(New York) — Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers Indonesia, mengkhawatirkan kondisi jurnalisme di Indonesia. Ia baru saja menerbitkan buku berjudul Tarung Digital: Propaganda Komputasional di Berbagai Negara, tentang tekanan yang dihadirkan raksasa internet seperti Google dan Facebook terhadap media Indonesia dengan menyedot lebih dari 50 persen pendapatan media.
Di Jakarta, disrupsi digital ini telah mendorong media lokal mengambil langkah-langkah panik guna menemukan berbagai sumber pendapatan baru.
“Beberapa perusahaan sudah memperkenalkan apa yang disebut pembuat konten. Mereka kurang lebih bertugas untuk mengamati dan menulis apa yang sedang viral di dunia maya dalam upaya meningkatkan dan menjaga trafik. Ini sensasional. Jurnalisme macam apa ini?” kata Sudibyo kepada saya.
Jurnalisme berkaitan dengan kemunduran demokrasi
Pembuat konten semacam ini mengisi media dan media sosial dengan disinformasi. Jurnalisme profesional seharusnya menjadi sumber informasi yang akurat dan berfungsi sebagai tindakan korektif, tetapi jurnalisme seperti itu tak lagi mendapat sokongan modal yang memadai untuk melakukan ini. Ini mengerikan, karena banyak ahli mencatat bahwa penurunan kualitas jurnalisme berkaitan dengan kemunduran demokrasi.
Salah satu hasilnya memungkinkan banyak orang yang menyebut diri mereka jurnalis untuk menggunakan platform mereka untuk menyajikan pandangan mereka sendiri sebagai berita. Bias yang menyisihkan pemberitaan akurat semakin menjadi masalah besar di ruang redaksi Indonesia.
Pertumbuhan Islamisme – dan bahayanya
Di antara tren paling berbahaya di Indonesia adalah kebangkitan Islamisme, sebuah ideologi politik yang mengusahakan formalisasi syariat Islam. Minoritas agama, termasuk Kristiani, Hindu, Buddha, Ahmadiyah, dan Muslim Syiah, serta pemeluk agama asli, menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan yang semakin menjadi-jadi – akibat dipicu oleh ujaran kebencian dan disinformasi yang disamarkan sebagai “berita.”
Ini telah memicu dilakukannya penutupan ribuan gereja dalam beberapa tahun terakhir sejak pemerintah Indonesia memperkenalkan apa yang disebut “peraturan kerukunan umat beragama” pada tahun 2006, yang secara efektif memberikan mayoritas hak veto atas agama minoritas.
Kalangan perempuan dan LGBTIQ juga menghadapi diskriminasi yang semakin menjadi-jadi, sebagian karena media yang terdistorsi. Sejumlah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah memperkenalkan peraturan yang mewajibkan anak perempuan dan perempuan dewasa untuk memakai jilbab, yang mengarah pada perundungan dan tekanan psikologis. Anak perempuan yang tidak patuh dipaksa untuk meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan, sementara pegawai negeri sipil perempuan kehilangan pekerjaan atau mengundurkan diri agar dapat terhindar dari tuntutan tiada henti agar mereka bisa menyesuaikan diri.
Kegagalan Media
Jurnalis sekarang sering dihadapkan pada subjek sensitif, seperti homofobia dan misogini (kebencian terhadap perempuan), yang menguji gagasan jurnalisme profesional. Dan banyak perusahaan media gagal dalam hal ini.
“Pelaporan yang tidak seimbang, yang umum terjadi di Indonesia, berpotensi membunuh individu LGBTIQ,” kata Kanza Vinaa dari kelompok transgender Swara.
Yendra Budiana, Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, mengatakan: “Agama minoritas selalu berjuang sejak detik pertama liputan berita tentang agama atau keyakinan mereka dimulai, menghadapi pembingkaian media yang memainkan emosi, meningkatkan ketegangan dan selalu tidak adil terhadap para korban.”
Semua ini terjadi dalam kerangka hukum yang mencakup ketentuan pidana pencemaran nama baik yang dibuat pada era kolonial dan regulasi serta aturan hukum represif yang dibuat sendiri, termasuk mengenai internet.
Daud Lawan Goliat
Untuk mengatasi deprofesionalisasi media dalam beberapa tahun terakhir, beberapa asosiasi jurnalis meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar meloloskan rancangan undang-undang yang dapat memaksa raksasa teknologi untuk bernegosiasi dengan media di Indonesia agar bisa memberikan bagian pendapatan yang lebih adil, sebuah langkah yang terinspirasi oleh undang-undang baru Australia yang inovatif.
Organisasi-organisasi yang lebih kecil juga bekerja untuk melatih jurnalis Indonesia, terutama di provinsi-provinsi konservatif, untuk menjadi reporter profesional.
Para pendukung kebebasan berbicara telah lama berkampanye untuk menyingkirkan undang-undang pencemaran nama baik yang menindas dan membungkam di negara ini. Semua upaya ini, dan yang lainnya, diperlukan guna mempertahankan keuntungan yang telah diraih sejak kediktatoran Suharto. Ini adalah perjuangan untuk jiwa jurnalisme Indonesia—serta masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.