Anak perempuan 11 tahun mengikat daun tembakau ke tongkat untuk persiapan pengeringan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

“Panen dengan Darah Kami”

Bahaya Pekerja Anak dalam Pertanian Tembakau di Indonesia

Anak perempuan 11 tahun mengikat daun tembakau ke tongkat untuk persiapan pengeringan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.  © 2015 Marcus Bleasdale untuk Human Rights Watch

Ringkasan

Ayu adalah gadis mungil 13 tahun bersuara lembut dari satu desa dekat Garut di pegunungan Jawa Barat.[1] Ia satu dari lima anak di keluarganya, dan orangtuanya adalah petani yang mengolah tembakau dan tanaman lain di sebidang lahan sempit. Sejak kecil saya sudah pergi ke ladang,” katanya. “Orangtua saya menanam tembakau. Saya sering membantu orangtua dan kadang juga tetangga saya. Saya punya seorang kakak perempuan, seorang kakak laki-laki, dan dua adik. Mereka juga ikut membantu.” 

Ayu siswi kelas satu Sekolah Menengah Pertama, dan ia menghabiskan banyak waktunya di luar sekolah untuk pergi ke ladang. Di pagi buta sebelum jam sekolah, di sore hari, dan saat akhir pekan serta liburan. Ia mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ia kadang tak masuk sekolah untuk bekerja di ladang tembakau. “Ibu saya meminta saya untuk bolos sekolah tahun lalu saat musim panen,” katanya.

Ia berkata kerap muntah-muntah setiap tahun saban memanen tembakau:

Saya muntah saat saya terlalu lelah memanen dan mengangkut daun tembakau. Perut saya seperti... saya tak bisa jelaskan; mulut saya bau. Saya muntah bekali-kali… Ayah membawa saya pulang. Itu terjadi saat kami panen. Cuaca panas, dan saya sangat lelah… Baunya tak enak saat panen. Saya selalu muntah setiap kali memanen.

Gejala yang dijelaskannya—muntah dan mual—konsisten dengan gambaran orang terkena racun akut akibat nikotin, satu jenis penyakit akibat pekerjaan di pertanian tembakau ketika pekerja menyerap nikotin melalui kulitnya saat menyentuh tanaman tembakau.

 

Ayu juga membantu ayahnya mencampur racun pestisida yang disemprotkan ke ladang tembakau. “Saya menuangkan tiga atau empat wadah bahan kimia ke dalam ember, menuangkan air, dan mengaduknya dengan tongkat kayu, lalu ayah saya menuangkan campuran itu ke dalam tangki,” jelasnya. “Baunya sangat tajam. Membuat perut saya sakit.” Seperti kebanyakan petani di desanya, orangtua Ayu menjual tembakau kepada kepala desa, yang mengumpulkan daun tembakau dari puluhan petani, mengangkutnya ke satu gudang di Jawa Tengah, dan menjualnya kepada pedagang di sana. Pengepul membeli tembakau dari pemasok yang berbeda, dikemas ulang, lalu menjualnya ke pasar terbuka untuk pabrik produksi tembakau dan perusahaan penyuplai daun tembakau dari Indonesia maupun yang berskala multinasional.

Laporan ini menggambarkan para pekerja anak terkena risiko parah akan kesehatan dan keselamatannya selagi bekerja di lahan tembakau. Kami merangkumnya berdasarkan penelitian secara luas termasuk wawancara dengan lebih dari 130 anak yang bekerja dalam pertanian tembakau di Indonesia. Bahaya ini termasuk keracunan nikotin akut karena bersentuhan langsung dengan tanaman dan daun tembakau, serta paparan racun pestisida dan bahan kimia lain. Beberapa anak yang kami wawancarai, atau orangtua mereka, telah dilatih soal langkah-langkah keselamatan atau mereka telah mengetahui risiko kesehatan kerja. Aturan hukum soal larangan mempekerjakan anak di Indonesia secara umum sejalan dengan standar hukum internasional. Namun penelitian kami menunjukkan bahwa peraturan yang rompal dan buruknya penegakan hukum, terutama di sektor pertanian skala kecil, telah menyebabkan anak-anak dalam risiko. Laporan ini dilengkapi rekomendasi untuk pemerintah Indonesia, perusahaan tembakau, dan pihak terkait lain dalam industri tembakau. Termasuk pihak berwenang harus segera melarang anak-anak melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan tembakau, dan perusahaan tersebut harus meningkatkan prosedur uji tuntas kelayakan dari segi hak asasi manusia untuk mengidentifikasi dan mengakhiri praktik bahaya mempekerjakan buruh anak dalam pertanian tembakau.

***

Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar kelima di dunia, memiliki lebih dari 500.000 pertanian tembakau. Meski undang-undang nasional dan internasional melarang anak di bawah umur 18 tahun melakukan pekerjaan berbahaya, ribuan anak seperti Ayu bekerja dalam kondisi penuh risiko di pertanain tembakau di Indonesia. Mereka terpapar nikotin, pestisida beracun, panas esktrem, dan bahaya lain. Pekerjaan ini berdampak langgeng bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka.

Pemerintah Indonesia punya kerangka hukum dan kebijakan yang tegas tentang buruh anak. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, usia minimal anak untuk bekerja adalah 15 tahun, dan anak berumur 13-15 tahun hanya boleh melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak berbahaya dan tidak mengganggu waktu sekolah. Anak di bawah 18 tahun dilarang melakukan pekerjaan berbahaya, termasuk bekerja di lingkungan “dengan zat kimia berbahaya”. Daftar pekerjaan berbahaya yang dilarang bagi anak-anak Indonesia tidak menyebut secara spesifik larangan anak bekerja menangani tembakau. Human Rights Watch meyakini bahwa bukti yang ada menunjukkan setiap pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun merupakan pekerjaan dengan zat kimia berbahaya, dan harus dilarang untuk semua anak.

Nikotin terdapat di semua bagian tanaman dan daun tembakau dalam semua tahapan produksi. Penelitian kesehatan masyarakat telah menunjukkan bahwa petani tembakau menyerap nikotin melalui kulit mereka saat menangani tembakau, terutama ketika tanaman tersebut basah. Penelitian menunjukkan petani tembakau dewasa yang tidak merokok memiliki jumlah nikotin yang sama dengan perokok di masyarakat umum. Nikotin adalah toksin alias zat racun, dan paparan nikotin telah lama dikaitkan dengan dampak buruk berjangka panjang atas perkembangan otak. Penggunaan alat pelindung tak cukup menghilangkan bahaya bekerja dengan tembakau dan dapat menyebabkan bahaya lain, seperti macam-macam cedera karena suhu panas.

Meski ada larangan dalam hukum nasional dan internasional soal bahaya mempekerjakan anak, Human Rights Watch mencatat bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya di pertanian tembakau di empat provinsi Indonesia, termasuk tiga provinsi yang menangani hampir 90 persen produksi tembakau setiap tahun: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Anak-anak yang kami wawancarai bekerja secara langsung dengan tanaman tembakau, mengurus pestisida, dan melakukan pekerjaan fisik berbahaya dalam kondisi panas ekstrem. Kondisi ini menempatkan anak-anak dalam risiko kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.

Sejumlah bahaya yang dihadapi pekerja anak di Indonesia bukanlah kasus unik pada pertanian tembakau. Anak-anak yang bekerja di pertanian lain juga terpapar pestisida, bekerja di bawah panas ekstrem, dan menghadapi berbagai bahaya lain. Namun, mengolah tembakau secara inheren merupakan pekerjaan berbahaya untuk anak-anak karena unsur nikotin pada tanaman itu. Selain itu pertanian tembakau pasti membutuhkan pekerja untuk perannya yang penting menangani tanaman selama budidaya, panen, dan pengeringan.

Banyak perusahaan Indonesia dan perusahaan tembakau multinasional terbesar di dunia membeli tembakau yang ditanam di Indonesia dan menggunakannya untuk menghasilkan produk tembakau yang dijual ke pasar dalam negeri dan luar negeri. Beberapa perusahaan rokok multinasional terbesar di dunia telah mengakui ada risiko untuk anak-anak yang terlibat dalam tugas-tugas tertentu di pertanian tembakau. Perusahaan-perusahaan ini melarang anak di bawah umur 18 tahun melakukan beberapa tugas paling berbahaya di ladang tembakau yang jadi rantai pemasok mereka, seperti memanen atau menyemprot pestisida. Tapi tak satu pun dari perusahaan ini memiliki kebijakan dan prosedur yang matang untuk memastikan bahwa tembakau yang terserap dalam rantai pasokan mereka bukanlah hasil dari produksi yang melibatkan pekerja anak. Buntutnya, perusahaan-perusahaan ini berisiko turut berkontribusi memakai, dan mengambil keuntungan dari, situasi berbahaya mempekerjakan anak dalam industri tembakau.

Selama tiga penelitian lapangan antara September 2014 dan September 2015, Human Rights Watch mewawancarai total 227 orang, termasuk 132 anak usia 8-17 tahun yang dilaporkan bekerja di pertanian tembakau pada 2014 atau 2015. Kami juga mewawancarai 88 individu seperti orangtua dari buruh anak, petani tembakau, pembeli dan penjual daun tembakau, pemilik gudang, kepala desa, petugas kesehatan, perwakilan organisasi nonpemerintah, dan sebagainya. Selain itu, kami bertemu atau berkorespondensi dengan para pejabat dari beberapa lembaga pemerintah termasuk Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Human Rights Watch mengirim surat kepada empat perusahaan Indonesia dan sembilan pabrik tembakau multinasional dan perusahaan pemasok daun tembakau, untuk membagi hasil penelitian kami dan meminta informasi tentang kebijakan dan praktik mereka mengenai pekerja anak di Indonesia. Seperti yang dijelaskan di bawah nanti, tujuh perusahaan multinasional memberi respons terperinci. Kami mengirim beberapa surat dan beberapa kali menghubungi satu persatu empat perusahaan Indonesia sebagai upaya mendapatkan tanggapan berarti, tapi tak ada respons yang substantif dari mereka. Seteliti mungkin Human Rights Watchs menganalisis uji tuntas dari segi hak asasi manusia terhadap perusahaan-perusahaan yang merespons secara rinci surat kami, berdasarkan informasi yang diberikan oleh perusahaan, informasi yang tersedia di situswebmereka, dan wawancara dengan para pekerja anak, petani tembakau, dan pedagang di Indonesia.

Sebagian besar anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch mulai bekerja di pertanian tembakau sebelum usia 15 tahun, standar usia minimal untuk bekerja di Indonesia. Sekitar tiga perempat dari anak-anak yang kami wawancarai mulai bekerja di pertanian tembakau pada usia 12 tahun. Sebagian besar anak-anak bekerja di pertanian tembakau sepanjang musim, dari penanaman hingga panen dan proses pengeringan.

Anak-anak yang diwawancarai untuk laporan ini biasanya bekerja pada sebidang lahan sempit yang diolah oleh orangtua atau anggota keluarga mereka. Selain bekerja di ladang keluarga, banyak anak juga bekerja di lahan tetangga dan anggota masyarakat lain. Beberapa anak tidak menerima upah untuk kerja mereka, baik karena mereka bekerja untuk ladang keluarga atau gantinya ditukar dengan tenaga anggota keluarga lain di kelompok masyarakatnya. Anak-anak lain menerima upah sekadarnya.

Anak-anak di keempat provinsi mengatakan bahwa mereka bekerja di pertanian tembakau untuk membantu keluarga. Bank Dunia melaporkan 14,2% penduduk pedesaan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, hampir dua kali lipat dari angka kemiskinan di perkotaan. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), “kemiskinan adalah penyebab utama adanya buruh anak di bidang pertanian” di seluruh dunia. Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa kemiskinan keluarga menyebabkan adanya buruh anak di pertanian tembakau di Indonesia. “Saya ingin membantu orangtua mencari nafkah,” kata Ratih, 11 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau orangtuanya di Jember, Jawa Timur. Sinta, gadis 13 tahun yang bekerja di pertanian tembakau keluarganya di Magelang, Jawa Tengah, mengatakan,”Saya bekerja untuk membantu orangtua saya, untuk meringankan hidup mereka. Agar hidup tidak susah.”

“Anak-anak membantu saya di ladang, jadi saya bisa menghemat pengeluaran untuk membayar buruh,” ujar Ijo, petani 40-an tahun dan ayah empat anak yang diwawancarai di Garut, Jawa Barat, pada 2015. Ia bilang ia bersalah karena anaknya umur 12 tahun ikut membantunya di pertanian: “Tentu saya tak ingin anak-anak saya bekerja di pertanian tembakau, banyak bahan kimia di sana, dan bisa membahayakan anak-anak saya. Tapi mereka ingin kerja, dan kami adalah petani… Saya butuh banyak uang untuk membayar para buruh. Namun anak saya bisa membantu di semua musim. Anda bisa bayangkan, saya bisa menyimpan banyak uang saat anak saya bekerja membantu saya di ladang. Ini situasi rumit.”

Pekerjaan Berbahaya di Pertanian Tembakau

Meski tak semua pekerjaan berbahaya untuk anak-anak, ILO mendefinisikan pekerjaan berbahaya sebagai “pekerjaan yang, karena sifat atau keadaannya, dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.” ILO menganggap pertanian sebagai “salah satu dari tiga sektor paling berbahaya terkait kematian yang berhubungan dengan pekerjaan, kecelakaan non-fatal, dan penyakit akibat kerja.”

Human Rights Watch menemukan banyak aspek di pertanian tembakau di Indonesia menimbulkan risiko signifikan untuk kesehatan dan keselamatan anak-anak. Anak-anak yang bekerja di pertanian tembakau di Indonesia terpapar nikotin, racun pestisida, dan panas ekstrem. Mayoritas anak-anak yang diwawancarai untuk laporan ini menjelaskan sakit yang mereka alami saat bekerja di pertanian tembakau, termasuk gejala spesifik yang berkaitan dengan keracunan nikotin akut, paparan pestisida, dan berbagai cedera akibat suhu panas. Beberapa anak melaporkan gejala masalah pernapasan, kondisi kulit, dan iritasi mata saat bekerja di pertanian tembakau.

Semua anak yang diwawancarai untuk laporan ini menggambarkan caranya menangani dan merawat secara langsung tanaman dan daun tembakau yang mengandung nikotin. Dalam jangka pendek, penyerapan nikotin melalui kulit dapat menyebabkan keracunan nikotin akut, yang disebut penyakit akibat daun hijau tembakau (Green Tobacco Sickness). Gejala paling umum dari keracunan akut akibat nikotin adalah mual, muntah, sakit kepala, dan pusing. Sekitar setengah dari anak-anak yang kami wawancarai di Indonesia tahun 2014 atau 2015 dilaporkan mengalami setidaknya satu gejala yang konsisten dengan keracunan nikotin akut saat bekerja di pertanian tembakau. Banyak juga yang dilaporkan mengalami beberapa gejala. Misalnya Nadia, gadis 16 tahun di Bondowoso, Jawa Timur, mengatakan bahwa ia muntah-muntah setiap tahun saban musim panen saat mengikat dan menyortir hasil panen daun tembakau bersama perempuan dan anak perempuan lain di desanya. “Kadang-kadang saya sakit kepala. Kadang-kadang saya bahkan muntah… Ini terjadi ketika kami mengikat daun karena kami duduk di tengah bundelan daun tembakau. … Ini terjadi saat tembakau masih basah dan baru tiba dari kebun… Setiap kali awal musim, kami muntah-muntah.”

Rio, anak laki-laki 13 tahun bertubuh jangkung, bekerja di pertanian tembakau di desanya di Magelang, Jawa Tengah, pada 2014. Ia berkata, “Setelah bekerja terlalu lama dengan tembakau, saya sakit perut dan merasa mual. Itu karena saya terlalu lama di dekat tembakau.” Ia mengibaratkan rasanya seperti mabuk, “Seperti kamu kalau dalam perjalanan, dan mobil yang kamu tumpangi bergoncang karena jalannya bolak-balik.”

Belum ada penelitian soal efek jangka panjang dari penyerapan nikotin melalui kulit, namun penelitian kesehatan masyarakat soal merokok menunjukkan bahwa pemaparan nikotin selama masa kanak dan remaja dapat memicu konsekuensi langgeng pada perkembangan otak. Korteks prefrontal, bagian otak yang berperan untuk fungsi eksekutif dan atensi, adalah salah satu bagian terakhir otak yang matang dan terus berkembang selama masa remaja dan menginjak dewasa. Bagian ini sangat rentan terhadap dampak stimulan, seperti nikotin. Paparan nikotin pada masa remaja berkaitan dengan gangguan mood, dan masalah memori, atensi, kontrol impuls, dan kognisi di kemudian hari.

Banyak pekerja anak yang diwawancarai untuk laporan ini mengatakan mereka menangani atau memberi pestisida, pupuk, dan bahan kimia lain di pertanian tembakau di daerah mereka. Beberapa anak juga dilaporkan melihat pekerja lain menaburkan bahan kimia di kebun tempat mereka bekerja, atau di ladang terdekat. Sejumlah anak dilaporkan langsung sakit setelah menangani atau bekerja di dekat bahan kimia yang dipakai di pertanian tembakau.

Musa, anak 16 tahun, misalnya, mengatakan dia menggunakan tangki dan memegang penyemprot untuk menyiram cairan kimia di pertanian tembakau keluarganya di Garut, Jawa Barat, pada 2015. Ia berkata ia sangat sakit saat pertama kali memberi pestisida, setelah mencampur bahan kimia dengan tangan kosong: “Mula-mula saya muntah… dua minggu, saya tak bisa bekerja. Saya pergi ke dokter. Dokter mengatakan pada saya untuk berhenti bekerja di dekat bahan kimia. Tapi bagaimana saya bisa melakukannya? Saya harus membantu orangtua saya. Siapa lagi yang menolong mereka jika bukan saya?... Saya mencampurnya dengan tangan saya. Tiba-tiba saya pusing. Orangtua saya menyuruh saya pulang. Saya di rumah dua hari, dan ayah saya mengatakan agar saya beristirahat lebih lama. Rasanya buruk sekali. Selama dua minggu, saya terus-menerus muntah.”

Rahmad, anak laki-laki 10 tahun, menggambarkan bagaimana ia terpapar pestisida saat bekerja di pertanian keluarganya di Sampang, Jawa Timur, pada 2015. “Ketika saudara laki-laki saya menyemprot, saya membersihkan gulma. Itu bau… Baunya seperti obat. Saya merasa sakit. Saya sakit kepala, dan merasa mual di perut. Saya berada di ladang… Setiap kali saya mencium bau semprotan, saya pusing dan mual.”

Anak-anak sangat rentan terhadap efek buruk paparan racun selama otak dan tubuh mereka masih dalam masa pertumbuhan. Paparan pestisida telah dikaitkan dengan efek kesehatan kronis jangka panjang termasuk masalah pernapasan, kanker, depresi, defisit neurologis, dan masalah kesehatan reproduksi. Terutama sekali, banyak pestisida yang sangat beracun terserap ke otak dan sistem kesehatan reproduksi, keduanya terus tumbuh dan berkembang selama masa kanak dan remaja.

Beberapa anak yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan mereka telah menerima pendidikan atau pelatihan tentang risiko kesehatan kala bekerja di pertanian tembakau. Sangat sedikit anak yang mengatakan mereka menggunakan alat pelindung saat menangani tembakau, dan banyak yang mengatakan tidak memakai atau memakai pelindung sekadarnya sewaktu bekerja dengan pestisida atau bahan kimia lain.

Banyak anak-anak menggambarkan bekerja saat cuaca sangat panas di pertanian tembakau. Beberapa anak yang kami wawancarai mengatakan mereka pingsan. Yang lain berkata mereka pingsan atau pusing atau menderita sakit kepala saat bekerja di bawah suhu sangat tinggi. Bekerja dalam kondisi panas ekstrem bisa menempatkan anak dalam risiko cedera karena sengatan panas dan dehidrasi, dan anak-anak lebih rentan terkena sakit panas ketimbang orang dewasa.

Sebagian besar anak yang diwawancarai melaporkan mereka menderita sakit dan kelelahan karena terus-menerus terlibat dalam pekerjaan berulang dan mengangkut beban berat. Beberapa anak juga mengatakan mereka menggunakan benda tajam dan tak sengaja melukai diri mereka, atau bekerja di ketinggian berbahaya tanpa jaminan pelindung jika jatuh.

Dampak pada Pendidikan

Sebagain besar anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan mereka bersekolah dan bekerja di pertanian tembakau hanya di luar jam sekolah—sebelum dan setelah sekolah, dan saat akhir pekan serta libur sekolah. Namun, Human Rights Watch juga mendapati, bagi beberapa anak, bekerja di pertanian tembakau telah mengganggu waktu sekolah mereka.

Beberapa anak putus sekolah sebelum usia 15 tahun—usia wajib sekolah di Indonesia—untuk bekerja membantu keluarga mereka. Anak-anak ini sering mengatakan keluarga mereka tak mampu menyekolahkan, atau keluarga mengandalkan mereka untuk bekerja. Meski pemerintah Indonesia menjamin pendidikan umum gratis, artinya tidak harus membayar uang sekolah, tapi kebanyakan mereka yang diwawancarai diharuskan membayar uang buku, seragam, transportasi dari dan menuju sekolah. Faktor ini menjadi penghalang bagi beberapa keluarga. Misalnya, Sari, gadis 14 tahun bermata cerlang di Magelang, Jawa Tengah, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia bercita-cita menjadi perawat kesehatan, namun dia berhenti sekolah setelah kelas enam untuk membantu keluarganya. “Saya ingin kembali sekolah untuk mencapai impian saya di masa depan, tapi kami tak punya banyak uang.”

Beberapa anak mengatakan mereka melewatkan beberapa hari ke sekolah selama musim tanam yang sibuk. Rojo, anak 11 tahun dan tertua di keluarganya, mengatakan dia bolos sekolah untuk bekerja di pertanian tembakau selama tiga atau empat kali selama musim panen tahun 2014 di Sampang, Jawa Timur: “Ayah saya minta saya untuk pergi ke ladang lebih awal, dan tak pergi ke sekolah,” katanya. “Saya khawatir saya tak akan lulus ujian.”

Beberapa anak yang diwawancarai mengatakan mereka sulit mengatur diri untuk sekolah dan kerja, dan menjelaskan soal kelelahan dan keletihan atau sulit mengerjakan pekerjaan sekolah. Awan, anak bertubuh ramping usia 15 tahun dari Pamekasan, Jawa Timur, menjelaskan bagaimana dia mengakali waktunya antara sekolah dan bekerja selama musim sibuk: “Saat panen tiba, saya harus bangun pagi sekali, dan saya harus siap bekerja di ladang sampai pukul 6.30 pagi, lantas pergi sekolah, lalu lanjut ke ladang lagi sampai sore… Kami pergi ke ladang sekitar pukul 04.30 atau jam 5 pagi. Masih gelap, tapi saya pakai senter kepala. Saya merasa ingin tidur lebih lama. Itu melelahkan.” Ia mengatakan bahwa jadwal melelahkan ini membuatnya sukar mengerjakan tugas sekolah: “Lebih sulit untuk belajar daripada sebelum panen,” katanya. “Itu bikin saya sangat lelah.”

Tanggapan Pemerintah

Menurut hukum internasional, pemerintah Indonesia wajib memastikan anak-anak dilindungi dari beragam bentuk terburuk mempekerjakan anak, termasuk pekerjaan berbahaya, yang didefinisikan sebagai “pekerjaan yang, karena sifat atau keadaannya, dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.”

Indonesia telah meratifikasi beberapa konvenasi internasional mengenai buruh anak, termasuk Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Konvensi ILO tentang Usia Minimum untuk Bekerja, dan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak. Konvensi ILO soal Bentuk Kerja Terburuk bagi Buruh Anak mewajibkan negara anggota untuk mencegah anak-anak terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan menyediakan asistensi langsung untuk membebaskan anak-anak yang sudah terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Indonesia memiliki undang-undang dan aturan tegas tentang buruh anak, sejalan dengan standar internasional dan telah menerapkan sejumlah program sosial untuk buruh anak. Di bawah undang-undang Indonesia, usia minimal anak untuk bekerja adalah 15 tahun. Anak-anak usia 13-15 tahun dapat terlibat dalam pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu mental atau perkembangan fisik atau sosial mereka. Undang-undang tenaga kerja Indonesia melarang pekerjaan berbahaya oleh semua anak di bawah umur 18 tahun, dan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2003 merinci daftar tugas tertentu untuk anak di bawah 18 tahun. Daftar ini secara eksplisit melarang anak-anak bekerja di lingkungan “dengan zat kimia berbahaya”. Berdasarkan ketentuan ini, pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun harus dilarang karena kemungkinan besar terpapar nikotin dan pestisida.

Namun, celah antara kerangka hukum dan undang-undang, serta ciutnya penegakan hukum dan peraturan soal buruh anak, telah menempatkan anak dalam risiko. Daftar pekerjaan berbahaya untuk anak dari pemerintah Indonesia tidak secara khusus melarang anak-anak bekerja dengan bahan kimia berbahaya termasuk bekerja menangani tembakau, kendati betapa bahayanya paparan nikotin. Situasi ambigu ini menyebabkan anak-anak dalam kerentanan.

Selain itu, pemerintah Indonesia tidak efektif melaksanakan undang-undang soal buruh anak dan peraturan di sektor pertanian skala kecil. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi—lembaga yang bertanggungjawab untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan terkait buruh anak—punya sekitar 2.000 pengawas yang memantau buruh di seluruh Indonesia dan di semua sektor. Jumlah ini tidak cukup efektif untuk satu negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa. Dalam satu pertemuan dengan Human Rights Watch, seorang wakil kementerian menjelaskan bahwa pengawasan buruh hanya dilakukan di industri pertanian skala besar, bukan di sektor pertanian skala kecil tempat bekerja hampir seluruh anak-anak yang kami wawancarai untuk laporan ini.

Rantai Pasokan Tembakau dan Tanggungjawab Perusahaan

Pemerintah memiliki tanggungjawab utama untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia sesuai hukum internasional. Sementara lembaga swasta, termasuk institusi bisnis, juga punya tanggungjawab untuk tidak jadi penyebab atau berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Mereka perlu mengambil langkah efektif guna memastikan setiap pelanggaran yang terjadi ditangani secara efektif. Ini termasuk tanggungjawab untuk memastikan bahwa operasional bisnisnya tidak menggunakan, atau turut berkontribusi memakai, buruh anak dalam pekerjaan berbahaya.

Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang disahkan Dewan HAM PBB tahun 2011, mengekalkan aturan bahwa semua perusahaan harus menghormati hak asasi manusia, menghindari keterlibatannya dalam pelanggaran, dan memastikan setiap pelanggaran yang terjadi dipulihkan secara penuh. Panduan ini, diterima secara luas sebagai artikulasi otoritatif atas tanggungjawab dunia usaha dalam perkara hak asasi manusia, terutama terkait uji tuntas dari segi hak asasi manusia (human rights due diligence). Ini satu proses yang mengidentifikasi potensi risiko pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dengan operasional bisnis dan mengambil langkah efektif untuk mencegah dan mengurangi dampak negatifnya. Perusahaan juga bertanggungjawab untuk memastikan bahwa korban dari setiap pelanggaran ini mampu menjangkau proses pemulihan.

Tembakau yang ditanam di Indonesia terserap dalam rantai pasokan perusahaan tembakau Indonesia dalam berbagai level, serta perusahaan tembakau multinasional terbesar di dunia. Perusahaan terbesar yang beroperasi di Indonesia termasuk tiga pabrik tembakau Indonesia—PT Djarum (Djarum), PT Gudang Garam Tbk (Gudang Garam), dan PT Nojorono Tobacco International (Nojorono)—dan dua perusahaan yang dimiliki oleh pabrik tembakau multinasional—PT Bentoel Internasional Investama (Bentoel), milik British American Tobacco (BAT), dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (Sampoerna), milik Philip Morris International. Perusahaan Indonesia dan multinasional lain juga membeli tembakau yang ditanam di Indonesia, seperti dijelaskan dalam laporan ini.

Para petani tembakau yang diwawancarai Human Rights Watch menjual tembakau dengan sejumlah cara. Sebagian besar petani menjual daun tembakau di pasar terbuka melalui perantara atau tengkulak. Dalam sistem ini, petani kecil menjual tembakau secara terpusat kepada seorang petani atau pemuka/ kepala desa, atau pembeli lokal, yang akan mengumpulkan tembakau dari banyak produsen kecil dan menjualnya ke gudang milik pengusaha lokal atau dibeli oleh perusahaan nasional atau multinasional yang lebih besar.

Sebagai alternatif untuk sistem ini, beberapa petani menjalin hubungan secara pribadi dengan perusahaan tembakau dan punya kesempatan untuk menjual langsung kepada perwakilan perusahaan, daripada melalui tengkulak. Di bawah sistem ini, beberapa petani menandatangani kontrak tertulis untuk menjual tembakau secara langsung ke pabrik tembakau atau perusahaan pemasok daun tembakau.

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 60 petani tembakau, pembeli, dan penjual daun tembakau, serta pemilik gudang di empat provinsi tempat penelitian ini dilakukan. Kami mengidentifikasi risiko hak asasi manusia, termasuk bahaya keselamatan dan kesehatan buruh anak, baik di pasar terbuka maupun dalam sistem kontrak langsung.

Sebagian besar petani dan pedagang yang menjual tembakau secara eksklusif melalui pasar tradisional terbuka mengakui bahwa anak-anak yang bekerja mengolah tembakau merupakan praktik umum. Sebagian besar dari mereka menyatakan tak satu pun, baik pemerintah maupun pembeli daun tembakau yang pernah berkomunikasi dengan mereka, mempertanyakan soal standar atau dugaan kuat keterlibatan buruh anak dalam rantai pasokan tembakau. Mereka mengatakan tidak mengetahui adanya upaya dari pihak pembeli, termasuk perusahaan dengan kebijakan eksplisit yang melarang buruh anak, untuk memverifikasi kondisi pertanian tembakau atau melakukan inspeksi soal pekerja anak.

Para petani yang memproduksi dan menjual tembakau melalui sistem kontrak langsung mengatakan bahwa mereka telah menerima beberapa pelatihan dan pendidikan tentang buruh anak. Mereka juga dilatih soal keselamatan dan sosialisasi soal kesehatan dari perusahaan rokok yang melakukan kontrak dengan mereka. Pada saat yang sama, Human Rights Watch menemukan bahwa uji tuntas kelayakan perusahaan dari segi hak asasi manusia punya keterbatasan untuk mengakhiri praktik bahaya mempekerjakan anak dalam rantai pasokan mereka. Sebagian besar petani dalam sistem kontrak langsung melaporkan bahwa anak-anak di bawah 18 tahun masih ikut dalam banyak pekerjaan di pertanian tembakau. Mereka mengatakan tak ada sanksi tegas atau hukuman jika ditemukan ada anak yang bekerja, bahkan saat ada pelanggaran berkali-kali. Dengan tiadanya hukuman yang signifikan, sebagian besar petani mengabaikan upaya perusahaan untuk mencegah pemasoknya membiarkan anak-anak bekerja.

Human Rights Watch mendapati bahwa perusahaan yang membeli tembakau di pasar terbuka maupun lewat sistem kontrak langsung berisiko membeli tembakau yang diproduksi oleh buruh anak yang bekerja dalam kondisi berbahaya.

Human Rights Watch meminta informasi mengenai kebijakan dan prosedur uji tuntas kelayakan dari segi hak asasi manusia kepada 13 perusahaan, termasuk empat produsen produk tembakau Indonesia, tujuh perusahaan multinasional, dan dua perusahaan dagang tembakau. Sepuluh perusahaan memberi tanggapan. Dari empat perusahaan tembakau Indonesia, dua menjawab (Nojorono dan Wismilak), namun tak memberi respons terperinci atau komprehensif untuk pertanyaan yang kami ajukan. Seorang wakil dari Wismilak menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa menanggapi secara detail karena “tidak berhubungan langsung dengan petani tembakau.Dia menambahkan juga “tidak mengetahui pihak lain atau perantara dalam rantai pasokan mereka yang berhubungan langsung dengan petani. Nojorono menjawab melalui sebuah surat dan merujuk Human Rights Watch kepada GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), sebuah asosiasi produsen rokok, untuk mendapatkan informasi mengenai pertanian tembakau, termasuk buruh anak. Human Rights Watch lantas menulis surat kepada GAPPRI, namun mereka menolak bertemu kami. Perusahaan rokok terbesar di Indonesia, Djarum dan Gudang Garam, tak menanggapi Human Rights Watch, meski kami telah berulang kali menghubungi mereka.

Semua perusahaan multinasional yang membeli tembakau dari Indonesia, yang memberi tanggapan pada Human Rights Watch, punya kebijakan terkait buruh anak yang selaras dan terlihat konsisten dengan standar internasional, terutama dengan konvensi ILO. Namun, tak satu pun perusahaan ini melarang anak-anak terlibat dalam semua pekerjaan yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan anak. Artinya, kebijakan perusahaan ini masih minim dalam hal memastikan semua anak terlindungi dari pekerjaan berbahaya di pertanian tembakau dalam rantai pasokannya.

Human Rights Watch menganalisis informasi tentang uji tuntas dari segi hak asasi manusia yang disediakan oleh perusahaan lewat surat tanggapan mereka. Beberapa perusahaan cukup transparan menangani ini, terutama mengenai pemantauannya terhadap kebijakan buruh anak di seluruh rantai pasokan, serta dari hasil pengawasan internal dan audit eksternal. Tranparansi merupakan elemen kunci dalam uji tuntas HAM yang efektif dan kredibel. Di antara perusahaan yang kami pelajari, Philip Morris International tampaknya telah mengambil sejumlah besar langkah untuk transparan tentang kebijakan HAM dan prosedur pemantauan, termasuk dengan menerbitkan laporan soal kemajuan dan beberapa laporan rinci soal pemantauan oleh pihak ketiga melalui situswebnya.

Sebagian besar perusahaan tembakau multinasional yang beroperasi di Indonesia mendapatkan tembakau melalui kontrak langsung dengan petani dan membeli daun tembakau di pasar terbuka. Beberapa perusahaan hanya menggunakan salah satu dari dua metode itu. Banyak perusahaan mengakui hanya melakukan sedikit atau tidak sama sekali uji tuntas hak asasi manusia di sistem pasar terbuka. Namun, semua perusahaan yang mendapatkan tembakau dari Indonesia bertanggungjawab untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia. Mereka juga harus memastikan kegiatannya tidak menyebabkan atau berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia, bahkan sekalipun dalam lapisan rantai pasokan produksi. Sebagian besar perusahaan yang menanggapi Human Rights Watch mengakui ada buruh anak dan ada risiko pelanggaran hak asasi manusia dalam sistem pasar terbuka. Tetapi tak satu pun perusahaan menjelaskan jika mereka memiliki prosedur mumpuni guna memastikan tembakau yang terserap dalam rantai pasokannya tidak diproduksi oleh buruh anak yang bekerja dalam situasi berbahaya.

