya, perusahaan juga harus melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan menerima Izin Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten atau Provinsi[41]; Izin Usaha Perkebunan (IUP) di tingkat kabupaten atau provinsi[42]; izin konversi hutan dari Kementerian Kehutanan di mana lahan yang diajukan untuk perusahaan tumpang tindih dengan hutan[43]; dan yang terakhir, hak untuk “mengeksploitasi” (Hak Guna Usaha - HGU) atau izin pengolahan, dari kantor pertanahan provinsi.[44]
Tugas Berkonsultasi dengan Masyarakat Sebelum Memperoleh Izin
Berbagai peraturan dan undang-undang Indonesia mewajibkan perusahaan untuk berkonsultasi dengan komunitas yang terdampak, sebagai bagian dari pengajuan sebelum memperoleh izin[45]:
a)Sebelum izin lokasi dikeluarkan[46]: Berbagai tahapan konsultasi mencakup sosialisasi tentang proyek, pengumpulan informasi tentang garis dasar sosial dan lingkungan, dan partisipasi masyarakat terdampak dalam perumusan solusi untuk masalah-masalah seperti pemindahan.[47]
b)Sebelum perusahaan memperoleh izin lingkungan dan izin perkebunan: Penilaian dampak lingkungan dan sosial mencakup konsultasi dengan masyarakat terdampak.[48] Jika masyarakat pemilik lahan dan perusahaan tidak mencapai kesepakatan tentang solusi untuk dampak negatif sosial dan lingkungan, masyarakat dapat mengajukan keberatan dengan komisi penilaian AMDAL yang dibentuk pejabat pemerintah terkait (menteri, gubernur atau bupati).[49] Demikian pula, perusahaan seyogianya melakukan konsultasi sebagai bagian dari proses izin perkebunannya.[50]
c)Sebelum sebuah perusahaan memperoleh izin “hak untuk mengolah”: Perusahaan seyogianya berkonsultasi dengan pemegang hak atas lahan di dalam lahan adat atau lahan lain dengan pemilik yang teridentifikasi, untuk mencapai kesepakatan tentang pengalihan tanah dan kompensasi.[51]
Secara teori, langkah-langkah ini tampak jelas dan linier; pada praktiknya ada kesenjangan dan kurang memadainya pengawasan pemerintah atas cara perusahaan melakukan konsultasi.[52]
Para ahli dan pengacara nonpemerintah setempat yang telah membantu ratusan ribu masyarakat adat terdampak perkebunan kelapa sawit di hampir semua provinsi di Indonesia mengatakan kepada Human Rights Watch, bahwa hampir tidak ada pengawasan atas cara perusahaan mematuhi persyaratan konsultasi berdasarkan undang-undang yang berlaku.[53]
Komunitas berpendapat bahwa di masa lalu beberapa pejabat pemerintah telah melewatkan proses-proses penting seperti konsultasi selama survei kesesuaian lahan (sebelum izin lokasi dikeluarkan) atau proses AMDAL (sebelum izin perkebunan atau izin hak guna usaha dikeluarkan) untuk menerbitkan izin.[54] Saat ini, beberapa proses perizinan ini dilakukan bersamaan pada satu proses pengajuan online yang baru. Para ahli setempat mengatakan bahwa penilaian dampak sosial, kalaupun dijalankan, sebagian besarnya merupakan tindakan mencentang daftar tanpa partisipasi berarti dari masyarakat.[55] Pada dua perkebunan kelapa sawit yang diselidiki oleh Human Rights Watch, masyarakat setempat mengaku baru mengetahui rencana investasi setelah perusahaan memperoleh izin lokasi dan izin lainnya dari pihak berwenang setempat.[56]
Tugas Utama Lainnya: Kompensasi dan Perkebunan “Plasma”
Undang-undang Kehutanan tahun 1999 dan UU Perkebunan tahun 2014 mewajibkan pemegang izin untuk membayar kompensasi atas hilangnya akses masyarakat ke tanah untuk proyek-proyek kehutanan dan pertanian baru.[57]
Undang-undang yang mengatur proses perolehan izin perkebunan juga menyatakan bahwa pejabat yang berwenang harus memverifikasi bahwa perusahaan telah merencanakan pembangunan “perkebunan rakyat” atau “plasma,” atau menyediakan peluang bisnis produktif lainnya untuk masyarakat setempat.[58] “Perkebunan rakyat” adalah skema kemitraan di mana perusahaan mendirikan perkebunan untuk masyarakat seluas sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lahan yang diolah perusahaan. Kemitraan ini bertujuan untuk memberi manfaat bagi penduduk, termasuk mereka yang terlantar melalui kredit, bagi hasil, dan bentuk pendanaan lain yang disepakati.[59]
Sertifikasi “Minyak Sawit Berkelanjutan”
Ada standar sertifikasi minyak sawit global—Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO. Banyak negara penghasil kelapa sawit, termasuk Indonesia, juga memiliki standar nasional.
Mekanisme sertifikasi Indonesia 2011, Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), melengkapi kebanyakan undang-undang yang mengatur pengadaan lahan dan budi daya kelapa sawit. Mekanisme sertifikasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, mendukung komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan keberlanjutan. Mekanisme ini mengakreditasi perkebunan kelapa sawit yang mematuhi undang-undang di Indonesia dan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial.[60]
Sistem ISPO tidak memiliki tujuan transparansi sebagai bagian dari mekanisme sertifikasinya. Sertifikasi ISPO bersifat wajib bagi semua pelaku bisnis perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia dengan tanggal dan persyaratan kepatuhan yang bervariasi tergantung skala operasi.[61] Pihak berwenang dapat menurunkan dan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan yang tidak bersertifikat ISPO.[62]
Pada 2011, tahun ISPO didirikan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), yang mewakili lebih dari 700 pengusaha minyak sawit, mengundurkan diri dari RSPO.[63] RSPO adalah inisiatif pemangku kepentingan yang terdiri lebih dari 4.000 anggota, termasuk petani kelapa sawit, pengolah, pedagang, produsen, lembaga nonpemerintah, dan lembaga keuangan. RSPO menerapkan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan sehingga anggota RSPO mematuhi serangkaian kriteria lingkungan dan sosial untuk menghasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan Bersertifikat.[64]
Pada 2015, ISPO dan RSPO menerbitkan studi bersama yang menggambarkan persamaan dan perbedaan mereka. Satu pembeda utamanya adalah fokus sempit ISPO pada hukum nasional.[65] Lembaga nonpemerintah telah mengkritik ISPO karena perlindungan lingkungannya yang tidak memadai, mengabaikan hak asasi manusia, lemahnya pemantauan dan pengawasan (tidak adanya mekanisme pengaduan), dan penegakan hukum yang buruk.[66] RSPO, walaupun memiliki masalah sendiri dan juga dikritik secara luas, dianggap oleh para pembela hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil, lebih baik daripada ISPO karena memiliki mekanisme pengaduan, sistem sertifikasinya menggabungkan hukum internasional, dan mewajibkan transparansi rantai pasokan.[67]
II. Kerugian Manusia Akibat Perkebunan Kelapa Sawit
Human Rights Watch meneliti perkembangan dan pengoperasian dua perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dan Jambi di Sumatra bagian tengah yang melibatkan dua perusahaan besar Indonesia. Kedua perkebunan ini pertama kali beroperasi lebih dari sepuluh tahun lalu, kemudian diperluas, dan terus beroperasi hingga hari ini.
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Panduan PBB 2006 tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, perusahaan bertanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia. Sebagai bagian dari uji tuntas hak asasi manusia, perusahaan-perusahaan itu wajib mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan memperhitungkan dampak kegiatan usaha mereka terhadap hak asasi manusia, serta harus memiliki proses untuk memulihkan setiap dampak negatif terhadap HAM yang disebabkan atau dikontribusikan oleh kegiatan perusahaan.
Riset yang dilakukan Human Rights Watch menemukan bahwa kegiatan operasional kedua perusahaan belum mematuhi peraturan nasional dan standar-standar HAM internasional yang menjamin hak-hak masyarakat adat dan hak-hak adat mereka, terutama yang berkaitan dengan hutan. Masyarakat adat masih terus berjuang dengan dampak serius yang merenggut hak asasi mereka atas penghidupan yang layak, akses terhadap makanan dan air, dan hak atas budaya adat. Hingga kini, mereka tidak diberi kompensasi yang layak atas kerugian yang mereka alami. Kerugian yang secara khusus dialami perempuan adat diabaikan.
Studi Kasus: PT Ledo Lestari, Provinsi Kalimantan Barat
Dulu hutan menyediakan segala kebutuhan kami. Sekarang, saat hujan turun, banjir di mana-mana. Hutan kami lenyap. Tidak bisa menyerap air. Kami tidak bisa menanam apapun. Kami kehilangan segalanya akibat kelapa sawit.
—Lindan, 58-tahun, memiliki tiga anak dan lima cucu, Semunying Bongkang, Mei 2018
Hutan adalah segalanya. Hutan menyediakan air bersih. Air adalah darah … lahan adalah tubuh, pohon-pohon adalah napas. Kehilangan hutan berarti kehilangan segalanya. Kami tidak bisa berdoa kepada Tuhan Kelapa Sawit.
—Mormonus, kepala desa Semunying Jaya, Mei 2018
Sekilas tentang Operasi dan Ekspansi Perusahaan Perkebunan
PT Ledo Lestari, perusahaan perkebunan kelapa sawit asal Indonesia, adalah anak perusahaan Darmex Agro Holding.[68] Darmex Agro adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang juga bergerak di bidang pengolahan dan ekspor minyak sawit. Operasi PT Ledo Lestari di Dusun Semunying Bongkang dan Dusun Pareh, Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, pertama kali dimulai pada 2004.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit telah merusak hutan-hutan adat dan memaksa Suku Dayak Iban, komunitas adat yang tinggal di sana, mengambil satu-satunya pilihan yaitu pindah. Organisasi nonpemerintah AMAN-Kalimantan Barat, yang telah mendampingi masyarakat adat di sana selama lebih dari satu dekade, memperkirakan setidaknya 93 keluarga Suku Dayak Iban tinggal di wilayah tersebut saat operasi perkebunan kelapa sawit dimulai. [69] Saat ini, kebanyakan dari mereka masih tinggal di wilayah tersebut, namun ada juga yang bekerja di Jagoi, atau di Sarawak, Malaysia untuk menghidupi keluarga mereka.
