(New York) – Respons pemerintah Indonesia atas pandemi Covid-19 menggantikan persoalan hak asasi manusia yang penting pada tahun 2021, kata Human Rights Watch hari ini dalam World Report 2022. Setelah lonjakan kasus yang mematikan pada tahun 2021, pihak berwenang mengunci Jawa, Bali, dan banyak daerah lain di nusantara.
“Pandemi Covid-19 terbukti menjadi ancaman yang jauh lebih besar bagi agenda ekonomi pemerintah Indonesia daripada undang-undang yang membahayakan hak-hak pekerja dan lingkungan,” kata Brad Adams, direktur Asia di Human Rights Watch. “Hanya pukulan keras varian Delta, bukan masalah hak asasi, yang dapat menggagalkan agenda ekonomi pemerintah.”
Dalam World Report 2022 edisi ke-32 setebal 752 halaman ini, Human Rights Watch mengulas berbagai praktik hak asasi manusia di hampir 100 negara. Direktur Eksekutif Kenneth Roth meragukan sebuah kebijaksanaan konvensional yang menganggap bahwa otokrasilah yang berkuasa. Di beberapa negara, sejumlah besar warga turun ke jalan baru-baru ini, bahkan dengan risiko ditangkap atau ditembak, yang menunjukkan bahwa daya tarik demokrasi tetap kuat. Sementara itu, para otokrat semakin kesulitan untuk memanipulasi pemilu yang menguntungkan mereka. Namun, menurut Kenneth Roth, para pemimpin demokratis harus menyelesaikan pekerjaan mereka dengan lebih baik dalam menghadapi tantangan nasional dan global dan memastikan bahwa demokrasi memberikan hasil seperti yang dijanjikan.
Hingga Desember, pandemi Covid-19 telah menginfeksi 4,2 juta orang di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 141.709 kematian terkait virus corona sejak Maret 2020. Sebuah kelompok yang fokus pada kesehatan masyarakat memperkirakan bahwa angka sesungguhnya bisa setidaknya dua kali lebih tinggi dari data statistik pemerintah. Banyak orang, sebagian besar melakukan isolasi diri, tidak melaporkan penyakit mereka atau mendapatkan perawatan kesehatan dari pemerintah.
Hak-hak dasar kelompok minoritas agama, perempuan dan anak perempuan, dan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender terus diserang selama tahun 2021, dan respons pemerintah atas hal ini sangat minim. Kelompok-kelompok Islamis menargetkan kelompok minoritas dengan ancaman dan intimidasi.
Pada bulan Februari, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan anak perempuan dan guru perempuan di sekolah negeri untuk memilih mengenakan pakaian Islami – jilbab (kain penutup kepala, leher, dan dada perempuan) yang dipadukan dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang, atau tidak. Ribuan sekolah negeri, khususnya di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia, mewajibkan perempuan Muslim mengenakan jilbab sejak dari sekolah dasar.
Mahkamah Agung membatalkan peraturan itu pada bulan Mei, yang berarti bahwa perundungan yang meluas terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa untuk memakai jilbab, yang dapat menyebabkan tekanan psikologis mendalam, akan terus berlanjut. Anak perempuan yang tidak patuh dipaksa keluar dari sekolah, sedangkan Pegawan Negeri Sipil perempuan, termasuk guru dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri. Di beberapa daerah yang sangat konservatif, para pelajar dan guru beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan non-Muslim lainnya juga dipaksa mengenakan jilbab.
Baku tembak sporadis antara pasukan keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat berlanjut di Provinsi Papua, memaksa ribuan penduduk asli Papua mengungsi, di mana sedikitnya 2.000 orang melintasi perbatasan nasional menuju Papua Nugini. Indonesia mempertahankan pembatasan, yang sudah berjalan lima dekade, pada para pemantau hak asasi manusia internasional dan jurnalis asing untuk mengunjungi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sekarang dengan dalih kekhawatiran soal pandemi.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara resmi mengambil alih Presidensi G20 di Roma pada Oktober untuk persiapan KTT G20 berikutnya di Bali pada Oktober 2022. Indonesia akan jadi negara berkembang pertama yang berperan sebagai tuan rumah KTT G20.
“Presiden Jokowi seyogianya menginvestasikan lebih banyak modal politik untuk mengakhiri diskriminasi terhadap agama minoritas dan perempuan dan anak perempuan di Indonesia,” kata Adams. “Pemulihan dari pandemi perlu mencakup penghapusan berbagai peraturan diskriminatif terhadap minoritas Indonesia.”