Langkah ke Depan

Temuan-temuan yang didokumentasikan dalam laporan ini menyimpulkan bahwa setiap pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun harus dinilai berbahaya bagi anak-anak di bawah umur 18 tahun. Ini lantaran risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh nikotin, pestisida yang dipakai pada tanaman, dan kerentanan lain untuk anak yang tubuh dan otaknya masih dalam tahap pertumbuhan. Kesimpulan ini didukung oleh analisis kami lewat standar internasional dan literatur kesehatan masyarakat, serta wawancara dengan para pakar soal kesehatan buruh tani.

Kami menyadari pertanian skala kecil adalah bagian penting dari sektor pertanian Indonesia. Di beberapa daerah, anak-anak Indonesia telah terlibat dalam pertanian keluarga selama beberapa generasi. Meski mungkin butuh waktu lama untuk mengubah sikap dan praktik seputar peran anak di pertanian tembakau, perubahan yang signifikan bukan tak mungkin. Ambil contoh Brasil, produsen tembakau terbesar kedua di dunia. Seperti halnya Indonesia, tanaman tembakau di Brasil dibudidayakan oleh sebagian besar pertanian keluarga skala kecil. Di sana larangan pemerintah yang ketat dan gamblang tentang buruh anak di pertanian tembakau, dan pendidikan serta pelatihan menyeluruh soal kesehatan dan keselamatan, telah membantu mengikis bahaya buruh anak di pertanian tembakau. Pemerintah Brasil memberi sanksi tegas atas pelanggaran mempekerjakan anak, yang diterapkan bagi petani maupun perusahaan yang membeli tembakau dari para petani. Sanksi ini mendorong para pihak yang terlibat dalam produksi tembakau menghentikan atau membatasi kerja anak di pertanian. Pihak berwenang Indonesia harus memperhatikan pendekatan ini.

Menjadi bagian dari upaya mengakhiri bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak tahun 2022, pemerintah Indonesia harus memperbarui daftar pekerjaan berbahaya untuk anak-anak. Atau pemerintah perlu menerapkan hukum serta aturan baru untuk melarang secara tegas pekerjaan yang melibatkan anak-anak dalam kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun. Mungkin ada beberapa pekerjaan ringan di pertanian tembakau yang cocok untuk anak-anak, terutama pada tahap awal produksi. Misalnya, menanam tembakau dengan menggunakan sarung tangan atau menyiram tanaman tembakau dengan ember kecil yang ringan atau kendi. Itu bisa jadi pekerjaan yang baik untuk anak-anak selama mereka tidak bekerja dalam kondisi panas ekstrem atau berbahaya, dan pekerjaan itu tak mengganggu sekolah mereka. Namun, Human Rights Watch meyakini banyak aspek di pertanian tembakau di Indonesia merupakan pekerjaan berbahaya bagi buruh anak menurut standar internasional, terutama pekerjaan menabur pupuk, saat panen tembakau, dan proses pengeringan tembakau. Singkatnya, tahapan produksi ini menuntut pekerja melakukan kontak langsung dengan tembakau dan karena itu praktik mempekerjakan anak mesti diakhiri.

Pemerintah harus menyelidiki dan memantau ketat pekerja anak dan pelanggaran lain di pertanian skala kecil, termasuk melalui inspeksi mendadak di waktu dan lokasi saat anak-anak itu dilibatkan dalam banyak pekerjaan.

Selain itu, pihak berwenang Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah melindungi buruh tembakau anak dari bahaya. Pemerintah harus mengimplementasikan pendidikan umum secara luas dan program pelatihan di kelompok petani tembakau untuk mempromosikan kesadaran atas risiko kesehatan bagi anak-anak yang bekerja di pertanian tembakau, terutama risiko paparan nikotin dan pestisida.

Semua perusahaan yang membeli tembakau dari Indonesia harus mengadopsi atau merevisi kebijakan terkait hak asasi manusia, melarang buruh anak melakukan pekerjaan berbahaya dalam rantai pasokan di segala tempat. Ini termasuk pekerjaan yang melibatkan anak-anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun. Perusahaan harus membentuk atau memperkuat prosedur uji tuntas hak asasi manusia dengan menekankan secara serius mengakhiri pekerjaan berbahaya bagi anak-anak di semua bagian rantai pasokan tembakau. Mereka harus rutin melaporkan secara rinci dan terbuka soal upayanya mengidentifikasi dan menangani masalah hak asasi manusia di rantai pasokannya.

Metodologi

Human Rights Watch melakukan penelitian lapangan untuk laporan ini pada tahun 2014 dan 2015. Kami meneliti masyarakat petani tembakau di 10 kabupaten berbeda di empat provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Selama tiga perjalanan penelitian antara September 2014 dan September 2015, Human Rights Watch mewawancarai 132 anak usia 8-17 tahun yang dilaporkan bekerja di pertanian tembakau, termasuk 10 anak di Jawa Barat, 19 anak di Jawa Tengah, 88 anak di Jawa Timur, dan 15 anak di Nusa Tenggara Barat.

Selain itu, Human Rights Watch mewawancarai 88 orang, termasuk orangtua pekerja anak, petani tembakau, pembeli dan penjual daun tembakau, pemilik gudang, pemuka atau kepala desa, petugas kesehatan, wakil organisasi nonpemerintah, dan sebagainya. Kami juga bertemu atau berkorespondensi dengan pejabat dari beberapa lembaga pemerintah termasuk dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Secara keseluruhan Human Rights Watch mewawancarai 227 individu untuk laporan ini.

Human Rights Watch mengidentifikasi narasumber dengan mendatangi kelompok petani tembakau, dan dengan bantuan wartawan, peneliti, pemuka setempat dan organisasi yang melayani keluarga petani.

Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia, Jawa, Madura, Sasak, atau Bali dengan bantuan penerjemah. Human Rights Watch mewawancarai sebagian besar anak-anak secara perseorangan, meski beberapa anak diwawancarai dalam kelompok kecil. Bila memungkinkan, Human Rights Watch melakukan wawancara secara pribadi, tapi dalam beberapa kasus, narasumber lebih suka ada orang lain saat wawancara.

Human Rights Watch memberitahu semua narasumber tentang tujuan wawancara, yang bersifat sukarela, dan bagaimana informasinya akan digunakan. Tidak ada kompensasi dalam bentuk apapun sebagai imbalan untuk wawancara. Banyak anak-anak yang diwawancarai disediakan sedikit makanan untuk berbagi dengan keluarga mereka, sesuai budaya.

Narasumber memberi persetujuan lisan untuk berpartisipasi dan dijamin namanya anonim. Wawancara dilakukan semi-struktur dan mencakup berbagai topik terkait kesehatan, keselamatan, dan pendidikan. Sebagian besar wawancara berlangsung selama 30-60 menit, dan semua wawancara berlangsung secara pribadi.

Nama-nama narasumber telah diubah untuk melindungi privasi mereka, menjaga kerahasiaan dan keamanan. Semua yang tertulis di laporan ini, kecuali dinyatakan lain, mencerminkan pengalaman anak-anak saat mereka bekerja di pertanian tembakau pada tahun 2014 atau 2015.

Human Rights Watch juga menganalisis hukum dan kebijakan, serta tinjauan sumber sekunder, termasuk laporan statistik yang disediakan oleh pemerintah Indonesia, data yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, studi kesehatan masyarakat dan sumber-sumber lain yang relevan.

Pada November 2015, Human Rights Watch mengirim surat kepada sembilan pabrik tembakau multinasional dan perusahaan penyuplai daun tembakau, serta empat perusahaan Indonesia untuk membagi hasil penelitian kami dan meminta informasi tentang kebijakan dan praktik mereka mengenai buruh anak di Indonesia. Korespondensi kami dengan perusahaan-perusahaan bisa dilihat dalam lampiran laporan ini, tersedia juga di situsweb Human Rights Watch.

Istilah

Dalam laporan ini, “anak” dan “anak-anak” mengacu pada setiap orang di bawah umur 18 tahun sesuai dengan penggunaan hukum internasional.

Istilah “buruh anak” atau “pekerja anak” sesuai standar Organisasi Buruh Internasional (ILO), mengacu pada pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah usia minimum untuk bekerja atau anak di bawah 18 tahun yang terlibat pekerjaan berbahaya.

Seperti dijelaskan dalam laporan ini, anak-anak yang diwawancarai mengatakan mereka bekerja dalam sejumlah situasi berbeda di pertanian tembakau, termasuk sebagai pekerja tanpa upah di lahan yang dimiliki atau dikelola oleh anggota keluarga, sebagai pekerja yang diupah, dan sebagai pertukaran tenaga kerja antarkeluarga. Sepanjang laporan ini, kami menggunakan istilah “buruh” “pekerja” atau “buruh tani” untuk merujuk pada anak yang bekerja di salah satu kondisi ini. Secara umum, kami menggunakan istilah “petani” untuk merujuk orang yang berperan utama mengolah lahan perkebunan atau pertanian.

Indonesia adalah negara besar dan beragam, dan Human Rights Watch tidak menggunakan metode random sampling. Anak-anak yang kami wawancarai mungkin tak mewakili populasi yang lebih luas dari pekerja tembakau anak di seluruh Indonesia. Namun, Human Rights Watch mengamati pola dan kesamaan dalam penelitian lapangan kami di empat provinsi di Indonesia selama dua musim tembakau (2014 dan 2015). Ketika menentukan jumlah anak yang melakukan pekerjaan berbahaya di pertanian tembakau di Indonesia di luar ruang lingkup metodologi yang digunakan di sini, penelitian kami meyakini bahwa banyak anak Indonesia di luar sana juga bekerja dalam kondisi sama berbahayanya ketika mengolah pertanian tembakau.

 

I. Latar Belakang: Tembakau di Indonesia

Produksi Tembakau

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Indonesia merupakan produsen terbesar kelima untuk tembakau yang belum dipabrikasi setelah Tiongkok, Brasil, India, dan Amerika Serikat.[2] Sebagian besar daun tembakau yang diproduksi di Indonesia digunakan untuk produksi domestik, tapi sejumlah besar produksi juga untuk diekspor.[3] Pada 2013, misalnya, Indonesia mengekspor sekitar seperempat dari total produksi tembakau nasional senilai hampir 200 juta dolar.[4]

Kementerian Pertanian melaporkan tembakau dibudidayakan di 15 dari 34 provinsi, tapi hampir 90 persen produksi tembakau bersumber dari tiga provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.[5] Sebagian besar tembakau atau 98 persennya ditanam oleh “petani ladang kecil,”[6] yakni petani yang memiliki dan mengolah sebidang tanak sempit, biasanya kurang dari beberapa hektare, dan kadang kurang dari 1 hektare (10 ribu m).[7]

Menurut data Bank Dunia, total penduduk Indonesia adalah 254,5 juta jiwa pada 2014, dan 34,3 persennya merupakan penduduk “usia kerja” yang terlibat dalam pekerjaan pertanian di tahun itu.[8] Pada 2014, ada 543.181 petani tembakau di Indonesia.[9]

Pertanian Tembakau dan Proses Pengeringan

Beberapa jenis tembakau tumbuh di Indonesia, termasuk Virginia (atau disebut flue-cured), burley, oriental, dan varietas lain. Indonesia adalah negara luas, dan proses budidaya serta pengeringan tembakau bervariasi tergantung iklim dan medan daerah serta jenis tembakau yang ditanam.

Di daerah tempat Human Rights Watch melakukan penelitian, petani biasanya mengolah ladang kecil yang dimiliki atau disewa keluarga mereka. Mereka menggilir tanam tembakau dengan beberapa tanaman lain pada waktu berbeda setiap tahun seperti padi atau sayuran, tergantung variasi curah hujan. Banyak petani menanam tembakau untuk dijual demi mendatangkan laba dan menanam padi serta tanaman lain untuk dikonsumsi sendiri.

Sebagian besar petani, bahkan petani yang mengolah ladang sempit, mengandalkan pekerja di luar anggota keluarganya untuk menanam tembakau. Keluarga sering mengatakan bahwa orang dewasa dan anak-anak bertukar hari kerja dengan tetangga atau buruh harian untuk bekerja selama masa sibuk musim tanam. Dalam uraian berikut, kami mengacu pada semua individu yang bekerja di pertanian tembakau sebagai “buruh tani”, istilah yang mencakup pekerja dari anggota keluarga, tenaga kerja yang bisa dipertukarkan, dan buruh upahan.

Musim tanam tembakau dimulai menjelang awal musim kemarau pada Mei atau Juni ketika buruh tani menyiapkan ladang. Mereka menyiapkan bibit tembakau di sebidang alas kecil hingga tumbuh setinggi beberapa sentimeter, lalu memindahkannya dengan tangan ke tengah ladang.

Setelahnya, buruh tani menyiram tanaman tembakau dengan tangan setiap hari, atau beberapa kali sehari, selama beberapa minggu. Alat penyiram seringnya adalah ember yang diikat di kedua ujung batang kayu dan ditopang oleh bahu. Mereka merawat tembakau hingga cukup masak sesuai perhitungan untuk kemudian dipanen. Perawatan itu merentang dari mencabut gulma dengan tangan atau cangkul tajam, mengusir cacing dan serangga dengan tangan, serta memberi pupuk dan pestisida yang dibutuhkan dalam berbagai kondisi di sepanjang musim tanam. Di beberapa kelompok, buruh tani “memetik” tembakau, alias mengambil bunga besar yang tumbuh di daun pucuk tanaman, dan menyingkirkan hama daun guna membantu pertumbuhan.

Di daerah yang dikunjungi Human Rights Watch, buruh tani memanen daun tembakau seluruhnya dengan tangan, sering secara bertahap, melalui serangkaian panen, dimulai dari bagian bawah tanaman. Buruh tani mengambil daun tembakau dari batangnya, mengumpulkannya dalam lengan mereka, dan memasukannya ke karung untuk diangkut ke gudang atau rumah untuk dikeringkan.

Kami nmengamati berbagai metode pengeringan di berbagai daerah di Indonesia. Di masyarakat-masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, tembakau dijemur atau dikeringkan di bawah matahari. Mereka menumpuk dan melipat daun yang telah dipanen dalam bundelan kecil, meletakkan bundelan daun supaya kering selama beberapa hari di dalam ruangan, lantas tembakau diiris dengan pisau tajam dan disebar di atas lapik bambu untuk dikeringkan di bawah sinar matahari. Sesudah kering, mereka menggulung dan memasukkannya ke dalam karung besar dan siap dijual. Di beberapa daerah Jawa Timur, buruh tani mengeringkan tembakau dengan cara menusuk 4-5 daun tembakau dan merangkainya di bambu runcing tipis, lalu meletakkannya di lapangan terbuka untuk dikeringkan sebelum siap dijual.

Di Nusa Tenggara Barat, sebagian besar petani yang kami wawancarai adalah petani tembakau Virginia, atau tembakau flue-cured. Tembakau ini dikeringkan di lumbung pengeringan. Daun-daun tembakau diikat dengan tali pada batang kayu, lalu memuatnya ke kasau bata di lumbung pengeringan untuk dialiri panas api. Pekerja mengatur api di oven kecil ke lumbung pengeringan guna menyalurkan udara panas lewat pipa (flues). Daun-daun dikeringkan di gudang selama beberapa hari sebelum dipindahkan. Mereka mengklasifikasikan daun tembakau kering menjadi beberapa kategori sesuai warna dan ukuran daun, dan memadatkannya dalam bentuk bal.

Konsumsi Tembakau di Indonesia

Kendati hukum dan peraturan melarang penjualan produk tembakau pada anak-anak, lebih dari sepertiga anak laki-laki usia 13-15 tahun di Indonesia saat ini mengonsumsi produk tembakau.[10] Menurut Kementerian Kesehatan, lebih dari 3,9 juta anak—antara usia 10 dan 14 tahun—menjadi perokok setiap tahun, dan setidaknya 239.000 anak di bawah umur 10 tahun sudah mulai merokok.[11] Jumlah perokok meningkat di kalangan orang dewasa, hampir tiga dari empat laki-laki usia 15 tahun dan yang lebih tua adalah perokok. Sebaliknya, sekitar 5% perempuan dan gadis usia 15 tahun serta yang lebih tua adalah perokok. [12]

Lebih dari 40 juta anak di bawah 5 tahun menjadi perokok pasif.[13] Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perokok pasif bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru pada mereka yang bukan perokok antara 20 dan 30 persen, dan risiko penyakt jantung sekira 25-35%.[14] Asap rokok meningkatkan risiko sindrom kematian bayi mendadak (SIDS), dan bisa menyebabkan problem kesehatan serius pada anak-anak, termasuk serangan asma berkali-kali dan parah, infeksi pernapasan, dan infeksi telinga. [15]

Meski adanya data-data ini, Indonesia adalah satu dari segelintir negara di dunia yang belum meratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC),[16] satu perjanjian mengikat soal kesehatan masyarakat global yang bertujuan “melindungi generasi masa kini dan masa depan dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan asap rokok.”[17] Undang-undang nasional mengizinkan sejumlah tipe iklan, promosi, dan sponsor rokok. [18] Survei tahun 2014 oleh Global Youth Tobacco, satu tinjauan berbasis representasi sekolah secara nasional pada hampir 6.000 siswa kelas 7-9 (usia SMP) di Indonesia, menemukan lebih dari 60% siswa melihat iklan atau promosi rokok di tempat penjualan, atau melihat orang merokok di televisi, video, atau film. Hampir 10% responden berkata mereka memiliki perihal yang terhubung dengan merek atau logo rokok tertentu.[19]

Kretek, rokok dari campuran tembakau dan cengkeh, sangat populer di Indonesia dan telah dikonsumsi sejak 1800-an. Satu studi tahun 2015 tentang perokok kretek di Indonesia menemukan sekitar 90% perokok dewasa mengonsumsi kretek, yang seperti produk tembakau lain, dikaitkan dengan konsekuensi kesehatan serius.[20] WHO memperkirakan pemanfaatan tembakau telah membunuh setengah dari pemakainya; lebih dari lima juta orang di seluruh dunia, dan sekitar 240.000 orang di Indonesia setiap tahun.[21]

 

II. Pekerja Anak dalam Pertanian Tembakau di Indonesia

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan lebih dari 1,5 juta anak usia 10-17 tahun bekerja di pertanian Indonesia setiap tahun.[22] Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (DOL) melaporkan lebih dari 60% buruh anak usia 10-14 tahun di Indonesia terlibat dalam sektor pertanian, termasuk perikanan, serta dalam produksi karet, kelapa sawit, dan tembakau.[23] Pada satu pertemuan dengan Human Rights Watch, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi berkata soal perkiraan 400.000 anak di seluruh Indonesia terlibat jadi pekerja anak di sektor perikanan maupun pertanian.[24] Menurut ILO, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah provinsi dengan “munculnya pekerja anak terbesar” di sektor pertanian.[25]

Human Rights Watch tak bisa mendapati perkiraan secara resmi jumlah anak yang menjadi buruh anak di pertanian tembakau setiap tahunnya. Kami meminta informasi pada Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi serta Kementerian Pertanian mengenai hal ini, tapi keduanya tak bisa menyediakan data yang relevan. [26]

Pekerja Anak di Ladang Tembakau

Konsisten dengan temuan laporan lain tentang buruh anak di pertanian tembakau di Indonesia,[27] sebagian besar anak yang diwawancarai kami mulai bekerja sebelum usia 15 tahun, usia minimum untuk bekerja di Indonesia.[28] Sekitar tiga perempat dari pekerja anak yang kami wawancarai mulai bekerja di pertanian tembakau pada usia 12 tahun.[29]

Sebagian besar pekerja anak yang diwawancarai untuk laporan ini bekerja di sebidang lahan sempit yang dikelola orangtua atau anggota keluarga lain. Mereka biasanya mengatakan, mereka bekerja bersama orangtua, saudara, atau anggota keluarga lain, dan sering bekerja untuk mengolah tanaman lain seperti padi atau sayuran. Selain bekerja di lahan pertanian keluarga sendiri, banyak anak bekerja di lahan yang dikelola tetangga dan anggota masyarakat lain. Beberapa anak mengatakan, mereka sampai bekerja untuk 20 lahan keluarga lain. Beberapa anak tidak menerima bayaran atas pekerjaannya, baik karena bekerja untuk keluarga sendiri atau tenaganya ditukar dengan pekerja dari keluarga lain di kelompok masyarakatnya. Anak-anak lain menerima upah, seperti dijelaskan di laporan ini.

Terlepas dari kondisi pekerjaannya, buruh anak di ladang tembakau umumnya dilaporkan ikut dalam beragam pekerjaan tergantung jenis tembakau dan proses pengeringan di daerahnya. Sebagian besar bekerja sepanjang musim, dari menanam hingga panen dan proses pengeringan. Di beberapa kelompok masyarakat, kerja di pertanian tembakau dibagi menurut gender, dengan tugas tertentu dilakukan oleh kaum perempuan dan gadis, dan pekerjaan lain oleh pria dan anak laki-laki.

Tugas Anak-anak di Pertanian Tembakau

Anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch untuk laporan ini mengatakan mereka melakukan satu atau lebih tugas di pertanian tembakau sebagai berikut:[30]

  • menggali tanah dengan cangkul untuk mempersiapkan ladang;
  • menanam bibit tembakau;
  • menyiram tanaman;
  • memberi pupuk;
  • mencabuti bunga dan menyuburkan daun dari tanaman;
  • menyingkirkan cacing dan serangga dengan tangan;
  • mencampur dan memberi pestisida;
  • memanen daun tembakau dengan tangan;
  • membawa bundelan daun tembakau yang telah dipanen;
  • membungkus atau menggulung daun dan menyiapkannya untuk pengeringan;
  • memotong daun tembakau;
  • tembakau di bawah sinar matahari untuk dikeringkan;
  • Menyunduk atau menyujen daun tembakau untuk diikatkan pada sepotong bambu (gelantang) untuk dikeringkan;
  • mengangkat gelantang tembakau dan memasukkannya ke bangsal pengering;
  • memanjat balok di lumbung pengering untuk menggantungkan gelantang tembakau unruk dikeringkan;
  • mengatur tungku pemanas di lumbung pengering;
  • mengambil gelantang tembakau dari gudang pengeringan;
  • melepaskan sujen daun tembakau yang sudah kering dari gelantangnya;
  • menyortir dan mengelompokkan tembakau kering; dan
  • mengikat tembakau kering dalam bal

Upah

Beberapa pekerja anak tidak dibayar untuk pekerjaannya, baik karena bekerja di ladang milik orangtua atau tenaganya dipertukarkan dengan buruh tani lain. Misalnya, Agus, anak 17 tahun di Magelang yang meninggalkan bangku sekolah dan bercita-cita jadi “petani sukses”, mengatakan soal keluarganya berdagang dengan tetangga di desa mereka. “Saya bekerja untuk tetangga. Jika saya ada kesempatan, saya membantu tetangga menanam dan memanen… Saya tak dibayar karena tetangga juga membantu orangtua saya di ladang.” Sambil memainkan jarinya, dia menambahkan,Itu bentuk persaudaraan di sini. Kami saling bantu.”[31]

Awan, pekerja anak 15 tahun di Pamekasan, menjelaskan sistem yang sama antar sesama keluarga di desanya. Ketika ditanya apakah ia dibayar saat bekerja untuk tetangga, ia berkata, ”Tidak, mereka tak pernah bayar saya. Mereka beri saya roti atau minuman. Saya harus bantu mereka karena jika saya membantu mereka, mereka juga akan membantu saya. Kami harus saling menolong satu sama lain untuk menyelesaikan panen sebelum daun tembakau berubah kuning (busuk).”[32]

Kristina, anak 17 tahun berwajah mungil, memainkan syal ungu yang ia pakai saat menjelaskan pertukaran buruh di desanya di Pamekasan: “Selain ladang orangtua, saya membantu tetangga lain yang menanam tembakau karena mereka juga membantu saya dan keluarga saya saat panen tiba. Kami tak perlu dibayar oleh tetangga. Jika tidak, ayah saya akan mengeluarkan banyak uang untuk membayar mereka kembali… Ayah saya tak sanggup membayar banyak tetangga (untuk bekerja di ladangnya), jadi dia meminta saya bantu mereka. Kami tak meminta uang dari tetangga kami.”[33]

Human Rights Watch mewawancarai Matius, 17 tahun, di luar rumah keluarganya di Pamekasan pada 2015. Ia menjelaskan sistem yang sama, “Tradisi di sini adalah membantu satu sama lain, jadi saya membantu tetangga saya dan semua keluarga saya. Kadang-kadang mereka memberi saya uang. Namun kadang kami harus bayar kembali dengan gantian bekerja di tempat mereka. Seperti saya memanen sekarang, tetangga saya akan membantu saya, dan ketika mereka panen, keluarga saya akan bantu mereka, tanpa dibayar.”[34]

Anak-anak lain mengatakan mereka dibayar per hari untuk kerja mereka, paling sering saat bekerja untuk tetangga atau keluarga besar. Di antara anak yang dibayar, sebagian besar dilaporkan mendapatkan upah kecil antara Rp5 ribu – Rp20 ribu selama beberapa jam kerja, tergantung tugas yang dilakukan.[35] Anak-anak yang bekerja lebih lama dilaporkan mendapatkan uang antara Rp20 ribu – Rp50 ribu sehari.[36] Beberapa orang yang diwawancarai juga melaporkan pria dewasa dan anak laki-laki dibayar dengan upah lebih besar dibanding perempuan dewasa dan anak perempuan.[37]

Beberapa anak di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat mengatakan bahwa tetangga mereka atau anggota keluarga besar membayar sebanyak ikatan atau gelantang tembakau sebelum dikeringkan, seringnya seribu rupiah untuk 8-12 gelantang. Mereka melaporkan bahwa mereka menghasilkan uang antara Rp12 ribu – Rp13 ribu per hari selama beberapa jam kerja. [38]

Alasan Anak-anak Bekerja

Anak-anak di empat provinsi tempat kami melakukan penelitian mengatakan mereka bekerja di pertanian tembakau untuk menolong keluarga. Banyak orangtua serta anak-anak menjelaskan tradisi di masyarakatnya yang sudah lama berjalan soal keterlibatan anak-anak di ladang pertanian keluarga skala kecil.

Kemiskinan

Laporan Bank Dunia, 14,2% penduduk pedesaan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, hampir dua kali lipat angka kemiskinan perkotaan.[39] Menurut Program Internasional ILO tentang Pengahapusan Pekerja Anak (IPEC),kemiskinan adalah penyebab utama adanya pekerja anak di bidang pertanian” di seluruh dunia.[40] Penelitian Human Rights Watch menemukan, kemiskinan keluarga berkontribusi terhadap diikutsertakannya anak-anak bekerja dalam pertanian tembakau di Indonesia.

Banyak petani yang diwawancarai untuk laporan ini mengatakan, tembakau adalah tanaman utama yang mereka tanam untuk mendapatkan laba, sementara tanaman lain dibudidayakan untuk keperluan sehari-hari. Beberapa mengatakan, mereka berjuang hidup dengan menggantungkan pendapatan saat musim tembakau. Beberapa mengatakan, mereka berutang pada tetangga atau anggota keluarga lain. Mereka juga menjelaskan soal minimnya pendapatan sewaktu-waktu dari menanam tembakau lantaran cuaca buruk, melonjaknya pasokan tembakau, atau faktor-faktor lain. Salah satu petani di Temanggung berkata kelebihan pasokan tembakau telah menurunkan harga tembakau tahun 2014: “Harganya rendah karena banyak petani yang menanam tembakau. Ini adalah tahun terakhir saya ingin menjual tembakau. Ini benar-benar sulit, dan saya habis banyak uang.”[41] Banyak petani menilai, mereka memiliki sedikit kontrol atas harga dan klasifikasi tembakau, yang menentukan pendapatan mereka.

Banyak anak-anak mengatakan, mereka bekerja karena ingin membantu orangtua menjaga pertanian dan melayani keluarga, dan beberapa merasa kerja mereka dapat membantu keluarga menghemat waktu dan uang untuk mengupah pekerja. Human Rights Watch mewawancarai Ratih, anak 11 tahun yang bekerja di pertanian orangtuanya di Jember setelah dia pulang latihan olahraga pada satu pagi tahun 2015. “Saya merasa kasihan melihat orangtua saya bekerja,” katanya. “Jadi saya ingin membantu mereka mencari nafkah.”[42] Ratih satu dari empat anak di keluarganya. Ibunya menjelaskan, ia mulai membawa anaknya bekerja di ladang tembakau sejak mereka kecil, salah satunya agar ia dan suaminya tak perlu menyewa buruh saban tahapan musim tanam. Selain agara ia bisa mengawasi anak-anaknya sambil bekerja di ladang. “Anak-anak saya membantu kami di ladang karena banyak biayanya jika kami menyewa orang untuk menyiram tembakau. Jadi sejak mereka kecil, putri saya sudah ikut ke ladang untuk membantu saya dan bermain di sana. Saya tak bisa mengurus anak-anak di rumah selama saya bekerja di ladang, jadi saya membawa mereka.”[43]

“Anak-anak membantu saya di ladang, jadi saya bisa menghemat pengeluaran untuk membayar buruh,” ujar Ijo, petani 40-an tahun dan ayah empat anak yang diwawancarai di Garut pada 2015. Ia bilang ia bersalah karena anaknya umur 12 tahun ikut membantunya di pertanian: “Tentu saya tak ingin anak-anak saya bekerja di pertanian tembakau, banyak bahan kimia di sana, dan bisa membahayakan anak-anak saya. Tapi mereka ingin kerja, dan kami adalah petani… Saya butuh banyak uang untuk membayar para buruh. Namun anak saya bisa membantu di semua musim. Anda bisa bayangkan, saya bisa menyimpan banyak uang saat anak saya bekerja membantu saya di ladang. Ini situasi rumit.”[44]

Beberapa anak memakai penghasilannya dari bekerja di ladang tembakau untuk membantu keluarga, misalnya membeli makanan dan kebutuhan dasar lain. Sari, 14 tahun, yang berhenti sekolah saat kelas 6 SD untuk membantu keluarga di pertanian di Magelang, mengatakan pada 2014,” Saya bekerja untuk menolong orangtua saya dan membeli makanan dan kebutuhan lain yang mereka perlukan.” Sinta, gadis 13 tahun yang bekerja di desa yang sama mengatakan, “Saya bekerja untuk membantu orangtua saya, untuk meringankan hidup mereka. Agar hidup tidak susah.”[45]

Anak-anak lain yang bekerja dengan tujuan mencari upah, uangnya untuk beli buku dan seragam, atau jajan di sekolah. Utari, anak 13 tahun misalnya, mendapatkan upah dari pekerjaan membundel tembakau dan uangnya dipakai untuk membayar keperluan sekolah. Saat kami mewawancarainya tahun 2014, gadis kecil beranting emas dan berbaju kuning dari Probolinggo ini berkata, Upah yang saya dapatkan untuk membayar sekolah, beli buku, dan seragam. Harga buku 24 ribu rupiah per semester. Saya membeli buku sendiri,” katanya.[46]

Tradisi

Selain faktor kemiskinan, ILO-IPEC mengutip “sikap tradisional soal keterlibatan anak dalam kegiatan pertanian” sebagai penyebab adanya pekerja anak. [47] Banyak narasumber untuk laporan ini mengatakan adalah “hal umum bagi anak bekerja di ladang pertanian karena sudah jadi tradisi keluarga petani. “Sebagai tradisi, anak-anak kami pergi ke ladang untuk membantu cuma-cuma,” kata Hanif, petani 45 tahun di Probolinggo pada 2015.[48] Maya, petani dan ibu enam anak (9-28 tahun) di Garut mengatakan “hal yang biasa di kampungnya anak-anak membantu orangtua di ladang. “Mereka banyak membantu. Kadang kami tak punya banyak uang untuk membayar buruh,” katanya. “Kami petani.”[49]

 

III. Pekerjaan Berbahaya di Pertanian Tembakau

Meski tak semua pekerjaan berbahaya bagi anak-anak, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menjelaskannya sebagai “pekerjaan yang, karena sifat dan kondisinya, dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.”[50] ILO menyatakan pertanian sebagai “salah satu dari tiga sektor paling berbahaya yang berkaitan dengan kematian, kecelakaan non-fatal, dan penyakit akibat kerja.”[51]

Human Rights Watch mendapati banyak aspek di pertanian tembakau memicu risiko signifikan soal kesehatan dan keselamatan anak-anak, sesuai hasil temuan kami mengenai bahaya buruh anak dalam pertanian tembakau di Amerika Serikat.[52] Anak-anak yang bekerja di pertanian tembakau di Indonesia terpapar nikotin, pestisida beracun, dan panas ekstrem. Mayoritas yang diwawancarai untuk laporan ini menjelaskan sakit saat bekerja di pertanian tembakau, termasuk gejala yang berhubungan dengan keracunan akut akibat nikotin, paparan pestisida, dan cedera akibat suhu panas. Beberapa juga dilaporkan mengalami masalah pernapasan, kondisi kulit, dan iritasi mata saat bekerja di pertanian tembakau.

Sebagian besar yang diwawancarai untuk laporan ini menderita sakit dan kelelahan karena terus-menerus terlibat dalam pekerjaan berulang dan mengangkut beban berat. Beberapa anak mengatakan mereka menggunakan benda tajam dan tanpa sengaja melukai diri mereka, atau bekerja di ketinggian berbahaya tanpa jaminan pelindung jika jatuh. Banyak yang terpeleset dan jatuh saat bekerja di tempat becek dan tanah berlumpur. Di beberapa kasus bahan kimia yang mereka bawa dengan ember atau tangki mengenai diri mereka.

Segelintir anak yang diwawancarai kami mengatakan telah meneriman pendidikan atau pelatihan tentang risiko kesehatan bekerja di pertanian tembakau. Sangat sedikit memakai alat pelindung saat membudidayakan tembakau, dan banyak yang tak menggunakan alat pelindung sama sekali saat menyentuh pestisida atau bahan kimia lain.

Nikotin

Semua anak yang diwawancarai untuk laporan ini menggambarkan caranya menangani serta merawat langsung tanaman dan daun tembakau pada beberapa tahapan selama musim tanam. Nikotin terdapat di tanaman dan daun tembakau dalam berbagai bentuk,[53] dan penelitian kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa pekerja tembakau menyerap nikotin melalui kulitnya saat membudidayakan tembakau.[54] Penelitian menunjukkan petani dewasa non-perokok di ladang tembakau memiliki jumlah nikotin yang sama dengan perokok di masyarakat umum.[55]

Dalam jangka pendek, penyerapan nikotin melalui kulit dapat menyebabkan keracunan nikotin akut, yang disebut penyakit akibat daun hijau tembakau (Green Tobacco Sickness). Gejala paling umum dari keracunan akut akibat nikotin adalah mual, muntah, sakit kepala, dan pusing.[56]

Sekitar setengah dari anak-anak yang kami wawancarai di Indonesia tahun 2014 atau 2015 dilaporkan mengalami setidaknya satu gejala yang konsisten dengan keracunan nikotin akut saat bekerja di pertanian tembakau, termasuk mual, muntah, sakit kepala, dan pusing. Anak-anak mengatakan mereka mengalami gejala ini ketika membuang bunga dan daun busuk dari tanaman tembakau, memanen tembakau, membawa daun yang telah dipanen, membungkus atau menggulung daun, dan menyiapkan dauan tembakau untuk pengeringan, saat bekerja di gudang pengeringan dan bekerja dengan tembakau kering.[57]

Muntah dan Mual

Beberapa anak di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat menjelaskan muntah dan mual saat bekerja di pertanian tembakau.