Sejak Agustus 2019, perkebunan PT Ledo Lestari tidak tercantum pada halaman web ISPO sebagai perusahaan bersertifikat ISPO.[70] Human Rights Watch telah berusaha mengkonfirmasi hal ini kepada PT Ledo Lestari, namun belum ada tanggapan. Pada 2013, RSPO mengakhiri keanggotaan perusahaan induk PT Ledo Lestari yaitu PT Darmex Agro, dan satu anak perusahaannya, PT Dutapalma Nusantara, setelah adanya aduan terhadap operasi perkebunan mereka.[71]
Peta Konsesi PT Ledo Lestari
Suku Dayak Iban: Masyarakat AdatSuku Iban adalah salah satu rumpun Suku Dayak yang berasal dari Kalimantan. Sebagian besar Suku Dayak Iban tinggal di negara bagian Sarawak di Malaysia, Brunei, dan wilayah Kalimantan Barat di Indonesia. Pada awal abad ke-21, diperkirakan 2.2 juta masyarakat Dayak tinggal di daerah ini.[72] Suku Dayak, termasuk di dalamnya Suku Iban, memiliki sistem keagamaan kompleks yang berpusat pada roh-roh.[73] Perekonomian desanya mengandalkan sistem pertanian ladang berpindah, perikanan, dan perburuan.[74] Kehidupan suku Iban dan agama saling berkelindan. Budaya mereka berkaitan erat dengan hutan, sungai, sawah, dan lahan. Mereka menggunakan hutan adat untuk mencari makan dan menjalankan ritual. Ritual keagamaan mereka terintegrasi dengan kegiatan menanam, memanen, dan hal-hal yang berkaitan dengan penyembuhan, kelahiran, dan pemakaman. Suku Iban memiliki cerita rakyat yang berisikan mitos dan epos. Meskipun sebagian besar dari mereka memeluk agama Kristen, praktik-praktik adat masih tetap dilakukan. Temenggung, atau pemimpin adat tertinggi, merupakan kepala sistem hukum tradisional mereka, yang memiliki hierarki tersendiri.[75] Mereka menyelesaikan sengketa melalui forum yang disebut Begulu, yang artinya berkumpul dalam Bahasa Indonesia.[76] |
Riwayat Operasi PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya
Human Rights Watch mengumpulkan informasi tentang operasi perusahaan di dusun Semunying Bongkang dan Pareh, desa Semunying Jaya, berdasarkan wawancara dengan lebih dari dua lusin warga suku Dayak Iban yang tinggal di daerah itu, lembaga nonpemerintah setempat yang membantu mereka, dan dokumen-dokumen pemerintah.[77]
Riwayat Operasi PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya Desember 2004: PT Ledo Lestari memperoleh izin lokasi dan izin penanaman dari pemerintah untuk 20.000 hektar.[78] Ini termasuk izin untuk memperoleh 1.420 hektar hutan adat yang telah digunakan masyarakat Dayak Iban selama beberapa generasi.[79] 2005: Perusahaan mulai menebangi hutan di dan sekitar dua dusun, yang memicu protes meluas dari anggota masyarakat. 2006: Polisi menahan dua pejabat desa atas tuduhan kejahatan terkait protes tersebut[80], menahan mereka selama sembilan hari di kantor Polisi Bengkayang. 2006-2009: Penduduk desa mendekati pihak berwenang di Kabupaten Bengkayang dan Provinsi Kalimantan Barat untuk menyampaikan keluhan mengenai ekspansi dan operasi perusahaan yang sedang berlangsung. Akhir 2009: Pejabat Kabupaten Bengkayang “meresmikan” sebuah hutan di dalam area perusahaan. Kondisi hutan yang masih utuh membuat masyarakat setempat meyakini bahwa hal tersebut mengakui klaim mereka atas hutan dan lahan. 2010: Perusahaan mengadakan diskusi dengan para “kepala keluarga” dan merelokasi 32 rumah tangga dari Semunying Bongkang. Perusahaan bernegosiasi dengan dan memberikan kompensasi kepada beberapa keluarga di Pareh dan Semunying Bongkang. 2014: Warga desa menuntut perusahaan dan Kabupaten Bengkayang di Pengadilan Negeri, menolak keberadaan perkebunan kelapa sawit dan mengupayakan pembatalan izin, kembalinya tanah adat mereka, dan kompensasi atas kerugian yang diderita. 2018: Tuntutan tersebut tidak berhasil sebab masyarakat tidak mempunyai sertifikat pemerintah yang membuktikan bahwa mereka adalah kelompok masyarakat adat yang diakui negara, dengan hak-hak adat atas lahan dan hutan. Saat laporan ini disusun, masyarakat sedang merencanakan banding. |
Pada 2018 dan 2019, Human Rights Watch menulis surat untuk PT Ledo Lestari dengan tujuan mendapatkan informasi terkait operasi perkebunan kelapa sawit, penilaian risiko hak asasi manusia, dan langkah-langkah pencegahan risiko, mitigasi, dan remediasi. Perusahaan belum memberikan tanggapan.[81]
Kegagalan Melibatkan Masyarakat Adat dalam Konsultasi dan Kendala bagi Pemulihan yang Efektif
Kata para warga Dayak Iban, PT Ledo Lestari tidak berkonsultasi dengan mereka sebelum memulai operasi perkebunan kelapa sawit. Hal ini merupakan pelanggaran atas sejumlah undang-undang Indonesia.[82]
Lebih dari dua lusin anggota masyarakat adat menyampaikan kepada Human Rights Watch bahwa perusahaan maupun pemerintah tidak terlebih dulu memberikan informasi tentang pembangunan perkebunan kelapa sawit di lahan dan hutan mereka.[83] Warga di dusun-dusun terdampak baru menyadari operasi akan dimulai di wilayah tersebut saat mereka melihat buldoser pada 2004.[84] Mormonus, 49 tahun, kini menjabat sebagai kepala desa, berkata:
Saya saat itu terkejut melihat alat berat di dekat sungai. Saya tanya, alat-alat itu buat apa. Tukang-tukang itu bilang, untuk membangun jalan ke Samarahan, Sarawak [di Malaysia]. Saya mengunjungi barak pangkalan mereka pada 2005, sebulan setelah saya ditunjuk jadi kepala desa. Saya diberi tahu bahwa perusahaan itu namanya PT Ledo Lestari.[85]
Warga desa curiga mereka diberi informasi keliru saat melihat para pekerja perusahaan tiba dengan alat berat yang kian banyak, memperluas barak konstruksi, dan terus memangkas hutan, sawah, dan pepohonan karet mereka.[86]
Jamaluddin, wakil kepala desa berusia 57 tahun, mengingat kembali betapa sedihnya ia saat menyaksikan pekerja perusahaan menghancurkan hutan, dan akibat amarah dan keputusasaan ia bahkan mencoba menghalangi pekerjaan mereka. “Kami mengadakan protes di hari mereka menghancurkan hutan adat. Kami datang ke sana, menghalangi pekerjaan mereka, dan mengancam akan membakar alat mereka.” Ia menjelaskan bahwa pemerintah membawa masuk “militer” dan meratakan hutan mereka, mengabaikan protes warga. “Orang-orang pada menangis; saya sendiri menangis. Saya bilang ke semuanya, jangan menyerang. Kami hanya punya panah dan pisau kecil, sedangkan mereka punya senapan. Kami tak mungkin menang,” ujarnya.[87]
Pada Januari 2006, segera setelah protes, anggota kepolisian menahan dua pimpinan Desa Semunying Jaya, Mormonus dan Jamaluddin, karena mengorganisir aksi protes. Kepada Human Rights Watch keduanya mengaku, bahwa saat mereka ditahan, seseorang yang memperkenalkan diri sebagai direktur grup PT Duta Palm Nusantara mengunjungi mereka, mengiming-imingi uang, dan menawarkan untuk membantu membebaskan mereka dengan syarat mereka mendukung perkebunan kelapa sawitnya. Human Rights Watch menulis surat untuk PT Ledo Lestari pada dua kesempatan tentang hal ini namun belum mendapatkan tanggapan. Kepala desa, Mormonus, berkata, “Dia [direktur] menawarkan saya dan Jamal masing-masing Rp.1 miliar. Dia bilang, ‘Ini kan cuma hutan adat. Kalau Bapak ambil uang ini, Bapak bisa beli hutan lain.’”[88] Keduanya menolak tawaran ini. Mereka dibebaskan 10 hari kemudian tapi sebagian besar hutan adat telah hancur. Penahanan itu menghentikan perlawanan lebih lanjut terhadap ekspansi perkebunan karena penduduk takut ditangkap.
Dari 2006 sampai 2012, masyarakat Dayak Iban mencoba mendekati berbagai pihak berwenang di tingkat kabupaten dan provinsi, terkadang dengan bantuan lembaga nonpemerintah seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), c, dan Persatuan Dayak, untuk mendaftarkan keluhan terhadap operasi perusahaan.[89] Mereka juga menyampaikan keluhan ini kepada Tim Pembinaan dan Pengembangan Perkebunan Kabupaten Bengkayang, Komnas HAM Kalimantan Barat, dan Komnas HAM.[90] Mereka bilang keluhan-keluhan ini tampak mendorong digelarnya penyelidikan pemerintah namun tanpa solusi jangka panjang.[91] Kepolisian Bengkayang, pada sejumlah kesempatan, menyatakan kesediaan untuk mengadakan mediasi antara komunitas terdampak dan PT Ledo Lestari.[92]
Menurut warga desa, pada akhir 2009 Bupati Bengkayang mengadakan upacara yang menurut interpretasi mereka, disampaikan kepada Human Rights Watch, adalah upaya untuk mengakui hak-hak adat atas bagian-bagian hutan yang masih utuh dan di dalam wilayah yang dialokasikan untuk PT Ledo Lestari.[93] Warga juga menyampaikan bahwa “peresmian” tersebut dihadiri pejabat pemerintah setempat, pemimpin adat, dan komunitas Dayak Iban, tapi tidak dihadiri perwakilan perusahaan.[94] Selanjutnya, bupati mengeluarkan perintah yang menetapkan bahwa kawasan hutan Semunying Jaya dilindungi untuk sumber benih.[95] Tetapi pihak berwenang tidak mengeluarkan dekrit yang mengakui hutan adat mereka dan tampak mundur dari pengakuan hak adat sama sekali.[96]
Pada 2009 dan 2010, setelah sebagian besar hutan di sekitarnya dihancurkan, perwakilan perusahaan mengadakan pertemuan dengan beberapa anggota masyarakat—semuanya laki-laki—di dusun Pareh dan Semunying Bongkang. Perusahaan berusaha menegosiasikan paket kompensasi dan rehabilitasi. Tidak ada perempuan Dayak Iban yang diwawancarai Human Rights Watch berpartisipasi dalam diskusi tersebut. Meskipun perempuan-perempuan ini sangat terdampak oleh hilangnya hutan, dampak khusus terhadap perempuan (lihat di bawah) tidak tertangani.
Pada 2011, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat, Hiarsolih Buchori, dikutip mengakui bahwa dalam peta area, bagian dari area perkebunan PT Ledo Lestari tumpang tindih dengan hutan produksi masyarakat tetapi hasil laporan inspeksi yang relevan ada di Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kantornya belum diberikan salinannya.[97]
Tidak Layaknya Kompensasi dan Tidak Dipenuhinya Janji Relokasi
Berdasarkan penuturan para keluarga Dayak Iban yang diwawancarai Human Rights Watch di kedua desa, pada 2010 PT Ledo Lestari menegosiasikan kompensasi dengan beberapa kepala keluarga, namun ini dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa konsultasi berarti.[98] Janji-janji yang dibuat perusahaan untuk meyakinkan warga desa agar menjual tanah mereka hingga kini belum dipenuhi.[99] Pihak perusahaan juga sempat secara lisan menjanjikan sertifikat tanah, skema bagi hasil perkebunan “plasma”, dan fasilitas lain termasuk klinik kesehatan dan sekolah. Perusahaan tidak memperhitungkan dampak negatif terhadap perempuan, seperti hilangnya jaringan sosial yang sebelumnya menjadi bagian dari hidup mereka, hilangnya sumber mata pencarian dari menenun, kesulitan ekstrem dalam mengakses lahan untuk menanam tanaman pangan, dan sulitnya mengelola sumberdaya yang begitu terbatas untuk menopang hidup keluarga mereka.[100]
Di Semunying Bongkang, warga desa mengaku bahwa pihak perusahaan meminta keluarga untuk menandatangani “perjanjian” relokasi, tetapi isi dokumen tersebut jauh berbeda dari janji-janji lisan yang diutarakan sebelum memindahkan para keluarga.[101]
Kompensasi keuangan
PT Ledo Lestari gagal memberi kompensasi kepada seluruh keluarga terdampak. Perusahaan hanya memberi kompensasi kepada sejumlah warga atas lahan yang ditanami dengan pohon karet dan tanaman lain seperti padi. Mereka yang menerima kompensasi melaporkan bahwa jumlah yang mereka terima beragam, dari Rp.1 juta sampai Rp.2 juta per hektar per keluarga.[102]
Keluarga-keluarga itu bilang, mereka tidak tahu bagaimana mekanisme penghitungan untuk ganti rugi tersebut. Mereka mengatakan pihak perusahaan tidak secara sistematis mendokumentasikan kerugian masing-masing keluarga yang terkena dampak, termasuk kerugian yang dialami perempuan, untuk sampai pada penghitungan nilai kompensasi. Perusahaan juga tak mampu memberi kompensasi kepada masyarakat atas hilangnya budaya adat mereka, yang terkait erat dengan hutan dan pertanian.
Relokasi dari Semunying Bongkang
Pada 2010, PT Ledo Lestari merelokasi semua warga dari Semunying Bongkang. Perusahaan memindahkan 21 keluarga ke pemukiman permanen (membangun gedung beton dengan atap seng) di dalam area perkebunan.[103] Perusahaan juga menempatkan 11 keluarga lainnya di “kamp perusahaan” yang tersebar di sekitar wilayah perkebunan sambil menunggu tempat tinggal permanen.
