Pada Desember 2021, saya berkesempatan mengobrol dengan gadis cemerlang berusia 14 tahun bernama Maria Tunbonat. Dia adalah siswi kelas lima di SD Negeri 51 Tarakan, Kalimantan Utara. Ayahnya, Ayub, juga bergabung dalam percakapan via video saat kami berbicang tentang sekolah dan hobi-hobinya.
Sudah tiga tahun Maria tidak naik dari kelas lima. Hal ini dikarenakan para gurunya tak mau mengizinkan Maria naik kelas. Alasannya? Karena Maria dan keluarganya merupakan penganut Saksi Yehuwa.
Saksi Yehuwa bermula di Amerika Serikat pada abad ke-19 dan sejak saat itu berkembang ke seluruh dunia. Kini ada 510 jemaatnya tersebar di Indonesia. Kelompok tersebut menyatakan ada 8,7 juta Saksi Yehuwa di seluruh dunia pada 2021.
Saksi Yehuwa memiliki pandangan yang spesifik soal isu-isu utama teologis Nasrani yang membuat mereka tidak disenangi di kalangan anggota lembaga kristiani di Indonesia dan di seluruh dunia. Saksi Yehuwa dilarang di Indonesia pada 1976 sampai 2001. Pada 2002, Kementerian Agama mengizinkan mereka untuk dicatat di Indonesia.
Pada November 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa Maria dan dua adik laki-lakinya di SDN 51 di Tarakan ditolak untuk naik kelas sejak 2019 meski catatan akademis mereka sangat baik.
Kepada saya, Ayub menyampaikan bahwa ia, istri serta anak-anak mereka yaitu Maria, Yosua (kelas 4), dan Yonatan (kelas 2) telah berpindah agama dan menjadi Saksi Yehuwa pada November 2018. Perpindahan agama tersebut tampak sederhana, namun guru-guru di sekolah setempat tidak setuju, dan mengatakan bahwa anak-anak itu telah “menyimpang dari ajaran Nasrani.”
Pada 2019, sekolah mengeluarkan ketiga kakak-beradik karena mereka menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketiga anak itu mengikuti upacara bendera dan berdiri untuk memberi penghormatan namun menolak menyanyikan lagu kebangsaan dan memberi hormat pada bendera Indonesia, sesuai kepercayaan Saksi Yehuwa.
“Kami tidak memuliakan salib atau simbol-simbol lainnya,” menurut situsweb kelompok tersebut.
Ayub menggugat pihak sekolah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda, dan menyatakan bahwa anak-anaknya hanya “memuliakan Tuhan” tetapi tidak serta-merta melecehkan lagu atau bendera kebangsaan. Pada September 2020, PTUN Samarinda mengabulkan gugatan anak-anak tersebut, dan mengizinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan setelah berbulan-bulan.
Ketiga kakak-beradik belum naik kelas sejak 2020. Menurut kepala sekolah, FX Hasto Budi, SDN 051 memiliki 158 siswa Muslim, dua siswa Katolik dan empat siswa Protestan, termasuk Maria, Yosua, dan Yonatan. Sekolah mempekerjakan guru paruh waktu untuk mengajar kelas-kelas Kristen, dan Ayub telah sepakat untuk memasukkan anak-anaknya ke dalam kelas tersebut. Di Indonesia, siswa-siswi wajib mengikuti pelajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Ketika bicara dengan saya, Budi menyampaikan bahwa ketiga anak tersebut menolak menyanyikan “lagu dan pujian Nasrani” sehingga sekolah tidak meluluskan mereka dalam pelajaran agama. Budi memutuskan penundaan kenaikan kelas mereka pada 2022.
Pasal Penodaan Agama (UU 1 / PNPS / 1965) di Indonesia “mengakui” hanya enam agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Budi mengatakan pihaknya akan mengizinkan anak-anak tersebut naik kelas jika pemerintah sudah mengubah pasal tersebut dan lantas mengakui Saksi Yehuwa.
“Jika Saksi Yehuwa mengklaim berada dalam naungan Kristiani, mereka perlu mengikuti pedoman dari Gereja Kristen,” ujarnya. “Kementerian Agama memiliki penjelasan hukum terkait pendidikan agama Kristen.”
Namun hal ini merupakan pembaaan yang keliru terhadap pasal penodaan agama. Penjelasan yang melekat pada pasal tersebut menyatakan bahwa meski “melindungi” enam agama dari pencemaran, Indonesia masih mengizinkan warga negaranya menjalankan agama dan keyakinan lain di tanah air. Presiden Sukarno, yang merumuskan undang-undang tersebut pada Januari 1965, secara eksplisit menyebutkan bahwa “Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dan lain-lain” dapat dijalankan.
Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2014 juga menyatakan bahwa semua anak berhak menjalankan agama dan keyakinannya. Pasal 21 menyebutkan bahwa negara, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa diskriminasi, termasuk atas dasar agama.
Menahan siswa-siswi sekolah dasar agar tidak naik kelas hanya karena keyakinan mereka, adalah pelanggaran terhadap hak mereka untuk menerima pendidikan dan kebebasan mereka untuk menjalankan agama. Kepala sekolah bisa saja meminta para murid itu untuk mengikuti pelajaran Saksi Yehuwa dari komunitas mereka di Tarakan, seperti yang dilakukan para murid yang menganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat, atau menawarkan akomodasi lain di sekolah.
Ario Sulistiono dari kantor Saksi Yehuwa di Jakarta menyampaikan pada saya bahwa secara keseluruhan ada 22 anak pernah menghadapi masalah serupa di berbagai tempat di Indonesia sejak 2016. Dalam sebagian besar kasus, orang tua mereka memutuskan untuk memindahkan mereka ke sekolah lain yang tidak mendiskriminasi mereka dengan cara ini. Tetapi ini merupakan ongkos tak masuk akal yang harus dibayar demi keyakinan seseorang. Pihak berwenang di Tarakan seyogianya mengarahkan kepala sekolah tersebut di atas untuk segera menempatkan ketiga kakak-beradik di kelas yang semestinya. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi seharusnya mengeluarkan instruksi nasional yang melarang tindakan-tindakan diskriminatif semacam itu.
Sesaat sebelum kami menyudahi percakapan via video, Maria bertanya pada saya apa yang sebaiknya ia pelajari sementara waktu; ia memiliki banyak waktu luang karena mengulang kelas. Saya menyarankan agar ia belajar Bahasa Inggris, karena bahasa tersebut akan membuka pintu dunia informasi dan gagasan.