Beberapa anak mengatakan mereka muntah saat memanen daun tembakau. Misalnya, Wani, 16 tahun, dan Nina, 18 tahun, telah sama-sama bekerja di pertanian tembakau di Sampang selama beberapa tahun. Wani, memakai jilbab renda hitam bertekstur lembut, mengatakan muntah-muntah saat panen pada 2014: “Saya muntah karena bau daun tembakau. Dan saya sakit kepala juga.” Nina mengatakan dia muntah saat memanen tembakau basah pada 2014: “Daun basah lebih bau dari tembakau kering,” jelasnya. “Itu yang membuat saya muntah.”[58]

Aman, 18 tahun, telah membantu pertanian orangtuanya di Sumenep sejak SMP. Dia mengatakan sakit keras saat panen tembakau tahun 2014 dan berobat ke rumah sakit: “Saya muntah, tapi muntahannya tak bisa keluar. Tersangkut tenggorokan… terjadi dua kali. Tahun lalu dan tahun sebelumnya. Saya pergi ke rumah sakit dua kali itu… Tahun lalu yang terburuk. Mereka memberi saya oksigen dan infus. Saya merasa panas di perut dan pusing terus-menerus.”[59]

Ayu, 13 tahun, satu dari lima anak di keluarganya, mengatakan muntah-muntah saban tahun saat memanen tembakau di desanya dekat Garut: Saya muntah saat saya terlalu lelah memanen dan membawa daun tembakau. Perut saya seperti... saya tak bisa jelaskan; mulut saya bau. Saya muntah bekali-kali… Ayah membawa saya pulang. Itu terjadi saat kami panen. Cuaca panas, dan saya sangat lelah… Baunya tak enak saat panen. Saya selalu muntah setiap kali memanen.”[60]

Beberapa anak tak pernah muntah, tapi mengatakan mual dan enek saat bekerja dekat tembakau. Rio, bocah jangkung 13 tahun, bekerja di pertanian tembakau di desanya di Magelang pada 2014. Ia berkata,Setelah bekerja terlalu lama dengan tembakau, saya sakit perut dan merasa mual. Itu karena saya terlalu lama di dekat tembakau.” Ia mengibaratkan rasanya seperti mabuk, “Seperti kamu kalau dalam perjalanan, dan mobil yang kamu tumpangi bergoncang karena jalannya bolak-balik.”[61]

Eddi, 16 tahun, berhenti sekolah saat kelas lima untuk membantu orangtuanya di pertanian di Magelang. Ia berkata sakit saat memanen tembakau pada 2014: “Saat saya memetik daun, daunnya memiliki cairan dan tercium bau. Saya harus memamen banyak daun tembakau. Saya merasa lemah dan sakit kepala.” Dia juga merasa mual saat panen:Saya merasa enek,” katanya, “Perut saya sakit.”[62]

Indirah, gadis 14 tahun yang orangtuanya bekerja sebagai buruh sewa di beberapa pertanian tembakau di Jember mengatakan merasa mual-mual setiap tahun selama panen tembakau:Ketika saya memetik daun tembakau, saya merasa ingin muntah. Rasanya tak nyaman. Seperti mual. Itu terjadi musim lalu. Hampir setiap musim saya merasa begitu. Saya tak jadi muntah, tapi merasa mual. Rasanya enek.”[63]

Anak-anak melaporkan mual dan muntah ketika membundel dan menyortir, atau mengeringkan daun tembakau, atau bekerja di lumbung pengeringan. Misalnya, Leah, 14 tahun, mengatakan muntah-muntah di ladang tembakau selama musim panen 2014, juga saat menyortir dan membundel daun tembakau yang sudah dipanen di desanya di Garut. “Ketika kami menyortir dan membundel daun tembakau, itu kotor. Musim lalu, saya muntah… Perut saya sangat sakit. Rasanya seperti terbakar dan tenggorokan saya, rasanya sangat sulit untuk menelan.”[64] Ibunya menjelaskan,Ketika kami membungkus daun tembakau, baunya sangat kuat. Saya tahu dia muntah karena baunya sangat tajam.”[65]

Nadia, gadis 16 tahun di Bondowoso yang orangtuanya menanam cabai, jagung, padi, tomat, dan tembakau, mengatakan muntah setiap tahun saat musim panen, ketika membundel dan menyortir daun tembakau dengan kaum ibu dan anak perempuan lain di desanya. “Kadang-kadang saya sakit kepala. Kadang saya muntah… Itu terjadi ketika kami mengikat daun tembakau karena kami duduk di tengah-tengah bundelan tembakau… Itu terjadi ketika tembakau masih basah dan baru datang dari ladang. Terjadi di awal musim saat kami belum terbiasa. Setiap awal musim, kami muntah-muntah.”[66]

Yulia, 13 tahun, yang bekerja di gudang pengeringan di Lombok Timur pada 2014, mengatakan merasa mual saat membawa daun tembakau. “Saya merasa sakit perut karena saya harus membungkuk dan mencium bau tembakau lagi dan lagi,” katanya. Dia menggambarkan sakitnya: “Itu menyakitkan, karena seperti kamu ingin muntah tapi makanannya tak keluar. Lebih baik kalau benar-benar bisa muntah.”[67] “Saya mual ketika saya membawa daun tembakau ke gudang,” kata Riko, anak laki-kali 15 tahun yang bekerja di kebun tembakau pamannya di Lombok Timur, pada 2015. “Saya tak tahu mengapa itu terjadi. Saya merasa lemas. Saya muntah dua kali di belakang gudang… Itu terjadi lebih dari sekali. Musim ini hanya sekali. Musim lalu, dua kali.”[68]

Sakit Kepala dan Pusing

Anak-anak di empat provinsi tempat kami melakukan penelitian berkata mengalami sakit kepala, serta merasa pusing, pening, dan lemas saat merawat tembakau di sejumlah tahapan selama proses produksi.

Emilia, gadis 12 tahun yang bercita-cita menjadi guru, berkata merasa pening saat menumpuk daun tembakau hijau dan membundelnya di desanya di Probolinggo pada 2014. “Saat saya membundelnya, saya merasa pusing dan sakit kepala. Mata saya berkunang-kunang.”[69] William, 16 tahun, mengatakan sakit ketika membuang daun pucuk tembakau di Sampang pada 2014. “Tubuh saya seperti…Saya tak tahu menjelaskannya. Seperti lemah. Tiba-tiba saya merasa lemas. Itu terjadi saat saya memotong bunga tembakau.”[70]

Human Rights Watch mewawancarai Raden, 14 tahun, saat libur sekolah di Sumenep pada Juni 2015. Dia mengatakan merasa pusing dan pening ketika memanen tembakau: “Saat kami panen, saya sering sakit karena bau daun tembakau, dan saya merasa sakit kepala berat…. Kadang-kadang sulit bernapas saat banyak tembakau di dekat saya. Saya tak bisa menjelaskannya. Saya sakit kepala. Saya pusing. Saya melihat bintang-bintang dan semuanya seperti sangat terang.”[71]

Peni, 13 tahun, mulai bekerja di pertanian tembakau di desanya di Magelang sejak umur 12 tahun. “Saat saya panen, saya merasa pusing,” katanya soal pekerjaannya pada 2014. “Itu karena bau daun tembakau. Sekeliling saya seperti berputar-putar.”[72] Topan, 14 tahun, yang bekerja di Magelang pada 2014, menggambarkan perasaan yang sama saat memanen tembakau: “Saya merasa pusing dan sakit kepala saat panen. Kepala terasa berdenyut karena bau dan panas.”[73]

Yulia, 13 tahun, bekerja dengan adik perempuan dan sepupunya di gudang pengeringan tembakau di Lombok Timur pada 2014. Duduk di lantai dengan seragam cokelat, ia menjelaskan soal rasa sakit kepala saat bekerja di tembakau kering. “Ketika saya melepaskan ikatan tembakau kering, baunya busuk sekali,” katanya. “Itu membuat saya sakit kepala. Saya tak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi baunya membuat kepala saya berat, saya hanya ingin berbaring.” Ia menjelaskan soal rasa pusing saat bekerja.

Rasanya seperti melihat bintang-bintang di atas kepala saya, dan saya hampir jatuh. Seperti gempa.”[74] Dewi, 11 tahun, bekerja di gudang pengeringan yang sama di Lombok Timur pada 2014 dan menuturkan gejala yang sama saat menangani tembakau kering. “Saat saya melepas ikatan tembakau, baunya menyeruak ke hidung saya. Itu bikin saya pusing,” katanya. “Saat kamu pusing, kamu tak tahu arah. Seperti bergoyang dan tak tahu di mana kamu berada.”[75]

Terpapar Nikotin

Semua pekerja anak yang diwawancarai Human Rights Watch terpapar nikotin saat menangani serta merawat langsung tanaman dan daun tembakau di beberapa tahapan selama musim tanam. Banyak anak-anak mengatakan pakaian mereka basah saat bekerja di ladang karena embun pagi. Bekerja dalam keadaan basah, kondisi lembab ini meningkatkan risiko keracunan nikotin karena nikotin yang larut dalam air pada daun tembakau lebih mudah diserap lewat kulit.[76]

Pengalaman Dumadi, 12 tahun, di Garut adalah gejala umum bagi para pekerja anak yang diwawancarai Human Rights Watch: “Kondisinya basah saat kami panen… Saya memakai pakaian usang untuk panen karena jika saya pakai baju yang bagus, baju itu akan kotor dan hitam, jadi saya pakai pakaian ganti… Tentu saja saat itu basah. Pagi harinya cerah dan saya berkeringat. Di pagi hari tembakau berembun. Pakaian saya basah kuyup.” Ia mengatakan kondisi basah kuyup ini saat pulang dari ladang. “Seperti kena hujan,” katanya. [77]

Beberapa anak mengatakan merasa sakit saat bekerja dengan pakaian basah. Indirah, 14 tahun, dari Jember berkata,Basah karena masih ada embun di daun tembakau. Pakaian saya jadi basah. Sungguh tak nyaman, dan saya bekerja dengan pakaian berkeringat.” Ia berkata merasa sakit saat bekerja di ladang basah, meski mengaitkan rasa sakitnya karena bau tembakau:Karena banyak daun di ladang. Bau tembakau membuat saya sakit.”[78]

David, pekerja anak 16 tahun di Probolinggo, mengatakan bekerja dengan pakaian basah dan getah tembakau bikin kulitnya iritasi:Saat panen, kulit kamu akan sangat kering dan lengket seperti lem (getah dari daun tembakau).” Ia mengingat iritasi terutama di bawah ketiak saat ia mengepit daun tembakau: Kulit saya kadang-kadang gatal di ketiak. Saat saya memetik daun tembakau dan membawanya di bawah ketiak karena karungnya agak jauh dari ladang. Jadi kami harus mengangkut seikat besar daun tembakau ke tepi ladang. Karena itu pakaian saya basah karena daun tembakaunya basah. Dan itu terutama basah di bawah ketiak,” katanya, menggosok tubuh bagian atasnya.[79]

Sebagian besar mengatakan daun tembakau meninggalkan bercak hitam dari residunya yang lengket di tangan mereka, dan beberapa mengatakan mencium bau asam atau merasa pahit saat makan, bahkan setelah mencuci tangan. Misalnya, Farah, 10 tahun, yang sejak usia 9 tahun membantu kebun ayahnya di Sampang. Ia berkata,Saya tak pakai sarung tangan. Tangan saya hitam setelah saya memetik daun. Baunya seperti bahan kimia, dan rasanya lengket.” Ia berkata bau di tangannya masih saja lengket sekalipun sudah cuci tangan, “Ketika selesai menolong ayah saya memanen daun tembakau, rasanya pahit di mulut. Saat saya pulang untuk makan malam, saya sudah mencuci tangan, tapi makanan terasa pahit.”[80]

Risiko Kesehatan karena Terpapar Nikotin

Tanpa pemeriksaan dan uji biologis terperinci, Human Rights Watch tak bisa memastikan soal penyebab penyakit yang dilaporkan anak-anak yang kami wawancarai. Namun gejala yang dituturkan dalam deskripsi anak-anak ini konsisten dengan gambaran keracunan akut akibat nikotin, atau dikenal penyakit akibat daun hijau tembakau (Green Tobacco Sickness). Ia adalah risiko kesehatan kerja yang secara spesifik muncul dari budidaya pertanian tembakau. Penyakit ini terjadi saat pekerja menyerap nikotin melalui kulitnya saat berkontak langsung dengan tanaman tembakau, terutama saat tanaman masih basah.[81] Penelitian menunjukkan bahwa mual, muntah, pusing, dan sakit kepala adalah gejala umum keracunan nikotin akut.[82]

Keracunan akut akibat nikotin umumnya berlangsung antara beberapa jam dan beberapa hari.[83] Meski jarang mengancam jiwa, beberapa kasus yang parah menyebabkan dehidrasi yang membutuhkan perawatan darurat.[84] Anak-anak sangat rentan terhadap keracunan nikotin karena usia pertumbuhannya, dan karena kecenderungan daya tahan tubuh mereka lebih lemah ketimbang orang dewasa yang sudah lebih toleran terhadap nikotin.[85]

Belum ada penelitian soal efek jangka panjang dari penyerapan nikotin melalui kulit. Tapi penelitian kesehatan masyarakat soal merokok menunjukkan bahwa pemaparan nikotin selama masa kanak dan remaja dapat memicu konsekuensi langgeng pada perkembangan otak.[86] Korteks prefrontal, bagian otak yang berperan untuk fungsi eksekutif dan atensi, adalah salah satu bagian terakhir otak yang matang dan terus berkembang selama masa remaja dan menginjak dewasa.[87] Bagian ini sangat rentan terhadap dampak stimulan, seperti nikotin. Paparan nikotin pada masa remaja berkaitan dengan gangguan mood, dan masalah memori, atensi, kontrol impuls, dan kognisi di kemudian hari.[88]

Pestisida dan Bahan Kimia Lain

Banyak pekerja anak yang diwawancarai untuk laporan ini mengatakan mereka mengurus atau memberikan pestisida, pupuk, atau bahan kimia lain di perkebuna tembakau, seringnya tanpa memakai alat pelindung. Beberapa anak dilaporkan melihat pekerja lain memakai bahan kimia di ladang tempatnya bekerja atau di ladang terdekat. Sejumlah anak dilaporkan mengalami sakit usai menangani atau bekerja dalam jarak dekat dengan bahan kimia di pertanian tembakau. Mereka menjelaskan sejumlah gejala termasuk mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, pusing, iritasi kulit, ruam, batuk, dan kesulitan bernapas.

Anak-anak Menyemprotkan Pestisida

Anak-anak di empat provinsi tempt kami mengadakan penelitian menjelaskan mereka mencampur pestisida, kadang dengan tangan mereka, atau memakai pestisida atau bahan kimia lain untuk tanaman tembakau dengan tangki, sering memanggul di punggung mereka, dan memegang penyemprot. Banyak merasa langsung sakit setelah menangani bahan kimia, menuturkan rasa muntah, sakit kepala, pusing, kulit gatal, dan gejala lain.

Musa, 16 tahun, yang bercita-cita menjadi pemain bola, mengatakan dia memakai tangki dan memegang penyemprot untuk menyiram cairan kimia di pertanian tembakau keluarganya di Garut pada 2015. Ia berkata ia sangat sakit saat pertama kali memberi pestisida, setelah mencampur bahan kimia dengan tangan kosong: “Mula-mula saya muntah… dua minggu, saya tak bisa bekerja. Saya pergi ke dokter. Dokter mengatakan pada saya untuk berhenti bekerja di dekat bahan kimia. Tapi bagaimana saya bisa melakukannya? Saya harus membantu orangtua saya. Siapa lagi yang menolong mereka jika bukan saya?... Saya mencampurnya dengan tangan saya. Tiba-tiba saya pusing. Orangtua saya menyuruh saya pulang. Saya di rumah dua hari, dan ayah saya mengatakan agar saya beristirahat lebih lama. Rasanya buruk sekali. Selama dua minggu, saya terus-menerus muntah.”[89]

Argo, 15 tahun, berkata mengolah bahan kimia di pertanian tembakau milik orangtuanya di Pamekasan pada 2015. “Saya menuangkannya ke air, lalu mengaduknya, dan kemudian saya semprotkan semua ke tembakau,” katanya. “Tangkinya saya panggul di punggung.” Ia menceritakan soal insidennya tiba-tiba merasa sangat sakit saat menyemprotkan pestisida tanpa alat pelindung:Saya muntah. Itu saat menanam, dan saya tak memakai masker, baunya kuat sekali, saya mulai muntah-muntah. Saya langsung minum, tapi saya harus tetap bekerja supaya ayah saya tidak marah. Saya merasa ada benda asing yang menggelembung di tenggorokan.”[90]

“Tahun lalu, saya mulai belajar menyemprot di ladang,” kata Sartoro, 16 tahun, yang telah bekerja di pertanian tembakau untuk orangtua, saudara, dan tetangga di Probolinggo sejak umur 13 tahun. “Saya mencampur tiga botol kecil berisi cairan kimia di satu ember besar berisi air dan menuangkannya ke tangki. Saya pusing saat mencium baunya. Kepala sakit seperti ada yang menonjok. Bikin sakit di perut karena baunya sangat tajam. Saya merasa mual.”[91]

Sari, gadis 14 tahun yang berhenti sekolah saat kelas 6 SD untuk membantu pertani tembakau keluarganya di Magelang, mengatakan: “Saya membantu ayah saya menyemprot dengan tangki. Saya tak tahu bagaimana mencampur air dengan pestisida, tapi saya menyemprot tanaman dengan pestisida yang telah dicampur oleh ayah saya. Tangkinya melukai bahu saya. Saya merasa enek saat menyemprot. Seperti mau pingsan. Baunya tajam sekali.”[92]

Catur, bocah kurus 15 tahun yang mulai bekerja di pertanian tembakau saat usia 12 tahun, mengatakan ia mencampur dan menyiram pestisida saat bekerja di Magelang pada 2014: “Saya menggunakan tangki yang dipanggul di punggung. Tangan kanan saya memompa air dan tangan kiri menyemprotkan bahan kimia. Saya mencampur bahan kimia ke dalam air. Saya gunakan satu tutup botol untuk setiap tangki... Saya pusing karena baunya busuk sekali. Saya terus-menerus pusing.” Ia menambahkan,Bahan kimia mengenai kulit saya. Bikin gatal.”[93]

Tiga sahabat—Rexi (15), Topan (14), dan Michael (15)—bekerja bareng di pertanian tembakau di Magelang pada 2014. Kami mewawancarai ketiganya secara bersamaan, dan mereka mengatakan mencampur serta menyemprotkan pestisida di pertanian tembakau pada 2014. Rexi berkata, “Baunya bikin saya sakit.… Saya sakit perut dan merasa mual saat menyemprot pestisida.” Rexi juga berkata bahwa bahan kimi bikin kulitnya iritasi: “Kulit saya jadi ruam saat terkena bahan kimia. Ada benjolan merah di tangan saya ketika terkena bahan kimia.” Michael menjelaskan reaksi yang sama saat bekerja dengan pestisida: “Saya tak tahan baunya. Baunya busuk seperti buah yang terlalu matang. Saya sakit kepala saat menyemprot.… Baunya sangat tajam. Bikin saya sulit bernapas.” Topan menuturkan kesulitan bernapas saat mencampur dan menyemprotkan pestisida pada 2014: “Terlau bau, karena itu sulit bernapas. Jadi kami harus kerja cepat. Seperti tak ada udara yang cukup untuk dihirup.”[94]

Beberapa anak terpeleset dan jatuh saat membawa ember memuat campuran air dan pupuk, atau saat mereka memanggul tangki atau mengangkut pestisida. Mereka mengatakan bahan kimia tepercik ke tubuhnya. Iggy, pekerja anak 16 tahun di Garut, mengatakan ia jatuh saat memakai pestisida pada 2015. Ia bilang bahan kimia dari dalam tangki mengenai kulitnya:Saya terpeleset saat menyemprot karena ladangnya becek. Saya jatuh bersama tangki yang saya bawa. Semua air di tangki tumpah ke mana-mana dan tangkinya jadi kosong. Punggung saya basah.”[95]

Kami mewawancarai Seto, 14 tahun, yang tengah duduk mengenakan seragam sekolahnya di teras depan rumahnya di Sampang. Ia menceritakan insiden saat jatuh membawa ember berisi campuran air dan pupuk di ladang tembakau di desanya pada 2014. “Ketika saya menyiram, saya jatuh karena terpeleset,” katanya. “Airnya tumpah ke celana saya. Ada bekas luka di kaki karena jatuh. Saya mengantuk usai pulang dari sekolah dan segera bekerja ke ladang, saya menyiram dan menjatuhkan ember dan melukai kaki saya. Berdarah. Saya bertelanjang kaki.”[96]

Anak-anak Mencampur Pestisida

Segelintir anak berkata mereka mencampur bahan kimia di dalam tangki, lantas orangtua mereka atau orang dewasa lain yang menyemprotkannya ke ladang tembakau. Pekerjaan ini juga bikin anak-anak sakit. Misalnya, Ayu, 13 tahun, yang dikutip pada awal laporan ini, bekerja di pertanian tembakau di dekat desanya di Garut. Ia berkata, “Saya tak bisa menggunakan tangki. Ayah saya yang melakukannya. Saya hanya bantu mencampur… Saya menuangkan tiga atau empat cangkir bahan kimia di ember, menuangkan air dan mengaduknya dengan tongkat kayu, dan ayah saya menuangkannya ke tangki… Baunya sangat tajam. Bikin perut saya sakit.”[97]

Leah, 14 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau yang sama di Garut, mengatakan ia juga mencampur pestisida pada 2015, “Saya membantu mencampurnya. Saya punya ember besar berisi air. Saya pakai kayu untuk mengaduknya. Baunya busuk sekali. Kadang saya sakit kepala saat mencampurnya. Baunya lebih busuk dari tahi ayam. Saya tak bisa menjelaskannya, tapi saat saya mencampur, baunya busuk, kepala saya seperti berputar-putar. Dan ketika saya membuka mata, semua terlihat gelap… Saya pakai selendang untuk menutup hidung saya. Itu membantu, tapi selendang saya jadi bau.”[98]

Indirah,14 tahun, yang orangtuanya bekerja sebagai buruh upahan di pertanian tembakau di Jember pada 2015, juga mengatakan dia merasa sakit ketika mencampur pestisida untuk keperluan ayahnya pada 2014: “Saya ingin muntah ketika saya menuangkan cairan kimia ke tangki dan mengocok tangkinya. Baunya menusuk hidung. Saya mencampurnya untuk ayah saya. Saya hampir muntah.”[99]

Ramelan, anak 12 tahun, siswa SMP di Garut yang bekerja di pertanian tembakau keluarganya saat liburan sekolah, menggambarkan bagaimana dia mencampur obat untuk ladang tembakau ayahnya pada 2015: “ Saya menuangkan bahan kimia di ember, mengaduknya dengan kayu dan menuangkan ke tangki, dan ayah saya yang akan menyemprotkannya.” Ia bilang merasa sakit setelah mencampur bahan kimia: “Seperti pusing dan sakit kepala karena baunya sangat tajam. Saya pikir saya akan pingsan.” Ia juga mengatakan bahan kimia itu bikin kulitnya iritasi:Saya mamakai kayu untuk mengaduknya jadi tak mengenai kulit saya. Kadang-kadang tangkinya bocor mengenai tangan. Membakar kulit saya. Rasa terbakar dan gatal.”[100]

Tepercik Semprotan Pestisida

Banyak anak-anak yang diwawancarai kami menjelaskan pekerjaan di dekat area tempat orangtuanya atau pekerja lain memakai pestisida di ladang tembakau. Anak-anak ini tepercik pestisida saat disemprotkan ke sebidang lahan ke lahan lain yang melayang karena embusan angin.[101] Anak-anak ini bisa mencium bau semprotan bahan kimia yang terbang ke dekat mereka, dan banyak dari mereka yang langsung merasa sakit setelah terkontaminasi semprotan.

Ratih, 11 tahun, yang mengenakan kaos bola saat kami bertemu dengannya di dekat pertanian keluarganya di Jember, berkata, “Satu kali saya muntah saat berada dekat mereka yang menyemprot. Ayah saya menyemprot di arah barat, dan… angin berembus ke arah saya, dan rasanya masuk ke lidah saya. Saya muntah. Ayah saya mengatakan agar saya minum banyak air dan dia membawa saya pulang.”[102]

“Ketika saudara saya menyemprot, saya membersihkan gulma,” kata Rahmad, 10 tahun, yang menggambarkan bagaimana percikan pestisida saat bekerja di pertanian keluarganya di Sampang pada 2015. “Baunya busuk… Seperti bau obat. Saya merasa sakit. Kepala sakit, dan perut saya merasa tidak enak. Saya di ladang yang sama… Setiap kali mencium bau semprotan, saya merasa pusing dan mual.”[103]

Ade, 14 tahun, mengatakan sering bekerja dalam jarak dekat dengan orang dewasa yang menyemprotkan pestisida ke tanaman tembakau di perkebuna dekat desanya di Magelang pada 2014. “Kadang hanya jarak lima meter,” katanya. “Satu kali semprotan pernah mengenai muka saya.” Ia berkata bahan kima ini membuatnya merasa mual: “Kadang membuat saya sakit perut. Rasanya busuk.”[104]

Senada dengan Samuel, 15 tahun, yang meninggalkan sekolah saat kelas 6 SD. Ia berkata sangat sakit saat orangtuanya menyemprot ladang tempatnya bekerja di Garut pada 2014: “Posisi saya tidak jauh dari sana… Saya muntah karena mencium baunya. Saat itu saya di ladang. Tidak enak banget, lantas kepala saya sakit. Saya lemas, dan hari itu saya merasa jengah. Saya tidak berobat. Biayanya mahal. Saya tak bisa membayarnya.”[105]

Human Rights Watch mewawancarai Natalia, gadis 13 tahun, sesudah ia mengikat daun tembakau di luar lumbung pengeringan di Lombok Timur. Ia mengisahkan saat berada di jarak dekat dengan pekerja yang tengah menyemprotkan pestisida di pertanian tembakau milik neneknya pada 2015. “Saat tanaman masih muda, seseorang membawa tangki penyemprot dengan bahan kimia di dalamnya, dan menyemprotkannya ke daun tembakau… Saya menghampirinya dengan membawa air. Mencium bau. Saya mencium baunya... Tak bisa dijelaskan. Kadang saya pakai selendang untuk menutup hidung. Tanpa selendang, saya merasa sangat, sangat pusing. Itu terjadi beberapa kali.”[106]

Risiko Kesehatan akibat Terpapar Pestisida

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia saat terhirup, tertelan, atau terserap melalui kulit. Pestisida menimbulkan risiko kesehatan serius pada individu yang menggunakannya, juga pada orang lain yang berada di dekatnya.

Berdasarkan penelitian lapangan, kami mendapati pekerja anak di ladang tembakau Indonesia terpapar pestisida karena mencampur dan memakainya, yang tanpa sengaja kena semprotan atau percikan pestisida lewat embusan angin, saat pestisida itu disiram ke sebidang area ke area lain.[107] Penelitian menunjukkan bahwa pekerja tembakau bisa menderita paparan kronis akibat kontak dengan sisa pestisida di tanaman dan ladang tembakau.[108] Human Rights Watch tak bisa menentukan kandungan racun yang tepat dari bahan kimia di dalam produksi tembakau pada masyarakat-masyarakat petani tembakau yang kami datangi. Namun paparan pestisida berkaitan dengan masalah kesehatan akut termasuk mual, pusing, muntah, sakit kepala, sakit perut, serta masalah pada kulit dan mata.[109] Paparan pestisida berdosis tinggi dapat berefek kesehatan parah termasuk keguguran dan cacat lahir, kehilangan kesadaran, koma, dan kematian.[110]

Efek jangka panjang dan penyakit kronis akibat paparan pestisida telah didokumentasikan dengan baik, termasuk dampaknya pada masalah pernapasan, kanker, depresi, defisit neurologis, dan problem kesehatan reproduksi.[111] Anak-anak sangat rentan terimbas efek buruk dari paparan racun karena otak dan tubuh mereka masih dalam tahap perkembangan.[112] Terutama sekali, banyak pestisida yang sangat beracun terserap ke otak dan sistem kesehatan reproduksi,[113] keduanya terus tumbuh dan berkembang selama masa kanak dan remaja.[114]

Saat pestisida digunakan pada tanaman di pertanian di seluruh dunia, pekerja tembakau mungkin dalam risiko tinggi akibat paparan pestisida karena sifat pekerjaannya. Buruh manual yang terlibat dalam panen tembakau di Indonesia membutuhkan pekerja yang melakukan kontak langsung dengan daun tembakau. Tanaman tembakau ditanam sangat dekat satu sama lain.

Jika tanaman tembakau diberi pestisida, pekerja bisa terkena paparan pestisida lebih kerap daripada pekerja yang membudidayakan tanaman lain yang juga diberi pestisida.[115] Selain itu, pekerjaan yang menuntut kontak langsung pekerjanya menangani tanaman dengan pestisida—seperti membuang pucuk daun tembakau atau memanen daun tembakau dengan tangan seperti halnya di Indonesia—bisa meningkatkan paparan, terutama sekali karena tiadanya perkakas pelindung dan pencuci tangan yang efektif.[116]

Minim Pelatihan soal Keselamatan

Beberapa anak yang diwawancarai kami telah menerima pendidikan khusus atau pelatihan tentang risiko kesehatan di pertanian tembakau. Meski banyak dari mereka dilaporkan mengalami gejala spesifik saat bekerja di pertanian tembakau, kebanyakan tak pernah mendengar tentang keracunan nikotin akut atau penyakit akibat tembakau hijau (Green Tobacco Sickness). Sementara banyak dari mereka tahu soal bahaya merokok, dan sebagian mengerti kalau nikotin dapat diserap lewat kulit saat menangani daun tembakau. Mayoritas anak-anak juga tidak menerima pendidikan atau pelatihan tentang bahaya pestisida dan bahan kimia lain, atau tentang bagaimana melindungi diri mereka dari paparan pestisida.

Kurangnya Kesadaran tentang Racun Nikotin

Rina, gadis 15 tahun, anggota English Club di sekolahnya di Sumenep, mengatakan ia telah bekerja di pertanian tembakau sejak SD, tapi tak pernah mendengar soal keracunan akut akibat nikotin. Saat kami menjelaskan beberapa penyebab dan gejala keracunan, ia mengatakan, “Saya tak pernah tahu kalau daun tembakau mengandung nikotin. Merokok lah yang bikin penyakit. Bagi saya, daun tembakau di ladang tak bahaya sama sekali. Setelah menjadi rokok, baru berbahaya. Memegang daun tembakau tak berbahaya sama sekali.”[117] Dennys, 15 tahun, mulai bekerja di pertanian tembakau ayahnya di Jember, sejak usia 11 tahun. Saat kami menanyakan apakah ia mendapat pelatihan soal keracunan nikotin akut, ia bilang, “Ayah saya tak mengatakan apapun pada saya soal nikotin. Saya tahu nikotin itu ada dalam rokok, tapi saya tak tahu nikotin ada pada tanaman.”[118]

Rara, siswi kelas sembilan usia 15 tahun, bekerja bersama orangtuanya sebagai buruh sewa di pertanian tembakau di Jember. Saat ditanya apakah ia dilatih oleh orang yang menyewa tenaganya soal risiko kesehatan di pertanian tembakau, ia berkata, “Pemilik pertanian tak mengatakan apapun soal nikotin, tapi dia mengatakan kalau kami tak boleh merusak satu daun pun,”—menjelaskan pemilik ladang itu menyarankannya untuk hati-hati agar tak mengurangi nilai daun tembakau. Tapi si pemilik ladang tidak mengatakan apapun padanya bagaimana melindungi dirinya saat bekerja. [119]

Kurangnya Kesadaran tentang Risiko Pestisida

Beberapa anak memahami secara sangat mendasar soal bahaya pestisida, tapi mayoritas mengatakan tidak menerima pendidikan atau pelatihan apapun tentang bagaimana melindungi diri mereka dari paparan pestisida. Mayoritas orangtua juga memiliki pengetahuan terbatas soal paparan pestisida atau kerentanan khusus anak-anak soal bahaya pestisida. Beberapa narasumber berpikir pestisida tak berbahaya bagi manusia, atau hanya berbahaya jika tertelan. Hanya sedikit orang yang diwawancarai untuk laporan ini memiliki pemahaman komprehensif tentang risiko kesehatan akibat paparan pestisida, cara pestisida masuk ke dalam tubuh manusia, dan bagaimana mencegah paparannya.