Kepada Human Rights Watch warga Semunying Bongkang mengatakan, relokasi tersebut menyusul “perjanjian” tertulis yang diharapkan ditandatangani oleh para keluarga. Menurut warga, beberapa minggu kemudian orang-orang yang mereka ketahui sebagai perwakilan pihak perusahaan datang lalu membakar rumah-rumah di lokasi asal mereka, bahkan sebelum warga sempat memindahkan barang-barang mereka. Francesca, ibu dua anak berusia 28 tahun, mengatakan bahwa dia dan suaminya menolak direlokasi dan menolak menandatangani “perjanjian.” Francesca mengatakan bahwa perwakilan perusahaan tetap membakar rumahnya, sehingga kini mereka tidak punya tempat tinggal:
Seorang asisten manajer datang ke rumah saya. Pada hari itu, anak laki-laki saya yang tertua sedang demam. Sang asisten manajer mengatakan kepada suami saya, “Lima hektar tanahmu yang di sini sudah tidak ada. Dua hektar yang di sini juga sudah tidak ada. Sana, pergi ke perusahaan dan ambil uangmu.” Suami saya mengatakan dia tidak ingin menjual tanah kami. Beberapa bulan kemudian, ketika saya sedang di rumah ibu saya yang baru [di dalam perkebunan] dan suami saya sedang pergi ke Malaysia, tiba-tiba terdengar suara keras, lalu kami melihat asap mengepul. Saya pergi untuk melihat, dan sungguh gila. Rumah saya sudah terbakar. Semua harta benda kami ada di dalam: sepeda anak saya, pakaian, dan kayu-kayu yang kami kumpulkan untuk membangun rumah, semuanya musnah.[104]
Banyak dari mereka yang menandatangani “perjanjian” itu merasa terpaksa karena hutan mereka sudah ditebangi.[105] Susanti, seorang ibu tunggal berusia 37 tahun dengan empat anak, menuturkan:
[Perusahaan] membabat habis lahan dan bilang saya harus pindah ke tempat lain. Saya terpaksa menjual tanah saya, atau membiarkan mereka akan mengambilnya tanpa bayaran. Saya melakukan ini agar bisa bertahan. Mereka [perusahaan] bahkan tidak menyediakan transportasi untuk memindahkan barang-barang saya [ke lokasi baru]. Mereka membakar kayu dan semua barang-barang yang saya tinggalkan.[106]
Keluarga-keluarga itu bilang, perusahaan tidak berkonsultasi dengan mereka saat memilih tempat relokasi. Dua dari dua puluh satu rumah baru dibangun di atas tanah rendah yang terkena banjir setiap kali hujan lebat.[107] Susanti menceritakan kondisi tempat tinggal mereka setelah direkolasi: “Sebelumnya, ketika hujan turun, air hujan akan masuk ke sungai. Tinggal di sini selama musim hujan, kami terkena banjir. Rumah saya dan satu rumah lainnya dibangun terlalu rendah. Air masuk ke dalam rumah.”[108]
Human Rights Watch telah memeriksa salinan dari “perjanjian” tertulis tersebut. PT Ledo Lestari sepakat mengganti setiap rumah dan halaman belakang di desa sebelumnya dengan satu rumah baru lengkap dengan halaman belakang di lokasi yang baru.[109] Tetapi, dokumen itu tidak mencerminkan hal-hal lain yang menurut warga telah secara lisan dijanjikan oleh perwakilan perusahaan. Kepada Human Rights Watch warga mengatakan bahwa pihak perusahaan menjanjikan akan membangun fasilitas lain di tempat relokasi, termasuk jalan, gereja, klinik, sekolah, dan air dari pipa. Mereka juga dijanjikan bisa memanen kelapa sawit di halaman rumah mereka, hak milik atas tanah dan rumah di lokasi baru, dan plasma atau perkebunan rakyat.[110]
Hingga saat ini, perusahaan masih belum memberikan hak milik tanah yang ditinggali 21 keluarga tersebut.
Keluarga direlokasi ke tengah-tengah perkebunan sawit dengan akses lahan yang sangat terbatas untuk berkebun.[111] Meski menurut warga, perusahaan sempat secara lisan menjanjikan mereka bisa terus memanen di halaman rumah baru mereka, setiap kali mereka mencoba mengambil hasil panen di sekitar rumah, mereka dituduh “mencuri.” Leni, warga Semunying Bongkang berusia 43 tahun, menceritakan:
Perjanjian [lisan] dengan perusahaan adalah bahwa kami bisa memanen dalam jarak 50 meter dari halaman rumah. Tetapi kemudian saya dituduh mencuri dari perusahaan karena memanen dari pohon yang letaknya masih dalam jarak 50 meter dari halaman saya. Mereka bilang kami bisa memanen dari sini untuk membantu membayar biaya sekolah, tetapi mereka berbohong.[112]
Seorang warga lainnya mengaku ditangkap pada 2018 dan diinterogasi petugas keamanan karena memanen kelapa sawit dari pohon di halaman rumahnya. Waktu itu, istrinya mengeringkan sekam kelapa untuk digunakan sebagai bahan bakar memasak. Petugas keamanan lalu melaporkannya ke manajer perkebunan dan menahannya karena telah mencuri. Samsul mengatakan, “Saya ditahan karena memanen kelapa sawit dari halaman saya sendiri… Mereka punya foto istri saya sedang menjemur sekam.”[113] Ia kemudian dibebaskan, tetapi warga lainnya memandang penangkapan tersebut sebagai peringatan bahwa tanah yang mereka tinggali sekarang bukanlah milik mereka.
Janji Perkebunan “Plasma” Tidak Dipenuhi
Kata para warga desa, PT Ledo Lestari mengingkari janji lisan kepada warga untuk memperoleh keuntungan dari perkebunan plasma.[114] Padahal, janji tersebut adalah salah satu alasan mengapa warga bersedia menjual tanah mereka. Samsul, seorang laki-laki berusia 48 tahun, mengatakan: “Perusahaan menjanjikan listrik, air bersih, klinik kesehatan, rumah dari beton, sekolah, dan plasma. Kami sudah melepas tanah kami pada 2010, namun belum menerima sepeser pun pembayaran untuk plasma.”[115] Bahkan setelah lebih dari delapan tahun, belum ada warga yang menerima pembayaran atau keuntungan dari perkebunan plasma; tak satu pun yang memiliki informasi tentang penanaman, pertumbuhan, atau perkiraan hasil panen dari plasma.
Dampak Buruk Pada HAM
Perkebunan kelapa sawit terus menghadirkan dampak buruk pada mata pencarian masyarakat, terutama perempuan, dan terkait akses untuk mendapatkan makanan, air minum, dan juga budaya mereka.
Mata Pencarian
Sebelumnya, hidup kami sederhana, tidak kaya tapi cukup. Sejak kelapa sawit datang hidup kami lebih menderita. Saya tidak bisa memberi makan keluarga saya. Saya punya bayi; Saya harus menyediakan makanan setiap hari di meja. Bagaimana saya bisa melakukannya bila kami berdua tidak bekerja? Setiap hari saya harus mencari cara bagaimana melakukannya.
—Leni, perempuan berusia 43 tahun, Semunying Bongkang, Mei 2018
Sebelum perkebunan kelapa sawit ada, orang Dayak Iban menggantungkan mata pencarian mereka pada mencari ikan di dua sungai terdekat yaitu Kumba dan Semunying, menanam padi, serta menyadap pohon karet. Makanan sehari-hari mereka terdiri dari nasi dan ikan yang mereka pelihara atau tangkap sendiri, dan pendapatan rumah tangga itu mereka pakai untuk membeli kebutuhan tambahan dengan menjual lateks karet alam, beras, kayu, kulit pohon, ikan, dan anyaman tikar serta keranjang di pasar terdekat.[116]
Kegagalan PT Ledo Lestari untuk memberikan kompensasi memadai atas hilangnya mata pencarian—termasuk akses rumah tangga terhadap sumber makanan siap saji—akibat dari perusakan hutan terus berdampak pada masyarakat di sana.
Sebuah tulisan terbitan tahun 2011 di laman blog pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melaporkan:
Perwakilan PT Ledo Lestari, Saut Hutapea, mengatakan, pihaknya siap membayarkan kompensasi sesuai dengan harga yang disepakati dan sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. ‘Kami juga baru menemukan bahwa beberapa perkebunan kami berada di kawasan hutan produksi saat kami mendapatkan penjelasan dari Pusat Konsolidasi Kawasan Hutan,’ kata Saut, dan kami telah menanyakan kepada Bupati Bengkayang, mengapa izin lokasi kami memasuki kawasan hutan produksi?’ [117]
Perkebunan kelapa sawit menyediakan lapangan kerja bagi keluarga asal dusun Semunying Bongkang dan Pareh. Tapi tidak semua keluarga mendapat pekerjaan layak. Menurut organisasi nonpemerintah setempat AMAN, hanya sekitar 10 orang dari 93 rumah tangga terdampak yang dipekerjakan oleh perkebunan kelapa sawit dari total karyawannya sekitar 2.920 orang.[118] AMAN Kalimantan Barat melaporkan bahwa penduduk desa yang dipekerjakan oleh perusahaan memperoleh upah antara Rp 60.000 hingga Rp 80.000 per hari untuk delapan jam kerja.[119] Sebelum perkebunan dikenalkan di daerah tersebut, sebagian besar kebutuhan rumah tangga dipenuhi dari sumber-sumber yang ada di dalam hutan. Pekerjaan berbayar yang tersedia tidak sepenuhnya menggantikan kerugian itu. Banyak keluarga mengatakan hidup mereka lebih buruk daripada sebelum adanya perkebunan kelapa sawit.
Pertanian, sumber mata pencarian dan makanan, terdampak dampak serius. Dengan hilangnya hutan dan tanah pertanian, warga di Semunying Bongkang dan Pareh terpaksa menyewa tanah di desa lain berjarak sekian kilometer, di luar wilayah perkebunan, dan ini menambah pengeluaran.
Margareta, seorang warga Pareh, mengambarkan kesulitan yang dihadapi perempuan di Semunying Bongkang dan Pareh untuk mendapatkan lahan untuk bertani. Migrasi para laki-laki dan feminisasi pertanian membuat perempuan membutuh akses terhadap lahan untuk memproduksi makanan. Margareta mengatakan, perempuan di Pareh bisa mencari sepetak kecil tanah yang jauh dari desa mereka untuk disewa dan ditanami. Tapi ini lebih sulit bagi perempuan di Semunying Bongkang yang hidup dikepung kelapa sawit. Dia mengatakan, “Mereka tidak bisa menemukan tanah untuk disewa. Mereka harus bekerja di perusahaan agar bisa menghidupi keluarga dan itu butuh kerja keras.” Dia mengggambarkan bagaimana seluruh keluarganya di Desa Semunying Jaya harus menjual tanah mereka setelah hutan dihancurkan, dan bersusah payah membayar biaya sekolah anak-anak mereka dengan pendapatan yang mereka dapat dari mengangkut buah sawit yang berat, memotong dahan pohon sawit yang mati, dan menyebarkan bahan kimia (pupuk, pestisida dan herbisida) di perkebunan.[120]
Rinni, seorang ibu berusia 38 tahun dengan tiga orang anak, mengatakan:
Saat saya punya tanah, saya bisa mencukupi hidup saya dan anak-anak. Saya bisa menanam tanaman yang saya butuhkan. Sekarang saya menempuh jalan jauh untuk bekerja [di perkebunan]. Mereka menjanjikan kami kesehatan, pendidikan, perumahan dan lahan...Mereka [perusahaan] tidak peduli dengan kesehatan kami, mereka hanya menginginkan kami sebagai buruh.” [121]
Beberapa orangtua mengatakan anak-anak mereka terpaksa putus sekolah karena mereka tak lagi bisa membayar uang sekolah.[122] Anak-anak dari kedua dusun bersekolah di sebuah sekolah dasar di Pareh, yang bisa ditempuh 30 menit berjalan kaki dari daerah yang dulu adalah Semunying Bongkang. Anak-anak yang lebih besar bersekolah di sekolah menengah di Jagoi, berjarak 20 kilometer, yang tentunya membutuhkan biaya sekolah lebih besar.
