Skip to main content
A mosque with loudspeakers in Lebak regency, Banten province, Java island, Indonesia, March 12, 2022.  © 2022 Andreas Harsono / Human Rights Watch

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menjadi sasaran kemarahan kalangan fundamentalis agama setelah ia menerbitkan Surat Edaran No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala di seluruh Indonesia.

Gus Yaqut, panggilan akrabnya, menandatangani surat edaran tersebut pada 21 Februari, meminta masjid dan musala agar menggunakan pengeras suara di dalam ruangan dan membatasi volume suaranya sampai dengan 100 desibel ketika digunakan di luar ruangan untuk azan.

Banyak warga Indonesia sudah mengeluhkan soal azan masjid dan musala yang kian lantang, yang mengganggu pekerjaan, waktu luang, dan tidur orang-orang di sekitarnya. CNN Indonesia membandingkan 100 desibel itu dengan bunyi pesawat jet yang lepas landas dari jarak 300 meter.

Seorang pejabat Kementerian Agama mengatakan pihaknya telah berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia serta Dewan Masjid Indonesia dalam menyusun surat edaran tersebut. Namun surat edaran tersebut langsung menuai protes dari banyak kelompok Islam. Partai Keadilan Sejahtera, Ikhwanul Muslimin versi Indonesia, menentang surat edaran tersebut, dengan alasan bahwa pemerintah seharusnya tidak mengatur pengeras suara. Mereka mengecam Gus Yaqut yang, pada sebuah wawancara, membandingkan suara azan dengan volume gonggongan anjing.

Aksi protes jalanan berlangsung di beberapa kota, di mana para pengunjuk rasa menginjak-injak foto Gus Yaqut. Satu poster menggambarkan ia dengan kepala seekor anjing.

Roy Suryo, politisi dari Partai Demokrat, melaporkan Gus Yaqut ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penistaan ​​agama, mengklaim bahwa membandingkan azan dengan gonggongan anjing adalah penghinaan terhadap Islam. Azlaini Agus, seorang politisi di Pekanbaru di Sumatera Tengah, tempat Gus Yaqut memberikan wawancara, juga melaporkanya ke kepolisian setempat.

Tidak ada ayat dalam Al-Qur’an atau hukum Islam yang mengacu pada pengeras suara, penambahan yang relatif baru untuk panggilan azan di dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Gus Yaqut sendiri berasal dari keluarga Muslim terkemuka di Rembang Jawa Tengah dan merupakan anggota Nahdlatul Ulama, kelompok Muslim terbesar di Indonesia. Kredensial Muslimnya terkenal, karena pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sayap pemuda dari kelompok tersebut. Kakak laki-lakinya, Yahya Cholil Staquf, adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Sejak diterbitkan pada 1965, pasal penodaan agama di Indonesia sering digunakan untuk membungkam kebebasan berbicara dan perbedaan pandangan.

Pada 2010, seorang warga negara Amerika Serikat dijatuhi hukuman penjara lima bulan karena mencabut kabel pengeras suara sebuah masjid di Pulau Lombok. Pada 2016, setelah seorang perempuan Buddha mengeluhkan volume pengeras suara masjid tetangga di Tanjung Balai, Sumatra Utara, massa Muslim menyerang rumahnya, dan membakar serta menggeledah 14 wihara.

Pada 2017, mantan Gubernur Jakarta Basuki Purnama, beragama Kristen Protestan, dijatuhi hukuman dua tahun penjara atas tuduhan penodaan agama setelah kampanye kotor bermotif politik termasuk unjuk rasa yang dihadiri lebih dari 200.000 orang.

Lebih dari 150 orang telah dihukum berdasarkan hukum penodaan ​​agama. Aturan ini paling sering digunakan terhadap minoritas yang dianggap telah mengkritik Islam. Tapi seperti yang ditunjukkan kasus terhadap Gus Yaqut, taka da seorangpun yang kebal.

Pada 2009, Abdurrahman Wahid, mantan presiden dan Ketua Umum PBNU, mengatakan bahwa pasal penodaan agama seharusnya dicabut karena telah digunakan sebagai senjata politik dan untuk memicu kemarahan di kalangan umat Islam. Sayangnya, saat ini kekhawatiran Gus Dur itu telah menjadi kenyataan.

Karena digunakan untuk menekan ucapan dan diterapkan secara sewenang-wenang, Human Rights Watch telah lama menyerukan pencabutan hukum penodaan agama, yang tidak punya tempat dalam demokrasi. Indonesia seharusnya melepaskan diri dari hukum beracun ini.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country