Misalnya, Matius, 17 tahun, sulung dari tiga bersaudara di Pamekasan, mengatakan ia tak menggunakan alat pelindung saat memakai pestisida pada tanaman tembakau di pertanian keluarganya. “Tak ada pakaian khusus untuk menyemprot daun tembakau. Saya tak pakai masker karena sudah terbiasa dan itu tak penting… Jika kamu meminumnya, itu baru bisa bahaya, tapi takkan bahaya jika selama kamu tak meminumnya.”[120]

Daksa, 15 tahun, mengatakan ia bekerja di pertanian tembakau untuk ayahnya dan tiga petani lain di Probolinggo. Ia menjelaskan bagaimana ia memakai pesitisida tahun 2015 di pertanian milik orang lain: “Pemiliknya mencampur cairan dengan air dan menuangkannya ke tangki, lalu saya mennyemprotkannya ke daun tembakau. Saya melakukannya dua kali seminggu. Selama satu setengah jam. Baunya seperti bahan kimia.” Dakta mengatakan tak memakai sarung tangan atau masker saat menangani bahan kimia, dan saat ditanya apa yang diajarkan pemilik pertanian tentang pestisida, ia bilang pemilik hanya memberi informasi dasar: “Dia bilang itu bisa menyakitkan jika saya meminumnya atau terkena mata.”[121]

Rina, 15 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau di Sumenep pada 2015 menjelaskan, “Saat kecil, tak ada yang memberi tahu saya tentang bahan kimia. Tapi saat saya SMP, saya belajar fisika dan kimia. Saya mempelajari kalau perstisida itu bahaya. Tapi berbahaya untuk tanaman, bukan untuk manusia.”[122]

Panas

Banyak anak-anak yang diwawancarai untuk laporan ini menjelaskan soal bekerja saat cuaca sangat panas di pertanian tembakau. Beberapa anak pingsan, dan mengaitkannya dengan cuaca panas. Yang lain mengatakan merasa lemas atau pusing atau menderita sakit kepala saat bekerja di bawah suhu sangat tinggi. Bekerja di panas ekstrem bisa menempatkan anak-anak pada risiko stroke dan dehidrasi, terutama jika mereka tak minum cukup air. Anak-anak lebih rentan ketimbang orang dewasa untuk sakit akibat panas.[123]

Segelintir anak-anak berkata pingsan saat bekerja dalam kondisi panas ekstrem. Musa misalnya, anak 16 tahun berambut jigrak yang bekerja di pertanian tembakau di Garut pada 2015, mengatakan pingsan kala memanen tembakau saat hari panas:

Saya pingsan saat panen. Saya jatuh pingsan karena saat itu terlalu panas. Saya tak bisa menahan bau daun tembakau saat panen. Saya tidak sarapan hari itu. Saya lupa. Waktu itu sangata sibuk karena panen. Saya merasa kepala saya jadi dingin, dan tak bisa melihat dengan jelas. Saya tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Tak terlalu lama. Sekitar 20 menit. Orangtua saya menemukan saya. Ayah saya membawa saya pulang.[124]

Agustina, 16 tahun, bekerja di pertanian tembakau pada 2015 di Garut, menceritakan hal senada:

Saya pingsan karena saat itu sangat panas dan terik dan saya sangat haus. Itu terjadi beberapa bulan lalu. Saya tak sarapan, tak minum kopi, dan saya sangat haus. Waktu itu hampir istirahat, jadi saya paksakan diri lalu saya pingsan. Saya ingat sebentara lagi waktu istirahat, jadi saya paksakan karena nanggung… Saya tak bisa merasakan kaki saya dan tak bisa berpikir lagi, jadi saya mendekat ke pohon, dan saya jatuh di bawah pohon. Orangtua saya menemukan saya. Ibu saya menangis saat membawa saya. Ayah saya dan temannya membawa saya ke mobil. Saya takut karena saya pikir saya meninggal.[125]

Aini, 15 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau di Sampang, mengatakan ia pingsan saat menyiram tembakau dengan air di ember berat yang ia bawa di awal musim tanam. “Saat saya menyiram. Saya jatuh. Saya beruntung karena paman dan tetangga saya ada di belakang saya. Mereka menangkap saya. Saya terlalu lelah, dan terlalu panas di ladang, dan hati saya resah, saya tak bisa berpikir. Mereka memapah saya ke bawah pohon… Saya merasa tidak enak. Seperti melihat bayangan. Tetangga saya memberi minyak di hidung saya supaya saya bangun.” [126]

Banyak anak-anak lain yang diwawancarai Human Rights Watch dilaporkan mengalami pusing, pening, dan sakit kepala saat bekerja dalam panas ekstrem. Pengalaman Suci, gadis 14 tahun di Sampang yang bekerja di pertanian tembakau sejak umur 11 tahun, umum dialami anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch: “Cukup sering saya pusing di pagi hari saat menyiram tanaman karena panas dan membawa ember yang berat. Rasanya sekeliling saya itu berputar.[127] William, 16 tahun, yang bekerja di Sampang, mengatakan rasanya bekerja saat hari panas, Kadang saya sakit kepala. Yang terburuk adalah saat kamu pening. Semua terlihat gelap.”[128]

Penyakit Lain

Selain gejala sakit terkait paparan nikotin, pestisida, dan cuaca panas, beberapa anak yang diwawancarai untuk laporan ini menderita gejala pernapasan, masalah kondisi kulit atau iritasi mata.

Keluhan Pernapasan

Beberapa anak menjelaskan masalah pernapasan dan gejala alergi saat bekerja di pertanian tembakau, termasuk batuk, bersin, susah bernapas, sesak dada, dan gatal-gatal, luka bakar atau sesak di tenggorokan. Anak-anak yang melaporkan gejala ini saat bekerja dengan tembakau hijau maupun tembakau kering. Studi kesehatan masyarakat menemukan, pekerja yang terlibat dalam produksi tembakau menderita gejala sakit pernapasan. Satu penelitian tahun 2011 tentang meratanya penyakit pernapasan dan gejala alergi di antara petani non-perokok di bagian timur Carolina Utara, Amerika Serikat, menemukan hampir seperempatnya dilaporkan bengek atau sesak napas, dengan kemungkinan peningkatan sakit bengek bagi mereka yang memproduksi tembakau.[129]

Penelitian kesehatan masyarakat di antara orang dewasa juga menunjukkan, pekerja yang terpapar debu tembakau selama masa pengeringan dan pengepakan memperlihatkan fungsi paru-parunya menurun secara signifikan ketimbang pekerja yang tidak terpapar tembakau.[130]

Keluhan Pernapasan saat bekerja dengan Tembakau Hijau

Beberapa anak mengatakan mereka mengalami gejala sakit pernapasan saat bekerja dengan tembakau hijau atau tembakau muda. Misalnya Rusanti, 16 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau di Probolinggo pada 2015. Ia menggambarkan kesulitan bernapas dan sesak dada saat bekerja dengan tembakau hijau: “Saat musim panen, karena daun tembakau di mana-mana, jadi sulit bernapas. Seperti ada orang yang mendorong dada saya.”[131] Hal senada diungkapkan Paul, 17 tahun, dari Temanggung yang sekolah pesantren di kota dan pulang ke rumah saat libur sekolah pada 2014 untuk membantu orangtuanya di pertanian tembakau. Ia berkata, “Di tenggorokan saya, jika saya melewati daun tembakau, tenggorokan saya terasa sesak. Susah bernapas. Kadang-kadang saya batuk dan bersin.”[132]

“Sulit bernapas,” kata Argo, 15 tahun, di Pamekasan, yang bekerja di pertanian tembakau keluarganya sejak SD. “Tembakau bikin dadamu jadi sesak. Sulit sekali terutama selama panen karena baunya sangat tajam.” Ia menjelaskan perasaannya saat memanen daun tembakau sebelum memilahnya untuk dikeringkan di bawah terik matahari: “Saya batuk saat saya memotong tembakau karena ketika kamu memotong daun, baunya yang sangat tajam tercium kuat. Bau itu dari daun. Seperti ada sesuatu yang menyendatkan tenggorokanmu.”[133]

Seto, 14 tahun, siswa kelas delapan dan anggota paduan suara sekolah, bekerja di pertanian tembakau di Sampang pada 2014. Ia menjelaskan perasaannya saat menumpuk dan membundel daun tembakau yang telah dipanen: “Saya bersin saat menumpuknya. Tenggorokan saya gatal dan bikin saya batuk.”[134]

Murni, pekerja anak 11 tahun, mengatakan ia menderita gejala sakit pernapasan saat mengurus daun tembakau basah di gudang pengeringan di Lombok Timur pada 2014. “Saya bersin saat berada di sekitar tembakau basah. Baunya lengket. Bikin saya bersin-bersin.”[135] Diana, 11 tahun, bekerja di lumbung pengeringan yang sama di Lombok Timur, juga bereaksi serupa atas tembakau basah: “Saya bersin saat saya melepas ikatan daun tembakau. Itu bau. Baunya kuat. Dan daunnya masih basah saat tiba dari ladang. Saat saya membuka ikatannya, tembakaunya basah dan baunya keluar. Saya mencoba menjauh… Kadang jadi sulit bernapas karena baunya sangat tajam.”[136]

Keluhan Penyakit Pernapasan saat Bekerja dengan Tembakau Kering

Anak-anak lain melaporkan gejala sakit pernapasan dan alergi saat bekerja dengan tembakau kering. Yuda, 15 tahun, bekerja di gudang pengeringan tembakau di Lombok Timur pada 2014. Ia menyortir daun tembakau kering dan memakai mesin untuk memadatkannya ke dalam bal. Ia berkata, “Setelah mengeringkan, baunya sangat kuat… Saya selalu bersin-bersin saat di dekat tembakau kering. Biasa terjadi dengan tembakau kering karena baunya.”[137]

Joandi, 12 tahun, membantu orangtuanya mengeringkan tembakau di bawah terik matahari di Probolinggo pada 2014. Ia berkata soal perasaannya membawa papan bambu tipis berisi daun tembakau kering di sekitar desa: “Kadang saya mulai batuk saat membawa bambu karena baunya. Baunya sangat kuat saat sudah kering.”[138] “Tembakau kering menyimpan banyak debu,” jelas Dumadi, anak 12 tahun yang bekerja di Garut. “Saya batuk saat berada di sekitarnya, jadi saya menutupi muka, saya tak mencium baunya. Terlalu bau. Rasanya hidung saya gatal.”[139]

Puja, 12 tahun, bekerja di pertanian tembakau di desanya di Probolinggo pada 2014, mengatakan, “Saya batuk saat berada di sekitar tembakau kering karena baunya sangat tajam.” Mira, 14 tahun, bekerja bersama Puja dan menjelaskan perasaan yang sama saat bekerja dengan tembakau kering: “Rasanya seperti kena flu. Dan saya bersin-bersin.”[140]

Leah, 14 tahun, bekerja di Garut, melaporkan gejala yang sama: “Kadang saya merasa sangat buruk karena batuk karena debu dari daun tembakau kering menusuk hidung saya. Itu menyakitkan. Seperti membakar tenggorokan saya.”[141]

Kondisi Kulit

Beberapa anak yang diwawancarai melaporka kulit mereka gatal-gatal, terkena sengatan atau terbakar setelah menangani tembakau. Beberapa juga berkata mendapat luka kecil atau lecet saat bekerja.

Arto, 8 tahun, mengatakan kulitnya gatal dan terbakar saat menangani tembakau di Probolinggo pada 2014. “Saya mendapat ruam,” katanya. “Membakar kulit saya… Getah daun membuat kulit saya gatal.”[142] Hawa, 16 tahun, bekerja di pertanian tembakau di desanya di Sampang sejak umur 10 tahun. Ia menjelaskan rasa kulitnya saat mengurus daun tembakau hijau tahun 2014 selama musim panen: “Saat kamu memetik daun, dari awal, kulit terasa gatal. Tapi kamu harus bekerja cepat. Jika kamu lambat dan mulai garuk-garuk, maka akan bertambah gatal. Daun tembakau bikin kamu gatal.”[143] Utama, 17 tahun, dari Probolinggo, mengatakan bahwa membundel daun tembakau pada 2014 bikin kulitnya terkena iritasi: “Daunnya memiliki cairan, cairan mengenai tangan saya, dan tangan saya jadi gatal. Dan saya merasa gatal di muka saya.”[144]

Agung, 9 tahun, menggunakan kaos Superman saat diwawancarai kami soal pengalamannya bekerja di pertanian tembakau tahun 2014 di Lombok Timur. Ia berkata,Saya mulai merasa gatal saat berada di sekitar tembakau kering.”[145]

Beberapa anak juga melaporkan luka kecil dan lecet saat bekerja di pertanian tembakau. Utari, 13 tahun, yang sejak umur 10 tahun telah bekerja di pertanian tembakau di Probolinggo, berkata, “Kulit saya terluka karena daun tembakau. Tangan saya sedikit luka. ”[146]

Rio, 13 tahun, menanam tembakau di desanya di Magelang pada 2014. Ia menggali lubang kecil di atas ladang tembakau dengan tangan kosong: Karena saya harus membuat lubang di tanah yang keras, tangan saya luka. Kulit saya berair,” katanya, menjelaskan lecet menyakitkan yang didapatnya saat bekerja.[147] Ismaya, 13 tahun, bekerja dengan Rio pada 2014 dan menggunakan potongan kayu untuk menggali lubang selama musim tanam. “Karena kayunya kasar, saya kena serpihannya, dan saya dapat luka kecil di kulit,” katanya.[148]

Human Rights Watch tak bisa menentukan penyebab iritasi kulit yang dilaporkan pekerja anak di pertanian tembakau di Indonesia. Tapi penelitian kesehatan masyarakat mendapati prevalensi tinggi soal kondisi kulit di antara buruh tani di Amerika Serikat.[149] Satu penelitian tahun 2007 menyatakan buruh tembakau bisa sangat rentan terkena masalah kondisi kulit, baik dari daun tembakau maupun pestisida yang digunakan untuk budidaya tembakau, yang kemungkinan jadi penyebab kontak infeksi, yakni peradangan penyakit kulit.[150]

Iritasi Mata

Segelintir anak-anak melaporkan iritasi mata saat bekerja memproduksi tembakau, baik untuk tembakau hijau maupun tembakau kering. Lara, 8 tahun, membundel daun tembakau yang telah dipanen dengan tangan di Probolinggo pada 2014. Ia berkata bahwa cairan dari daun tembakau memercik ke matanya, menyebabkan luka dan iritasi: “Jika air dari daun tembakau mengenai mata saya, mata terasa perih. Mata saya terasa panas. Daunnya memiliki tulang, dan jika kamu mematahkannya, keluarlah cairan. Terasa hangat. Saat saya mengucek mata, mata terasa terbakar.”[151] Budi, pekerja anak 16 tahun di Magelang, mengatakan bahwa panen tembakau pada 2014 bikin matanya iritasi: “Banyak debu. Terkena mata, rasanya seperti terbakar,” katanya.[152]

Benda Tajam

Mayoritas anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch mengatakan mereka tidak menggunakan perkakas saat budidaya tembakau, tapi beberapa berkata mereka memakai cangkul tajam, sabit, atau pisau untuk menggali lubang, mencabut rumput liar, atau memanen daun tembakau untuk dikeringkan. Beberapa anak menderita luka ketika mereka tak sengaja melukai dirinya dengan cangkul atau pisau, atau tangannya atau jari-jarinya terkena bambu tajam saat mengikat daun tembakau.

Beberapa anak dilaporkan terluka saat menggali tanah dengan cangkul tajam. Angga, 14 tahun, adalah sulung dari tiga bersaudara di keluarganya, dan telah bekerja sejak umur 10 tahun di pertanian tembakau di Jember. Ia menunjukkan luka yang masih segar saat bekerja dengan kaki telanjang pada Juni 2015: Saya memakai cangkul saat menggali. Saya melukai kaki saya dua hari lalu. Berdarah, tapi saya menyiram dengan air, memberi plester, dan kembali kerja.” Saat ditanya apakah pernah terluka sebelumnya, ia menjawab, “Ya, mungkin ada lima kali. Ini yang paling parah.”[153]

Agus, pekerja anak 17 tahun di Magelang, mengatakan ia menggunakan cangkul untuk membuat lajur di ladang tembakau sebelum ditanami pada 2014. Ia berkata, “Saya terluka akibat mencangkul. Saya mencangkul dan cangkulnya tergelincir dan mengenai kaki saya. Hanya luka kecil tapi berdarah.”[154]

Henry, 16 tahun, dari Sampang, terluka akibat cangkul saat bekerja dengan kaki telanjang pada 2013. Ia menceritakan insiden itu: “Dua tahun lalu, saya mulai belajar menggali tanah. Saya menggali tanah dan itu sulit, dan saya tergelincir dengan cangkul dan melukai ujung kaki saya. Lukanya berdarah. Saya tidak pergi ke dokter. Saya hanya membalutnya. Saya tak pakai sepatu.”[155]

Beberapa anak luka-luka saat bekerja dengan pisau di musim tembakau. Eddi, 16 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau di Magelang pada 2014, berkata, “Saya memakai pisau untuk memotong batang tembakau setelah panen. Saya mendapat luka di tangan saat saya menggunakan pisau.”[156]

Guntur, 15 tahun, bekerja bersama orangtuanya yang jadi buruh sewa di pertanian tembakau di Jember pada 2015. Tidak seperti kebanyakan pekerja yang diwawancarai untuk laporan ini yang menggunakan tangan untuk memetik tembakau, Guntur memakai pisau selama panen. “Saat saya memegang daun dan memotong daun, saya melukai jari saya,” katanya. Meski hanya luka kecil, ia bilang ada anak yang menderita luka lebih serius saat memanen dengan pisau. “Luka saya kecil, tapi teman saya berdarah banyak,” katanya. [157]

Saat kami mewawancarai Labuh, 15 tahun, di Sumenep pada 2015, ia menjelaskan bagaimana ia membantu memotong tembakau dengan pisau panjang dan tajam sebelum dijemur di bawah panas matahari. “Kami mengambil daun, menggulungnya, memotongnya, dan menyebarkannya di bawah sinar matahari. Kami memakai pisau tajam untuk memotong tembakau.” Ia menambahkan, “Saya tidak melukai tangan saya.

Tanganmu jangan terlalu dekat dari mata pisau. Tapi ada orang yang jarinya terpotong.”[158]

Di beberapa kelompok tani di Jawa Timur tempat kami melakukan penelitian, anak-anak menusuk daun tembakau dengan bilah bambu berujung runcing untuk proses dikeringkan, dan banyak di antara mereka mengatakan tangan atau jari-jarinya tertusuk. Di antara anak-anak ini, pengalaman Ratih, 11 tahun, di Jember adalah yang sangat umum: ”Ketika saya menyujen satu persatu daun tembaku dengan bilah bambu berujung lancip, saya melukai jari saya.. Tangan saya memegang daun, tangan satunya menusuknya, tapi luput dan mengenai tangan saya, ujung jari saya berdarah. Sakit. Perih.”[159]

Bekerja di Ketinggian dalam Gudang

Segelintir anak laki-laki di Lombok Timur yang kami wawancarai mengatakan mereka memanjat tiang bambu tinggi di gudang pengeringan untuk menggantung gelantang tembakau untuk dikeringkan. Anak-anak ini bekerja di ketinggian lebih dari tiga meter tanpa perlindungan jika jatuh. Omar, pemuda 19 tahun yang mulai bekerja di pertanian tembakau saat umur 15 tahun, mengatakan ia jatuh lebih dari sekali saat bekerja di gudang pengeringan. “Saya jatuh di gudang. Saat saya memanjat tiang bambu kedua di tengah, bambunya patah dan saya jatuh. Tak ada luka serius. Cuma tangan saya tergores. Saya jatuh lagi musim ini, beberapa minggu lalu.” Saat ditanya apakah ia pernah melihat oranglain jatuh, ia menjawab: “Beberapa orang jatuh… tapi tak ada yang terluka serius.”[160]

Riko, 15 tahun, tinggal dengan bibi dan pamannya karena orangtuanya pergi ke Malaysia untuk bekerja. Ia bekerja di pertanian tembakau pamannya di Lombok Timur, dan berkata hanya memanjat sekali di gudang. Ia menceritakan ia mengangkang di antara dua tiang bambu, dan memegang balok bambu lain agar seimbang. “Saya tak ingin melakukannya lagi,” katanya. “Sangat menakutkan karena saya merasa akan jatuh setiap saat.”[161]

Andre, anak 14 tahun, menjelaskan ia memanjat tiang bambu di gudang, dan menyerahkan gelantang tembakau ke pekerja di atasnya: “Kadang saya memanjat untuk menaruh gelantang tembakau di gudang. Butuh tiga atau empat orang dari bawah hingga atas. Saya menyerahkan gelantang tembakau dari bawah ke orang selanjutnya di atas saya.” Ia mengatakan “jarang” ada orang terjatuh saat bekerja di gudang pengeringan.[162]

Segelintir anak-anak mengatakan mereka jatuh saat menjangkau gelantang tembakau yang sudah kering dari gudang pengeringan. Hani, 10 tahun, bekerja bersama saudara perempuan dan sepupunya di gudang pengeringan di Lombok Timur pada 2014. Tugasnya meloloskan gelantang tembakau kering dari gudang, dan menyortir daun-daun tembakau dalam satu tumpukan sesuai warna. Ia mengatakan ia jatuh pada 2014 saat mencoba meraih gelantang tembakau yang tergantung di gudang: “Saya jatuh karena tak bisa mencapainya. Tinggi sekali. Dan sakit. Sakitnya di kaki. [163] Diana, gadis 11 tahun yang bekerja di gudang yang sama, punya pengalaman serupa pada 2014: “Karena ovennya terlalu tinggi, tembakaunya digantung tinggi di atas. Dan ketika saya menjangkaunya, saya terpeleset dan jatuh.”[164]

Aktivitas Berulang-ulang

Buruh anak di empat provinsi tempat kami melakukan penelitian dilaporkan terlibat dalam aktivitas repetitif, alias berulang dan monoton untuk waktu yang lama. Misalnya, mereka membungkuk saat mengolah tanah, menanam, menyiram, menyiangi, atau panen; menjangkau bunga dan daun pucuk tembakau di atas kepala mereka, atau memuat dan membongkar tembakau dari gudang pengeringan; memutar tangan dan pergelangan tangan untuk membundel dan mengikat daun tembakau; serta jongkok, berlutut, atau duduk di posisi yang tidak nyaman saat membundel dan memilah daun tembakau. Anak-anak melaporkan nyeri dan pegal di punggung, leher, bahu, pinggul, lengan, pergelangan tangan, dan kaki dari tugas-tugas tersebut.

Banyak mengatakan mereka menderita luka dan ruam di tangan dan pergelangan tangan karena melipat dan menekan tumpukan daun tembakau menjadi bundelan sebelum pengeringan. Muthia, 11 tahun, di Probolinggo, duduk di ruangan remang di rumah ayahnya saat menjelaskan ia membungkus daun tembakau usai panen untuk ayah dan tetangganya pada 2014. Ia berkata,Bagian paling sulit adalah menekan daun tembakau menjadi bundelan. Itu sulit karena daun tembakau punya tulang (batang), dan saya harus menekan dengan kuat hingga bundelannya tidak terlepas. Melukai pergelangan tangan saya. Saya jadi sakit.”[165] Utari, 13 tahun, juga membungkus daun tembakau menjadi bundelan di desa yang sama pada 2014. Ia menjelaskan rasanya saat melakukan tugasnya itu, “Saya merasa lemas. Dan karena saya melakukannya terus-menerus, tangan saya sakit, juga pergelangan tangan saya.”[166]

Beberapa anak dilaporkan mengalami luka saat menggali tanah dengan cangkul atau menyiangi ladang tembakau. “Menggali ladang itu tugas tersulit,” ujar Samuel, 15 tahun, yang telah bekerja bertahun-tahun di pertanian tembakau di desanya di Garut. “Itu melukai punggung saya karena saya harus membungkuk dan berdiri, berulang-ulang.”[167] Sharon, 14 tahun, dari desa yang sama, memakai selendang merah dan kacamata bulat ungu saat kami menemuinya; ia mengatakan ia menderia sakit punggung saat menyiangi ladang tembakau: “Otot saya capek, terutama di punggung karena saya harus membungkuk berkali-kali. Itu menyakitkan…” Ia menjelaskan,Mencabuti rumput liar paling sulit…. Kami harus melakukannya berkali-kali karena rumput liar tumbuh dengan cepat. Itu hari yang sangat berat. Punggung saya selalu sakit sekali. Seluruh tubuh merasakannya.”[168]

Beberapa anak juga menjelaskan luka dan kesakitan karena berupaya keras dan berkali-kali menjangkau tanaman tembakau atau daun tembakau di atasnya. Wani, gadis 16 tahun, yang bekerja di Sampang pada 2014, mengatakan,Tembakaunya lebih tinggi dari saya, dan saya harus menjangkau di atas kepala saya. Bagian paling sulit adalah mengambil bunga karena tanamannya lebih tinggi dari saya. Lengan saya jadi sakit.”[169]

Sinta, 13 tahun, mengatakan lehernya sakit saat panen tembakau di pertanian di desanya di Magelang pada 2014: “Saya harus menjangkau tinggi untuk mendapatkan daunnya, dan itu bikin leher saya sakit.”[170] Joandi, 12 tahun, pekerja anak di Probolinggo, juga menderita sakit saat panen pada 2014: “Jika saya mengumpulkan daun, punggung saya sakit. Saya kelelahan. Bahu saya sakit karena menjangkau daun tembakau.”[171]

Human Rights Watch mengamati Sella, 12 tahun, yang bekerja di luar gudang pengeringan di Lombok Timur pada 2015. Ia menjelaskan bagaimana menghabiskan waktu duduk, jongkok, atau berlutut di tanah dekat gudang dan memutar tangan dan pergelangan tangan untuk mengikat daun tembakau ke gelantang. Saat ditanya apakah ia menderita sakit, ia berkata, “Di tangan, paha, dan kaki saya. Seperti tegang. Saat saya pulang masih sakit.”[172]

Beban Berat

Anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch sering melaporkan membawa beban berat di lengan mereka, atau di belakang kepala, termasuk ember yang berisi air atau pupuk, tangki berisi bahan kimia, dan karung besar daun tembakau. Beberapa anak juga mengangkat gelantang daun tembakau di atas kepala untuk memuatnya ke dalam gudang pengeringan. Hampir semua anak menderita sakit dan kelelahan karena tugas sulit ini.

Membawa Ember Berisi Air

Banyak anak-anak menjelaskan mereka menghabiskan waktu mengambil air di sumur dan membawa ember berat berisi air melewati kebun tembakau saat awal musim tanam. Sebagian besar pertanian kurang mendapat teknologi irigasi dan para pekerja mengatakan mereka mengairi tanaman dengan tangan setiap hari, atau dua kali sehari, untuk menjaga bibit-bibit tembakau tetap tumbuh selama bulan pertama setelah ditanam. Sangat umum untuk anak-anak yang diwawancarai oleh Human Rights Watch menggambarkan penyiraman sebagai tugas terberat di musim tembakau.

Sebagian besar membawa dua ember, masing-masing di tangan, seringnya lagi diikatkan pada kayu lengkung, tatakan di kedua ujung kayu dan ditopang dengan bahu. Anak-anak memperkirakan masing-masing ember berisi beberapa liter air. Misalnya, Rusanti, bocah jangkung 16 tahun di Probolinggo, mengatakan dia menyiram ladang tembakau ayahnya setiap hari selama sebulan pada 2015. “Saya membawa dua ember dengan kayu di bahu saya,” katanya. “Saat minggu pertama, saya merasa sakit sekali, baru terasa setelah tidur malam.”[173]

Ani, 15 tahun, mengalami hal sama saat menyiram di pertanian tembakau di desanya di Sampang pada 2015: “Badan saya sakit sepanjang hari karena saya harus bolak-balik ke sumur untuk ambil air, dan itu berat.”[174] Natalia, gadis pemalu 13 tahun dengan poni samping, tinggal dengan neneknya di Lombok Timur. Ia mengatakan membawa ember berat di kepalanya untuk keperluan pupuk di pertanian neneknya pada 2015: “Saya membawa ember berisi air dicampur pupuk ke ladang. Saya membawanya di kepala saya, lalu meletakkannya di tanah dan menggunakan cangkir untuk mengambil air dan menyiramnya ke tanah…. Memberi pupuk adalah bagian terberat karena harus membawa ember. Itu menyakitkan di kepala dan punggung saya. Otot saya sangat tegang.”[175]

Mengangkut Daun Tembakau Usai Dipanen

Beberapa anak dilaporkan membawa karung berisi daun tembakau kering di lengan mereka atau di kepala untuk membawanya dari ladang ke area pengeringan.

Musa, 16 tahun kelas 2 SMP, mengatakan dia dan dua temannya membawa karung besar memuat daun tembakau yang telah dipanen dari ladang di desanya di Garut pada 2014: “Saya membawa daun tembakau setelah dipanen… Kami memuatnya ke dalam karung, dan mengangkutnya dengan tangan… Berat… Saat bekerja, otot saya rasanya baik-baik saja, tapi saat tidur, baru terasa sakit. Sakit di punggung dan kaki.”[176]

Vanessa, gadis 14 bersuara lembut, di Sampang mengatakan dia memanen tembakau di desanya pada 2014 dan membawa karung berisi daun tembakau di kepala dari ladang ke pusat desanya. Ia mengatakan, “Membawa tembakau adalah pekerjaan terberat. Kadang saya sakit kepala karena beban berat di kepala, dan saya melihat bintang-bintang (berkunang-kunang). Saya pusing.”[177]

Guntur, 15 tahun, berkata soal tugas yang sama di Jember pada 2014: “Saat panen tiba, saya meletakkan daun di atas tanah, lantas memungutnya, memuatnya ke karung, dan mengangkutnya dengan sepeda atau mobil…. Saya membawanya di punggung saya. Berat. Sakit. Otot saya sakit.” Ia mengatakan ia membawa karung dari ladang ke rumahnya di desa: “Kadang-kadang lebih dari 10 menit jalan kaki.”[178]

Budi, 16 tahun, dan Agus, 17 tahun, memanen tembakau bersama di pertanian di desa mereka di Magelang pada 2014. Mereka mengatakan membawa karung besar berisi daun tembakau dari ladang ke desa mereka. “Otot-otot saya sakit saat saya kerja terus-menerus,” kata Budi. “Saya sakit di punggung dan kaki. Itu karena saya memetik daun dan membawanya dengan tangan dan di atas kepala,” tambah Agus.[179]

Beberapa anak mengatakan mereka mengalami luka dan sakit karena memanggul tangki besar di atas punggung saat memakai pestisida di pertanian tembakau. “Yang tersulit adalah menyemprot pestisida karena berat,” kata Randi yang menyiramkan pestisida di pertanian tembakau keluarganya di Lombok Timur pada 2015. “Otot punggung saya jadi tegang.”[180]

Segelintir anak-anak mengatakan mereka membawa gelantang tembakau yang berat ke gudang pengeringan dan mengangkatnya di atas kepala untuk memuatnya di gudang pengering. Riko, 15 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau di Lombok Timur pada 2015 mengatakan, “Bagian tersulit adalah memuat tembakau ke gudang karena berat… Otot saya tegang. Bahu saya sakit.”[181]

Gangguan pada Otot Skeletal

Terlibat dalam aktivitas berulang-ulang dan membawa beban berat bisa menyebabkan gangguan pada otot skeletal, yang didefinisikan oleh Pusat Pengontrol dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat sebagai,cedera atau gangguan pada otot, saraf, tendon, sendi, tulang rawan, gangguan saraf tendon, otot dan struktur pendukung pada tungkai atas dan bawah, leher, dan punggung bawah yang disebabkan, dipercepat atau diperburuk oleh pengerahan tenaga tiba-tiba atau kontak fisik terlalu lama seperti pengulangan, pemaksaan, getaran, atau postur canggung.”[182]

Organisasi Buruh Internasional (ILO) menganggap “gangguan otot skeletal muncul dari pekerjaan berulang-ulang, bekerja dengan posisi badan tidak nyaman, membawa beban berat” di antara pekerjaan utama dan sakit akibat kerja yang mempengaruhi kalangan pekerja pertanian seluruh dunia.[183] Satu ulasan tahun 2010 tentang gangguan pada otot skeletal dalam pekerjaan pertanian menyebutkan tiga faktor risiko utamanya: “mengangkat dan membawa beban berat,” “membengkokkan seluruh badan terus-menerus dan berulang,” dan “pekerjaan tangan yang sangat repetitif.”[184]

Anak-anak mungkin sangat rentan terkena sakit pada otot skeletal karena tubuhnya masih dalam masa pertumbuhan.[185] Dampak dari rasa sakit karena otot tegang yang terus berulang mungkin akan berlangsung lama dan mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka panjang termasuk nyeri kronis dan radang sendi.[186]

 

IV. Jam Kerja dan Dampak pada Pendidikan

Jam Kerja

Mayoritas anak yang kami wawancarai untuk laporan ini bersekolah dan bekerja di pertanian tembakau terutama atau semata-mata di luar jam sekolah. Beberapa anak bekerja sebelum dan setelah sekolah, sementara beberapa yang lain bekerja hanya pada akhir pekan dan libur sekolah.

Misalnya Hawa, 16 tahun, yang bekerja di pertanian tembakau ayahnya di Sampang sejak usia 10 tahun. Ia menginjak tahun terakhirnya di SMP saat kami mewawancarainya pada 2014. Ia berkata, “Kalau sekolah masuk, saya bekerja sepulang sekolah dari jam 1 siang sampai jam 5 sore. Saat sekolah libur, saya bekerja dari jam 6 pagi sampai 12 siang, istirahat di rumah, dan balik ke ladang jam 1 siang, lalu bekerja lagi sampai jam 5 sore.” Ia bekerja enam hari seminggu sepanjang musim: “Saya libur hari Jumat. Saya bekerja mulai bulan Mei dan selesai saat panen sekitar bulan September.”[187]

Budi, 16 tahun, menuturkan jam kerja serupa di pertanian di desanya, daerah pegunungan di Magelang: “Karena saya sekolah tiap hari, saya tak bisa mulai kerja sampai jam 1 atau 2 siang, saya hanya bekerja beberapa jam. Tapi hari Minggu saya bisa bekerja sehari penuh. Karena sangat dingin di sini, saya mulai kerja jam 8 pagi, balik ke rumah jam 12 siang, istirahat sampai jam 1 siang, lalu bekerja lagi sampai sore, setidaknya sampai jam 4 sore.”[188]

Anak lain yang kami wawancarai berhenti sekolah sebelum mencapai usia wajib sekolah dan secara teratur bekerja lebih lama di pertanian tembakau. Peni, gadis 13 tahun yang mulai bekerja di pertanian tembakau di Magelang saat usia 12, meninggalkan bangku sekolah setelah kelas dua untuk membantu pertanian orangtuanya. Ia bilang, “Saya bekerja untuk orangtua dan tetangga … Saya kerja mulai jam 7 pagi dan bekerja sampai jam 12 siang, lalu setelah makan siang, saya balik lagi ke pertanian sampai jam 4 sore. Saya bekerja setiap hari termasuk hari Minggu.”[189]

Jam kerja anak sering bervariasi berdasarkan jadwal sekolah dan tahapan musim tanam tembakau. Banyak anak-anak menuturkan mereka bekerja setiap hari selama tahapan tertentu di musim tanam, dan hanya beberapa hari seminggu di tahapan lain. Misalnya Leah, 14 tahun, bekerja bersama dua saudaranya yang lebih tua di pertanian tembakau ibunya di Garut pada 2015. Jadwal pekerjaannya bervariasi sepanjang musim: “Di musim sibuk, saya pergi ke ladang setiap hari. Tapi sekarang, awal-awal musim tanam, saya cuma bekerja dua kali seminggu.” Ia bilang di awal musim ia bekerja lebih pendek ketimbang saat panen: “Saat musim panen datang, saya mulai bekerja jam 1 siang sampai tengah malam.”[190]

Jam Kerja Panjang dan Bekerja Malam

Meski kebanyakan anak tidak menggambarkan jam kerja kelewat panjang di pertanian tembakau, beberapa anak mengatakan mereka bekerja 10 jam atau lebih selama sehari saban musim panen. Yulia, 13 tahun, bekerja dengan adik perempuan dan sepupunya di beberapa gudang pengeringan di daerahnya di Lombok Timur pada 2014. Duduk di atas tanah mengenakan seragam cokelat sekolah, ia menjelaskan bagaimana mengikat dan meloloskan daun tembakau dari gelantang dan memilahnya dalam tumpukan selama berjam-jam. “Saat libur sekolah, saya mulai kerja pada jam 7 pagi dan bekerja sampai jam 4 atau 6 sore. Karena ada banyak daun… pada musim sibuk, saya bekerja sampai pukul 8:30 malam.” Ia menjelaskan rasa sakit dan lelah setelah bekerja berjam-jam: “Ya Tuhan, saya sangat lelah. Seluruh badan sakit. Sakit sekali.”[191]

Paul, 17 tahun, yang membantu orangtuanya di pertanian tembakau di Temanggung ketika pulang dari pesantren, mengatakan ia bekerja sepanjang malam pada musim panen 2014: “Orangtua saya dan tetangga bekerja dari pagi sampai pagi karena musim sibuk. Saya bekerja sepanjang malam dengan mereka. Ada terlalu banyak daun, maka saya harus bekerja sampai malam. Setelah waktu salat Subuh, saya tidur. Saya bekerja sepanjang malam sampai pagi.”[192]

Beberapa anak melaporkan bekerja dalam cuaca gelap, baik pagi sebelum terbit matahari atau larut malam. Irene, 15 tahun, mengatakan ia bangun pagi-pagi sekali untuk bekerja di pertanian tembakau ayahnya di Pamekasan pada 2015 sebelum berangkat sekolah: “Jika saya sekolah, saya mulai menyiram jam 2 dini hari sampai pukul 3:30 atau 4 pagi karena takut saya akan telat sekolah. Gelap di luar. Orangtua dan saya menggunakan senter. Saya berangkat dengan orangtua saya atau saudara saya. Letak ladang cukup jauh dari rumah karena ada di gunung. Tiga puluh menit untuk jalan ke sana. Saya sampai rumah jam 4:30 pagi lalu masak untuk sarapan dan pergi sekolah jam 6 pagi. Jika saya jalan ke sekolah, perlu satu jam, karenanya saya berangkat pagi.”[193]

Orang dewasa maupun anak-anak di keempat provinsi yang kami teliti secara konsisten menggambarkan waktu istirahat di hari kerja bila tiba waktunya salat, makan, atau menghindari terik dan sinar matahari. Hampir tidak ada anak-anak yang merasa tertekan untuk bekerja cepat tanpa cukup istirahat.