Leni, seorang ibu berusia 43 tahun yang punya empat anak di Semunying Bongkang mengatakan:
Putri saya bersekolah di sekolah menengah di Jagoi dan harus putus di tengah jalan... karena saya tidak punya uang. Naik motor ke sekolah butuh dua liter bensin setiap hari. Kalau di asrama butuh biaya Rp 140.000 per bulan plus seragam. Saya tidak punya uang untuk itu. Saya punya kios dan suami saya pergi ke hutan, untuk menebang kayu dan menjualnya ketika butuh biaya besar seperti kebutuhan sekolah. Sekarang hutan sudah tidak ada lagi.[123]
Hilangnya Pendapatan Perempuan dari Membuat Anyaman TradisionalMenganyam, sumber mata pencarian bagi perempuan Iban di Desa Semunying Jaya, hampir musnah. Secara tradisional, perempuan Iban terkenal karena kemampuan menganyam dan menggunakan berbagai hasil hutan untuk membuat barang-barang kebutuhan rumah tangga, termasuk keranjang, tali, dan tikar, yang juga mereka jual di pasar terdekat untuk menambah pemasukan mereka.[124] Hilangnya hutan tak hanya menghapus sumber keuangan lain, tapi juga merusak bentuk kerajinan yang diturunkan dari generasi ke generasi yang punya makna budaya bagi para perempuan Iban. Sebagai contoh, para perempuan di sana mengatakan kepada kami bahwa mereka menggunakan daun dari berbagai pohon untuk menganyam dan membuat rutan atau tali, dan daun pandan untuk membuat tikar. Tapi semua ini sekarang langka. Margareta, seorang perempuan yang dulunya menikmati menganyam dan menjual dagangannya, mengatakan: Sebelum ada perusahaan, para perempuan saat itu membuat anyaman sepanjang lima atau enam meter saat mengeringkan padi. Tapi sekarang sudah sulit menemukan daun pandan. Sekarang ini langka. Aka Kuya [daun dari pohon lain] adalah yang terbaik karena tahan lama. Sekarang kami tidak punya bahan-bahan itu.[125] Para perempuan menjual keranjang dan tikar di pasar-pasar di Jagoi atau di Malaysia. Beberapa keranjang bermotif dijual seharga Rp 250.000 per satuan.[126] Dengan hilangnya hutan dan bahan-bahan yang mereka butuhkan untuk menganyam, para perempuan tak hanya kehilangan sumber pendapatan, tapi mereka malah harus membeli keranjang dan tikar plastik untuk digunakan di rumah, penggunaan uang yang sebelumnya tidak perlu dilakukan.[127] |
Makanan dan Air
Kadang Anda melihat ikan mati mengambang di Sungai Semunying. Kami tidak bisa makan ikan yang sudah mati saat ditangkap. Ini artinya ada sesuatu yang membunuh mereka—racun dari beberapa hektar lahan yang ditutupi kelapa sawit. Ketika hujan banyak ikan mati. Kami tidak bisa makan ikan-ikan itu.[128]
—Francesca, perempuan Dayak Iban berusia 28 tahun, Semunying Bongkang, Mei 2018
Operasi PT Ledo Lestari sangat berdampak pada kemampuan orang Dayak Iban untuk bertani, termasuk untuk bertahan hidup, dan penduduk harus berjuang untuk mendapatkan makanan. Paulina, perempuan berusia 37 tahun dari Semunying Bongkang, mengatakan:
Saya tidak bisa menyediakan makanan setiap hari seperti sebelumnya. Dulu saya menanam padi, dan sayuran di lahan yang tidak terlalu luas. Saya menggunakan hasilnya untuk menghidupi keluarga saya. Sekarang, saya bercocok tanam di belakang rumah, tidak banyak, tapi ini tidak sebagus seperti di ladang saya sebelumnya.[129]
Miun, seorang perempuan berusia 70 tahun, mengatakan: “Dulu, ketika kami punya hutan, para pria pergi ke hutan untuk mencari daging. Mereka berburu dan membawa pulang babi hutan. Sekarang di mana tidak ada lagi hutan, tidak ada daging dalam makanan kami.”[130]
Keluarga-keluarga mengatakan itu karena hanya sedikit dari mereka yang bisa bertani, mereka menghadapi risiko lebih besar tanamannya dirusak oleh burung, yang tertarik pada tanaman yang ditanam. Sebelum perkebunan kelapa sawit ada, semua keluarga di dalam komunitas itu bercocok tanam dan memanen pada saat bersamaan, mengurangi kemungkinan ada lahan sebuah keluarga akan dirusak oleh burung.[131]
Di Pareh, dua perempuan yang sudah bertani selama puluhan tahun mengatakan kepada kami bahwa keluarga mereka menanam padi di tahun 2017 di lahan sewaan terpisah tapi hampir tidak memanen apapun karena semua tanamannya dimakan burung.[132] Kinda, perempuan berusia 48 tahun di Pareh, mengatakan: “Saya kehilangan semua hasil panen tahun lalu, Ibu Margareta juga. Meski saya mengawasi bersama suami saya, burung-burung itu datang di malam hari dan memakan tanaman. Saya bahkan tidak punya benih padi untuk ditanam tahun ini.”[133]
Mereka bilang sebelumnya ketika masih punya tanah adat, setiap orang di dua dusun itu menanam padi. Ini memungkinkan keluarga-keluarga saling bekerja sama berjaga secara bergantian untuk mencegah burung merusak padi. Terlebih, karena ada sedikitnya 90 lebih sawah di tahun 2000 itu, para perempuan itu merasa kerugian mereka tidak besar karena itu dirasakan oleh semua orang.[134] “Para keluarga dulu duduk bersama untuk memutuskan kapan dan di mana akan bercocok tanam. Kami terbiasa bekeja sama untuk menanam dan mengawasi padi [dari burung]. Tahun lalu saya menyewa lahan dan menanam di bulan Agustus. Saya kehilangan semuanya,” kata Margareta.[135]
Human Rights Watch tidak mengetahuinya adanya kajian publik soal dampak lingkungan terkait operasi PT Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya. Upaya berulang yang kami lakukan untuk mendapatkan informasi seperti itu dari perusahaan tidak berhasil. Para penduduk, berdasarkan pengalaman hidup bertahun-tahun di kawasan tersebut, menyatakan persoalan yang mereka hadapi merupakan dampak dari budi daya dan pengolahan minyak kelapa sawit terhadap lingkungan dan mata pencarian mereka.
Penduduk meyakini populasi ikan di sungai terdekat Sungai Semunying dan Kumba telah berkurang sejak perusahaan itu mulai beroperasi. Mereka tidak punya akses untuk mendapatkan penilaian lingkungan yang dilakukan perusahaan atau pemerintah, jika ada. Sebaliknya, rumah tangga yang tinggal di sini memiliki pengetahuan yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang sumber daya air dan perikanan yang telah diwariskan melalui metode berbagi pengetahuan tradisional. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidup ini, warga mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka telah mengamati selama bertahun-tahun sejak perusahaan mulai beroperasi, sungai-sungai menjadi lebih tercemar. Human Rights Watch tidak dapat secara independen memverifikasi klaim mereka, tetapi mereka mengaitkan hal ini dengan peningkatan erosi tanah, penggunaan pupuk dan pestisida, dan pembuangan limbah dari perkebunan kelapa sawit ke sungai. [136]
Sebagai contoh, satu keluarga bernostalgia tentang betapa mudahnya mereka menangkap ikan selama lebih dari tiga dekade, menangkap sekitar delapan kilogram ikan sehari: “Saya memasukkan pukat [jaring ikan] di malam hari dan bisa mendapatkan ikan di pagi hari.”[137] Ini memungkinkan keluarga untuk makan dan menjual ikan yang berlebih. Kata mereka, rata-rata tangkapan semakin menurun setelah perusahaan perkebunan beroperasi—meski mungkin ada berbagai alasan atas menurunnya jumlah ikan yang ditangkap. Keluarga yang sama mengatakan mereka sekarang harus duduk sepanjang hari menunggu tangkapan ikan apa pun bahkan dalam kondisi memancing terbaik sekalipun.
Jampang, seorang tetua adat berusia 67 tahun, mengatakan:
Sekarang susah untuk mendapatkan ikan karena tanah dan lumpur masuk ke pukat. Saat ini, saya harus mengendarai perahu saya berjam-jam di mana sawah dan sungai tidak tercemar oleh perkebunan kelapa sawit, untuk bisa menangkap tiga kilogram ikan.[138]
Perempuanlah yang merasakan dampak ketika tidak bisa menangkap ikan di perairan terdekat. Perempuan tidak memiliki perahu, dan mengaku bisa pergi seharian penuh tanpa menangkap ikan di sungai dekat rumah, mengharuskan mereka menghabiskan uang untuk membeli ikan. Leni, perempuan berusia 43 tahun, yang telah menangkap ikan di Sungai Semunying sejak remaja, mengatakan:
Saya tinggal di sisi Sungai Semunying. Ketika saya dulu memasang umpan dan melemparkan tali, saya langsung dapat ikan. Sekarang [setelah dimukimkan kembali di perkebunan], saya keluar di pagi hari dan sampai hari gelap kadang-kadang saya tidak dapat ikan. Kebanyakan orang di sini [di pemukiman kembali] makan hanya sekali sehari karena kami tidak punya cukup beras. Terkadang, saya membuat bubur, sehingga kami bisa bertahan hidup.[139]
Sejumlah warga mengemukakan kekhawatiran tentang air sungai yang tercemar, membuat mereka harus mencari sumber air lainnya. Beberapa penduduk di Pareh percaya bahwa Sungai Kumba yang sebelumnya mereka andalkan airnya untuk minum, memasak, dan kebutuhan rumah tangga lainnya telah terkontaminasi berdasarkan pengamatan mereka terhadap kualitas air yang terlihat dan kepekaan kulit mereka terhadap air tersebut. Misalnya, Kinda mengatakan, “Air [di sungai] tercemar.” Dia menjelaskan dasar dari pernyataannya:
Perusahaan menggunakan pestisida dan ketika Anda mandi di sungai, tubuh Anda terasa gatal. Ketika mereka menaruh pestisida [di perkebunan] sungai berubah menjadi merah dan kemudian hitam. Orang-orang yang menggunakan sungai mengalami ruam dan pergi ke klinik [pusat kesehatan keliling] untuk diobati. Kami bisa melihat kapan sungai itu bersih dan kapan tidak.[140]
Kinda mengatakan warga menunggu hujan agar bisa mengumpulkan airnya untuk mandi.
Pada tahun 2018, dewan desa menggunakan dananya untuk mengalirkan air ke Pareh, mengurangi ketergantungan masyarakat pada Sungai Kumba untuk konsumsi dan kebutuhan rumah tangga.
Masyarakat juga kehilangan akses ke sumber air ketika perusahaan meratakan hutan dan menutup sumber air yang lebih kecil. Kata beberapa penduduk desa, sumber-sumber air di hilir telah mengering, dan mereka percaya itu karena perusahaan mengalihkan beberapa aliran ke saluran irigasi untuk perkebunan.[141] Sebagian besar warga yang diwawancarai oleh Human Rights Watch percaya bahwa perkebunan mengganggu daerah aliran sungai mereka—yaitu, semua kawasan yang mengalir ke sumber air tradisional mereka—tetapi mereka tidak memiliki informasi resmi tentang hal ini. Dewan desa tidak dapat menyalurkan air ke penduduk dari Semunying Bongkang karena dusun mereka yang dipindahkan berada di perkebunan, memaksa mereka untuk menggunakan apa yang mereka yakini sebagai air tercemar. [142]
Budaya
Perkebunan kelapa sawit telah mengikis budaya Dayak Iban. Dalam sejumlah wawancara dengan Human Rights Watch, orang Dayak Iban mengatakan bahwa budaya mereka terkait erat dengan hutan, sungai, ladang, dan tanah. Mereka menggunakan hutan adat untuk mencari makan dan ritual. Margareta, seorang ibu berusia 40 tahun dan punya dua anak dan seorang pemimpin masyarakat di Pareh, mengatakan, “Saya tahu hutan karena kakek nenek saya menggunakan hutan adat untuk ritual spiritual. Itu adalah tempat yang sakral.”[143]
Margareta mengatakan: “Identitas kami sebagai Dayak Iban sekarang hampir hilang, kami tidak punya hutan. Kakek kami menunjukkan di mana tempat bercocok tanam di hutan, memanen buah-buahan, dan bagaimana hidup bersama.”[144]
Jamaluddin, seorang pria berusia 52 tahun, mengatakan: “Hilangnya hutan kami telah mengubah adat, kebiasaan, dan kehidupan sehari-hari kami. Hutan dulu menyediakan semua kebutuhan kami. Hidup saya tidak begitu sulit ketika saya bisa menjual kulit pohon atau papan kayu di Malaysia. Dan itu bukan hanya saya tetapi semua orang. Sekarang kami jadi budak setiap hari.”[145]
Perusahaan meratakan tanaman dan pohon yang merupakan bagian integral dari kehidupan adat mereka. Para perempuan menunjukkan keranjang yang dibuat oleh nenek mereka, yang mereka warisi pada saat pernikahan. Lindan, seorang perempuan berusia 57 tahun mengatakan, “Kami tidak bisa mengajarkan pada generasi berikutnya karena tidak ada bahan [daun]. Mempelajari teknik ini membutuhkan waktu. Motif dan bunga di keranjang menceritakan sebuah kisah, kisah orang Iban.”[146]
Francesca berduka atas kehilangan mereka yang tak ternilai ini: “Kami kehilangan komunitas kami. Ketika kami menganyam, kami berbincang, tertawa, dan bersama. Tempat ini [lokasi baru di dalam perkebunan] bukan sebuah desa. Anda tidak bisa menyebutnya rumah. Ini adalah tempat penampungan, bukan sebuah komunitas. Ini dimiliki oleh perusahaan.”[147]
Human Rights Watch menulis surat kepada PT Ledo Lestari dalam dua kesempatan meminta tanggapan dan umpan balik mereka namun tak mendapat balasan. Pada tahun 2012 sebuah media melaporkan bahwa ”staf hukum PT Ledo Lestari, Jufendiwan, menjelaskan bahwa 1.420 hektar lahan yang dipertanyakan oleh sejumlah warga baru dikonfirmasikan sebagai hutan pada 2010, ' sementara kami telah mendapatkan izin terlebih dahulu.’”[148]
Studi Kasus: PT Sari Aditya Loka 1, Provinsi Jambi
Sekilas Tentang Perkebunan dan Ekspansi
PT Sari Aditya Loka 1, sebuah perkebunan kelapa sawit Indonesia, mulai beroperasi tiga dekade lalu di Provinsi Jambi. Sejak itu, pengoperasiannya telah berdampak buruk pada suku Anak Dalam, masyarakat adat yang tinggal di sana. Human Rights Watch mewawancarai 31 laki-laki dan perempuan Orang Rimba yang tinggal di area perkebunan PT Sari Aditya Loka 1 di Kabupaten Sarolangun.
PT Sari Aditya Loka 1 adalah milik PT Astra Agro Lestari Tbk, sebuah perusahaan berbasis di Indonesia. Kepemilikan Astra Agro Lestari dapat ditelusuri ke Jardine Matheson Holding Ltd., seorang konglomerat Inggris yang terdaftar di Bursa Efek London.[149] Agro Astra Lestari, salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, bangga akan keberlanjutannya dan punya sejumlah kebijakan. Ini termasuk keberlanjutan, keterlacakan, dan menangani keluhan.[150] ISPO memberikan sertifikat terhadap operasi PT Sari Aditya Loka 1, baik untuk perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawitnya, pada tahun 2013 [151] dan mengauditnya pada Januari 2017.[152] Sertifikasi ISPO berlaku hingga 2018.[153]
Perkebunan kelapa sawit PT Sari Aditya Loka 1 bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Duabelas, di mana taman nasional dan hutan di sekitarnya adalah rumah bagi Suku Anak Dalam.