Dampak pada Pendidikan

Mayoritas anak-anak yang kami wawancarai untuk laporan ini bersekolah dan bekerja di pertanian tembakau hanya di luar jam sekolah—sebelum dan sesudah sekolah, dan pada akhir pekan dan libur sekolah. Tapi Human Rights Watch mendapati untuk beberapa anak, bekerja di pertanian tembakau dapat mengganggu waktu sekolah mereka.

Kantor Indonesia badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) menyatakan bahwa sementara kebanyakan anak menyelesaikan pendidikan dasar, “banyak anak-anak lain berhenti sekolah setelah tamat SD.”[194] Data dari organisasi PBB untuk urusan pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan (UNESCO) mengindikasikan bahwa angka partisipasi anak bersekolah menurun secara subtansial antara sekolah dasar dan sekolah menengah. Data UNESCO menunjukkan lebih dari 3,8 juta anak di bawah usia 18 tahun tidak terdaftar dalam pendidikan dasar atau menengah pada 2013.[195]

Segelintir anak yang diwawancarai untuk laporan ini putus sekolah sebelum usia 15—usia wajib sekolah di Indonesia—untuk bekerja membantu keluarga mereka.[196] Anak-anak ini sering mengatakan keluarga mereka tak mampu menyekolahkannya, atau mengandalkan mereka untuk bekerja.

Meski narasumber di mayoritas masyarakat petani yang kami datangi mengatakan mereka tak perlu membayar biaya sekolah untuk sekolah umum, tapi harga buku, seragam, dan transportasi ke dan dari sekolah jadi penghalang bagi beberapa keluarga. Misalnya Utama, gadis 17 tahun di Probolinggo, yang mulai bekerja di pertanian tembakau sejak kelas 4 SD; ia putus sekolah untuk bekerja. “Saya menyelesaikan pendidikan dasar dan lalu berhenti sekolah. Saya tak bisa mengusahakannya … Saya memilih sekolah, tapi saya bekerja karena ingin dapat uang untuk keluarga saya, untuk makan.” Ia berkata bahwa sejak putus sekolah, ia harus menyesuaikan harapannya untuk masa depan: “Saya dulu ingin jadi guru, tapi kamu tahu saya tak bisa melakukannya. Kini saya ingin bekerja di toko.”[197]

Sari, gadis 14 tahun bermata cerlang di Magelang, berkata ingin jadi perawat, tapi berhenti sekolah setelah kelas 6 SD untuk membantu keluarga. “Saya ingin balik sekolah, tapi kami tak punya banyak uang.”[198]

Human Rights Watch mewawancarai Andre, 14 tahun, pada 2015 saat ia bersiap memuat gelantang tembakau ke gudang pengeringan di Lombok Barat. Ia bekerja dengan ayahnya, seorang buruh tani di pertanian tembakau di kampungnya. “Saya berhenti sekolah karena sering bolos untuk bekerja. Saya berhenti lama, kayaknya dua tahun lalu,” katanya. “Karena saya berhenti saat kelas 5 SD, saya tidak berpikir saya bisa melanjutkan sekolah sekarang,” ujar Andre.[199]

Beberapa anak mengatakan mereka bolos sekolah selama beberapa hari saat masa sibuk di kala musim tanaman tembakau mekar. Raden, 14 tahun, yang diwawancara pada 2015 di Sumenep, mengatakan, “Musim lalu, saya bolos dua hari sebab ada banyak sekali daun tembakau untuk diselesaikan. Saya sedih bolos sekolah. Saya tanya teman saya apakah ada pekerjaan rumah yang bisa saya kejar selama bolos sekolah.”[200] Rojo, 11 tahun, anak tertua di keluarganya, mengatakan ia bolos sekolah tiga atau empat kali untuk kerja di pertanian tembakau selama masa panen tahun 2014 di Sampang: “Ayah saya menyuruh saya ke ladang lebih awal, dan saya tidak sekolah,” katanya. “Saya takut saya tidak lulus ujian.”[201]

Human Rights Watch mewawancarai Dumadi, 12 tahun, di satu ruangan di rumahnya di Garut pada 2015. Ia berkata mulai bekerja di pertanian tembakau sejak usia 8 tahun dan sering bolos sekolah selama musim panen: “Tentu saya harus bolos sekolah. Lebih dari tiga kali. Ayah saya meminta untuk tidak sekolah karena hari sibuk.” Ketika ditanya bagaimana tanggapan gurunya karena ia bolos kelas, ia mengatakan adalah hal umum bagi anak-anak bolos sekolah selama musim sibuk: “Di desa ini, jika kamu bolos sekolah, meski seminggu, mereka tak menanyakannya.”[202]

Beberapa anak yang diwawancarai mengatakan mereka kesulitan untuk mengatur jam sekolah dan jam kerja, merasa lelah dan capek, atau kesulitan untuk menyelesaikan tugas sekolah. Awan, bocah kurus 15 tahun dari Pamekasan, menuturkan bagaimana ia mengatur jam sekolah dan jam kerja selama puncak musim panen; “Saat panen, saya harus bangun pagi-pagi sekali, dan harus bekerja di ladang sampai jam 6:30 pagi, lalu ke sekolah, kemudian melanjutkan kerja di sore hari… Kami berangkat ke ladang sekitar jam 4:30 atau 5 pagi. Masih gelap, tapi kita pakai senter kepala. Saya merasa seperti ingin tidur lebih lama. Ini melelahkan.” Ia berkata bahwa jadwal melelahkan ini bikin ia sulit mengejar pelajaran sekolah: “Lebih sulit untuk belajar dibanding sebelum panen,” katanya. Bikin saya sangat kelelahan.”[203] Musa, 16 tahun, siswa SMP yang bekerja di pertanian tembakau pada 2015 di Garut, menerangkan jadwal serupa: “Setelah pulang sekolah, saya langsung berangkat ke ladang.” Waktu untuk mengerjakan tugas sekolah di rumah saat subuh hari sebelum berangkat sekolah: “Saya mengerjakan pekerjaan rumah setelah salat Subuh.”[204]

 

V. Kewajiban Pemerintah Indonesia

Berdasarkan hukum internasional, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memastikan anak-anak dilindungi dari bentuk terburuk perburuhan anak. Pemerintah Indonesia memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang tegas soal pekerja anak, dan sejumlah program nasional untuk mengatasi perburuhan anak. Daftar pekerjaan berbahaya yang dilarang untuk anak di bawah umur 18 tahun di Indonesia termasuk pekerjaan “dengan zat kimia berbahaya”. Tetapi ia tidak secara eksplisit melarang anak menangani tembakau. Human Rights Watch meyakini bahwa pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun merupakan pekerjaan “dengan zat kimia berbahaya,” dan harus dipertimbangkan untuk dilarang bagi semua anak berdasarkan hukum dan peraturan nasional maupun internasional. Selain itu, upaya penegakan hukum yang lemah di sektor pertanian skala kecil dan minimnya langkah-langkah deteksi dan penghapusan atas masalah ini membuka pekerjaan berbahaya bagi anak semakin meluas.

Standar Hukum Internasional

Indonesia telah meratifikasi beberapa konvenasi internasional mengenai buruh anak, termasuk Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Konvensi ILO tentang Usia Minimum untuk Bekerja, dan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak.

Konvensi ILO No. 182 (Konvensi tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) melarang bentuk terburuk perburuhan anak, termasuk “pekerjaan yang, karena sifat atau keadaannya, dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak” (juga dikenal sebagai pekerjaan berbahaya).[205] Sebagai negara pihak dari konvensi ini, Indonesia berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah segera dan efektif guna memastikan bentuk dan kondisi pelanggaran buruh anak di sektor pertanian, dan lantas melarang serta mengakhirinya.[206] Konvensi mewajibkan negara anggota untuk melakukan aksi segera dalam mencegah anak-anak terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; serta menyediakan bantuan langsung untuk mengakhiri aktivitas anak-anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.[207]

Meski ILO tidak membuat daftar pekerjaan yang dalam pandangannya adalah pekerjaan berbahaya bagi anak-anak, rekomendasi ILO No. 190 (Rekomendasi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) memberikan panduan bagi negara-negara untuk menentukan jenis-jenis pekerjaan berbahaya atau membahayakan anak. Rekomendasinya menyebutkan bahwa dalam mendefinisikan “bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,perlu dipertimbangkan antara lain:

  • pekerjaan yang mengekspos anak-anak pada kekerasan fisik, emosional, atau seksual;
  • bekerja di bawah tanah, di bawah air, pada ketinggian berbahaya, atau di ruang terbatas;
  • bekerja dengan mesin, perkakas dan sarana berbahaya, atau yang melibatkan penanganan manual atau pengangkutan beban berat;
  • bekerja di lingkungan yang tak sehat, misalnya, mengekspos anak pada zat, perantara atau proses berbahaya, atau pada temperatur, tingkat kebisingan atau getaran yang merusak kesehatan mereka;
  • bekerja dalam kondisi yang sangat sulit seperti bekerja selama berjam-jam atau pada malam hari atau bekerja yang tak memungkinkan untuk kembali ke rumah setiap hari.[208]

Tiap negara pihak dari konvensi ini wajib menerapkan panduan itu untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya mengidentifikasi tugas-tugas dan pekerjaan tertentu yang memicu pekerjaan berbahaya bagi anak-anak.[209]

Indonesia juga adalah negara pihak dari Konvensi ILO No. 138 (Konvensi Usia Minimum untuk Bekerja), yang menetapkan usia minimum dasar untuk pekerjaan pada usia 15 tahun, dan menyatakan anak usia 13-15 tahun dapat terlibat pekerjaan sepanjang pekerjaan itu ringan yang tidak dapat membahayakan kesehatan atau pertumbuhan atau menghambat pendidikan mereka.[210] Konvensi ini juga melarang anak di bawah umur 18 tahun terlibat dalam pekerjaan berbahaya.[211]

Konvensi ini menetapkan bahwa anak usia 16-17 tahun dapat diizinkan untuk melakukan pekerjaan berbahaya “dengan syarat bahwa kesehatan, keselamatan, dan moral anak-anak muda yang bersangkutan sepenuhnya dilindungi, dan bahwa anak-anak muda itu sudah mendapatkan instruksi khusus atau pelatihan kejuruan pada cabang pekerjaan yang dilakukannya.”[212] Rekomendasi ILO 190 mendukung prinsip yang sama mengenai larangan pekerjaan berbahaya bagi anak-anak dalam Konvensi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.[213]

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak (CRC), yang mengatur “hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya.”[214]

Menurut konvensi ini, pemerintah harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari eksploitasi dan pekerjaan berbahaya, termasuk menentukan usia minimum untuk bekerja, mengatur jam dan kondisi kerja anak, dan menyediakan “hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaan yang efektif” atas perlindungan tersebut.[215]

Instrumen hak asasi manusia internasional mengakui hak anak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan.[216] Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), diratifikasi oleh Indonesia tahun 2006, mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk “pencegahan, pengobatan dan pengendalian ... penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan,”[217] dan mengakui “hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkantermasuk “kondisi kerja yang aman dan sehat.[218] Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan “semua aspek lingkungan dan kebersihan industri,” sebagai contoh, melalui langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kecelakaan kerja dan penyakit, dan pencegahan serta pengurangan paparan zat berbahaya terhadap penduduk seperti bahan kimia beracun “yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada kesehatan manusia.”[219]

Pemerintah memiliki tugas untuk melindungi hak asasi manusia dalam konteks kegiatan usaha, termasuk pertanian komersial, dengan peraturan yang efektif.[220] Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia menyatakan perlunya “langkah-langkah yang tepat guna mencegah, menyelidiki, dan memperbaiki pelanggaran tersebut lewat kebijakan, undang-undang, peraturan, dan keputusan pengadilan yang efektif.”[221] Pemerintah bertugas untuk secara efektif menegakkan kerangka hukum dan peraturan setelah disahkan, untuk mencegah pelanggaran dan memastikan akuntabilitas serta ganti rugi atas pelanggaran yang terjadi. Pemerintah juga harus terus menilai apakah aturan yang ada—dan penegakan atas aturan-aturan itu—sudah memadai untuk menjamin penghormatan atas hak asasi manusia, dan bila tidak, perlu memperbaruinya.[222]

Kerangka Hukum dan Aturan Nasional

Indonesia memiliki hukum dan peraturan yang tegas tentang pekerja anak, dan sebagian besarnya selaras dengan standar internasional yang diuraikan di atas. Menurut undang-undang di Indonesia, usia minimum untuk pekerjaan nasional adalah 15 tahun.[223] Anak-anak usia 13-15 tahun bisa ikut bekerja ringan sepanjang pekerjaan itu tak mengganggu perkembangan fisik, mental, atau sosial mereka.[224] Hukum ketenagakerjaan Indonesia melarang pekerjaan berbahaya bagi semua orang di bawah umur 18 tahun.[225]

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tahun 2003 merinci jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan moral anak-anak.[226] Peraturan ini secara eksplisit melarang beberapa kegiatan sebagai pekerjaan berbahaya untuk anak. Human Rights Watch mendapati pekerja tembakau anak di Indonesia terlibat dalam beberapa tugas, termasuk:

  • bekerja dengan zat kimia berbahaya;
  • bekerja di ketinggian lebih dari dua meter;
  • bekerja dalam kondisis panas dan kelembapan ekstrem;
  • bekerja di lingkungan berdebu;
  • bekerja dengan pestisida;
  • bekerja yang melibatkan pengangkutan manual dan membawa beban berat;
  • dan bekerja antara jam 6:00 sore hingga jam 6:00 pagi.[227]

Meski peraturan menteru tahun 2003 tidak secara spesifik melarang anak menangani tembakau, Human Rights Watch meyakini bahwa pemerintah Indonesia harus memperbarui daftar pekerjaan berbahaya untuk secara eksplisit melarang anak di bawah umur 18 tahun bekerja secara langsung menangani tembakau dalam bentuk apapun. Nikotin terdapat di semua bagian tanaman dan daun tembakau dalam semua tahapan produksi,[228] dan penelitian kesehatan masyarakat telah menunjukkan bahwa pekerja tembakau menyerap nikotin melalui kulit ketika membawa tembakau.[229] Nikotin adalah toksin alias zat racun, dan paparan nikotin telah lama dikaitkan dengan dampak buruk berjangka panjang atas perkembangan otak.[230] Penggunaan alat pelindung tak cukup menghilangkan bahaya bekerja dengan tembakau dan dapat menyebabkan bahaya lain, seperti sakit panas.[231]

Upaya Pemerintah Mengatasi Pekerja Anak

Pada 2014, Indonesia mengadopsi Peta Jalan menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak 2022, tahapan ketiga dari Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (2002-2022). Ia menetapkan tujuan ambisius menghapus pekerja anak tahun 2022. Menurut Departemen Perburuhan AS, peta jalan iniberfokus pada pengarusutamaan penghapusan pekerja anak ke dalam kebijakan nasional yang lebih luas.”[232]

Pemerintah juga telah menerapkan sejumlah program sosial dengan tujuan mengatasi pekerja anak termasuk program: mengakhiri tenaga kerja anak dari pekerjaan berbahaya, memberikan bantuan keuangan langsung kepada keluarga miskin, kompensasi sekolah untuk pendapatan yang hilang untuk biaya sekolah dan menghapuskan hambatan pendidikan bagi anak-anak miskin dan rentan, serta langkah-langkah lain.[233]

Sejumlah lembaga pemerintah juga melaksanakan kegiatan untuk tujuan menghapus pekerja anak, termasuk oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang mengawasi dan menegakkan hukum tentang pekerja anak, plus penegakan hukum untuk mengadili pelanggaran; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menerima keluhan terkait buruh anak dan membangun kebijakan tentang perlindungan anak; dan Komisi Nasional Perlindungan Anak yang menyediakan informasi terkait buruh anak dan mengawasi upaya nasional untuk merespons pelanggaran pekerja anak.[234] Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Sosial juga bekerja untuk mengatasi pekerja anak dengan fokus kerja pada isu kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.[235]

Pelaksanaan di Lapangan tidak Memadai

Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi adalah lembaga yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan hukum dan peraturan mengenai pekerja anak. Kementerian ini mempunyai sekitar 2.000 pengawas yang melakukan inspeksi kerja secara nasional, jumlah yang terlalu sedikit untuk masalah ini di satu negara berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa.[236]

Dalam wawancara dengan Human Rights Watch, seorang pejabat kementerian menjelaskan bahwa pekerja anak menjadi bagian dari inspeksi tenaga kerja, dan kementerian biasanya melakukan lebih dari 100.000 inspeksi tempat kerja setiap tahun. Namun, pemeriksaan ini berlangsung hanya pada sektor kerja formal dan agroindustri skala besar, dan tidak dilakukan di sektor informal atau sektor pertanian skala kecil.[237] Sebagaimana digambarkan dalam laporan ini, mayoritas anak-anak yang kami wawancarai bekerja di pertanian skala kecil.

Langkah ke Depan: Melindungi Anak-anak dari Pekerjaan Berbahaya

Indonesia memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang tegas, dan telah melaksanakan sejumlah kegiatan sosial, untuk mengatasi pekerja anak. Tetapi hukum dan peraturan yang ada tidak secara spesifik melarang anak menangani tembakau, meski berbahayanya paparan nikotin.

Temuan-temuan yang didokumentasikan dalam laporan ini menyimpulkan bahwa setiap pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun harus dinilai berbahaya bagi anak-anak di bawah umur 18 tahun. Ini lantaran risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh nikotin, terutama sekali kerentanan anak-anak yang tubuh dan otaknya masih dalam tahap pertumbuhan. Kesimpulan ini didukung oleh analisis kami lewat standar internasional dan literatur kesehatan masyarakat, serta wawancara dengan para pakar soal kesehatan buruh tani.

Mungkin ada beberapa pekerjaan ringan di pertanian tembakau yang cocok untuk anak-anak, terutama pada tahap awal produksi. Misalnya, menanam tembakau dengan menggunakan sarung tangan atau menyiram tanaman tembakau dengan ember kecil yang ringan atau kendi. Itu bisa jadi pekerjaan yang baik untuk anak-anak selama mereka tidak bekerja dalam kondisi panas ekstrem atau berbahaya, dan pekerjaan itu tak mengganggu sekolah mereka. Namun, Human Rights Watch meyakini banyak aspek di pertanian tembakau di Indonesia merupakan pekerjaan berbahaya bagi buruh anak menurut standar internasional, terutama pekerjaan menabur pupuk, saat panen tembakau, dan proses pengeringan tembakau. Singkatnya, tahapan produksi ini menuntut pekerja melakukan kontak langsung dengan tembakau dan karena itu praktik mempekerjakan anak mesti diakhiri.

Meski alat pelindung mungkin membantu mengurangi penyerapan nikotin dan residu pestisida melalui kulit, jas hujan dan sarung tangan tidak sepenuhnya menghilangkan paparan racun dan kemungkinan menaikkan risiko anak menderita sakit akibat panas.[238] Dalam wawancara dengan Human Rights Watch, Dr. Thomas Arcury dari Wake Forest School of Medicine menjelaskan, “Kami tahu bahwa itu menurunkan risiko pekerja keracunan nikotin jika memakai jas hujan. Pada waktu yang sama, mereka bekerja pada … suhu 90 derajat [Fahrenheit] dengan pakaian berbahan karet, pekerja itu harus benar-benar memperhatikan stres akibat panas dan dehidrasi.”[239]

Sementara masker dan sarung tangan bisa membatasi kontak anak dengan tembakau ketika mengelompokkan dan menyortir daun tembakau untuk persiapan pengeringan, perlindungan semacam itu tak sepenuhnya menghilangkan paparan nikotin. Selama menyortir, anak-anak biasanya terus-terusan memegang daun, sering dengan beberapa bagian tubuh, dan mengisap debu dan asap tembakau untuk waktu yang lama. Akibatnya, Human Rights Watch meyakini penggunaan alat pelindung tidaklah cukup untuk menghilangkan bahaya bekerja dengan tembakau selama proses pengeringan

Pemerintah Indonesia memiliki daftar pekerjaan berbahaya yang melarang anak-anak bekerja di lingkungan “dengan zat kimia berbahaya.Tetapi daftar ini tidak secara spesifik melarang anak menangani tembakau, meski betapa bahayanya paparan nikotin. Situasi ambigu ini menyebabkan anak-anak dalam kerentanan.

Menjadi bagian dari upaya mengakhiri bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak tahun 2022, pemerintah Indonesia harus mengadopsi standar perlindungan yang gamblang guna melarang anak-anak di bawah umur 18 tahun dari semua pekerjaan berbahaya di pertanian tembakau, kecuali segelintir tugas ringan pada awal musim tanam tembakau. Kebijakan itu harus dipahami para petani dan secara efektif diawasi dan ditegakkan oleh pengawas tenaga kerja. Sebuah kebijakan terbuka yag secara khusus dirancang mengenai budidaya tembakau hanya bisa dinilai layak bila memenuhi tujuan di atas. Pemerintah Indonesia harus memperbarui daftar pekerjaan berbahaya untuk secara terbuka melarang semua anak di bawah umur 18 tahun bekerja menangani secara langsung tembakau dalam bentuk apapun, dan secara serius menyelidiki pekerja anak dan pelanggaran lain di pertanian skala kecil.

Selain itu, pihak berwenang Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah melindungi pekerja anak di ladang tembakau dari bahaya. Pemerintah harus mengimplementasikan pendidikan umum secara luas dan program pelatihan di kelompok petani tembakau untuk mempromosikan kesadaran atas risiko kesehatan bagi anak-anak yang bekerja di pertanian tembakau, terutama risiko paparan nikotin dan pestisida. Rekomendasi terperinci untuk pemerintah Indonesia tercantum di bagian akhir laporan ini.

 

VI. Buruh Anak dan Rantai Pasokan Tembakau: Tanggungjawab Perusahaan

Tanggungjawab Perusahaan

Pemerintah memiliki tanggungjawab utama untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia sesuai hukum internasional. Sementara lembaga swasta, termasuk institusi bisnis, juga punya tanggungjawab yang diakui secara internasional mengenai hak asasi manusia termasuk hak pekerja dan hak anak. Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang disahkan Dewan HAM PBB tahun 2011, mengekalkan aturan bahwa semua perusahaan harus menghormati hak asasi manusia, menghindari keterlibatannya dalam pelanggaran, dan memastikan setiap pelanggaran yang terjadi dipulihkan secara penuh. Panduan ini menetapkan dunia usaha harus melaksanakan uji tuntas hak asasi manusia guna mengidentifikasi potensi risiko pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dengan operasional bisnis dan mengambil langkah efektif untuk mencegah dan mengurangi dampak negatifnya. Perusahaan bertanggungjawab untuk memastikan bahwa korban dari setiap pelanggaran yang terjadi dapat mengakses proses pemulihan.[240] Prinsip-prinsip Panduan ini telah diterima secara luas sebagai artikulasi otoritatif soal tanggungjawab dunia usaha dalam perkara hak asasi manusia.

Terkait tanggungjawab dunia usaha terhadap hak anak, Komite PBB tentang Hak Anak telah menetapkan bahwa “tugas dan tanggungjawab untuk menghormati hak anak diperluas dalam praktiknya di luar negara dan lembaga serta layanan negara, dan berlaku untuk pelaku swasta dan perusahaan bisnis,” dan “semua bisnis harus memenuhi tanggungjawabnya terkait hak anak dan negara harus memastikan mereka menaatinya.”[241] Komite juga mencatat “langkah-langkah sukarela dari tanggungjawab perusahaan oleh dunia usaha, seperti investasi sosial, advokasi dan keterlibatan kebijakan publik, kode etik sukarela, filantropi, dan tindakan kolektif lain, bisa memajukan hak-hak anak,” namun tindakan ini “bukan pengganti tindakan Negara dan peraturan bisnis … atau untuk mengusahakan pemenuhan tanggungjawabnya menghormati hak-hak anak.”[242]

Prinsip-prinsip Hak Anak dan Dunia Usaha, dikembangkan Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF), UN Global Compact, dan Save the Children, dan diluncurkan pada Maret 2012, mendorong dunia usaha untuk berkontribusi menghapuskan pekerja anak di semua kegiatan usaha dan hubungan bisnis. Untuk mencapainya, dunia usaha didorong tak hanya mengadopsi kebijakan pekerja anak dan prosedur uji tuntas hak asasi manusia, tapi juga bekerja dengan pemerintah, mitra sosial, dan lainnya guna mempromosikan pendidikan dan solusi berkesinambungan soal akar penyebab pekerja anak, termasuk melalui program yang mendukung tenaga kerja angkatan muda, pengembangan keahlian, peluang pelatihan kerja untuk pekerja muda.[243]

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah menetapkan pedoman perilaku bertanggungjawab bagi maskapai multinasional, menyematkan konsep uji tuntas hak asasi manusia dan konten standar inti perburuhan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Pedoman ini mendesak perusahaan “menghormati hak asasi manusia, artinya harus menghindari pelanggaran hak asasi dan harus mengatasi dampak pelanggaran HAM di mana ia terlibat,” termasuk melaksanakan uji tuntas hak asasi manusia dan bekerja memulihkan dampak pelanggaran HAM yang disebabkan oleh perusahan atau perusahaan turut terlibat dalam pelanggaran tersebut. Pedoman juga menyatakan perusahaan harus berkontribusi menghapus pekerja anak secara efektif dan mengambil langkah memadai guna memastikan kesehatan dan keamanan di wilayah operasionalnya.[244]

OECD serta Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menetapkan lima langkah kerangka kerja uji tuntas HAM pada rantai pasokan pertanian: 1) membangun sistem manajemen yang kuat; 2) mengindentifikasi dan menilai risiko dalam rantai pasokan; 3) mengembangkan strategi untuk merespons risiko yang teridentifikasi; 4) verifikasi bahwa praktik uji tuntas HAM berjalanefektif; dan 5) melaporkan secara terbuka soal uji tuntas HAM pada rantai pasokan.[245]

Rantai Pasokan Tembakau di Indonesia

Tembakau yang tumbuh di Indonesia terserap ke dalam rantai pasokan perusahaan tembakau multinasional terbesar di dunia, juga ke beragam perusahaan tembakau nasional. Perusahaan tembakau terbesar yang beroperasi di Indonesia termasuk tiga pabrik rokok Indonesia—PT Djarum (Djarum), PT Gudang Garam Tbk (Gudang Garam), dan PT Nojorono Tobacco International (Nojorono)—dan dua perusahaan yang dimiliki maskapai multinasional—PT Bentoel International Investama (Bentoel), dimiliki oleh British American Tobacco (BAT), dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (Sampoerna), dimiliki oleh Philip Morris International. Perusahaan Indonesia dan multinasional lain juga membeli tembakau yang ditanam di Indonesia. Informasi tentang perusahaan-perusahaan ini tercantum di bawah.

Kebanyakan daun tembakau yang diproduksi di Indonesia dimanfaatkan untuk pangsa pasar domestik, tapi sejumlah besar daun tembakau juga diekspor. Tujuan utama ekspor termasuk ke Amerika Serikat, Belgia, Malaysia, dan Filipina.[246] Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengekspor sekitar seperempat dari total produksi tembakau pada 2013.[247]

Para petani tembakau yang diwawancarai Human Rights Watch menjual tembakau dengan sejumlah cara. Kebanyakan petani menjual daun tembakau di pasar terbuka melalui perantara atau tengkulak. Dalam sistem ini, petani kecil menjual tembakau secara terpusat kepada seorang petani atau pemuka di desanya, atau ke seorang pembeli lokal, yang akan mengumpulkan tembakau dari banyak produsen kecil dan menjualnya ke gudang milik pengusaha lokal; atau ke gudang perusahaan pembeli daun tembakau nasional atau multinasional yang lebih besar. Narasumber memakai sejumlah istilah untuk merujuk pedagang tembakau lokal atau “perantara,” termasuk “tengkulak,” “bandul,” “bandar,” “belandang,” dan sebagainya. Dalam sistem ini, rantai pasokan seringkali panjang dan rumit, dengan banyak lapisan antara petani dan perusahaan yang membeli daun tembakau untuk digunakan dalam produk tembakau. Kami menyebut model penjualan tembakau ini sebagai “sistem pasar terbuka.”

Sebagai alternatif dari sistem ini, beberapa petani menjalin hubungan individual dengan perusahaan tembakau dan punya kesempatan menjual tembakau secara langsung ke perwakilan perusahaan, ketimbang melalui tengkulak. Secara umum, kami menyebut model ini sebagai “sistem kontrak langsung.”[248] Pada sistem ini, beberapa petani meneken kontrak tertulis untuk menjual tembakau secara langsung pada pabrikan tembakau atau perusahaan pemasok daun. Petani yang terlibat dalam sistem ini sering menyebutnya bergabung dalam kelompok kecil atau “proyek” dan menerima bahan budidaya seperti bibit atau pupuk serta bantuan teknis dari teknisi perusahaan. Narasumber mengatakan perusahaan punya peraturan dan persyaratan khusus bagaimana tembakau mesti dibudidayakan dan dikeringkan. Partisipan lantas punya kemampuan untuk menjual tembakau secara langsung kepada pembeli dari satu perusahaan tertentu, atau langsung ke gudang yang dimiliki perusahaan. Petani lain tidak menandatangani perjanjian tertulis dengan perusahaan, tapi mereka menerima sejumlah pasokan dan bantuan teknis dari perwakilan perusahaan tembakau. Banyak petani dalam sistem kontrak langsung juga menjual beberapa tembakaunya pada pasar terbuka.

Insert graphics comparing each system?

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 60 petani tembakau, pembeli dan penjual daun tembakau, serta pemilik gudang di empat provinsi tempat kami melakukan penelitian. Kami mengidentifikasi risiko hak asasi manusia termasuk pekerja anak serta bahaya kesehatan dan keselamatan kerja, baik di sistem pasar terbuka maupun sistem kontrak langsung.

Kurangnya Uji Tuntas HAM dalam Sistem Pasar Terbuka

Kebanyakan petani dan pedagang yang menjual tembakau secara eksklusif melalui sistem pasar terbuka tradisional mengakui bahwa anak-anak yang bekerja membudidayan tembakau merupakan hal yang lazim. Kebanyakan petani dan pedagang di pasar terbuka yang diwawancarai tak pernah menjumpai wakil perusahaan atau pembeli tembakau membicarakan soal pekerja anak dengan mereka, atau mengunjungi ladang tembakau sepanjang musim untuk mengawasi pekerja anak. Narasumber mengatakan tak ada yang berusaha untuk memverifikasi kondisi tempat tembakau dibudidayakan atau menginspeksi pekerja anak atau risiko hak asasi manusia lainnya.

Misalnya seorang petani dan pedagang tembakau di Garut, mengatakan bahwa ia membeli tembakau dari banyak petani di desanya pada 2015 dan berkendaraan enam jam untuk menjualnya kepada pedagang besar di Jawa Tengah. Ia bilang pedagang memasok tembakau ke berbagai pabrik milik perusahaan nasional dan internasional, termasuk Bentoel, Djarum, dan PT Sadhana Arifnusa (Sadhana)—pemasok utama Sampoerna.[249] Ketika Human Rights Watch menanyakan apakah ia pernah ditanya tentang pekerja anak saat menjual tembakau, ia berkata, “Tidak, mereka tak menanyakan. Pembeli tak tahu dari mana daun tembakau berasal. Mereka hanya minta saya untuk menjual sebanyak yang saya bisa dari petani di beberapa daerah.”[250]

Seorang pedagang di Probolinggo menjelaskan bahwa ia membeli tembakau dari pedagang yang lebih kecil, mengemasulang di lokasi pemprosesan yang besar di luar rumahnya, dan menjualnya ke gudang milik Gudang Garam. Mengenai apa saja persyaratan perusahaan untuk petani dalam rantai pasokannya, ia bilang, “Harus daun yang bagus. Saya harus menjaga kualitas.” Ia mengatakan perusahaan tak punya kebijakan terkait buruh anak, pejabat perusahaan tak menanyakan pedagang soal buruh anak. “Mereka tak menanyakannya. Mereka tak pernah menyebut pekerja anak kepada saya,” katanya. “Saya tak tahu apa-apa soal buruh anak.”[251]

Human Rights Watch mewawancarai David, pedagang tembakau di sebuah gudang di Pamekasan saat ia menunggu untuk menjual tembakau. Ia menjelaskan perannya dalam rantai pasokan tembakau, “Tugas saya adalah mengambil tembakau dari ladang dan membawanya ke gudang,” katanya. “Saya membelinya dari ladang dan menjualnya di sini.”[252] Kami mewawancarai pemilik gudang pada hari yang sama. Ia menjelaskan bahwa ia menjual tembakau pada Djarum dan Gudang Garam, dua perusahaan tembakau terbesar di Indonesia. “Pejabat perusahaan bilang buruh anak dilarang di gudang dan pertanian,” katanya. Ia bersikeras bahwa ia menyampaikan persyaratan ini pada pedagang dari siapa dirinya membeli tembakau. “Kami sampaikan pada bandul bahwa anak tak boleh berkerja di sawah.”[253] Meski demikian, David mengatakan, “Pemilik gudang tak pernah bilang apapun soal buruh anak kepada saya. Di kota saya, ada banyak pekerja anak.”[254]

Senada dengan Untung, petani dan pedagang di Jawa Timur, yang mengatakan ia membeli tembakau dari 20 petani di kampungnya dan menjualnya kepada pedagang dari gudang yang memasok perusahaan besar Indonesia dan multinasional termasuk Djarum, Gudang Garam, dan Sampoerna; juga gudang lebih kecil milik pebisnis lokal. Ia mengatakan bahwa satu-satunya persyaratan dari berbagai gudang adalah terkait kualitas: “Siapa yang membantu kami di ladang? Mereka tak peduli. Mereka tak menanyai kami.”[255]

Salah satu pedagang di Jawa Timur mengatakan ia membeli tembakau dari seratus petani dan menjualnya kepada Djarum, Gudang Garam, dan Sadhana. Ia mengaku perusahaan memiliki aturan tentang bagaimana membudidayakan tembakau, termasuk tentang “bagaimana merawat dan memperlakukan selama penanaman” dan waktu untuk memanen. Ketika ditanya apakah mereka punya aturan soal pekerja anak, ia bilang, “Mereka tak punya aturan tentang itu…. Mereka tak mengatakan apa-apa sebab mereka [anak-anak] hanya membantu. Mereka tak punya aturan ketat soal itu.”[256]

Beberapa pedagang tembakau yang diwawancarai Human Rights Watch membawa kartu identifikasi yang disebut mereka dibutuhkan untuk menjual tembakau ke gudang tertentu. Human Rights Watch menanyakan beberapa pedagang tentang bagaimana kriteria untuk memperoleh kartu identifikasi, tapi kami tak menemukan adanya proses formal atau serius bagaimana pedagang memperoleh kartu itu atau tipe sertifikasi atau registrasi apapun untuk membeli dan menjual tembakau. Banyak pedagang mengatakan telah memilikinya bertahun-tahun atau memperolehnya dari teman atau anggota keluarga.