Perusahaan pertama kali mulai menebangi hutan untuk membangun perkebunan pada tahun 1989.[154] Perusahaan ini memperoleh izin lingkungan pemerintah pada tahun 1995, yang diperbarui pada tahun 2006.[155] Perusahaan telah memperluas perkebunannya sejak Juli 2006, mencakup total sekitar 19.700 hektar di mana sekitar 13.155 hektar adalah untuk “plasma” atau perkebunan rakyat.[156]
Suku Anak Dalam: Masyarakat AdatSuku Anak Dalam adalah masyarakat adat semi nomaden yang punya adat sendiri, mata pencarian yang bergantung pada hutan, keyakinan agama, dan struktur pengambilan keputusan masyarakat. Menurut antropolog yang telah mempelajari adat suku Anak Dalam, komunitas itu tinggal di perkemahan kecil (rombongan), masing-masing dipimpin oleh seorang kepala (Temanggung). Setiap perkemahan terdiri dari pondok-pondok yang berkelompok. Kebiasaan suku Anak Dalam adalah berpindah tempat setiap kali ada seseorang di perkemahan mereka meninggal. Mereka mengikuti sistem matrilineal tetapi komunitas dipimpin seorang laki-laki.[157] Sebelum perkebunan kelapa sawit mengubah hidup mereka, rombongan bervariasi dalam praktik nomaden dan menetap.[158] Beberapa dari mereka hidup nomaden dan semata-mata bergantung pada berburu dan mengumpulkan; yang lain mempraktikkan padi ladang, sistem penanaman umbi atau padi selama satu siklus penanaman dan pindah ke daerah lain setelah panen.[159] |
LSM lokal Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI), yang telah mendampingi Orang Rimba selama lebih dari dua dekade, memperkirakan pada tahun 2017 ada lebih dari 750 Orang Rimba tinggal dalam 11 kelompok (rombongan) atau perkemahan di daerah perkebunan PT Sari Aditya Loka 1.[160]
Akademisi dan peneliti mengatakan bahwa ribuan orang Suku Anak Dalam lainnya terdorong untuk tinggal di dalam taman nasional selama bertahun-tahun karena berbagai alasan, termasuk beroperasinya perkebunan kelapa sawit.[161] Mereka yang tinggal di taman nasional amat jarang berkontak dengan dunia luar dan Human Rights Watch tidak dapat mewawancarai mereka.
Dampak HAM yang Terus Berlanjut
Sebagaimana dibahas di bawah ini, operasi PT Sari Aditya Loka 1 belum cukup mengoreksi bahaya yang operasi mereka timbulkan pada Orang Rimba.
Kepada Human Rights Watch banyak warga Suku Anak Dalam bercerita soal tidak adanya diskusi dengan pejabat pemerintah atau perwakilan perusahaan sebelum tanah dan hutan mereka ditebangi dan ditanami.[162] Meski aturan hukum yang berlaku pada tahun 1989 tidak memberikan tanggung jawab yang jelas pada perusahaan untuk berkonsultasi dengan masyarakat, perusahaan yang melaksanakan operasi sejak penerapan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia seharusnya melakukan uji tuntas hak asasi manusia secara berkelanjutan untuk mengidentifikasi risiko dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi atau memperbaiki kerugian terkait dengan operasi mereka.
Meriau, pimpinan rombongon dari sekitar enam keluarga yang tinggal di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit, mengatakan: “Ini dulunya adalah sawah saya. Itu sebabnya saya tidak meninggalkan tempat ini. Saya telah bertanya kepada orang yang membersihkan sawah saya, dia berkata, 'Tanyakan pemerintah.' Bagaimana caranya saya bertanya pada pemerintah?[163]
Sejak operasi perkebunan kelapa sawit dimulai, Suku Anak Dalam telah tinggal di daerah tersebut tanpa rehabilitasi yang layak. Banyak dari mereka terpaksa tinggal dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 hingga 10 keluarga, memasang sudung (selembar plastik yang diikat ke tiang) di perkebunan kelapa sawit, sering kali tergesa-gesa bergerak ketika ditemukan dan dikejar oleh karyawan perusahaan. Beberapa peneliti Human Rights Watch menyaksikan beberapa perempuan dan anak-anak Suku Anak Dalam mengemis di sepanjang jalan raya.[164]
Suku Anak Dalam, dengan bantuan organisasi nonpemerintah lokal WARSI, bertemu dengan banyak pejabat pemerintah dan perwakilan perkebunan antara tahun 1999 dan 2018 untuk menyelamatkan habitat mereka dan mengembangkan rekomendasi untuk meningkatkan taraf hidup mereka.[165] Pemerintah menciptakan taman nasional, Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagai langkah untuk mengurangi hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati; tetapi menurut Suku Anak Dalam dan WARSI perusahaan tidak memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia mereka, dengan tidak memberikan kompensasi atau mengembalikan tanah kepada Suku Anak Dalam.[166]
Menanggapi pertanyaan soal tidak memadainya proses konsultasi dan kompensasi, perusahaan itu mengatakan mereka mendapat sejumlah izin yang relevan dari pemerintah, yang memiliki otoritas atas tanah tersebut:
Keberadaan PT SAL di wilayah Sarolangan karena permintaan Pemerintah untuk membantu program Perkebunan Inti Rakyat-Trans, yang dimulai tahun 1987….
Lahan yang diusahakan oleh PT SAL-1 adalah dalam bentuk HGU. Oleh karena itu kewenangan terhadap lahan HGU tersebut ada di tangan Negara.[167]
Mata pencarian
Operasi PT Sari Aditya Loka 1 mengganggu penghidupan tradisional Suku Anak Dalam yang bergantung pada hutan dan hasilnya. Sebelumnya, Suku Anak Dalam menggunakan dan membarter produk-produk kehutanan seperti rotan dan tanaman yang menghasilkan "darah naga" (resin merah terang yang digunakan dalam obat-obatan, pewarna, dan dupa) ke desa-desa tetangga melalui perantara yang secara tradisional ditunjuk. Mereka memperdagangkan produk hutan ini demi membeli barang dan jasa.[168]
Salima, seorang ibu dari tujuh anak, yang gubuknya ada di perkebunan kelapa sawit perusahaan mengatakan:
Sebelumnya mudah untuk mendapatkan rotan dan bahan-bahan dari hutan. Saya menjual semua itu kepada calo dari desa. Kami akan berburu dan juga bisa menebang pohon untuk dijual kepada orang-orang di desa. Sekarang kami tidak bisa melakukan ini karena [hutan] telah diubah menjadi minyak sawit. Jika kita mengambil buah kelapa sawit, kita akan ditahan oleh perusahaan.[169]
Maliau, seorang ibu dari sembilan anak mengatakan:
Kehidupan lebih baik sebelum [perusahaan menebangi hutan]. Para perempuan bisa menemukan banyak jenis makanan. Beberapa tikar dari daun dan keranjang ditenun. Kami membuat lampu dari getah damar. Sekarang, kami tidak dapat menemukan bahan untuk membuat semua itu.[170]
Meski mengganggu mata pencaharian tradisional di daerah itu, perkebunan kelapa sawit perusahaan hampir tidak menyediakan lapangan kerja bagi warga Suku Anak Dalam untuk menggantikan kerugian itu. Sebaliknya, organisasi nonpemerintah lokal WARSI menduga bahwa perkebunan tersebut hanya mempekerjakan segelintir orang Suku Anak Dalam di perkebunan dan pabrik pengolahannya. Bandung Sahari, Vice President of Sustainability perusahaan itu mengatakan, ” PT SAL telah memperkerjakan 8 orang dari Komunitas OR sebagai karyawan tetap. Namun 1 orang telah keluar dan saat ini PT SAL-1 sedang memperkerjakan 7 orang karyawan yang berasal dari Orang Rimba, dengan komposisi 6 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.[171] Sebagian besar karyawan perkebunan perusahaan berasal dari transmigran tetangga, sebagian besar desa bukan warga asli desa setempat.[172] Sahari mengatakan: “Kami selalu terbuka dengan warga Orang Rimbo yang ingin bekerja di bekerja di PT SAL dengan mengikuti pelatihan yang kami sediakan agar mereka siap untuk bekerja sebagai karyawan.”[173]
Perusahaan juga mengatakan, sejak tahun 2008, mereka telah mengembangkan program ekonomi penting bagi komunitas Suku Anak Dalam yang berkaitan dengan perkebunan seperti pelatihan montir, pendampingan kebun sayur, budi daya ikan, beternak ayam, penggemukan labi-labi, budi daya jahe dan bertanam jernang (tanaman penghasil getah).[174]
Seorang pejabat pemerintah di Jambi kepada Human Rights Watch mengatakan bahwa PT Sari Aditya Loka telah melakukan sejumlah upaya untuk merekrut orang Suku Anak Dalam tetapi belum membuahkan berhasil. Dia lantas menyalahkan Orang Rimba:
Faktanya adalah orang-orang Suku Anak Dalam [Orang Rimba] ini malas, sangat malas. Mereka tidak tahan bekerja di bawah panas. Saya sudah bekerja dengan masyarakat adat ini selama 27 tahun.… Mereka tidak tahan panas. Sementara itu, bekerja di perkebunan kelapa sawit bekerja di bawah terik matahari, terutama saat pemupukan dan panen. Ini kerja keras.[175]
Meski perusahaan mengembangkan perkebunan plasma seperti yang dipersyaratkan oleh hukum,[176] tak ada seorangpun warga Suku Anak Dalam yang diwawancarai Human Rights Watch terlibat dengan manajemen perkebunan plasma atau peluang bisnis produktif lainnya.[177]
Perusahaan, dalam suratnya kepada Human Rights Watch, menyatakan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab atas pengembangan perkebunan plasma.
Ketika warga Suku Anak Dalam berusaha untuk tinggal dan bekerja di luar perkebunan, mereka menghadapi prasangka. Ketakutan akan perlakuan buruk ini membuat banyak warga Suku Anak Dalam enggan keluar dari tenda-tenda mereka. Beberapa perempuan asal Suku Anak Dalam menggambarkan penghinaan yang mereka alami setiap kali mereka pergi ke desa transmigran untuk membeli makanan. Mai, seorang perempuan muda asal Suku Anak Dalam, mengatakan:
Ketika saya pergi ke desa, orang-orang memanggil saya “Orang kubu,” [sebuah hinaan yang berarti mundur], kata hinaan. Mereka [penduduk desa] menutupi hidung mereka ketika saya lewat. Saya membeli sabun, sampo, dan pakaian baru agar terlihat dan berbau seperti mereka, tetapi tidak berhasil. Mereka masih memanggil saya kubu, saya merasa tidak enak.[178]
Perempuan Dipaksa Mengemis dan MemulungTiga dekade perampasan tanah dan hutan milik mereka telah membuat warga Suku Anak Dalam melarat. Untuk bertahan hidup, beberapa perempuan dan anak-anak asal Suku Anak Dalam mengemis uang tunai atau makanan di sepanjang jalan raya di Sarolangun. Perempuan asal Suku Anak Dalam yang hidup di kawasan perkebunan kelapa sawit mencari buah lepas yang hidup dari tanah. Mereka menjual apa yang mereka kumpulkan kepada “tengkulak” dengan jumlah tak seberapa. Kadang-kadang uangnya dipakai membeli makan mi instan atau nasi — tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan keluarga mereka, terutama anak-anak dan perempuan hamil. Ketika mereka tidak mengumpulkan cukup buah untuk membeli makanan, mereka kelaparan Petugas keamanan perkebunan sering membubarkan tenda-tenda orang Suku Anak Dalam. Tindakan tak terduga semacam itu punya konsekuensi parah bagi orang sakit, tua, bayi, dan perempuan hamil yang paling rentan selama pengejaran. Ketika para peneliti Human Rights Watch mengunjungi sebuah kamp di Bukit Sibanda pada September 2018, orang Suku Anak Dalam harap-harap cemas pada penggerebekan dari penjaga keamanan perkebunan. Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan daerah itu karena seorang perempuan hamil sedang dalam proses persalinan. |
Makanan
Tanpa hutan, pekerjaan, atau cara memberi makan keluarga mereka, banyak warga Suku Anak Dalam menghadapi kemiskinan ekstrem dan rawan pangan. Sejumlah keluarga mengaku sebelum perkebunan dan hilangnya hutan, mereka dapat makan kapanpun dan apapun yang mereka mau. Bahkan jika perspektif yang terlalu optimis, pola makan mereka mengandalkan dan mengambil manfaat dari sumber daya yang tersedia di hutan, menggunakan pengetahuan tradisional yang dibagikan dari generasi ke generasi.
Kata perempuan-perempuan yang lebih tua, sebelum hutan mereka ditebangi, mereka memasak setiap hari. Mereka punya singkong, sagu (ekstrak pati dari batang pohon palem tropis) dan tanaman hutan lainnya, buah-buahan, dan hewan hasil buruan. Muju, seorang perempuan tua yang ingat bagaimana mereka hidup sebelum hutan ditebangi, mengatakan, “Ketika saya punya anak pertama, hutan adalah pasar saya. Saya punya lima anak yang sudah dewasa sekarang dan tidak ada hutan. Saya harus membeli makanan dari pasar desa [Bukit Sibanda].”[179] Prasangka dan kurangnya peluang mata pencarian yang layak berarti para perempuan ini jarang mengunjungi pasar. Beberapa dari mereka mengaku hampir tidak mampu membeli beberapa bungkus mi instan atau beras setiap hari.
Kelompok Suku Anak Dalam yang tinggal di perkebunan kelapa sawit tidak dapat mengakses hasil hutan dan sumber makanan lainnya. Sebelumnya, mereka menggunakan berbagai hasil hutan untuk konsumsi rumah tangga dan menjual sisanya untuk mendapatkan uang. Beberapa warga Suku Anak Dalam mengatakan bahwa mereka kadang-kadang dibiarkan tanpa pilihan lain selain secara diam-diam mengumpulkan dan menjual buah kelapa sawit untuk membeli beras atau mi instan. Terkadang mereka perlu dua atau tiga hari untuk mengumpulkan cukup buah kelapa sawit untuk membeli bekal dan memasak makanan. Kata Sargawi, seorang perempuan yang lebih tua, “Kami bertahan hidup dengan memanen buah sawit jika [karyawan] perusahaan tidak datang untuk mengumpulkan. Jika mereka melakukannya, maka kita tidak punya apa-apa untuk dijual.” Ia mengaku kadang bisa mengumpulkan cukup kacang untuk dijual seharga Rp.50.000 tetapi untuk itu ia harus kucing-kucingan dengan staf perusahaan.[180]
Dalam keputusasaan itu, mereka sering merasa tak punya pilihan selain mengambil risiko berpapasan dengan penjaga keamanan perusahaan. Para penjaga dapat menangkap buah kelapa sawit yang jatuh yang telah warga Suku Anak Dalam kumpulkan, dan bahkan menangkap dan mengadili mereka dengan tuduhan pencurian. Menurut warga Suku Anak Dalam, mereka dulunya mandiri tetapi kini disebut “mencuri” buah kelapa sawit dari area perkebunan untuk menjual dan menghasilkan uang. Selisih, seorang ibu dari tiga anak, mengatakan:
Dua hari lalu, anak-anak saya mengumpulkan beberapa buah [kelapa sawit] dari selokan dan sisa-sisanya dari saat truk mengambil tandan di samping jalan. Ketika satpam perusahaan datang, saya tanya apakah saya bisa menyimpan apa yang saya punya tetapi mereka tak membolehkan. Mereka mengambil tas saya yang berisi buah-buahan.[181]
Ketika mereka tidak bisa mendapat cukup banyak buah palem untuk dijual dan kemudian membuat makanan, mereka hanya merebus buah palem untuk dimakan. Ketika tidak menemukan buah palem sama sekali, mereka sering kelaparan. Meti, seorang ibu dengan dua anak berkata, “Kadang-kadang saya dapat 20 kilogram [buah palem] dan menjualnya seharga Rp.14.000. Saya bisa beli beras, yang hanya akan bertahan sehari. Saya belum pernah memasak dalam dua hari.[182]
Perusahaan mengatakan mereka telah membangun dan terus mendukung sekolah, fasilitas kesehatan, dan program pelatihan keterampilan di kawasan tersebut.[183] Dan juga menyediakan beberapa dukungan mata pencarian langsung kepada beberapa orang Suku Anak Dalam yang bertujuan untuk mengentaskan kelaparan:”PT SAL telah mengembangkan program pengentasan kelaparan untuk mereka yang bersinggungan. Hingga hari ini, setidaknya 1082 Orang Rimba telah menerima bahan makanan pokok yang secara rutin diberikan setiap bulan berupa 15-20 Kg beras dan paket bahan makanan lainnya.”[184]
Kebudayaan
Perkebunan kelapa sawit telah merusak cara hidup tradisional warga Suku Anak Dalam. Kepada Human Rights Watch beberapa dari mereka mengatakan bahwa ketika berada di hutan, kawasan itu dibagi menjadi empat bagian: untuk penguburan, kelahiran, berdoa, dan menanam tanaman dan memanen madu. Karena hampir semua hutan telah ditebangi, kecuali untuk taman nasional, pembagian ini tidak ada lagi dan mereka tidak dapat mengikuti ritual tradisional. Muju, seorang ibu dari lima anak yang masih hidup, mengatakan, “Beberapa yang tinggal di taman [Taman Nasional Bukit Duabelas] masih memiliki beberapa tradisi kami. Kami yang di luar telah kehilangan semua itu.”[185]
Beberapa warga Suku Anak Dalam mengakui, perubahan di hutan telah membawa dampak bagi mereka. Kata Daud, seorang perempuan tua yang mendampingi persalinan, mengatakan bahwa ritual melahirkan tradisional mereka telah hilang: “Sebelumnya, ketika seorang bayi dilahirkan, kami memilih pohon untuk bayi itu. Pohon itu tumbuh, begitu juga si bayi. Pohon itu mewakili sang bayi. Tanpa hutan, kami tidak melakukan ritual ini lagi.[186]
Secara tradisional, Suku Anak Dalam membawa jenazah komunitas mereka ke tempat umum yang jauh dari semua perkemahan. Di sana mereka membangun tempat (rumah pasar’on) yang cukup tinggi agar jenazah itu tak diendus binatang liar. Mereka akan meninggalkan jenazah di sana agar jiwa mereka menemukan jalannya. Mereka tidak lagi dapat menjalankan praktik ini, seperti yang dijelaskan Selisih: “Sebelumnya, saat seseorang meninggal, kami membangun sebuah rumah pasar’on dan meletakkan jenazah di atasnya. Sekarang kami membawa jenazah ke hutan [taman nasional] dan meletakkannya begitu saja di sana dan kami kembali.”[187]
Meriau, seorang perempuan tua, mengatakan kehidupan dan kebudayaan mereka dihancurkan oleh perkebunan kelapa sawit. “Sebelum ada kelapa sawit saya senang. Saya dulu punya rumah, kebun, dan menanam padi,” katanya. Dia menjelaskan bahwa dia dulu tinggal di gubuk tradisional yang terbuat dari kayu dan daun sedang tetapi sekarang terpaksa tinggal di tenda plastik. “Ketika kami memiliki hutan, kami bisa menggunakan tanaman sebagai obat. Sekarang tanpa hutan kami tidak bisa mendapatkan tanaman obat dan kami membeli obat-obatan.” Tetapi mendapatkan uang untuk membeli barang-barang itu jadi tantangan tersendiri. “Setelah ada kelapa sawit, saya terus-menerus lari dari orang-orang yang ingin menangkap saya ketika saya mengumpulkan buah-buah itu,” katanya.[188]
Perusahaan mengatakan mereka memiliki “kebijakan khusus” yang mengatur interaksi petugas keamanan mereka dengan Suku Anak Dalam. Aturan itu meliputi: tidak diperkenankan melakukan intimidasi, kekerasan, dan menggunakan kata-kata kotor atau merendahkan.[189] Tapi perusahaan tidak menyebutkan bagaimana pihaknya memastikan bahwa kebijakan itu diterapkan.
Kebijakan Keberlanjutan Perusahaan dan Mekanisme Keluhan
Astra Agro Lestari (AAL) memiliki PT Sari Aditya Loka 1, yang mengoperasikan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan Keberlanjutan AAL 2015 berlaku untuk “semua operasi dan anak perusahaan saat ini dan di masa depan, termasuk kilang, pabrik, atau perkebunan” yang “mereka miliki, kelola, atau investasikan serta semua pihak ketiga” dari siapa AAL membeli.[190]
Secara khusus, kebijakan tersebut memiliki bagian tentang hak asasi manusia, di mana perusahaan berkomitmen untuk “menegakkan hak-hak semua pekerja, kontraktor, dan masyarakat adat, dan masyarakat lokal sesuai dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia”[191]; “menghargai hak-hak masyarakat adat dan setempat untuk memberikan atau menahan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC)”; dan “menyelesaikan semua keluhan, protes, dan konflik melalui proses yang terbuka, transparan, dan konsultatif… termasuk perwakilan yang adil dan memastikan kompensasi yang layak jika hak-hak mereka dilanggar.”[192]
Human Rights Watch menulis surat untuk PT Sari Aditya Loka pada September 2018 untuk menanyakan tentang penerapan kebijakan keberlanjutan mereka. Dalam suratnya kepada Human Rights Watch, PT Astra Agro Lestari memberikan rincian soal inistiatif pendidikan, kesehatan, dan ekonomi mereka di kawasan tersebut. Perusahaan itu mengaku sudah lebih dari 10 tahun selalu berupaya membantu Suku Anak Dalam.[193] WARSI telah menggelar lebih dari lima pertemuan sejak tahun 2000 dengan PT Sari Aditya Loka dan Astra Agro Lestari Tbk untuk membahas kesulitan yang dihadapi Suku Anak Dalam dengan hilangnya hutan mereka dan untuk mengembangkan langkah-langkah perbaikan. Menurut WARSI, tak banyak yang mereka capai dalam pertemuan-pertemuan itu. “Mereka [PT Sari Aditya Loka] mengaku tidak dapat memberikan lahan kepada Suku Anak Dalam. Manajer [perkebunan] bilang ia tidak punya kekuasaan untuk memberikan tanah kepada Suku Anak Dalam, karena kekuasaan itu ada pada pemilik,” kata Robert Aritonang, manajer program di WARSI.[194] WARSI berpendapat bahwa PT Astra International Tbk, di mana pemegang saham mayoritas adalah Jardine Cycle & Carriage Ltd (yang memiliki 50,11 persen), dan anak perusahaannya Astra Agro Lestari bisa menyediakan lahan alternatif bagi komunitas ini. Sejumlah organisasi nonpemerintah lainnya secara terbuka mengatakan bahwa PT Sari Aditya Loka lamban dalam menerapkan kebijakan keberlanjutannya sendiri.[195]
III. Masalah Utama Tata Kelola Tanah
Penelitian Human Rights Watch di Kalimantan Barat dan Sumatra bagian tengah, serta tinjauan kami tentang hukum-hukum Indonesia dan sejumlah sumber sekunder, mengungkap sejumlah masalah terkait aktivitas komersial dan lahan yang membahayakan hak asasi manusia masyarakat adat di Indonesia.
Kegagalan Menuntut Pertanggungjawaban Perusahaan
Indonesia memiliki banyak undang-undang terkait aktivitas komersial, hak atas tanah, dan masyarakat adat. Penelitian Human Rights Watch pada 2018 dan 2019 di Kalimantan Barat dan Sumatra bagian tengah tidak memberi indikasi bahwa pihak pemerintah Indonesia meminta pertanggungjawaban dari sejumlah perusahaan ketika mereka tidak mematuhi hukum dan peraturan yang ada. Tindakan pemerintah yang cepat dan bermakna akan mencegah dan memperbaiki pelanggaran korporasi yang memengaruhi masyarakat adat.
Mendesak RUU yang Lama Diabaikan
Indonesia memiliki sejumlah undang-undang dan peraturan memusingkan yang memiliki prosedur hak atas tanah yang rumit dan menyebabkan kebingungan dengan sejumlah aturan yang tumpang tindih atau bertentangan.[196] Dua rancangan undang-undang (RUU) - satu tentang hak masyarakat adat dan satu lagi tentang hak atas tanah - dimaksudkan untuk menyederhanakan persoalan. RUU Pertanahan dapat mengklarifikasi peran dan kewenangan berbagai lembaga pemerintah terkait tanah. RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat bertujuan untuk menyederhanakan proses pengakuan masyarakat adat tertentu dan wilayah mereka. RUU ini juga akan menetapkan jalan menuju penyelesaian banyak sengketa lahan di Indonesia.
Kedua RUU tersebut harus melalui konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan agar masalah-masalah penting dapat tertangani.
Konflik Lahan Tak Kunjung Tuntas
Masyarakat yang berjuang untuk menyelesaikan konflik lahan menemukan kurangnya koordinasi di antara kementerian-kementerian penting dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, tanah berada di bawah mandat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kementerian Agraria dan Tata Ruang.[197] Pada saat yang sama, berdasarkan undang-undang kehutanan, hutan dan lahan hutan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perselisihan terkait dengan batas desa juga akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri.[198]
Akibatnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan BPN terus-menerus bergumul mengenai kewenangan atas tanah, yang sering kali meningkatkan sengketa lahan.[199] Dan karena undang-undang mendasar ini dan banyak undang-undang terkait tanah lainnya mengalihkan kekuasaan ke tingkat provinsi dan kabupaten. Ada lebih dari seribu kantor dengan yurisdiksi yang tumpang tindih mengawasi pelaksanaan undang-undang ini.[200]
Lembaga-lembaga yang mendapat mandat untuk memediasi konflik lahan itu belum berhasil membatasi atau menyelesaikannya.[201] Banyak mediasi konflik lahan yang sudah berjalan adalah hasil dari penegakan hukum yang buruk atau pejabat pemerintah yang korup di dalam lembaga-lembaga ini.[202] Pejabat-pejabat yang sama ini tak mungkin dapat menyelesaikan masalah yang mereka buat tanpa memihak.