Misalnya Cipto, 60 tahun, di Probolinggo, mengatakan pada 2014 bahwa ia membeli tembakau dari banyak petani kecil dekat desanya, dan menjualnya ke gudang lokal yang memasok tembakau pada Gudang Garam. Cipto berkata ia satu dari sekitar 300 pedagang yang menjual satu truk memuat tembakau kering ke sebuah gudang. Ia punya kartu identifikasi warna biru yang ia bilang diperlukan untuk jual-beli tembakau: “Kartu biru berarti seseorang seperti saya membeli dari petani langsung.” Ketika ditanya bagaimana mendapat kartu itu, ia berkata, “Sudah lama, teman saya memberi kartu biru untuk membeli daun tembakau… Sebelum saya dapat kartu biru, saya membayar teman untuk memberikan kartunya, supaya saya bisa beli dari petani.”[257]

Terkait apakah ada pelatihan atau pendidikan soal topik apapun sebagai syarat mendapatkan atau memiliki kartu, Cipto mengatakan: “Saya tak dapat pelatihan sama sekali. Saya tahu sendiri bagaimana menilai kualitas tembakau.” Ketika ditanya apakah Gudang Garam punya persyaratan apapun tentang pekerja anak, ia bilang, “Mereka tak menanyakan buruh anak sama sekali,” katanya. “Tak seorang pun menanyakan tentang buruh anak.” Cipto juga menyatakan tak pernah mengunjungi pertanian untuk mengecek kondisi kerja, “Saya hanya melihat daun di sini,” katanya, mengindikasikan ia melihatnya hanya setelah dipanen, dikeringkan, dan siap jual. “Saya tak pergi ke ladang.”[258]

Seperti dijelaskan di bawah, beberapa perusahaan yang menanggapi Human Rights Watch mengakui kerumitan dan potensi risiko dalam sistem pasar terbuka di Indonesia. Kebanyakan perusahaan menjelaskan melakukan beberapa kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang pekerja anak dan bahaya kesehatan di pertanian tembakau di kalangan perantara atau pada komunitas petani tembakau tertentu. Namun, tak satu pun perusahaan yang merespons surat kami mengindikasikan mereka melakukan uji tuntas hak asasi manusia secara serius di sistem pasar terbuka termasuk mengawasi pekerja anak. Misalnya Alliance One menyatakan bahwa pemasok mereka diwajibkan untuk mematuhi kebijakan global, dan setiap kali perwakilannya mengunjungi para pemasok tembakau di pasar terbuka, “mereka mencari risiko adanya pekerja anak,” tapi tak merinci langkah khusus yang diambil perwakilan mereka.[259]

Dalam suratnya kepada Human Rights Watch, Universal Corporation menunjukkan penilaian jujur dari sistem pasar terbuka, dan menjelaskan lingkup keterlibatannya sebagai bagian dari rantai pasokan hanya terbatas pada komunikasi di hari penjualan daun tembakau:

Tantangan utama di Indonesia adalah dominasi pasar terbuka sebagai sumber tembakau, menyebabkan kesulitan untuk membangun kontak langsung dengan petani, dan banyaknya penjual lokal yang membeli tembakau untuk perusahaan domestik tanpa program standar perburuhan… Para pembeli tembakau lewat pasar terbuka punya sedikit atau tidak sama sekali kontak dengan petani, dan sejauh ada kontak, itu pun terbatas pada apapun yang terjadi di hari tembakau petani dijual… Kemampuan kami untuk berkomunikasi dengan petani dalam pembelian di pasar terbuka hanya terbatas pada saat komunikasi di hari penjualan kepada perantara atau petani yang mengirim tembakau mereka sendiri.[260]

Perusahaan yang membeli tembakau di pasar terbuka di Indonesia berisiko membeli tembakau yang diproduksi anak yang bekerja dalam kondisi berbahaya. Misalnya perusahaan ini beresiko berkontribusi dan diuntungkan dari pekerja anak. Meski rumit dan rantai pasokan berlapis-lapis yang melibatkan banyak perantara di sistem ini, seluruh perusahaan yang membeli tembakau dari Indonesia harus menetapkan dan melaksanakan prosedur uji tuntas hak asasi manusia guna mengidentifikasi dan mengatasi pekerja anak serta risiko hak asasi manusia lain.

Risiko dalam Sistem Kontrak Langsung

Human Rights Watch mewawancarai para petani yang mengatakan mereka memproduksi dan menjual tembakau di tahun-tahun belakangan melalui kontrak langsung dengan berbagai perusahaan pabrik tembakau dan perusahaan pembeli daun tembakau, termasuk Alliance One International, Export Leaf Indonesia (perusahaan milik British American Tobacco), Djarum, dan Sadhana (sebuah perusahaan pemasok Sampoerna). Sebagian besar petani yang kami wawancarai menyatakan mereka telah mendapatkan beberapa pelatihan dan pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan dari perusahaan yang mengontrak mereka. Pada saat bersamaan, Human Rights Watch menemukan bahwa praktik itu tak cukup untuk menghapus bahaya pekerja anak dalam rantai pasokannya.

Celah dalam Uji Tuntas Hak Asasi Manusia

Beberapa petani yang beroperasi dalam sistem kontrak langsung mengatakan bahwa beberapa perusahaan tembakau melarang anak ikut dalam pekerjaan tertentu di pertanian tembakau. Namun kebanyakan petani melaporkan bahwa anak-anak di bawah umur 18 tahun masih terlibat dalam berbagai tugas di banyak tahapan budidaya tembakau, termasuk perihal yang dianggap berbahaya oleh Human Rights Watch dan beberapa perusahaan tembakau. Misalnya, Human Rights Watch mewawancarai Ivan, petani di Lombok Timur, yang punya kontrak penjualan tembakau pada 2015 ke Export Leaf Indonesia (ELI), perusahaan milik British American Tobacco. Saat kami bertemu, kami melihat sekitar 10 anak dan lima orang dewasa menyiapkan daun tembakau untuk pengeringan di dekatnya. “Aturannya adalah anak di bawah umur 14 tahun mungkin bekerja di pertanian tembakau. Tak ada aturan siapa yang boleh menangani daun tembakau,” katanya, mengindikasikan anak di segala usia bisa melakukan pekerjaan di luar gudang.[261]

Banyak petani lain yang dikontrak bersikeras tidak ada batasan sama sekali untuk semua anak bekerja di pertanian tembakau. Abdi, petani lain di Lombok Timur, yang punya kontrak menjual tembakau pada ELI, mengatakan perusahaan yang membeli tembakaunya memberikan pelatihan keamanan dan punya peraturan khusus tentang pengeringan, pengepakan, asuransi, dan banyak hal lain. Namun ia mengatakan mereka tak punya aturan soal pekerja anak: “Tak ada aturan tentang usia, hanya pekerja harus sehat dan mampu bekerja. Perusahaan hanya butuh kita untuk menyediakan tembakau, karenanya mereka tak peduli soal umur pekerja.”[262] Tirto, petani di Sumenep, yang punya kontrak menjual tembakau pada Sadhana, mengatakan perusahaan tak punya batasan soal pekerja anak: “Mereka tak punya aturan seperti itu. Terserah pada pemilik pertanian…. Mereka tak pernah menyebut aturan tentang anak bekerja.”[263]

Petani yang dikontrak sering melaporakan bahwa perwakilan perusahaan mengunjungi pertanian mereka dalam berbagai tahapan sepanjang musim untuk memberi nasihat teknis dan memeriksa tanaman tembakau. Beberapa petani mengatakan “instruktur” perusahaan akan memperingatkan mereka kalau anak tak boleh bekerja. Namun lainnya mengatakan instruktur jarang datang, atau datang di waktu yang salah saat musim tanam, untuk mengecek apakah anak-anak bekerja di pertanian tembakau.

Misalnya Human Rights Watch mewawancarai sekelompok empat petani; semuanya berusia pertengahan 20-an di Lombok Timur pada 2014. Dua petani punya kontrak dengan Sadhana, yang memasok daun tembakau pada Sampoerna. Kedua petani mengatakan bahwa anak-anak sering bekerja di pertanian, bahkan ketika perwakilan perusahaan telah memperingatkan mereka kalau anak-anak dilarang bekerja. Mereka bilang instruktur perusahaan hanya mengunjungi saat anak-anak tidak bekerja: “Saya beruntung karena mereka tak pernah datang saat anak-anak bekerja. Supervisor hanya datang ketika panen hampir tiba. Mereka datang untuk mengatakan ‘cepat dan bawa daunmu sebab kamu utang duit pada kami.’” Petani kontrak lainnya menambahkan, “Biasanya mereka datang pada pagi hari saat anak-anak masih sekolah. Jika mereka datang setelah itu, mereka akan menyaksikan anak-anak bekerja.”[264]

Minimnya Sanksi Tegas soal Buruh Anak

Kebanyakan petani mengatakan tak ada konsekuensi serius atau hukuman jika anak ditemukan bekerja, bahkan ketika pelanggaran itu tejadi berulang-ulang.

Teknisi yang dipekerjakan Sadhana di Sumenep menjelaskan bahwa pekerjaannya melatih petani kontrak tentang persyaratan perusahaan. “Perusahaan bilang tak boleh ada anak di bawah umur bekerja di tembakau,” katanya, menunjuk poster warna-warni anti-buruh anak yang digantung di tembok, dan perusahaan telah membuat dan menyebarkannya pada petani. Ia menjelaskan bahwa ia biasa menemukan anak bekerja, dan ia meyakini petani tak mengindahkan aturan ini: “Petani tak peduli dengan peraturan sama sekali. Ini hanya peraturan dari tingkat tertinggi…. Sering teknisi melihat anak bekerja di ladang seperti itu. Mereka berbincang dengan orang dan bicara soal aturan buruh anak, tapi petani tak peduli sama sekali.” Terkait apakah ada kemungkinan konsekuensi bagi petani yang mempekerjakan buruh anak, ia mengatakan, “Sebenarnya perusahaan tak punya hukuman buat petani. Kami akan tetap bekerjasama. Mereka akan tetap dapat bibit dari kami dan keuangan. Kita sudah mengatakan kepada orangtua tak boleh ada pekerja anak di ladang, bahkan sekalipun hanya membantu. Jika mereka tak peduli, itu bukan urusan kami lagi…. Ketika orangtua melanggar aturan dan membiarkan anak-anak bekerja di sawah, itu tak masalah. Kami tetap melanjutkan kerjasama.”[265] Ia tak tahu adanya kasus-kasus perusahaan menghentikan kontrak karena pelanggaran buruh anak.

“Instruktur tak memberikan penalti atau hukuman, karena anak yang bekerja di tembakau sudah tradisi,” ujar seorang petani di Lombok Timur yang mengatakan punya kontrak dengan Alliance One International, satu perusahaan niaga daun tembakau berskala internasional. “Tak ada pembicaraan atau pertanyaan tentang anak,” katanya.[266]

Hanif, petani 45 tahun di Probolinggo, yang punya kontrak menjual tembakau pada Sadhana, pemasok Sampoerna, mengatakan bahwa perusahaan melarang anak bekerja: “Mereka punya aturan tentang anak bekerja di tembakau,” katanya. “Tapi tradisinya di sini sebagai petani, anak kami ke ladang untuk membantu cuma-cumaKarenanya aturan itu tak benar-benar diterima di sini.” Ketika kami menanyakan apakah ada konsekuensi jika perusahaan menemukan anak bekerja, ia mengatakan, “Sebenarnya tak ada hukuman. Mereka cuma ngomong ke kami. Itu bukan peraturan ketat soal anak bekerja di ladang.”[267]

Side-Purchasing

Beberapa petani yang punya kontrak penjualan tembakau pada perusahaan tertentu mengatakan bahwa mereka juga membeli daun tembakau dari petani lain di komunitas mereka, dikemas bareng dengan tembakau yang mereka tanam di ladangnya sendiri, dan menjual semuanya ke perusahaan yang mengontrak mereka.

Misalnya di Magelang, petani yang dikontrak untuk menjual tembakau pada Djarum menjelaskan ia membeli tembakau tambahan dari petani lokal dan menjualnya di bawah kontrak dengan perusahaan. “Petani datang ke sini untuk menjual daun tembakau pada saya. Ada banyak—terlalu banyak untuk dihitung,” katanya. “Para petani ingin menjual pada saya karena saya mitra (petani yang dikontrak). Semua ladang diharapkan mengikuti aturan dari Djarum. Tak semuanya mengikuti aturan, tapi saya membeli tembakau dari mereka juga. Selama Djarum tak tahu.”[268]

Seorang petani di Lombok Timur yang punya kontrak menjual tembakau langsung ke Export Leaf Indonesia (ELI), perusahaan milik British American Tobacco, menjelaskan bagaimana sistem yang berlaku di desanya: “Petani independen bisa menjual tembakaunya melalui proyek petani [kontrak]. Petani kontrak bisa menjual tembakau pada gudang.”[269]

Berdasarkan tantangan yang disajikan di atas, perusahaan yang membeli tembakau melalui sistem kontrak langsung di Indonesia berisiko diuntungkan dari pekerjaan berbahaya bagi buruh anak di perkebunan tembakau.

Uji Tuntas Hak Asasi Manusia pada Perusahaan Tembakau

Human Rights Watch meminta informasi mengenai kebijakan dan prosedur uji tuntas hak asasi manusia dari perusahaan pembeli tembakau Indonesia dan multinasional. Sebagai upaya mendapatkan respons dari pembeli terpenting tembakau di Indonesia, kami mengirim surat terperinci untuk meminta informasi soal pembelian tembakau di Indonesia dan perburuhan anak serta uji tuntas hak asasi manusia pada empat perusahaan Indonesia dan sembilan pabrik tembakau multinasional, selain juga perusahaan pemasok daun tembaku, termasuk semua perusahaan terbesar yang beroperasi di Indonesia.

Human Rights Watch mengirim surat ke empat perusahaan Indonesia: PT Djarum (Djarum), PT Gudang Garam Tbk (Gudang Garam), PT Nojorono Tobacco International (Nojorono), dan PT. Wismilak Inti Makmur Tbk. (Wismilak). Selain menelepon berkali-kali dan usaha lain untuk menemui perusahaan ini, hanya dua dari empat perusahaan menjawab (Nojorono dan Wismilak). Meski begitu, mereka tak memberi respons terperinci atau komprehensif untuk pertanyaan yang kami ajukan. Seorang wakil dari Wismilak menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa menanggapi secara detail karena “tidak berhubungan langsung dengan petani tembakau.Ia menambahkan juga “tidak mengetahui pihak lain atau perantara dalam rantai pasokan mereka yang berhubungan langsung dengan petani.[270] Nojorono menjawab melalui sebuah surat dan merujuk Human Rights Watch kepada GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), sebuah asosiasi produsen rokok, untuk mendapatkan informasi mengenai pertanian tembakau, termasuk buruh anak.[271] Human Rights Watch lantas menulis surat kepada GAPPRI, namun mereka menolak bertemu kami.[272] Perusahaan rokok terbesar di Indonesia, Djarum dan Gudang Garam, tak menanggapi surat Human Rights Watch, meski kami telah berulang kali menghubungi mereka.

Selain itu, Human Rights Watch mengirim surat soal pekerja anak dan uji tuntas hak asasi manusia kepada tujuh pabrik produk tembakau multinasional: Altria Group, British American Tobacco (BAT), China National Tobacco, Imperial Tobacco Group (Imperial), Japan Tobacco International (JTI), Philip Morris International (PMI), dan Reynolds American, serta dua perusahaan niaga daun tembakau: Alliance One International (Alliance One) dan Universal Corporation (Universal) yang menjual tembakau ke pabrik produk tembakau. China National Tobacco tak menanggapi Human Rights Watch.[273] Altria Group menyatakan bahwa mereka tidak membeli daun tembakau dari Indonesia dan tak berencana melakukannya.[274] Salinan dari korespondensi ini bisa dilihat dalam apendiks laporan.[275] Mungkin sekali ada perusahaan multinasional lain yang membeli daun tembakau di Indonesia yang tak disebut dalam laporan ini.

Semua perusahaan multinasional yang membeli tembakau dari Indonesia, yang memberi tanggapan pada Human Rights Watch, punya kebijakan terkait buruh anak yang selaras dan terlihat konsisten dengan standar internasional, terutama dengan konvensi ILO. Secara khusus, semua perusahaan mengakui panduan ILO tentang usia minimum, yakni usia minimum untuk bekerja adalah 15 tahun, dengan pekerjaan ringan dibolehkan untuk anak usia 13-15 tahun, kecuali undang-undang nasional mengaturnya lebih protektif.[276] Seluruh kebijakan perusahaan ini juga melarang anak di bawah umur 18 tahun melakukan pekerjaan berbahaya.[277]

Meski belum ada konsensus lengkap di antara semua perusahaan, ada peningkatan keselarasan di antara banyak perusahaan tembakau mutinasional terkait tugas-tugas yang memicu pekerjaan berbahaya, di antaranya kontak langsung dengan daun hijau tembakau seperti mengambil bunga, memetik dahan, dan memanen, serta pekerjaan lain dengan bahan kimia berbahaya, benda-benda tajam, dan mesin pertanian, bekerja di ketinggian, serta tugas lain. Namun, perusahaan-perusahaan ini tidak melakukan pembatasan yang sudah gamblang soal anak-anak menangani daun tembakau kering, kendati bahaya yang muncul dari debu tembakau dan memegang daun tembakau; tempat nikotin masih melekat. Beberapa perusahaan, seperti JTI, membolehkan anak usia 16-17 tahun untuk melakukan pekerjaan berbahaya sepanjang mereka menerima perlengkapan dan pelatihan protektif.[278]

Sinyal lain dari peningkatan keselarasan dalam industri tembakau terkait kebijakan buruh anak di mana pada Desember 2014, anggota Yayasan Penghapusan Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau (ECLT) yang berbasis di Jenewa, termasuk tujuh perusahaan yang dihubungi untuk laporan ini, menandatangani Perjanjian Komitmen untuk memberantas buruh anak dan menghapuskan segala bentuk perburuhan anak dalam rantai pasokan tembakau.[279] Perjanjian ini mewajibakan anggota untuk “menghormati dan mengakui prinsip dan hak-hak yang tercantum dalam Konvensi dan Rekomendasi ILO tentang buruh anak” dan untuk menegakkan kebijakan buruh anak yang kuat, persyaratan minimun untuk mengurangi buruh anak, dan pelaksanaan yang konsisten dengan Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.[280]

Sebisa mungkin Human Rights Watch menganalisis prosedur uji tuntas hak asasi manusia dari perusahaan-perusahaan yang menanggapi surat kami, berdasarkan informasi yang diberikan oleh perusahaan, informasi yang tersedia secara publik di situsweb mereka, dan wawancara dengan buruh anak, petani, dan pedagang tembakau di Indonesia. Segelintir perusahaan yang mengambil langkah untuk bersikap cukup transparan terkait prosedur uji tuntas hak asasi manusia, khususnya pemantauan atas ditaatinya kebijakan buruh anak dalam rantai pasokan sebagai hasil dari pengawasan internal dan audit eksternal. Transparansi merupakan elemen kunci uji tuntas hak asasi manusia yang efektif dan kredibel.

Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengekalkan bahwa “dalam rangka menerapkan bagaimana mengatasi dampak hak asasi manusia, dunia usaha harus siap untuk mengomunikasikannya secara eksternal, khususnya ketika kekhawatiran muncul oleh atau atas nama pihak yang terkena dampak.” Prinsip ini menyatakan bahwa pelaporan harus “dalam bentuk dan frekuensi yang mencerminkan dampak bisnis terhadap hak asasi manusia dan bisa diakses khalayak yang menginginkannyaserta “pelaporan harus mencakup topik dan indikator tentang bagaimana perusahaan mengidentifikasi dan mengatasi dampak merugikan hak asasi manusia.”[281]

Di antara perusahaan yang kami pelajari, PMI tampaknya telah mengambil sejumlah besar langkah untuk transparan tentang kebijakan HAM dan prosedur pemantauan, termasuk dengan menerbitkan laporan soal kemajuan dan beberapa laporan rinci soal pemantauan oleh pihak ketiga melalui situswebnya.[282]

Sebagian besar perusahaan tembakau multinasional yang beroperasi di Indonesia mendapatkan tembakau melalui kontrak langsung dengan petani dan membeli daun tembakau di pasar terbuka. Beberapa perusahaan hanya menggunakan salah satu dari dua sistem itu. Banyak perusahaan mengakui tantangan menguji tuntas secara efektif dari segi hak asasi manusia disistem pasar terbuka. Karena alasan ini, beberapa perusahaan menyatakan bahwa mereka melakukan kegiatan berbasis masyarakat dan berhubungan dengan aktor industri lain untuk mengatasi perburuhan anak dan kekhawatiran lain pada pasar terbuka, sebagaimana akan dijelaskan di bawah. Sementara hal itu mungkin menjadi inisiatif penting, mereka tidak seketika bisa lepas dari penerapan uji tuntas hak asasi manusia yang efektif oleh masing-masing perusahaan dalam rantai pasokannya.

British American Tobacco

British American Tobacco (BAT) adalah perusahaan tembakau global terkemuka yang menjual “lebih dari 200 produk di lebih dari 200 pasar di dunia.”[283] Merek terkenal BAT termasuk Dunhill, Kent, Lucky Strike, Pall Mall, dan Rothmans.[284] BAT mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa daun tembakau yang dibeli di Indonesia tercatat sekira 3,5 persen dari pembelian global mereka, dan bersumber dari tembakau di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB. Di Indonesia, BAT membeli 70 persen tembakaunya dari petani kontrak di NTB dan 30 persen dari “agen perantara.” BAT telah menguasai perusahaan Indonesia, PT Bentoel Internasional Investama (Bentoel) pada 2010.[285]

BAT menyatakan sejak 2000, perusahaan memantau hak asasi manusia, praktik perburuhan, dan pekerjaan berbahaya, manajemen lingkungan melalui program Social Responsibility in Tobacco Production (SRTP), diadopsi dari sejumlah produk manufaktur tembakau. Di Indonesia, program ini mencakup semua petani yang dikontrak. Menurut BAT, program ini “menetapkan tingkat kinerja minimum yang kita harapkan dari pemasok dan menunjukkan praktik terbaik dengan perbaikan terus-menerus di seluruh” rantai pasokan.”[286] Program SRTP bergantung pada laporan sendiri oleh pemasok dan audit di tempat (onsite) di setiap cabang kantor tiap empat tahun untuk memverifikasi laporan sendiri oleh AB Sustain, sebuah perusahaan yang dikontrak untuk mengatur program SRTP. Pemeriksaan di tempatoleh AB Sustain tentang pemasok daun di Indonesia dilakukan terakhir pada 2013.[287]

Dalam suratnya kepada Human Rights Watch, BAT menyatakan bahwa tahun 2014, nilai keseluruhan untuk semua pemasok Indonesia tentang buruh anak, berdasarkan laporan sendiri, adalah 90 persen.[288] Nilai ini “didorong oleh kemampuan pemasok untuk mengumpulkan data statistik yang kuat guna mengidentifikasi keberadaan buruh anak, kehadiran sekolah dan aktivitas yang dilakukan anak-anak di pertanian.” Menurut BAT, standar minimum 60 persen berarti “datanya kuat, isu telah diidentifikasi, dan program sedang dilaksanakan untuk mengatasi masalah.”[289]

Situsweb BAT menyatakan bahwa ulasan onsite AB Sustain “meliputi analisis mendalam dari kebijakan pemasok, proses dan praktik, serta kunjungan pertanian.”[290]BAT tak mempublikasikan detail terkait indikator spesifik, metodologi, atau isi laporan-sendiri SRTP atau sifat khusus dari audit onsite, termasuk misalnya berapa pertanian yang dikunjungi AB Sustain selama evaluasi onsite. BAT menyatakan bahwa mempublikasikan informasi seperti itu bukan bagian dari perjanjian di bawah program SRTP.[291]

BAT menyatakan bahwa program SRTP telah direvisi dan program baru, yakni Sustainable Tobacco Production (STP), akan diperkenalkan pada 2016, yang memasukkan “perbaikan terkait buruh anak.” Audit onsite oleh AB Sustain akan dilakukan pada siklus tiga tahunan, dengan evaluasi onsite di Indonesia dijadwalkan tahun 2016.[292]

Terkait sistem pasar terbuka, BAT menyatakan bahwa ia mengomunikasikan kebijakan dan harapannya pada agen perantara penjual daun tembakau, namun, katanya kepada Human Rights Watch, “perlu kerja di wilayah ini” dan BAT baru mengeksplorasi opsi untuk memastikan kebijakannya ditaati di semua rantai pasokan.[293] BAT tidak merinci langkah-langkah itu dalam korespondensinya dengan Human Rights Watch.[294]

Imperial Tobacco

Imperial Tobacco Group (Imperial), berbasis di Britania Raya, menjual produk tembakau di lebih dari 160 negara di dunia, termasuk Winston, salah satu merek terlaris di AS.[295] Imperial membeli sekira 1,4 persen pasokan daun tembakau globalnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan Indonesia adalah 20 negara terbaik sumber Imperial. Melalui pengepul, Imperial membeli sekitar 12 persen tembakau dari petani kontrak dan sisanya dari sistem “’pedagang perantara’ tradisional.”[296]

Dalam suratnya bulan Desember 2015, Imperial menyatakan semua pemasoknya punya persyaratan kontraktual untuk mematuhi program Social Responsibility in Tobacco Production (SRTP, or SRiTP, lihat juga, British American Tobacco), termasuk persyaratan tentang buruh anak yang sejalan dengan konvensi ILO tentang usia minimum dan kerja berbahaya.[297] Dalam korespondensi sebelumnya, Imperial merinci berbagai tugas yang mereka golongkan berbahaya termasuk memanen, mengambil bunga, memegang pestisida atau pupuk, bekerja pada ketinggian, bekerja pada suhu ekstrem dan waktu berjam-jam.[298] Imperial menyatakan bahwa pemasok melakukan “pelatihan dan kegiatan peningkatan kesadaran tentang standar dan persyaratan” dengan perantara di sistem pasar terbuka, dan memonitornya melalui kunjungan dan informasi dari para pemasok.[299]

Imperial menyatakan bahwa pengawasan terhadap buruh anak pada rantai pasokan termasuk audit dari AB Sustain, organisasi yang dikontrak untuk melakukan pengawasan buruh dan isu lain dalam rantai pasokan.[300] Sebagai tambahan, Imperial melaporakan bahwa manajer sustainability daun mengunjungi sebuah negara dua atau tiga kali per tahun, dan mengunjungi 10 hingga 20 petani per pemasok, per kunjungan ke negara, yang setara sekitar 5 persen dari basis petani.[301] Dalam surat Desember 2015, Imperial menyatakan bahwa ia belum “menemukan laporan spesifik tentang buruh anak” dalam rantai pasokan mereka di Indonesia, namun mengakui bahwa “ada kekhawatiran soal itu.”[302] Imperial merencanakan untuk “melakukan Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia secara independen di semua rantai nilai pada 2016,” menurut informasi di situsweb mereka.[303]

Japan Tobacco International

Japan Tobacco International (JTI) adalah perusahaan produk manufaktur terkemuka yang berpusat di Jenewa, Swiss. Ia memasok tembakau dari 40 negara dan menjual produk tembakau di lebih dari 120 negara, termasuk Winston, mereka nomor dua terbaik di dunia.[304] JTI memasok sekira 1,3 persen dari daun tembakau global mereka dari Indonedia, melalui pemasok pihak ketiga yang sumber utamanya lewat kontrak langsung dengan petani, juga dari sistem pasar terbuka di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan NTB.[305]

JTI membuat Praktik Buruh Pertanian (ALP) global pada 2013, yang mencantumkan persyaratan hak asasi manusia dan buruh anak, dan melarang pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun termasuk kerja di ketinggian, dengan racun kimia, memetik bunga, memetik dahan, dan memanen, namun membolehkan anak usia 16-18 tahun untuk melakukan tugas berbahaya jika mereka punya peralatan dan pelatihan yang layak.[306] JTI mengimplementasikan ALP dalam tahapan yang akan dijadwalkan di Indonesia mulai 2017, dan merencanakan program akan berlaku pada semua petani dan pemasok di rantai pasokan global mereka paling lambat tahun 2019.[307] Rencana JTI untuk pelaksanaan itu termasuk pelatihan teknisi lapangan dan petani, mendukung petani untuk meningkatkan praktik penanaman tembakau, mengawasi efek program, dan menyesuaikannya.[308] JTI saat ini tak punya program untuk mengawasi buruh anak dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya dalam rantai pasokan di Indonesia.

JTI berpendapat bahwa pembangunan ALP memakan waktu, untuk mengamankan komitmen petani dan pemasok di rantai pasokan, memahami kondisi lokal, dan mengembangkan pelatihan yang secara lokal relevan.[309]

Philip Morris International

Philip Morris International (PMI) menjelaskan dirinya perusahaan tembakau terkemuka, dengan enam dari 15 merek internasional terbaik dunia, termasuk Marlboro, merek rokok nomor satu dunia. Produk PMI dijual di lebih dari 180 pasar.[310] PMI Indonesia afiliasi HM Sampoerna yang membeli tembakau di Indonesia melalui empat pemasok daun tembakau, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB. Total volumenya sekitar 10 persen dari pembelian daun PMI di seluruh dunia.[311] Empat pemasok Sampoerna mengontrak langsung individu petani tembakau atau kelompok petani, totalnya 60 persen dari pembelian pada 2014.[312] PMI punya aturan Praktik Buruh Pertanian (ALP) termasuk larangan mendetail soal buruh anak yang diimplementasikan secara global.[313]

Dalam surat terperinci pada Human Rigths Watch, Desember 2015, PMI memberikan informasi tentang prosedur uji tuntas hak asasi manusia termasuk memantau buruh anak oleh teknisi lapangan. Perusahaan mengatakan tengah dalam kontrak reguler dengan 27.000 petani dalam sistem kontrak langsung, juga isu lain termasuk manajemen dan supervisi ALP, pelatihan teknisi, serta material tertulis dan video untuk mengomunikasikan harapan buruh anak, prosedur tindak lanjut ketika kekhawatiran buruh anak muncul di pertanian, dan aksi penegakan.[314] Pada 2015, PMI mencontohkan satu program dengan dua pemasok yang terlibat peraturan ALP secara sistematis dimonitor oleh teknisi lapangan. Pengawasan ini mengidentifikasi 1.000 isu, 10 persennya terkait dengan buruh anak.

Untuk lebih teliti memahami gejala potensi persoalan dalam rantai pasokan di Indonesia, PMI menugaskan penilaian eksternal yang mengevaluasi proses manajemen ALP, juga status tingkat petani, termasuk di antara petani dan teknisi kontrak langsung dengan Sadhana selama musim tanam 2015 di Lombok. Laporannya, dibikin terbuka di situsweb PMI, menunjukkan kesenjangan pelaksanaan Sandhana di program ALP, isu dan risiko di tingkat pertanian, dan rencana aksi Sadhana mencerminkan perlunya peningkatan dan langkah yang harus diambil guna mengatasi isu yang teridentifikasi.[315] Penilaian ini menemukan bahwa jumlah staf terbesar yang difasilitasi dari pelaksanaan ALP, tapi di sana ada kesenjangan seperti pelatihan tambahan untuk meningkatkan pemahaman tentang persyaratan buruh anak, Penyakit Tembakau Hijau, atau isu buruh lain yang penting. Sebagai bagian dari menegakkan ALP di Indonesia, PMI telah menugaskan penilaian pihak ketiga pada 2012-2013 untuk menilai sejumlah risiko dan isu termasuk mengatasi buruh anak dan mengidentifikasi sejumlah kekhawatiran.

Terkait sistem pasar terbuka, PMI menyatakannya “tidak mengetahui adanya skema pelatihan dan sertifikasi yang fokus pada buruh anak atau praktik buruh untuk perusahaan atau individu yang beroperasi di pasar terbuka.” HM Sampoerna telah bekerjasama dengan organsisasi nonprofit untuk melakukan pendidikan buruh, agronomi, dan isu lain di komunitas yang memproduksi tembakau yang mungkin terserap dalam rantai pasokan PMI melalui pasar terbuka. Pada 2015, program beroperasi di enam wilayah dan melibatkan sekitar 1,250 orang. PMI merinci inisiatif lain yang diambil sebagai usaha untuk mengurangi buruh anak, termasuk: mengubah metode produksi, program usai sekolah, dan program beasiswa.

Reynolds American

Reynolds American adalah perusahaan induk dari R.J. Reynolds Tobacco Company, perusahaan tembakau terbesar kedua AS, yang memproduksi tiga merek rokok terlaris di Amerika: Newport, Camel, dan Pall Mall.[316] Dalam responsnya untuk surat Human Rights Watch November 2015 terkait buruh anak di Indonesia, Reynolds American menanggapi dalam satu email bahwa ia membeli 0,12 persen pasokan tembakau globalnya dari Indonesia melalui “pedagang daun,” dan bahwa pengawasan praktik pedagang dinilai melalui “AB Sustain’s Leaf TC program,” tampaknya mengacu pada program SRTP. Reynolds American tak merinci dari mana sumber tembakau dari pedagang daunnya, juga tidak memberikan informasi tentang program SRTP-nya atau pengawasan seperti apa yang dilakukan Reynolds American untuk rantai pasokannya di Indonesia.