Mendaftarkan tanah untuk memperjelas hak kepemilikan tanpa menyelesaikan konflik yang mendasarinya juga tak akan menyelesaikan persoalan. Pemerintah telah memperkenalkan sistem baru yang bertujuan untuk memberikan kejelasan tentang penggunaan lahan dan konon mengurangi konflik lahan. Pada Februari 2018, Presiden Jokowi meluncurkan program “Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap hingga 2025” untuk mendaftarkan semua tanah di Indonesia hingga 2025.[203] Ini melengkapi mekanisme lain yang sudah ada dalam pendaftaran tanah.[204] Presiden juga mengarahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengirimkan data tata ruang gambaran hutan di semua wilayah.[205] Bank Dunia telah menjanjikan Bantuan bagi inisiatif presiden untuk mendaftarkan semua tanah pada tahun 2025 itu melalui “One Map Project” atau “Kebijakan Satu Peta.”[206]
Program-program ini tampaknya tak mungkin menyelesaikan masalah konflik lahan di Indonesia secara signifikan. Sejumlah LSM lokal yang mendampingi masyarakat yang terkena dampak telah mengkritik usulan-usulan ini, dengan mengatakan bahwa mendaftarkan bidang tanah yang diperebutkan tanpa menetapkan jalan untuk menyelesaikan perselisihan hanya akan memperburuk konflik antara masyarakat dan bisnis.[207] Ketimbang mempercepat reforma agraria, para ahli merekomendasikan pembentukan sebuah komisi penyelesaian konflik agraria, yang sejauh ini belum diprioritaskan.[208] Komisi itu akan mengkonsolidasikan berbagai forum penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa tanah secepatnya.[209]
Buruknya Pengumpulan Data dan Kurangnya Transparansi
Pengumpulan data dan transparansi yang buruk. Seperti yang dibahas sebelumnya, tidak ada penelusuran yang jelas tentang jumlah konflik lahan, statusnya, dan apakah sudah diselesaikan atau belum, di luar kasus-kasus yang dimediasi yang telah dianalisis. Kesenjangan soal data ini diperburuk dengan menempatkan beberapa informasi yang tersedia dalam sistem berbayar. Misalnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang enggan memberi akses ke data izin perkebunan, menyebutnya sistem berbayar, bahkan setelah Mahkamah Agung memperkuat putusan soal kebebasan atas permintaan informasi.[210]
Sistem perizinan yang ada tidak dilengkapi untuk mencegah konflik tanah. Perusahaan yang tidak melakukan konsultasi yang diperlukan dengan masyarakat beroperasi tanpa akuntabilitas. Masyarakat seharusnya tidak mengetahui bahwa tanah dan hutan mereka telah diberikan kepada perusahaan ketika sudah terlambat untuk mengambil tindakan pencegahan.
IV. Hukum HAM Internasional
Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, Indonesia diwajibkan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat melalui kerangka peraturannya dan memastikan bahwa para korban pelanggaran memiliki akses untuk mendapatkan ganti rugi. Ini termasuk hak-hak masyarakat adat untuk mempertahankan lembaga budaya dan mata pencarian tradisional mereka. Perusahaan memiliki tanggung jawab berdasarkan hukum hak asasi manusia untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan bisnis mereka.
Hak atas Budaya dan Partisipasi bagi Masyarakat Adat
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2007.[211] Meskipun bukan sebuah perjanjian, PBB menganggap deklarasi ini sebagai “standar penting perlakuan terhadap masyarakat adat yang tidak diragukan lagi akan menjadi alat yang signifikan menuju penghapusan pelanggaran hak asasi manusia terhadap 370 juta masyarakat adat di planet ini dan membantu mereka dalam memerangi diskriminasi dan marginalisasi.” Dikatakan bahwa negara-negara seharusnya melarang “tindakan apa pun yang memiliki tujuan atau dampak merampas tanah, wilayah, atau sumber daya [masyarakat adat].[212]
Deklarasi ini mengakui hak-hak masyarakat adat, sebagai kolektif dan sebagai individu, untuk pemenuhan sepenuhnya semua hak berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional.[213] Masyarakat adat berhak mempertahankan lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya mereka yang berbeda.[214] Negara memiliki tugas untuk menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah dan memberikan ganti rugi atas tindakan apa pun yang merampas “integritas mereka sebagai masyarakat yang berbeda, atau nilai-nilai budaya mereka" atau menghilangkan tanah, wilayah, atau sumber daya dari masyarakat adat.[215] Masyarakat adat punya hak untuk menjalankan dan merevitalisasi tradisi dan adat istiadat budaya mereka.[216]
Hukum hak asasi manusia internasional memberikan hak atas cara hidup tertentu sebagai bagian dari hak atas budaya.[217] Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengakui hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak-hak minoritas untuk budaya mereka sendiri.[218] Hak atas budaya telah ditafsirkan mensyaratkan perlindungan hukum untuk cara hidup tertentu yang secara negatif dipengaruhi oleh perubahan terhadap lingkungan alam, termasuk kegiatan tradisional seperti memancing atau berburu.[219]
Negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Secara khusus, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam hal-hal yang akan mempengaruhi hak-hak mereka,[220] dan hak untuk dikonsultasikan dengan itikad baik untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.[221]
Hak Masyarakat Adat atas Tanah Tradisional dan Larangan Perampasan
Hak-hak masyarakat adat adalah “kolektif dan individual.” Ini meluas ke “tanah, wilayah, atau sumber daya” yang “mereka miliki atau tempati atau gunakan.” Negara bertanggung jawab untuk mencegah tindakan yang merampas tanah, wilayah, atau sumber daya masyarakat adat dan menyediakan akses untuk memperbaikinya ketika semua itu dirampas. [222]
Hukum internasional mengakui klaim masyarakat adat atas tanah dan sumber daya yang mereka miliki berdasarkan “kepemilikan tradisional, pekerjaan atau penggunaan tradisional, atau yang telah mereka peroleh.”[223] Komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, sebuah badan pengawas perjanjian, menyatakan dalam tanggapan umum bahwa pemerintah harus “mengambil langkah-langkah untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, mengendalikan dan menggunakan tanah komunal, wilayah, dan sumber daya mereka.”[224] Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mengakui hak masyarakat adat untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan mengendalikan “tanah, wilayah, dan sumber daya” tradisional ini.[225] Deklarasi ini memastikan bahwa negara memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap “tanah, wilayah, dan sumber daya” ini untuk mencegah dan memperbaiki “tindakan apa pun yang memiliki tujuan atau efek dari perampasan tanah, wilayah, atau sumber daya dari mereka [masyarakat adat dan individu].” [226]
Hukum hak asasi manusia internasional juga melindungi hak setiap orang atas standar kehidupan yang memadai, termasuk untuk pangan dan perumahan.[227] ICCPR menyatakan bahwa, “dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri.”[228] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengacu pada hak atas harta milik, yang menyatakan, “Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.”[229] Beberapa konvensi hak asasi manusia juga melindungi dari diskriminasi sehubungan dengan harta miliknya (termasuk berdasarkan jenis kelamin).[230]
Yang terpenting, perlindungan hak asasi manusia internasional pada perumahan atau harta tidak bergantung pada individu yang memegang hak formal atas tanah atau harta. Komite PBB tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyatakan bahwa perlindungan hak berlaku baik secara individu atau tidak memiliki gelar formal: keamanan hukum kepemilikan “mengambil berbagai bentuk, termasuk ... pendudukan tanah atau properti,” dan “[t]erlepas jenis kepemilikan, semua orang seharusnya memiliki tingkat keamanan kepemilikan yang menjamin perlindungan hukum terhadap pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya.”[231]
Hak atas Makanan, Air, Kesehatan, dan Standar Hidup Memadai
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menjamin hak untuk mengamankan mata pencarian seseorang dan standar hidup yang memadai.[232] Kovenan dan perjanjian dan standar HAM internasional lainnya memastikan hak atas makanan yang tersedia, dapat diakses, dan memadai[233] dan hak atas air[234] sebagai aspek dari hak atas standar kehidupan yang memadai.[235] Hak atas air memberikan hak kepada setiap orang untuk memiliki akses ke air yang mencukupi, aman, dan dapat diterima, dapat diakses secara fisik, dan terjangkau untuk penggunaan pribadi dan domestik.[236]
Hak atas kesehatan mewajibkan negara untuk mengakui dan mengambil langkah-langkah untuk memenuhi “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.”[237] Hak tersebut menentukan tanggung jawab negara untuk memastikan “pasokan air yang memadai atas air minum yang aman dan layak minum dan sanitasi dasar; pencegahan dan pengurangan paparan populasi terhadap zat-zat berbahaya ... atau kondisi lingkungan merugikan lainnya yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada kesehatan manusia.”[238]
Hak Mendapatkan Ganti Rugi, termasuk Restitusi atau Kompensasi yang Pantas, Adil, dan Merata
Di mana ada “tindakan apa pun—baik yang dilakukan negara maupun swasta—yang merampas hak-hak budaya masyarakat adat, negara memiliki tanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah, dan memberikan “ganti rugi melalui mekanisme yang efektif.” Ganti rugi semacam itu “dapat mencakup restitusi, dikembangkan bersama dengan masyarakat adat, dengan tetap menghormati kekayaan budaya, intelektual, agama dan spiritual mereka yang diambil tanpa persetujuan bebas dan persetujuan atas dasar informasi awal atau melanggar hukum, tradisi, dan kebiasaan mereka.”[239]
Di mana tanah masyarakat adat telah “disita, diambil [atau] ditempati,” mereka memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi, “yang dapat mencakup restitusi atau, ketika itu tidak memungkinkan, kompensasi yang pantas, adil, dan merata.”[240] Kompensasi dapat mengambil bentuk “tanah, wilayah, dan sumber daya yang setara dalam kualitas, ukuran dan status hukum atau kompensasi uang atau ganti rugi lainnya yang sesuai.”[241]
Tanggung Jawab HAM Perusahaan
Hukum internasional mengakui bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab hak asasi manusia. Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia menempatkan tanggung jawab pada perusahaan untuk melakukan uji kelayakan hak asasi manusia guna mengidentifikasi dampak HAM yang aktual dan potensial yang merugikan, menghindari atau memitigasi yang menyebabkan atau berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia melalui kegiatan mereka, dan memulihkan kerusakan ketika hal itu terjadi.[242]
Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia menetapkan bahwa uji kelayakan hak asasi manusia “harus berkelanjutan,” karena “risiko hak asasi manusia dapat berubah dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya kegiatan dan konteks operasi perusahaan bisnis.” Ketika perusahaan bisnis tidak bisa melakukan uji kelayakan untuk dampak hak asasi manusia di seluruh kegiatan mereka, mereka tetap harus mengidentifikasi bidang-bidang umum di mana risiko dampak buruk terjadi paling signifikan.[243]
Beberapa pedoman sukarela lainnya seperti Pedoman Sukarela Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tentang Tata Kelola Kepemilikan Tanah yang Bertanggung Jawab dan Prinsip-Prinsip Dasar PBB dan Pedoman Pengusiran dan Pemindahan Berbasis Pembangunan juga mengartikulasikan tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia, mengurangi dampak buruk yang disebabkan oleh investasi, dan untuk memperbaiki pelanggaran hak yang terkait dengan investasi tanah dan pertanian.[244]
Tanggung jawab hak asasi manusia dalam kegiatan bisnis tidak hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan yang menanam buah kelapa sawit, tetapi semua perusahaan dalam rantai pasokan hilir, seperti pabrik yang mengekstrak minyak sawit dari buah kelapa sawit dan perusahaan yang menggunakan bahan-bahan berbasis minyak sawit untuk memproduksi produk mereka.
Rekomendasi
Kepada Pemerintah Indonesia, termasuk Kantor Kepresidenan, Parlemen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri
Segera Akui dan Lindungi Masyarakat Adat dan Hak-Hak Komunitas Mereka atas Tanah dan Hutan
- Segera memberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dan RUU Masyarakat Hukum Adat setelah berkonsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk organisasi masyarakat adat dan petani. Undang-undang tersebut harus menggabungkan dan menjelaskan beberapa ketentuan yang bertentangan dari aturan-aturan lain, dan:
- Mempersingkat proses mendapatkan pengakuan untuk komunitas adat tertentu dan hak-hak mereka;
- Menyederhanakan proses mendapatkan pengakuan hak ulayat, atau hak komunal, menurut Undang-Undang Pokok Agraria Indonesia;
- Membuat standar umum untuk “berkonsultasi” dengan masyarakat yang memiliki atau menempati atau menggunakan lahan yang diusulkan dibebaskan untuk perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit. Standar ini harus diterapkan secara seragam pada semua proses yang terlibat dalam memperoleh izin pemerintah, termasuk penilaian dampak lingkungan dan sosial.