Alliance One International

Alliance One International (Alliance One) menjelaskan diri sebagai “pedagang daun tembakau independen terkemuka yang melayani produsen rokok terbesar di dunia.” Menurut situsweb-nya, Alliance One memilih, membeli, memproses, mengemas, memasok, dan mengapalkan daun tembakau, membeli tembakau di lebih dari 45 negara dan melayani produsen produk tembakau di lebih dari 90 negara.[317] Di Indonesia, Alliance One membeli daun tembakau secara berlimpah (92 persen) melalui kontrak langsung lewat anak cabang perusahaannya PT.AOI di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB.[318]

Alliance One telah melaksanakan program Praktik Buruh Pertanian (ALP) di Indonesia sejak 2011, mewajibkan semua petani yang dikontrak langsung PT.AOI untuk menghormati buruh anak dan standar perburuhan, yang konsisten dengan konvensi ILO. Program ALP termasuk daftar pekerjaan berbahaya terkait aktivitas yang dilarang untuk anak di bawah umur 18 tahun. Menurut Alliance One, teknisi PT.AOI melakukan 20 hingga 24 kunjungan terjadwal dan satu kunjungan rahasia di setiap petani kontrak per tahun untuk memberikan panduan soal ALP, termasuk informasi tertulis. Tiap teknisi PT.AOI bertanggungjawab pada 48 hingga 55 petani.[319]

Alliance One memberi Human Rights Watch beberapa detail soal prosedur pengawasannya di Indonesia. Termasuk pengumpulan data pertanian, “observasi visual, wawancara petani, wawancara pekerja, dan dokumentasi evaluasi tertulis.” Jika pelanggaran buruh anak ditemukan, teknisi PT.AOI akan mengingatkan petani tentang kewajiban kontrak, meminta anak dialihkan ke tugas tak berbahaya yang berbeda, dan memeriksa kepatuhan dalam kunjungan berikutnya. Alliance One tidak merinci apakah kunjungan teknisi berikutnya akan diumumkan atau tidak diumumkan. Jika pelanggaran berlanjut, teknisi akan berkonsultasi dengan atasan dan “insiden akan dijadikan pertimbangan untuk kontrak petani selanjutnya.”

Alliance One juga menyediakan data insiden buruh anak yang diidentifikasi pada pertanian kontrak PT.AOI di Indonesia tahun 2013, 2014, dan 2015, dipisah berdasarkan wilayah; dan mencatat bahwa sebagian besar masalah melibatkan anak usia 12-17 tahun dalam kerja memanen, mengikat, dan memilah daun. Alliance One juga membagi analisisnya tentang risiko tertentu untuk buruh anak di Indonesia tergantung daerah, tipe tembakau yang ditanam di pertanian, dan tingkat produksi.

Untuk pembelian melalui pemasok pihak ketiga, PT.AOI mensyaratkan pemasok menjalani pengecekan latar belakang untuk memastikan bahwa ia “tidak memiliki catatan perilaku ilegal” dan mensyaratkan pemasok untuk mematuhi kebijakan global mereka. Selama kunjungannya ke pemasok, Alliance One menyatakan bahwa perwakilan PT.AOI mencari tahu risiko terkait buruh anak, tapi tidak mengelaborasi prosedur uji tuntas hak asasi manusia apapun atas rantai pasokannya.

Universal Corporation

Menurut situsweb-nya, Universal Corporation (Universal) berbasis di AS, beroperasi di lebih dari 30 negara, dan merupakan pedagang daun tembakau terkemuka di dunia, melakukan bisnis termasuk memilih, membeli, mengirim, mengolah, menyimpan, dan mendanai daun tembakau untuk pabrik produk tembakau.[320] Dalam suratnya pada Human Rights Watch Desember 2015, Universal melaporkan pihaknya membeli “persentase sangat sedikit tembakau yang ditanam di Indonesia” yang dijual “pada berbagai konsumen besar” seperti PMI (untuk pemakaian domestik) dan Imperial.[321]

Universal membeli tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui lima metode berbeda:

  • pasar terbuka;
  • kontrak langsung;
  • petani model, di mana Universal bekerjasama dengan satu petani di sebuah komunitas untuk menjadikan sebuah model guna “menunjukkan petani di sekitarnya bahwa metode dan praktik produksi [Universal] itu menguntungkan;
  • petani yang diasistensi, di mana universal memberikan para petani di sebuah komunitas dengan satu pertanian model lewat “panduan dan informasi teknis yang sama” diberikan pada petani model, temasuk informasi dan pelatihan soal standar perburuhan, dan
  • pertanian korporasi, di mana Universal menyewa pertanian, membiayai petani, mengontrol operasi, menyediakan semua bahan dan menerapkan semua kebijakan serta praktik termasuk standar perburuhan, dan menggunakan semua produk tembakaunya. Petani bertanggungjawab pada produksi tembakau.[322]

Perusahaan membeli 20 hingga 30 persen dari semua total volume melalui empat metode itu termasuk kontrak langsung dengan petani, dan sisanya di pasar terbuka. Terkait uji tuntas hak asasi manusia, Universal melaksanakan standar perburuhan yang disyaratkan kliennya, termasuk peraturan ALP PMI dan program SRTP, dan menganggap bahwa ada “sedikit perbedaan dalam pendekatan antara program itu” tentang persyaratan buruh anak, keselamatan, dan kesehatan. Sebagaimana didiskusikan di atas, Universal mencatat bahwa tantangan pasar terbuka di Indonesia termasuk “kesulitan melakukan kontak langsung dengan petani, dan sejumlah besar pembeli lokal membeli tembakau dari perusahaan domestik tanpa program standar perburuhan.”

Upaya Lain untuk Mengurangi Buruh Anak

Beberapa perusahaan melaporkan upaya ekstra di Indonesia untuk mengurangi buruh anak. Misalnya PT AOI dan HM Sampoerna, bekerjasama dengan organisasi nonpemerintah Indonesia, pemerintah lokal, dan sekolah, mendukung program usai belajar di sekolah guna mengurangi waktu anak di pertanian. Program ini termasuk permainan, menari, bermusik, dan bercocok-tanam serta pendidikan soal keselamatan pertanian dan buruh anak.[323] PMI melaporkan 2.335 anak terdaftar dalam program ini pada 2015.[324] Alliance One melaporkan 1.200 anak berpartisipasi pada 2015.[325] PMI dan Alliance One juga menjelaskan soal program dukungan beasiswa untuk anak di masyarakat pedesaan.[326]

PMI and Alliance One juga menyatakan telah melakukan upaya mengurangi kebutuhan buruh di pertanian, termasuk dengan mengenalkan teknik berbeda untuk menyiapkan daun saat pengeringan: mereka mengatakan mereka memberikan petani jepitan logam yang bisa digunakan petani untuk menyatukan daun ke sebuah bilah atau cantolan untuk digantung saat pengeringan, ketimbang harus menyujen dengan bilah bambu runcing atau mengikatnya di gelantang tembakau, satu tugas berjam-jam yang butuh banyak orang dan seringnya dikerjakan anak-anak.[327]

Universal menyatakan bahwa pihaknya mendukung “berbagai program sekolah soal buruh anak yang mempromosikan pendidikan bagi anak dan memungkinkan untuk memonitor aktivitas anak di lapangan dan kehadiran anak di sekolah,” namun tidak mengelaborasi jumlah anak yang terlibat atau mekanismenya atas pelaksanaan program ini.[328]

Pada September 2015, Yayasan Penghapusan Buruh Anak di Perkebunan Tembakau (ECLT) menyetuji Rencana Negara Indonesia” untuk menganalisis pasar tembakau di Indonesia terkait buruh anak dan bahaya buruh anak serta memperluas keterlibatan berbagai pihak untuk mengurangi buruh anak.[329] Yayasan ECLT menyatakan bahwa pihaknya mengembangkan satu strategi tahapan kerja pertama berdurasi dua tahun di Indonesia (2016-2017), meliputi “dua elemen utama: (1) [a] survei pekerja anak di wilayah penanaman tembakau terpilih di Jawa Timur dan Lombok dengan keterlibatan para stakeholder utama, dan (2) membangun hubungan untuk sasaran peningkatan kesadaran dan mendukung upaya pemerintah lokal menghapus buruh anak di perkebunan tembakau dan pertanian secara umum.”[330]

Rekomendasi

Pemerintah Indonesia

  • Mengembangkan strategi komprehensif untuk menghapus bahaya pekerja anak di pertanian tembakau di Indonesia. Strategi ini meliputi:
    • Merevisi jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235 Tahun 2003, atau menetapkan aturan atau peraturan baru, untuk secara terbuka melarang anak-anak bekerja secara langsung menangani tembakau dalam bentuk apapun;
    • Menyelidiki dan memantau pekerja anak di pertanian tembakau skala kecil, termasuk melalui inspeksi mendadak beberapa kali setahun, dan berlokasi di tempat anak-anak paling sering melakukan pekerjaan;
    • Mengembangkan dan menerapkan pendidikan umum yang luas dan program pelatihan di masyarakat petani tembakau untuk mempromosikan kesadaran akan risiko kesehatan untuk anak yang bekerja di pertanian tembakau. Langkah paling minimal, memastikan program ini mencakup informasi tentang bahaya anak terpapar nikotin, pestisida, panas ekstrem, dan pekerjaan yang melibatkan aktivitas berulang selama berjam-jam dan pekerjaan manual yang berat; penyebab, tanda-tanda, dan gejala keracunan akut akibat nikotin (Green Tobacco Sickness); penanganan dan penyimpanan pestisida yang aman; metode untuk mencegah paparan pestisida dalam pekerjaan dan ketika pulang ke rumah; bagaimana mencegah dan mengatasi sakit akibat panas; dan kerentanan laten pada diri anak-anak. Bekerja dengan pemangku terkait untuk mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan, termasuk lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, perusahaan tembakau, kelompok tani, sekolah, para ahli kesehatan, fasilitas medis, dan lain-lain. Pastikan petugas kesehatan di masyarakat petani tembakau dilatih dan dilengkapi untuk menjangkau masyarakat dan pendidikan tentang topik ini;
    • Menginisiasi dialog yang serius dan konstruktif dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO), Badan PBB untuk anak-ank (UNICEF), aktor internasional lain, pemerintah daerah dan lokal, kelompok masyarakat sipil, perusahaan tembakau, pedagang tembakau, petani tembakau, dan pemangku kepentingan lain tentang penyebab pekerja anak di pertanian tembakau dan upaya menghapusnya secara progresif;
    • Mendukung program yang menyediakan pendidikan sesuai tingkatan usia dan kesempatan kerja bagi anak-anak di komunitas pertanian skala kecil sebagai alternatif kerja dari pertanian tembakau, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan dan berkontribusi untuk mata pencaharian keluarga tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan anak;
    • Bekerjasama dengan ILO, UNICEF, pemerintah daerah dan lokal, dan pemangku lain untuk memastikan tindak lanjut yang tepat untuk anak-anak yang putus sekolah atau bolos sekolah berhari-hari karena bekerja di pertanian tembakau, termasuk menawarkan program pembinaan bagi anak putus sekolah sebagai langkah transisi untuk kembali menjalani sistem pendidikan;
    • Memperluas kegiatan penelitian dan pengumpulan data di masyarakat-masyarakat petani tembakau skala kecil untuk menginformasikan kebijakan dan prosedur nasional, regional, dan lokal guna mengatasi pekerja anak di pertanian tembakau. Mengumpulkan data penting dan terkini mengenai jumlah anak yang terlibat dalam pekerjaan di pertanian tembakau secara nasional, dan dampak dari pekerjaan ini pada kesehatan, keselamatan, dan pendidikan.
  • Mengatur sistem pasar terbuka untuk pembelian dan penjualan tembakau dengan menekankan upaya menghapus pekerjaan berbahaya bagi anak di ladang tembakau. Dengan melibatkan petani, pedagang, perusahaan tembakau, dan pemangku kepentingan lain, pelan-pelan bentuklah satu sistem yang secara terbuka mewajibkan para pedagang di semua tahapan dari rantai pasokan memegang lisensi untuk membeli dan menjual tembakau di pasar terbuka. Memastikan bahwa pelatihan dan pendidikan tentang pekerja anak serta keselamatan dan kesehatan kerja menjadi komponen wajib dari program lisensi tersebut. Pastikan proses untuk mendapatkan lisensi ini dapat diakses bagi para pedagang kecil, termasuk yang beroperasi di masyarakat pedesaan dan paling terpencil.
  • Membuat persyaratan legal yang tegas berupa prosedur uji tuntas dari segi hak asasi manusia bagi semua perusahaan yang sumber tembakaunya dari Indonesia, dan mengawasi kepatuhan mereka. Menentukan komponen penting supaya prosedur uji tuntas hak asasi manusia ini berjalan efektif. (Dijelaskan terperinci dalam rekomendasi untuk perusahaan yang membeli tembakau dari Indonesia).
  • Menandatangani dan meratifikasi Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (WHO FCTC).

Semua Perusahaan yang Membeli Tembakau dari Indonesia

  • Bentuk atau perkuat prosedur uji tuntas dari segi hak asasi manusia dengan perhatian khusus menghapus pekerja anak di rantai pasokan. Terutama:
    • Mengadopsi atau merevisi kebijakan hak asasi manusia secara global yang melarang mempekerjakan anak di segala tempat dalam rantai pasokan.[331] Kebijakan ini menetapkan bahwa pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun harus dilarang, termasuk setiap pekerjaan yang menuntut anak-anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun. Konsisten dengan konvensi ILO, kebijakan ini harus secara terbuka melarang pekerjaan bagi anak di bawah usia 15 tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan oleh anak-anak usia 13-15 tahun, atau usia minimum yang berlaku menurut undang-undang, yang memberi perlindungan mumpuni. Kebijakan ini harus mencakup pasal-pasal khusus mengenai hak-hak buruh serta keselamatan dan kesehatan kerja. Menetapkan kebijakan hak asasi manusia berlaku di seluruh rantai pasokan di seluruh Indonesia, terlepas dari peraturan daerah yang memberi perlindungan lebih lunak;
    • Memastikan semua kontrak dan perjanjian bisnis dengan pemasok dari berbagai tipe termasuk persyaratan khusus untuk menghormati kebijakan hak asasi manusia, termasuk larangan pekerja anak; mengharuskan pemasok menerapkan kebijakan dengan pedagang dan perantara lain dari siapa mereka membeli tembakau, serta dengan petani yang jadi perantara membeli tembakau;
    • Mewajibakn pemasok menyediakan kelengkapan dokumentasi lacak balak (chain of custody) untuk semua pembelian tembakau, sehingga tembakau dapat dilacak ke sumber pertanian tempatnya dibudidayakan. Jika dokumentasi ini tak tersedia, tembakau tidak harus dibeli;
    • Secara teratur menyebarkan informasi dan memberikan pelatihan dan pendidikan kepada pemasok yang sudah dikenal atau yang ingin jadi pemasok di semua tingkatan rantai pasokan, selaras dengan kebijakan hak asasi manusia perusahaan dan penerapannya. Bahan dan pelatihan harus dalam bahasa dan format yang dipahami oleh target khalayak, ditulis secara komprehensif dan gamblang.
    • Buat sebuah proses untuk memastikan ganti rugi saat masalah hak asasi manusia teridentifikasi. Menetapkan dan menegakkan hukuman bagi para pemasok yang melanggar kebijakan hak asasi manusia perusahaan. Hukuman harus cukup berat dan konsisten diterapkan sehingga punya efek jera. Menghentikan bisnis dengan pemasok yang berulang kali melanggar kebijakan perusahaan melarang pekerja anak;
    • Terus terlibat dalam inisiatif kolaboratif untuk mengatasi bahaya buruh anak dalam rantai pasokan yang besar dan kompleks di Indonesia, termasuk melalui pelatihan, pendidikan, promosi metode alternatif untuk membantu mengikis pekerja anak, dan kegiatan lain. Inisiatif ini merupakan pelengkap, bukan pengganti, dari implementasi kebijakan uji tuntas hak asasi manusia dalam rantai pasokan perusahaan. Berupaya untuk berkolaborasi, sesuai kebutuhan, dengan perusahaan tembakau nasional dan multinasional, kementerian dan pemerintah daerah terkait, gerakan buruh, lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional, kelompok tani, dan lain-lain;
    • Melakukan pemantauan rutin dan ketat dalam rantai pasokan terkait pekerja anak dan risiko hak asasi manusia lain, termasuk melalui inspeksi mendadak beberapa kali setahun di lokasi-lokasi tempat anak-anak paling sering melakukan pekerjaan. Libatkan pengawas berpengalaman dan berkualitas yang fasih dalam lingkungan bahasa pekerja setempat, dan dilatih tentang buruh anak, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak-hak buruh. Termasuk wawancara rahasia dan pribadi dengan para buruh, serta petani, sebagai komponen inspeksi. Mendedikasikan sumber daya keuangan dan staf yang cukup untuk melakukan pemantauan yang efektif;
    • Melibatkan pihak yang punya kepakaran dalam bidang hak asasi manusia dan pekerja anak untuk melakukan pemantauan pihak ketiga secara reguler dalam rantai pasokan, termasuk melalui inspeksi mendadak beberapa kali dalam setahun di lokasi-lokasi tempat anak-anak paling sering melakukan pekerjaan. Pastikan jumlah pemantau memadai untuk melakukan pengawasan rutin terhadap semua pemasok di seluruh Indonesia;
    • Mempublikasikan informasi terperinci tentang pengawasan internal dan eksternal pada waktu yang tepat. Pelaporan publik yang kredibel harus mencakup unsur-unsur seperti kerangka acuan pengawasan, metodologi, indikator yang dipakai dalam evaluasi, hasil terperinci, dan elemen lain—penerbitannya dalam bentuk dan frekuensi yang selaras dengan pedoman transparansi dan akuntabilitas dalam Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia;
  • Secara aktif mendukung inisiatif mengatasi bahaya pekerja anak di pertanian tembakau, termasuk melalui kerjasama sunguh-sungguh dengan pihak nasional, regional, dan pemerintah lokal, ILO, UNICEF, aktor internasional lain, kelompok masyarakat sipil, pedagang tembakau, petani tembakau, dan pemangku kepentingan lain, dalam rangka:
    • Mengatasi penyebab bahaya pekerja anak di pertanian tembakau;
    • Menyediakan pendidikan sesuai tingkatan usia dan kesempatan kerja bagi anak di komunitas pertanian tembakau sebagai alternatif kerja dari pertanian tembakau, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan dan berkontribusi untuk mata pencaharian keluarga tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan anak;
    • Memastikan akses pendidikan bagi anak di komunitas pertanian tembakau;
    • Meningkatkan upaya untuk menyediakan pendidikan dan pelatihan untuk mempromosikan kesadaran tentang risiko kesehatan bagi anak yang bekerja di pertanian tembakau, seperti diuraikan di atas;
  • Terlibat secara serius dalam setiap inisiatif multi-stakeholder terkait, termasuk dengan tujuan mendukung upaya industri tembakau mempromosikan penghapusan pekerja anak dalam rantai pasokan tembakau, pengawasan yang efektif dari kebijakan ini, dan inisiatif untuk mendukung pekerjaan, pendidikan, dan kesempatan rekreasi alternatif bagi anak-anak di masyarakat yang mengandalkan pertanian tembakau.

 

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI)

  • erkomitmen terbuka untuk menghapus secara progresif pekerja anak di pertanian tembakau. Mengembangkan dan bikin kebijakan publik yang gamblang menolak pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun di peternakan tembakau, termasuk pekerjaan yang melibatkan anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun.
  • Mendesak perusahaan anggota untuk menerapkan kebijakan independen melarang pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun di pertanian tembakau dalam rantai pasokannya, termasuk pekerjaan yang melibatkan anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun.
  • Mendukung inisiatif pemerintah dan industri tembakau untuk mempromosikan kesadaran akan bahaya kesehatan kerja di pertanian tembakau, terutama dampak kesehatan pada anak-anak.
  • Terlibat secara serius dalam setiap inisiatif multi-stakeholder terkait, termasuk dengan tujuan mendukung upaya industri tembakau mempromosikan penghapusan pekerja anak dalam rantai pasokan tembakau, pengawasan yang efektif dari kebijakan ini, dan inisiatif untuk mendukung pekerjaan, pendidikan, dan kesempatan rekreasi alternatif bagi anak-anak di masyarakat yang mengandalkan pertanian tembakau.

Pedagang Tembakau

  • Mengujungi pertanian dan masyarakat dari mana tembakau dibeli untuk memantau kondisi pertanian dan mengumpulkan informasi tentang pekerja anak.
  • Mengedukasi pemasok tentang risiko kesehatan bagi anak-anak bekerja di pertanian tembakau dan larangan soal pekerja anak, serta mendukung inisiatif pemerintah dan industri tembakau untuk mengedukasi petani.
  • Tidak membeli tembakau dari pemasok yang menggunakan pekerja anak hingga praktik itu dihentikan.
  • Menjaga kelengkapan dokumentasi lacak balak bagi semua pembelian tembakau, sehingga tembakau dapat dilacak ke sumber pertanian tempatnya dibudidayakan.

Kelompok Petani Tembakau

  • Berkomitmen terbuka untuk menghapus secara progresif pekerja anak di pertanian tembakau. Mengembangkan dan bikin kebijakan publik yang gamblang menolak pekerjaan berbahaya bagi anak di bawah umur 18 tahun di peternakan tembakau, termasuk pekerjaan yang melibatkan anak berkontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun.
  • Terlibat secara serius dalam setiap inisiatif pemerintah, industri, dan multi-stakeholder terkait untuk bekerja mengakhiri pekerjaan berbahaya bagi anak di pertanian tembakau, termasuk pendidikan soal bahaya kesehatan kerja di ladang tembakau terutama sekali dampak kesehatan pada anak-anak.
  • Mengedukasi petani anggota tentang risiko kesehatan anak bekerja di pertanian tembakau dan larangan pada pekerja anak.

Organisasi Buruh Internasional

  • Segera mengembangkan panduan yang gamblang dan mudah diterapkan mengenai bahaya pertanian tembakau bagi anak. Mendesak negara dan perusahaan untuk melarang semua anak di bawah umur 18 tahun dari pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan tembakau dalam bentuk apapun.
  • Berkonsultasi secara sungguh-sungguh dengan negara seperti Brasil soal larangan bagi anak di bawah umur 18 tahun bekerja di pertanian tembakau. Mengumpulkan informasi tentang perkembangan dan implementasi dari larangan ini termasuk penegakan hukum oleh pemerintah, kebutuhan industri, serta program pendidikan dan pelatihan.
  • Menyediakan sekumpulan ahli dari berbagai latarbelakang untuk berkontribusi secara bermanfaat dalam proses tripartit tentang bahaya pekerja anak serta keselamatan dan kesehatan kerja di pertanian tembakau.

Penghargaan

Laporan ini diteliti oleh Margareth Wurth, peneliti Divisi Hak Anak, Jane Buchanan, direktur rekanan di Divisi Hak Anak, dan Jo Becker, direktur advokasi Divisi Hak Anak dari Human Rights Watch. Laporan ini ditulis oleh Margareth Wurth dan Jane Buchanan, dan disunting oleh Jo Becker.

Joseph Amon, mantan direktur Divisi HAM dan Kesehatan; Arvind Ganesan, direktur Divisi Bisnis dan HAM; Andreas Harsono, peneliti senior di Divisi Asia; dan Phelim Kine, wakil direktur dari Divisi Asia mengulas dan memberi komentar untuk laporan ini. Chris Albin-Lackey, penasihat hukum senior, memberikan tinjauan hukum, dan Joseph Saunders, wakil direktur program, menyediakan tinjauan program.

Desain dan asisten produksi oleh Susan Raqib, rekanan di Divisi Hak Anak; Helen Griffiths, rekanan di Divisi Hak Anak; Olivia Hunter, rekanan foto dan publikasi; Fitzroy Hepkins, manajer administratif; dan Jose Martinez, kordinator adminitrasi senior.

Human Rights Watch mengucapkan terima kasih kepada Esti Wahyuni Haerudin bersama Yayasan Pantau; Filla Ika Negara; Akhmad Jayadi, dosen di Universitas Airlangga di Surabaya; Muhlis, S.Sy; Dr. Priyo Adi Nugroho, Koordinator Aliansi Total Ban Jawa Timur; Geni Achnas; Maria Rika Suwardi; dan Nugroho Agung Prabowo, Bustanul Arifin, dan Deni Indra Prasetya bersama Pusat Pengendalian Dampak Tembakau Muhammadyah, atas dukungan tak ternilai bagi penelitian dan advokasi kami.

Yang paling penting, kami mengucapkan terima kasih mendalam kepada pekerja anak dan pekerja dewasa di pertanian tembakau yang bermurah hati telah berbagi cerita bersama kami.

 

[1] Ayu adalah nama samaran sebagaimana nama semua anak yang dikutip dalam laporan ini.

[2] Divisi Statistik Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAOSTAT), “Food and Agricultural Commodities Production/Countries by Commodity,” 2013, http://faostat3.fao.org/browse/rankings/countries_by_commodity/E (diakses 15 Desember 2015). Volume tembakau yang diproduksi di Indonesia belakangan mengalami fluktuasi. Menurut data yang diberikan kepada Human Rights Watch oleh Kementerian Pertanian Indonesia, Indonesia memproduksi 202.292 ton tembakau pada 2014, 173.378 ton (2013), dan 266.994 ton (2012). Email dari Kementerian Pertanian kepada Human Rights Watch, 19 Oktober 2015.

[3] Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Indonesia, “Data Statistik Hasil Perkebunan Indonesia,” Desember 2014, http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/TEMBAKAU%202013%20-2015.pdf (diakses 16 Desember 2015), hlm. 29-33.

[4] Indonesia mengekspor 41.765 ton tembakau pada 2013. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor 121.218 ton tembakau senilai lebih dari 627 juta dolar. Ibid., hlm. 4.

[5] Ibid., hlm. 5.

[6] Ibid., hlm. 1.

[7] Ibid. “Petani ladang kecil” tidak didefinisikan di laporan Kementerian Pertanian, tapi satu studi Bank Dunia tahun 2005 menemukan banyak petani di Jawa Tengah mengolah lahan antara 0,25 dan 0.5 hektare. Lihat John C. Keyser dan Nila Ratna Juita, “Smallholder Tobacco Growing in Indonesia: Costs and Profitability Compared with Other Agricultural Enterprises,” World Bank Human Development Network Discussion Paper, Februari 2005, http://siteresources.worldbank.org/HEALTHNUTRITIONANDPOPULATION/Resources/281627-1095698140167/KeyserINDTobaccoGrowingFinal.pdf (diakses 16 Desember 2015), hlm. 5.

[8] Bank Dunia, Data Bank Dunia “World Development Indicators: Indonesia, Employment in Agriculture (% of Total Employment),” 2014, http://databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&Topic=1 (diakses 22 Januari 2016).

[9] Email dari Kementerian Pertanian Indonesia kepada Human Rights Watch, 19 Oktober 2015, hlm. 2.

[10] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), “WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2015: Country Profile, Indonesia,” 2015, http://www.who.int/tobacco/surveillance/policy/country_profile/idn.pdf (diakses 22 Januari 2016).

[11] Hans Nicholas Jong, “Child Smoker Rate Alarming: KNPT,” The Jakarta Post, 19 Maret 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/19/child-smoker-rate-alarming-knpt.html (diakses 28 Januari 2015).

[12] WHO, “WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2015: Country Profile, Indonesia,” 2015.

[13] Jong, “Child Smoker Rate Alarming: KNPT,” The Jakarta Post.

[14] WHO, Tobacco Free Initiative, “Frequently Asked Questions About Secondhand Smoke,” tanpa tanggal, http://www.who.int/tobacco/research/secondhand_smoke/faq/en/ (diakses 4 Januari 2016).

[15] Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), “Health Effects of Secondhand Smoke,” 2014, http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_sheets/secondhand_smoke/health_effects (diakses 4 Februari 2016).

[16] WHO, “Parties to the WHO Framework Convention on Tobacco Control,” terbaru 2015, http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/ (diakses 4 Februari 2016). Konvensi ini memiliki 180 kelompok pendukung pada 3 Januari 2016. Ibid.

[17] WHO, Konvensi Pengendalian Tembakau, diadopsi 19-28 Mei 2003, berlaku 27 Februari 2005.

[18] WHO, “WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2015: Country Profile, Indonesia,” 2015.

[19] WHO, “Global Youth Tobacco Survey 2014 Factsheet: Indonesia,” 27 April 2015, http://www.searo.who.int/tobacco/data/ino_gyts_fs_2014.pdf (diakses 4 Februari 2016).

[20] Krishna Palipudi, Lazarous Mbulo, Soewarte Kosen, et al., “A Cross Sectional Study of Kretek Smoking in Indonesia as a Major Risk to Public Health,” Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, vol. 16 (2015), hlm.6883-6888.

[21] WHO, “Tobacco: Fact sheet No. 339,” Juli 2015, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/ (diakses 7 April 2016).

[22] Kantor Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk Indonesia dan Timor-Leste, “Child Labour in Plantation,” tanpa tanggal, http://www.ilo.org/jakarta/areasofwork/WCMS_126206/lang--en/index.htm (diakses 4 Januari 2016).

[23] Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (DOL), Biro Hubungan Buruh Internasional, Bagian Pekerja Anak, Buruh Paksa, dan Perdagangan Manusia, “2014 Findings on the Worst Forms of Child Labor: Indonesia,” 30 September 2015, http://www.dol.gov/ilab/reports/child-labor/findings/2014TDA/indonesia.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 1.

[24] Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Mudji Handaja, Dirjen pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Jakarta, 2 September 2015.

[25] Kantor ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, “Child Labour in Plantation.”

[26] Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Mudji Handaja, 2 September 2015; Surat dari Kementerian Pertanian kepada Human Rights Watch, 19 Oktober 19 2015, hlm. 2.

[27] Penelitian ILO tahun 2007 di Jember, Jawa Timur, menemukan 56 dari 100 pekerja anak yang diwawancarai mulai bekerja sebelum usia 15 tahun. ILO, “Child Labour on Tobacco Plantations in Jember District,” 30 Desember 2007, http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_116537.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 9. Sebuah studi tahun 2013 soal pekerja anak di perkebunan tembakau oleh Aliansi Pengawas Tembakau Asia Tenggara juga menyimpulkan anak-anak yang bekerja di Probolinggo dan Sampang, Jawa Timur, “memasuki dunia kerja sebelum usia 15 tahun, dan beberapa bahkan sebelum 13 tahun.” Aliansi Pengawas Tembakau Asia Tenggara, “Child Labour in Tobacco Cultivation in the ASEAN Region,” Juni 2013, http://seatca.org/dmdocuments/ChildLabor%20Final%202013.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 13.

[28] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Usia Minimun untuk Diperbolehkan Bekerja, berlaku 7 Mei 1999, http://fisipku.tripod.com/ipec/uuno20.htm (diakses 19 Januari 2016).

[29] Hanya 98 dari 132 anak yang diwawancarai untuk laporan ini yang bisa memperkirakan usia mereka saat pertama kali bekerja di perkebunan tembakau. Data yang dilaporkan di sini mencerminkan tanggapan 98 anak tersebut.

[30] Tak satu pun anak-anak yang diwawancarai Human Rights Watch yang hanya melakukan salah satu tugas tersebut, tapi sebagian besar anak melakukan beberapa tugas.

[31] Wawancara Human Rights Watch dengan Budi, 16, dan Agus, 17, Magelang, Jawa Tengah, 16 September 2014.

[32] Wawancara Human Rights Watch dengan Awan, 15, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[33] Wawancara Human Rights Watch dengan Kristina, 17, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[34] Wawancara Human Rights Watch dengan Matius, 17, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[35] Lihat misalnya, wawancara Human Rights Watch dengan Muthia, 11, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014, yang mengatakan dia menerima Rp10 ribu untuk dua jam kerja dan Rp20 ribu untuk empat jam kerja membundel daun tembakau; wawancara Human Rights Watch dengan Natalia, 13, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 28 Agustus 2015, mengatakan menerima Rp20 ribu untuk memanen tembakau dari pkl 14:00-17:30; wawancara Human Rights Watch dengan Ariana, 15, Sampang, Jawa Timur, 11 September 2014, mengatakan menerima Rp10 ribu untuk membundel tembakau dari pkl 06:00-12:00.

[36] Misalnya, wawanacra Human Rights Watch dengan Musa, 16, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015, mengatakan menerima Rp20 ribu untuk memanen tembakau dari pkl 06:30-16:30; wawancara Human Rights Watch dengan Hitu, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015, mengatakan menerima Rp50 ribu untuk memanen tembakau dari pkl 06:00-12:00; wawancara Human Rights Watch dengan Catur, 15, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015, mengatakan meneriman Rp30 ribu untuk bekerja dari pkl 07:00-17:00; wawancara Human Rights Watch dengan Pila, 15, Garut, Jawa Barat, 2 Juni 2015, mengatakan menerima Rp35 ribu untuk memanen tembakau dari pkl 07:00-17:00.

[37] Misalnya wawancara Human Rights Watch dengan Ijo, petani, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015, mengatakan laki-laki menerima Rp40 ribu/hari dan perempuan menerima Rp30 ribu/hari; wawancara Human Rights Watch dengan Hakan, petani, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015, yang mengatakan menerima Rp30 ribu untuk setengah hari kerja, dan perempuan menerima Rp25 ribu untuk setengah hari kerja; wawancara Human Rights Watch dengan Safi, petani, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 29 Agustus 2015, yang mengatakan laki-laki menerima Rp50 ribu/hari dan perempuan menerima Rp40 ribu/hari.

[38] Misalnya, wawancara Human Rights Watch dengan Marta, 11, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 28 Agustus 2015, yang mengatakan menerima Rp12 ribu untuk 3 jam kerja; wawancara Human Rights Watch dengan Sella, 12, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 30 Agustus 2015, yang mengatakan menerima Rp30 ribu untuk 8 jam kerja; wawancara Human Rights Watch dengan Safiya, 15, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015, yang mengatakan menerima Rp10 ribu untuk 5 jam kerja.

[39] Bank Dunia, World DataBank “World Development Indicators: Indonesia, Rural Poverty Headcount Ratio at National Poverty Lines (% of Rural Population),” 2014, http://databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&Topic=1 (diakses 22 Januari 2016); World Bank, World DataBank “World Development Indicators: Indonesia, Urban Poverty Headcount Ratio at National Poverty Lines (% of Urban Population),” 2014, http://databank.worldbank.org/data/reports.aspx?source=2&Topic=1 (diakses 22 Januari 2016).

[40] ILO International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC), “Child Labour in Agriculture,” undated, http://www.ilo.org/ipec/areas/Agriculture/lang--en/index.htm (diakses 6 Januari 2016).

[41] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang petani, Temanggung, Jawa Tengah, 14 September 2014.

[42] Wawancara Human Rights Watch dengan Ratih, 11, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[43] Wawancara Human Rights Watch dengan Ana, 48, petani, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[44] Wawancara Human Rights Watch dengan Ijo, petani, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[45] Wawancara Human Rights Watch dengan Sinta, 13, Norul, 13, dan Sari, 14, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[46] Wawancara Human Rights Watch dengan Utari, 13, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[47] Program Penghapusan Pekerja Anak ILO (IPEC), “Child Labour in Agriculture.”