- Menetapkan tanggung jawab perusahaan untuk memberikan restitusi atau kompensasi yang pantas, adil dan merata, dengan pedoman terperinci tentang bagaimana paket kompensasi tersebut harus dikembangkan, termasuk memperhitungkan dampak spesifik dan berbeda pada perempuan.
- Mengeluarkan Instruksi Presiden untuk mengimplementasikan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 Mei 2013 tentang mengeluarkan wilayah tradisional dari hutan negara dan konsesi industri. Hal ini seharusnya mencakup instruksi yang jelas untuk mereformasi prosedur pendaftaran tanah adat untuk memastikan transparansi dan partisipasi masyarakat dan pengamat masyarakat sipil dan menciptakan mekanisme pengaduan fungsional yang dapat diakses oleh masyarakat miskin pedesaan untuk penyelesaian klaim lahan individu.
- Mengidentifikasi, meninjau, dan mengubah semua undang-undang yang tidak mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 Mei 2013, yang mengakui hak masyarakat adat atas tanah adat.
- Memastikan bahwa perempuan masyarakat adat terlibat dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan wilayah masyarakat adat.
- Menerapkan peraturan perizinan yang mewajibkan semua izin untuk semua perkebunan skala besar dan izin yang relevan untuk pertanian skala kecil untuk meningkatkan keterlacakan dalam rantai pasokan dan menghukum perkebunan yang tidak mematuhinya.
- Mengembangkan basis data online yang terkonsolidasi dari semua perkebunan kelapa sawit yang ada dan yang sedang direncanakan (Data Survei Perkebunan dan Data Petani dari Direktorat Jenderal Perkebunan), termasuk peta terperinci dan izin terkait seperti AMDAL, Izin Lokasi, dan Hak Guna Usaha (HGU). Basis data ini seyogianya bisa diakses secara bebas tanpa harus membayar.
- Memperpanjang mandat dan memberikan dukungan yang jelas untuk “Kebijakan Satu Peta” untuk menyelesaikan klaim tumpang tindih antara perusahaan sumber daya alam dan masyarakat adat, serta upaya reformasi sektor kehutanan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
- Menerapkan moratorium atau penangguhan pemberian izin kebun kelapa sawit oleh pemerintah untuk menghindari pembukaan hutan baru.
Merevisi sistem sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan menyelaraskan dengan standar hak asasi manusia internasional
- Membentuk perangkat pemantauan untuk kegiatan kelapa sawit dan mempublikasikan semua laporan pemantauan secara online dan menyebarkannya dengan cara yang sesuai dengan budaya.
- Menetapkan mekanisme pengaduan yang transparan, mudah diakses, dan efektif berdasarkan standar internasional, yang dapat diakses oleh semua masyarakat terdampak, termasuk di desa-desa terpencil.
- Memberikan sanksi kepada perkebunan kelapa sawit yang gagal mematuhi ISPO dan standar hak asasi manusia lainnya.
- Meninjau ulang kriteria sertifikasi dan menyusun mekanisme untuk memastikan keterlacakan dalam rantai pasokan minyak kelapa sawit yang kompleks.
- Memberlakukan aturan yang mensyaratkan perkebunan kelapa sawit skala kecil memperoleh sertifikasi ISPO.
- Menjalankan program yang akan mengklarifikasi dan memfasilitasi proses sertifikasi untuk semua perkebunan.
Membuat Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lahan
- Membuat, dengan berkonsultasi dengan organisasi masyarakat adat dan pemangku kepentingan terkait lainnya, sebuah komisi independen tingkat tinggi yang mencakup anggota dari organisasi masyarakat adat dan petani. Komisi independen ini seyogianya memiliki mandat sebagai berikut:
- Menginvestigasi, menengahi, dan menyelesaikan sengketa lahan dalam waktu tertentu, dan memastikan bahwa pemegang hak menerima hak atas tanah mereka.
- Mengumpulkan dampak negatif yang spesifik dan beragam serta dialami perempuan dalam penyelesaian sengketa lahan.
- Secara teratur mengumpulkan data yang relevan terkait konflik lahan dari berbagai otoritas dan secara berkala (misalnya setahun sekali) menerbitkan dan memperbarui informasi tersebut.
- Melakukan penilaian yang terikat waktu terkait tumpang tindihnya lisensi budi daya perkebunan kelapa sawit dengan wilayah masyarakat dan masyarakat adat dan menerbitkan laporan.
- Meninjau ulang usulan terkait pemukiman kembali, baik yang sedang berjalan maupun yang sudah selesai, guna memastikan mereka yang terkena dampak terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan kompensasi yang pantas, adil, dan merata sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
Polri
Memastikan penegakan hukum terkait sengketa tanah tidak memihak dan transparan
- Mengembangkan pedoman internal untuk menangani sengketa terkait tanah antara masyarakat adat atau komunitas petani, dan perusahaan negara atau swasta, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Kepada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Beroperasi di Indonesia, Perusahaan Pembeli, dan Perusahaan Lain dalam Rantai Pasokan Minyak Kelapa Sawit
- PT Ledo Lestari dan PT Sari Aditya Loka 1 seyogianya memulai mediasi dengan masyarakat dan masyarakat adat terdampak untuk menyelesaikan keluhan mereka yang sudah berjalan sejak lama. Sebelum, selama, dan setelah proses ini perusahaan seyogianya mempublikasikan semua izin dan otorisasi yang relevan dengan operasi kelapa sawit mereka, seperti HGU untuk menggambarkan batas-batas operasi masing-masing perusahaan.
- PT Ledo Lestari dan PT Sari Aditya Loka 1 seyogianya meninjau kembali praktik-praktik masa lalu mereka dan menawarkan kompensasi atau remediasi bagi masyarakat adat yang terdampak.
- PT Ledo Lestari seyogianya mengalihkan hak kepemilikan kepada penduduk ke tanah tempat mereka telah dipindahkan, memenuhi janji tertulis dan lisan yang dibuat kepada penduduk di desa Semunying Jaya mengenai kompensasi yang memadai, dan membangun perkebunan masyarakat (plasma) atau memberikan alternatif “bisnis produktif” bagi penduduk yang kehilangan mata pencarian.
- PT Sari Aditya Loka 1 seyogianya menyediakan lahan alternatif, perkebunan masyarakat (plasma), atau “bisnis produktif” alternatif untuk Suku Anak Dalam yang terdampak oleh kegiatan mereka.
- PT Ledo Lestari and PT Sari Aditya Loka 1 seyogianya terlibat dalam konsultasi berkelanjutan dengan semua masyarakat, termasuk masyarakat adat yang terkena dampak kegiatan mereka, untuk membahas dan mengadopsi solusi untuk mengurangi kerusakan yang sedang terjadi.
- Memastikan agar perusahaan berkonsultasi dengan semua masyarakat yang memiliki atau menempati dan menggunakan tanah yang diusulkan untuk proyek, termasuk masyarakat adat dan perempuan dari komunitas mereka, dengan cara yang selaras dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan membuat laporan terbuka.
- Bagi perusahaan yang menjalankan perkebunan, melakukan uji kelayakan hak asasi manusia yang kuat tentang dampak dari ekspansi, baik yang diusulkan maupun sedang berjalan, dan operasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk memberikan kompensasi yang pantas, adil, dan merata sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
- Bagi perusahaan yang menggunakan minyak kelapa sawit dalam rantai pasokan mereka, lakukan uji kelayakan hak asasi manusia yang kuat terhadap rantai pasokan minyak sawit untuk memastikan bahwa minyak sawit yang diproduksi dalam kondisi tak manusiawi tidak memasuki rantai pasokan global.
- Membuat dan mempublikasikan kebijakan keberlanjutan dan penanganan keluhan yang selaras dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Negara-Negara Pengimpor Minyak Kelapa Sawit
- Memberlakukan undang undang atau peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk bersikap terbuka tentang rantai pasokan minyak kelapa sawit mereka.
- Membatasi impor dari perusahaan yang belum melakukan uji kelayakan hak asasi manusia yang kuat pada rantai pasokan minyak kelapa sawit mereka.
- Membatasi impor Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) dan minyak inti kelapa sawit dari eksportir dengan rantai pasokan yang tidak dapat dilacak ke perkebunan (termasuk petani kecil).
- Mendorong negara-negara pengekspor minyak kelapa sawit untuk memperkuat perlindungan lingkungan dan pembebasan lahan untuk melindungi masyarakat lokal yang terkena dampak budidaya kelapa sawit.
Lembaga dan Pemerintah Donor
- Bank Dunia seyogianya memastikan bahwa “Kebijakan Satu Peta” menyelesaikan perselisihan yang sedang berlangsung sebelum pendaftaran tanah sengketa tersebut diselesaikan.
- Bank Dunia dan lembaga donor lainnya seyogianya mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi yang diperlukan untuk melindungi hak masyarakat dan masyarakat adat atas tanah.
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini diteliti dan ditulis oleh Juliana Nnoko-Mewanu, peneliti bidang perempuan dan lahan di Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch.
Aruna Kashyap, penasihat senior, dan Amanda Klasing, co-direktur di Divisi Hak Perempuan, menyunting laporan ini. Andreas Harsono, peneliti senior di Indonesia, dan Elaine Pearson, direktur Australia di Divisi Asia; Komala Ramachandra, peneliti senior di Divisi Bisnis dan Hak Asasi Manusia; Marcos Orellana, mantan direktur, dan Luciana Téllez Chávez, peneliti, di Divisi Lingkungan dan Hak Asasi Manusia, meninjau laporan ini. James Ross, direktur hukum dan kebijakan; Danielle Haas, editor senior, dan Joseph Saunders, wakil direktur program, memberikan tinjauan hukum dan program.
Erasmus Cahyadi, Deputi II untuk urusan politik dan hukum di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); dan Asep Komarudin, Kepala Divisi Riset di Pusat Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), juga meninjau kembali laporan ini.
Human Rights Watch juga ingin berterima kasih kepada Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN; Stefanus Masiun, Ketua AMAN Kalbar; dan Robert Aritonang, manajer program, Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI), atas bimbingan dan dukungan mereka.
Josh Lyons, direktur analisis geospasial, dan Carolina Jorda Alvarez, analis geospasial, di Human Rights Watch, menghasilkan gambar dan peta satelit untuk laporan ini. Pembuatan laporan dilakukan oleh Remy Arthur, rekanan publikasi. Erika Nguyen, koordinator di Divisi Hak-Hak Perempuan, memberikan bantuan dan dukungan produksi. Laporan ini disiapkan untuk publikasi oleh Fitzroy Hepkins, manajer administrasi senior. Produksi multimedia dikoordinasikan oleh Sakae Ishikawa, editor/produser video senior, dan Jessie Graham, wakil direktur multimedia; dan Pailin Wedel, produser multimedia, yang mengambil foto dan video di Indonesia untuk menemani laporan ini.
Meidella Syahni, Kristi Ardiana, Anggun Nova Sastika, dan Esti Wahyuni memberikan bantuan penerjemah lapangan dan penelitian. Vitri Angreni, Syarafina Vidyadhana, dan Fransiskus Pascaries, konsultan, menerjemahkan dan memeriksa versi bahasa Indonesia dari laporan ini.
Yang terpenting, kami sangat berterima kasih kepada anggota masyarakat Dayak Iban dan Suku Anak Dalam yang sudah berbagi kisah mereka dengan kami.
Glosarium
Adat |
Secara harfiah berarti "kebiasaan" dalam bahasa Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggambarkan aturan, tanah, atau hak adat. |
Komunitas Adat |
Mengacu pada masyarakat adat di Indonesia. Komunitas Adat juga dikenal sebagai Masyarakat Hukum Adat, secara harfiah, dalam bahasa Indonesia. |
AMAN |
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, organisasi hak asasi manusia dan advokasi masyarakat adat di Indonesia. AMAN telah membentuk cabang-cabang regional di banyak provinsi, misalnya, AMAN Kalimantan Barat. |
BRWA |
Badan Registrasi Wilayah Adat adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang mencatat, memverifikasi, dan mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mendaftarkan wilayah adat di Indonesia. |
Hak Ulayat |
Kata ini digunakan untuk menggambarkan hak-hak komunitas masyarakat adat untuk mengendalikan, memanfaatkan, dan melestarikan tanah adat dan sumber daya alam sesuai dengan adat istiadat mereka. |
KKI WARSI |
Komunitas Konservasi Indonesia WARSI adalah sebuah lembaga nonpemerintah Indonesia yang berfokus pada advokasi terkait konservasi dan pemberdayaan masyarakat di Provinsi Jambi. |
Plasma |
Perkebunan rakyat yang didirikan oleh investor luar komunitas. |
Transmigrasi |
Kebijakan pemerintah Indonesia yang dimulai pada 1976, dirancang untuk mengurangi populasi berlebih di beberapa daerah dan meningkatkan kondisi sosial-ekonomi dengan memindahkan sejumlah komunitas besar ke daerah lain di nusantara. Sebagian besar transmigran berasal dari Jawa dan Bali dan dipindahkan ke tempat-tempat termasuk Papua, Timor Timur, Kalimantan, Sulawesi, dan Seram, yang menyebabkan ketegangan politik dan etnis di permukiman baru, selain sederet masalah lainnya. |