[48] Wawancara Human Rights Watch dengan Hanif, 45, petani, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[49] Wawancara Human Rights Watch dengan Maya, 44, petani, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[50] Konvensi ILO tentang Larangan dan Aksi Cepat Tanggap untuk Manghapus Bentuk Kerja Terburuk bagi Anak-anak (Konvensi Bentuk Kerja Terburuk untuk Buruh Anak), diadopsi 17 Juni 1999, 38 I.L.M 1207 (berlaku 19 November 2000), diratifikasi oleh Amerika Serikat pada 2 Desember 1999, pasal 3.

[51] Program Internasional Penghapusan Buruh Anak ILO (IPEC), “Child Labour in Agriculture.” Menurut ILO, tambang dan konstruksi merupakan dua sektor paling berbahaya. ILO, “Agriculture: A Hazardous Work,” taka da tanggal, http://www.ilo.org/safework/areasofwork/hazardous-work/WCMS_110188/lang--en/index.htm (diakses 19 April 2016).

[52] Human Rights Watch, Teens of the Tobacco Fields: Child Labor in United States Tobacco Farming, December 2015, https://www.hrw.org/report/2015/12/09/teens-tobacco-fields/child-labor-united-states-tobacco-farming Human Rights Watch, Tobacco’s Hidden Children: Hazardous Child Labor in United States Tobacco Farming, Mei 2014, https://www.hrw.org/report/2014/05/13/tobaccos-hidden-children/hazardous-child-labor-united-states-tobacco-farming.

[53] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Dr. Thomas Arcury, direktur, Pusat Kesehatan Buruh di Wake Forest School of Medicine, 24 Februari 2014.

[54] Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “High Levels of Transdermal Nicotine Exposure Produce Green Tobacco Sickness in Latino Farmworkers,” Nicotine & Tobacco Research, vol. 5 (2003).

[55] Variasi individu yang diharapkan berbasis pemakaian alat pelindung, musim, dan kontak dengan tembakau, luka lecet pada kulit, selain beberapa faktor lain. Natalie M. Schmitt, Jochen Schmitt, Dimitris J. Kouimintzis, dan Wilhelm Kirch, “Health Risks in Tobacco Farm Workers—A Review of the Literature,” Journal of Public Health, vol. 15, (2007), hlm. 255.

[56] Lihat, misalnya, Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, dan John S. Preisser, “Predictors of Incidence and Prevalence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers in North Carolina, USA,” Journal of Epidemiology and Community Health, vol.

55 (2001), hlm. 818; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “The Incidence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers,” Journal of Occupational and Environmental Medicine, vol. 43, no. 7 (2001), hlm. 601-602.; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “High Levels of Transdermal Nicotine Exposure Produce Green Tobacco Sickness in Latino Farmworkers,” Nicotine & Tobacco Research, hlm. 315.

[57] 67 dari 132 anak-anak yang diwawancarai melaporkan satu atau lebih gejala tersebut.

[58] Wawancara Human Rights Watch dengan Wani, 16 tahun, dan Nina, 18 tahun, Sampang, Jawa Timur, 12 September 2014.

[59] Wawancara Human Rights Watch dengan Aman, 18 tahun, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[60] Wawancara Human Rights Watch dengan Ayu, 13 tahun, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[61] Wawancara Human Rights Watch dengan Rio, 13 tahun, Ismaya, 13 tahun, Sugi, 14 tahun, dan Akmad, 14 tahun, Magelang, Jawa Tengah, 14 September 2014.

[62] Wawancara Human Rights Watch dengan Eddi, 16 tahun, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[63] Wawancara Human Rights Watch dengan Indirah, 15 tahun, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[64] Wawancara Human Rights Watch dengan Leah, 14 tahun, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[65] Wawancara Human Rights Watch dengan Maya, 44 tahun, petani, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[66] Wawancara Human Rights Watch dengan Nadia, 16 tahun, Flor, 13 tahun, dan Tanya, 10 tahun, Bondowoso, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[67] Wawancara Human Rights Watch dengan Yulia, 13 tahun, Murni, 11 tahun, dan Hani, 10 tahun, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[68] Wawancara Human Rights Watch dengan Riko, 15 tahun, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus 2015.

[69] Wawancara Human Rights Watch dengan Putria, 12 tahun, Mira, 14 tahun, dan Emilia, 12 tahun, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[70] Wawancara Human Rights Watch dengan William, 16 tahun, dan Hairul, 14 tahun, Sampang, Jawa Timur, 12 September 2014.

[71] Wawancara Human Rights Watch dengan Raden, 14 tahun, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[72] Wawancara Human Rights Watch dengan Feni, 13 tahun, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2014.

[73] Wawancara Human Rights Watch dengan Rexi, 15 tahun, Topan, 14 tahun, Riski, 12 tahun, dan Michael 15 tahun, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2014.

[74] Wawancara Human Rights Watch dengan Yulia, 13 tahun, Murni, 11 tahun dan Hani, 10 tahun, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[75] Wawancara Human Rights Watch dengan Diana, 11 tahun, dan Dewi, 11 tahun, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[76] Stephen H. Gehlbach, Wilton A. Williams, and J.I. Freeman, “Nicotine Absorption by Workers Harvesting Green Tobacco,” Lancet, vol. 305, no. 7905 (1975), hlm. 478-80.

[77] Wawancara Human Rights Watch dengan Dumadi, 12 tahun, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[78] Wawancara Human Rights Watch dengan Indirah, 15 tahun, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[79] Wawancara Human Rights Watch dengan David, 16 tahun, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[80] Wawancara Human Rights Watch dengan Farah, 10 tahun, Sampang, Jatim, 11 September 2014.

[81] Lihat misalnya, Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, dan John S. Preisser, “Predictors of Incidence and Prevalence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers in North Carolina, USA,” Journal of Epidemiology and Community Health, hlm. 818; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “The Incidence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers,” Journal of Occupational and Environmental Medicine, hlm. 601-602.; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “High levels of transdermal nicotine exposure produce green tobacco sickness in Latino farmworkers,” Nicotine & Tobacco Research, hlm. 315; Stephen H. Gehlbach, Wilton A. Williams, and J.I. Freeman, “Nicotine Absorption by Workers Harvesting Green Tobacco,” Lancet, hlm. 478-80.

[82] Ibid.

[83] Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “High levels of transdermal nicotine exposure produce green tobacco sickness in Latino farmworkers,” Nicotine & Tobacco Research, hlm. 315.

[84] Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “The Incidence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers,” Journal of Occupational and Environmental Medicine, hlm. 602.

[85] Robert H. McKnight and Henry A. Spiller, “Green Tobacco Sickness in Children and Adolescents,” Public Health Reports, vol. 120 (November-Desember 2005), hlm. 604.

[86] Natalia A. Goriounova and Huibert D. Mansvelder, “Short- and Long-Term Consequences of Nicotine Exposure during Adolescence for Prefrontal Cortex Neuronal Network Function,” Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, vol. 2, no. 12 (2012), hlm. 1-14; Jennifer B. Dwyer, Susan C. McQuown, and Frances M. Leslie, “The Dynamic Effects of Nicotine on the Developing Brain,” Pharmacology & Therapeutics, vol. 122, no. 2 (2009), hlm. 125-139; United States Department of Health and Human Services, Office of the Surgeon General, “The Health Consequences of Smoking—50 Years of Progress: A Report of the Surgeon General,” Atlanta: US Department of Health and Human Services, 2014, http://www.surgeongeneral.gov/library/reports/50-years-of-progress/50-years-of-progress-by-section.html (diakses 28 September 2015), hlm. 126.

[87] Jay N. Giedd, “Structural Magnetic Resonance Imaging of the Adolescent Brain,” Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1021 (2004), hlm. 77-85.

[88] Sara A. Quandt and Thomas A. Arcury, “Health Effects for Children of Working in Tobacco Production” (paper prepared for the Eliminating Child Labor in Tobacco Growing (ECLT) Foundation, July 2014), hlm. 1-2. Dokumen ada di Human Rights Watch.

[89] Wawancara Human Rights Watch dengan, 16 tahun, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[90] Wawancara Human Rights Watch dengan Argo, 15 tahun, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[91] Wawancara Human Rights Watch dengan Sartoro, 16 tahun, Probolinggo, Jatim, 20 Juni 2015.

[92] Wawancara Human Rights Watch dengan Sinta, 13 tahun, Norul, 13 tahun, dan Sari, 14 tahun, Magelang, Jawa tengah, 15 September 2015.

[93] Wawancara Human Rights Watch dengan Catur, 15 tahun, Magelang, Jawa tengah, 15 September 2015.

[94] Wawancara Human Rights Watch Rexi, 15, Topan, 14, Riski, 12, dan Michael, 15, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[95] Wawancara Human Rights Watch dengan Iggy, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[96] Wawancara Human Rights Watch dengan Seto, 14, Sampang, Jawa Timur, 11 September 2014.

[97] Wawancara Human Rights Watch dengan, 13, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[98] Wawancara Human Rights Watch dengan Leah, 14, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[99] Wawancara Human Rights Watch dengan Indirah, 14, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[100] Wawancara Human Rights Watch dengan Ramelan, 12, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[101] Untuk rincian risiko yang berhubungan dengan sebaran pestisida, lihat Thomas A. Arcury dan Sara A. Quandt, “Pesticide Exposure among Farmworkers and Their Families,” in Latino Farmworkers in the Eastern United States: Health, Safety, and Justice, eds. Thomas A. Arcury and Sara A. Quandt, (New York: Springer, 2009), hlm. 109.

[102] Wawancara Human Rights Watch dengan Ratih, 11, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[103] Wawancara Human Rights Watch dengan Rahmad, 10, dan Farhan, 14, Sampang, Jawa Timur, 25 Agustus 2015.

[104] Wawancara Human Rights Watch dengan Ade, 14, Magelang, Jawa tengah, 14 September 2014.

[105] Wawancara Human Rights Watch dengan Samuel, 15, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[106] Wawancara Human Rights Watch dengan Natalia, 13, Lombok Timur, NTB, 28 Agustus 2015.

[107] Untuk rincian deskripsi risiko yang berkaitan dengan hamburan pestisida, lihat Thomas A. Arcury dan Sara A. Quandt, “Pesticide Exposure among Farmworkers and Their Families,” dalam Latino Farmworkers in the Eastern United States: Health, Safety, and Justice, eds. Thomas A. Arcury dan Sara A. Quandt, hlm. 109.

[108] Sara A. Quandt dan Thomas A. Arcury, “Health Effects for Children of Working in Tobacco Production.”

[109] Leah A. McCauley, W. Kent Anger, Matthew Keifer, Rick Langley, Mark G. Robson, dan Diane Rohlman, “Studying Health Outcomes in Farmworker Populations Exposed to Pesticides,” Environmental Health Perspectives, vol. 114, no. 6 (2006), hlm. 953.

[110] Thomas A. Arcury dan Sara A. Quandt, “Pesticide Exposure among Farmworkers and Their Families,” dalam Latino Farmworkers in the Eastern United States: Health, Safety, and Justice, eds. Thomas A. Arcury and Sara A. Quandt, hlm. 106.

[111] Leah A. McCauley, W. Kent Anger, Matthew Keifer, Rick Langley, Mark G. Robson, and Diane Rohlman, “Studying Health Outcomes in Farmworker Populations Exposed to Pesticides,” Environmental Health Perspectives.

[112] Catherine Karr, “Children’s Environmental Health in Agricultural Settings,” Journal of Agromedicine, vol. 17, no. 2, (2012), hlm. 128.

[113] James R. Roberts and J. Routt Reigart, “Chapter 21: Chronic Effects” in Recognition and Management of Pesticide Poisonings, 6th ed., eds. James R. Roberts and J. Routt Reigart (Washington, DC: Environmental Protection Agency, 2013), http://www2.epa.gov/sites/production/files/documents/rmpp_6thed_ch21_chroniceffects.pdf (diakses 25 November 2015), hlm. 212-238.

[114] Catherine Lebel dan Christian Beaulieu, “Longitudinal Development of Human Brain Wiring Continues from Childhood into Adulthood,” Journal of Neuroscience, vol. 31, no. 30 (2011), pp. 10937–10947; Medline Plus, “Adolescent Development,” US National Library of Medicine, National Institutes of Health, diperbarui 27 Januari 2013, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002003.htm (diakses 28 September 2015).

[115] Wawancara Human Rights Watch dengan Sara Quandt dan Thomas Arcury, 24 Juli 2015.

[116] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Thomas Arcury, direktur, Pusat Kesehatan Pekerja di Wake Forest School of Medicine, 24 Februari 2014.

[117] Wawancara Human Rights Watch dengan Rina, 15, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[118] Wawancara Human Rights Watch dengan Dennys, 15, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015.

[119] Wawancara Human Rights Watch dengan Rara, 15, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015.

[120] Wawancara Human Rights Watch dengan Matius, 17, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[121] Wawancara Human Rights Watch dengan Daksa, 15, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[122] Wawancara Human Rights Watch dengan Rina, 15, Sumenep, East Java, 15 Juni 2015.

[123] Jeffrey R. Bytomski dan Deborah L. Squire, “Heat Illness in Children,” Current Sports Medicine Reports, vol. 2, no. 6 (2007), hlm. 320 (mencatat bahwa anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa terhadap penyakit akibat panas karena rasio permukaan tubuh yang lebih luas, rendahnya volume keringat, dan rendahnya kemempuan beradaptasi).

[124] Wawancara Human Rights Watch dengan Musa, 16, Garut, Jawa Barata, 11 Juni 2015.

[125] Wawanacara Human Rights Watch dengan Agustina, 16, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[126] Wawancara Human Rights Watch dengan Aini, 15, Sampang, Jawa Timur, 17 Juni 2015.

[127] Wawancara Human Rights Watch dengan Suci, 14, Sampang, Jawa Timur, 17 Juni 2015.

[128] Wawancara Human Rights Watch dengan William, 16, dan Hairul, 14, Sampang, Jawa Timur, 12 September 2014.

[129] Maria C. Mirabelli, Jane A. Hoppin, Arjun B. Chatterjee, et al., “Job Activities and Respiratory Symptoms among Farmworkers in North Carolina,” Archives of Environmental and Occupational Health, vol. 66, no. 3 (2011), hlm. 178, 180.

[130] E.E. Osim, C.T. Musabayane, dan J. Mufunda, “Lung Function of Zimbabwean Farm Workers Exposed to Flue Curing and Stacking of Tobacco Leaves, South African Medical Journal, vol. 88, no. 9 (1998), hlm. 1127-1131; S.K. Ghosh, J.R. Parikh, V.N. Gokani, M.N. Rao, S.K. Kashyap, and S.K. Chatterjee, “Studies on Occupational Health Problems in Agricultural Tobacco Workers,” Occupational Medicine, vol. 30, no. 3 (1980), hlm. 113-117.

[131] Wawancara Human Rights Watch dengan Rusanti, 16, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[132] Wawancara Human Rights Watch dengan Paul, 17, Temanggung, Jawa Tengah, 14 September 2014.

[133] Wawancara Human Rights Watch dengan Argo, 15, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[134] Wawancara Human Rights Watch dengan Seto, 14, Sampang, Jawa Timur, 11 September 2014.

[135] Wawancara Human Rights Watch dengan Yulia, 13, Murni, 11, dan Hani, 10, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[136] Wawancara Human Rights Watch dengan Diana, 11, dan Dewi, 11, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[137] Wawancara Human Rights Watch dengan Yuda, 15, Lombok Timur, NTB, 19 September 19, 2014.

[138] Wawancara Human Rights Watch dengan Joandi, 12, Probolinggo, Jatim, 10 September 2014.

[139] Wawancara Human Rights Watch dengan Dumadi, 12, Garut, Jawa Barat, 11 June 2015.

[140] Wawancara Human Rights Watch dengan Puja, 12, Mira, 14, dan Emilia, 12, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[141] Wawancara Human Rights Watch dengan Leah, 14, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[142] Wawancara Human Rights Watch dengan Arto, 8, Mandal, 9, dan Lara, 8, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[143] Wawancara Human Rights Watch dengan Hawa, 16, Sampang, Jawa Timur, 11 September 2014.

[144] Wawancara Human Rights Watch dengan Utama, 17, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[145] Wawancara Human Rights Watch dengan Agung, 9, Lombok Timur, NTB, 19 September 2014.

[146] Wawancara Human Rights Watch dengan Utari, 13, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[147] Wawancara Human Rights Watch dengan Rio, 13, Ismaya, 13, Sugi, 14, dan Akmad, 14, Magelang, Jawa Tengah, 14 September 2014.

[148] Wawancara Human Rights Watch dengan Rio, 13, Ismaya, 13, Sugi, 14, dan Akmad, 14, Magelang, Jawa Tengah, 14 September 2014.

[149] Lihat misalnya, Thomas A. Arcury et al., “Diagnosed Skin Diseases among Migrant Farmworkers in North Carolina: Prevalence and Risk Factors,” Journal of Agricultural Safety and Health, vol. 13, no. 4 (2007), hlm. 407-418 (temuan 57% prevalensi yang merangsang penyakit kulit dalam sampel 304 buruh tani di bagian timur Carolina Utara). Lihat juga John J. May, “Occupational Injury and Illness in Farmworkers in the Eastern United States,” Latino Farmworkers in the Eastern United States: Health, Safety, and Justice, eds. Thomas A. Arcury dan Sara A. Quandt, hlm. 80-81.

[150] Nina F. Abraham, Steven R. Feldman, et al., “Contact Dermatitis in Tobacco Farmworkers,” Contact Dermatitis, vol. 57, no. 1 (2007), hlm. 40-43. Lihat juga, Thomas A. Arcury, Quirina M. Vallejos, Mark R. Schulz, Steven R. Feldman, Alan B. Fleischer Jr., Amit Verma, and Sara A. Quandt, “Green Tobacco Sickness and Skin Integrity Among Migrant Latino Farmworkers,” American Journal of Industrial Medicine, vol. 51, no. 3 (2008), hlm. 198.

[151] Wawancara Human Rights Watch dengan Arto, 8, Mandal, 9, dan Lara, 8, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[152] Wawancara Human Rights Watch dengan Budi, 16, dan Agus, 17, Magelang, Jawa Tengah, 16 September 2015.

[153] Wawancara Human Rights Watch dengan Angga, 14, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015.

[154] Wawancara Human Rights Watch dengan Budi, 16, and Agus, 17, Magelang, Jawa Tengah, 16 September 2015.

[155] Wawancara Human Rights Watch dengan Henry, 16, Sampang, Jawa Timur, 17 Junii 2015.

[156] Wawancara Human Rights Watch dengan Eddi, 16, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[157] Wawancara Human Rights Watch dengan Guntur, 15, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015.

[158] Wawancara Human Rights Watch dengan Labuh, 15, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[159] Wawancara Human Rights Watch dengan Ratih, 11, Jember, Jawa Timur, 19 Juni 2015.

[160] Wawancara Human Rights Watch dengan Omar, 19, petani, Lombok Timur, NTB, 30 Agutsus 2015.

[161] Wawancara Human Rights Watch dengan Riko, 15, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus 2015.

[162] Wawancara Human Rights Watch dengan Andre, 14, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus, 2015.

[163] Wawancara Human Rights Watch dengan Yulia, 13, Murni, 11 dan Hani, 10, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[164] Wawancara Human Rights Watch dengan Diana, 11, dan Dewi, 11, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[165] Wawancara Human Rights Watch dengan Muthia, 11, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[166] Wawancara Human Rights Watch dengan Utari, 13, Probolinggo, Jawa Timur, 9 September 2014.

[167] Wawancara Human Rights Watch dengan Samuel, 15, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[168] Wawancara Human Rights Watch dengan Sharon, 14, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[169] Wawancara Human Rights Watch dengan Wani, 16, dan Nina, 18, Sampang, Jawa Timur, 12 September 2014.

[170] Wawancara Human Rights Watch dengan Sinta, 13, Norul, 13, dan Sari, 14, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[171] Wawancara Human Rights Watch dengan Joandi, 12, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[172] Wawancara Human Rights Watch dengan Sella, 12, Lombok Timur, NTB, 30 Agutsus 2015.

[173] Wawancara Human Rights Watch dengan Rusanti, 16, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[174] Wawancara Human Rights Watch dengan Aini, 15, Sampang, Jawa Timur, 17 Juni 2015.

[175] Wawancara Human Rights Watch dengan Natalia, 13, Lombok Timur, NTB, 28 Agustus 2015.

[176] Wawancara Human Rights Watch dengan Musa, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[177] Wawancara Human Rights Watch dengan Vanessa, 14, Sampang, Jawa Timur, 12 September 2014.

[178] Wawancara Human Rights Watch dengan Guntur, 15, Jember, Jawa Timur, 18 Juni 2015.

[179] Wawancara Human Rights Watch dengan Budi, 16, dan Agus, 17, Magelang, Jawa Tengah, 16 September 2015.

[180] Wawancara Human Rights Watch dengan Randi, 17, Lombok Timur, NTB, 28 Agustus, 2015.

[181] Wawancara Human Rights Watch dengan Riko, 15, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus 2015.

[182] Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Insitut Nasional untuk keselamatan dan kesehatan Amerika Serikat, “Musculoskeletal Disorders,” 10 Juni 2015, http://www.cdc.gov/niosh/programs/msd/ (diakses 8 Januari 2016).

[183] Organisasi Buruh Internasional, “Safety and Health in Agriculture,” Report VI (1), sesi ke -88, 30 Mei - 15 Juni 2000, http://www.ilo.org/public/english/standards/relm/ilc/ilc88/rep-vi-1.htm#Occupational and work-related diseases (diakses 8 Januari 2016).

[184] Fadi A. Fathallah, “Musculoskeletal Disorders in Labor-Intensive Agriculture,” Applied Ergonomics, vol. 41, no. 6 (2010), hlm. 738.

[185] Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan (NIOSH), “NIOSH Alert: Preventing Deaths, Injuries and Illnesses of Young Workers,” no. 2003-128, Juli 2003, http://www.cdc.gov/niosh/docs/2003-128/pdfs/2003128.PDF (diakses 11 April 2016), hlm. 1-2.

[186] Kermit G. Davis dan Susan E. Kotowski, “Understanding the Ergonomic Risk for Musculoskeletal Disorders in the United States Agricultural Sector,” American Journal of Industrial Medicine, vol. 50 (2007), hlm. 501-511.

[187] Wawancara Human Rights Watch dengan Hawa, 16, Sampang, Jawa Timur, 11 September 2014.

[188] Wawancara Human Rights Watch dengan Budi, 16, dan Agus, 17, Magelang, Jawa Tengah, 16 September 2015.

[189] Wawancara Human Rights Watch dengan Peni, 13, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[190] Wawancara Human Rights Watch dengan Leah, 14, Garut, Jawa Barat, 12 Juni 2015.

[191] Wawancara Human Rights Watch dengan Yulia, 13, Murni, 11 and Hani, 10, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[192] Wawancara Human Rights Watch dengan Paul, 17, Temanggung, Jawa Tengah 14 September 2014.

[193] Wawancara Human Rights Watch dengan Irene, 15, Pamekasan, Jawa Timur 16 Juni 2015.

[194] United Nations Children’s Fund’s (UNICEF) Indonesia, “Children in Indonesia: The School Years,” tak bertanggal, http://www.unicef.org/indonesia/children_2833.html (diakses 25 Januari 2016).

[195] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Institute for Statistics, “Country Profiles: Indonesia,” 2014, http://www.uis.unesco.org/DataCentre/Pages/country-profile.aspx?code=IDN (diakses 25 Januari 2016).

[196] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 6 dan 34.

[197] Wawancara Human Rights Watch dengan Utama, 17, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[198] Wawancara Human Rights Watch dengan Sinta, 13, Norul, 13, and Sari, 14, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[199] Wawancara Human Rights Watch dengan Andre, 14, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus 2015.

[200] Wawancara Human Rights Watch dengan Raden, 14, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[201] Wawancara Human Rights Watch dengan Rojo, 11, Sampang, Jawa Timur, 17 Juni 2015.

[202] Wawancara Human Rights Watch dengan Dumadi, 12, Garut, Jawa Barat 11 Juni 2015.

[203] Wawancara Human Rights Watch dengan Awan, 15, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[204] Wawancara Human Rights Watch dengan Musa, 16, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[205] Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Aksi Tanggap mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Konvensi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak), diadopsi 17 Juni 1999, 38 I.L.M. 1207 (berlaku 19 November 2000), diratifikasi oleh Indonesia pada 28 Maret 2000 pasal 3.

[206] Konvensi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, pasal 1, 4, 6, and 7.

[207] Ibid., pasal 7.

[208] Rekomendasi ILO No. 190 tentang Pelarangan dan Aksi Tanggap mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, diadopsi 17 Juni 1999, para. 3.

[209] Konvensi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, pasal 4.

[210] Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja (Konvensi Usia Minimum untuk Bekerja), diadopsi 26 Juni 1973, 1015 U.N.T.S. 297, berlaku 19 Juni 1976, diratifikasi oleh Indonesia pada 7 Juni 1999, pasal 2 & 7. Konvensi ILO tentang Usia Minimun membolehkan negara-negara berkembang tertentu menentukan usia minimum 14 tahun untuk masuk kerja, dan untuk ikut kerja ringan bagi anak usia 12-14 tahun.

[211] Ibid., pasal 3.

[212] Konvensi ILO tentang Usia Minimum untuk Bekerja, pasal 3.

[213] Rekomendasi ILO No. 190 tentang Pelarangan dan Aksi Tanggap tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, diadopsi 17 Juni 1999, para. 4.

[214] Konvensi Hak-hak Anak (CRC), diadopsi 20 November 1989, G.A. Res. 44/25, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) at 167, U.N. Doc. A/44/49 (1989), berlaku 2 September, 1990, diratifikasi Indonesia pada 5 September 1990, pasal 32.

[215] Ibid.

[216] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), diadopsi 10 Desember 1948, G.A. Res. 217A (III), U.N. Doc. A/810 at 71 (1948), pasal 25; Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), diadopsi 16 Desember 1966, G.A. Res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 49, U.N. Doc. A/6316 (1966), 993 U.N.T.S. 3, berlaku 3 Januari 1976, diratifikasi Indonesia pada 23 Februari 2006, pasal 12; CRC, pasal 24.

[217] ICESCR, pasal 12.

[218] Ibid., pasal 7.

[219] Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Komentar Umum No. 14, Pasal 12, Hak untuk Mendapatkan Standar Tertinggi Kesehatan, E/C.12/2000/4 (2000), para. 15.

[220] Dewan HAM PBB, “Prinsip-prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Penerapan Kerangka Kerja PBB untuk ‘Perlindungan, Penghormatan dan Perbaikan, ,” 2011, http://www.ohchr.org/Documents/Publications/GuidingPrinciplesBusinessHR_EN.pdf (diakses 13 Oktober 2015), para.6.

[221] Ibid. I.A.1.

[222] Panduan Prinsip menyatakan bahwa pemerintah harus, “Menegakkan hukum yang ditujukan untuk, atau memiliki efek pada, mewajibkan perusahan bisnis untuk menghormati hak asasi manusia, dan secara berkala menilai kelayakan hukum tersebut dan melengkapi kekurangannya.” Ibid. I.B3.

[223] Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138, Usia Minimum untuk Bekerja, berlaku 24 Mei 1999, http://fisipku.tripod.com/ipec/uuno20.htm (diakses 19 Januari 2016).

[224] Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 69. Terjemahan tak resmi dibikin oleh ILO Jakarta. Dokumen dimiliki Human Rights Watch.

[225] Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 74. Terjemahan tak resmi dibikin oleh ILO Jakarta. Dokumen dimiliki Human Rights Watch.

[226] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.235, “Mengenai Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan dan Moral Anak,” 31 Oktober 2003. Terjemahan Inggris oleh kantor ILO Jakarta bekerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia. Dokumen dimiliki Human Rights Watch.

[227] Untuk rincian pekerjaan berbahaya yang dilakukan anak-anak yang diwawancarai untuk laporan ini, lihat Bab III: Pekerjaan Berbahaya di Pertanian Tembakau.

[228] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Dr. Thomas Arcury, direktur Pusat Kesehatan Pekerja di Wake Forest School of Medicine, 24 Febuari 2014.

[229] Lihat misalnya, Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, and John S. Preisser, “Predictors of Incidence and Prevalence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers in North Carolina, USA,” Journal of Epidemiology and Community Health, hal. 818; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “The Incidence of Green Tobacco Sickness Among Latino Farmworkers,” Journal of Occupational and Environmental Medicine, hlm. 601-602.; Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “High levels of transdermal nicotine exposure produce green tobacco sickness in Latino farmworkers,” Nicotine & Tobacco Research.

[230] Natalia A. Goriounova and Huibert D. Mansvelder, “Short- and Long-Term Consequences of Nicotine Exposure during Adolescence for Prefrontal Cortex Neuronal Network Function,” Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, hlm. 1-14; Jennifer B. Dwyer, Susan C. McQuown, and Frances M. Leslie, “The Dynamic Effects of Nicotine on the Developing Brain,” Pharmacology & Therapeutics, vol. 122, no. 2 (2009), hlm. 125-139; United States Department of Health and Human Services, Office of the Surgeon General, “The Health Consequences of Smoking—50 Years of Progress: A Report of the Surgeon General,” Atlanta: US Department of Health and Human Services, 2014, http://www.surgeongeneral.gov/library/reports/50-years-of-progress/50-years-of-progress-by-section.html (diakses 28 September 2015), hlm. 126; Jay N. Giedd, “Structural Magnetic Resonance Imaging of the Adolescent Brain,” Annals of the New York Academy of Sciences, pp. 77-85; Sara A. Quandt and Thomas A. Arcury, “Health Effects for Children of Working in Tobacco Production.”

[231] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Dr. Thomas Arcury, 24 Februari 2014. Lihat juga, Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “A Clinic-Based, Case-Control Comparison of Green Tobacco Sickness among Minority Farmworkers: Clues for Prevention,” Southern Medical Journal, vol. 95, no. 9 (2002), hlm. 1010, and Natalie M. Schmitt, Jochen Schmitt, et al., “Health Risks in Tobacco Farm Workers—A Review of the Literature,” Journal of Public Health, hlm. 258.

[232] Departemen Perburuhan AS (DOL), Bureau of International Labor Affairs, Office of Child labor, Forced Labor, and Human Trafficking, “2014 Findings on the Worst Forms of Child Labor: Indonesia,” 30 September 2015, http://www.dol.gov/ilab/reports/child-labor/findings/2014TDA/indonesia.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 6.

[233] Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Mudji Handaja, Dirjen pengawas tenaga kerja, Kementertian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Jakarta, 2 September 2015; Departemen Perburuhan AS (DOL), Bureau of International Labor Affairs, Office of Child labor, Forced Labor, and Human Trafficking, “2014 Findings on the Worst Forms of Child Labor: Indonesia,” 30 September 2015, http://www.dol.gov/ilab/reports/child-labor/findings/2014TDA/indonesia.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 1, 6-8.

[234] Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Mudji Handaja, 2 September 2015; Wawancara Human Rights Watch dengan Maria Advianti, wakil ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Jakarta, 3 September 2015; Departemen Perburuhan AS (DOL), Bureau of International Labor Affairs, Office of Child labor, Forced Labor, and Human Trafficking, “2014 Findings on the Worst Forms of Child Labor: Indonesia,” 30 September 2015, http://www.dol.gov/ilab/reports/child-labor/findings/2014TDA/indonesia.pdf (diakses 4 Januari 2016), hlm. 4-5.

[235] Wawancara Human Rights Watch dengan Diah Saminarsih, staf khusus Kementerian Kesehatan, Jakarta, 3 September 2015. Wawancara Human Rights Watch dengan Maria Advianti, 3 September 2015; Wawancara Human Rights Watch dengan Lauren Rumble, ketua perlindungan anak di Indonesia, UNICEF, Jakarta, 3 September 2015.

[236] Bank Dunia, Data: Indonesia, 2014, http://data.worldbank.org/country/indonesia (diakses 20 Januari 2016).

[237] Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Mudji Handaja, 2 September 2015.

[238] Wawancara Human Rights Watch via telepon dengan Dr. Thomas Arcury, 24 Februari 2014. Lihat juga, Thomas A. Arcury, Sara A. Quandt, et al., “A Clinic-Based, Case-Control Comparison of Green Tobacco Sickness among Minority Farmworkers: Clues for Prevention,” Southern Medical Journal, hal. 1010, and Natalie M. Schmitt, Jochen Schmitt, et al., “Health Risks in Tobacco Farm Workers—A Review of the Literature,” Journal of Public Health, hlm. 258.

[239] Wawancara Human Rights Watch dengan Sara Quandt dan Thomas Arcury, 24 Juli 2015.

[240] Dewan HAM PBB, “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework.” Dewan HAM PBB mengesahkan Prinsip-prinsip Panduan dalam resolusi 17/4 pada 16 Juni 2011: “Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises,” Resolution 17/4,A/HRC/17/L.17/Rev.1; Dewan HAM PBB, “Mandate of the Special Representative of the Secretary-General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises,” Resolution 8/7, A/HRC/RES/8/7; Dewan HAM PBB, “Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises,” Resolution 17/4,A/HRC/17/L.17/Rev.1.

[241] Komite PBB tentang Hak Anak, Komentar Umum No. 16 (2013) tentang Kewajiban Negara terhadap Dampak Sektor Bisnis pada Hak Anak, U.N. Doc. CRC/C/GC/16, (2013), para. 4.

[242] CRC, Komentar Umum No. 16, para. 9.

[243] United Nations Children's Fund (UNICEF), UN Global Compact and Save the Children, “Children’s Rights and Business Principles,” 2012, http://www.unicef.org/csr/css/PRINCIPLES_23_02_12_FINAL_FOR_PRINTER.pdf (diakses 30 September 2015).

[244] Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Guidelines for Multinational Enterprises (2011 Edition): Recommendations for Responsible Business Conduct in a Global Context,” 25 Mei 2011, http://www.oecd.org/document/28/0,3746,en_2649_34889_2397532_1_1_1_1,00.html (diakses 11 April 2016). Seperti dijelaksan dalam dokumennya, “Pedoman adalah rekomendasi bersama-sama yang ditangani oleh pemerintah untuk perusahaan multinasional (yang) menyediakan prinsip-prinsip dan praktik yang baik sesuai hukum yang berlaku dan standar yang diakui secara internasional.”

[245] OECD dan Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), “Guidance for Responsible Agricultural Supply Chains,” Desember 2015, http://www.oecd.org/daf/inv/mne/FAO-OECD-guidance-responsible-agricutural-supply-chains_2015-Draft.pdf (diakses 11 Januari 2016), hlm. 22-29.

[246] Kementerian Pertanian Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, “Tree Crop Estate Statistics Of Indonesia,” hlm. 29-33.

[247] Total ekspor 41.765 ton senilai hampir 200 juta dolar. Pada tahun yang sama Indonesia mengimpor 121.218 ton tembakau senilai lebih dari 627 juta dolar. Lebih dari 15 tahun Indonesia mengimpor lebih banyak tembakau daripada mengekspor. Kementerian Pertanian Indoneisa, Direktorat Jenderal Perkebunan, “Tree Crop Estate Statistics Of Indonesia,” hlm. 4.

[248] Juga dikenal sebagai Integrated Production System (IPS).

[249] Beberapa orang yang diwawancarai mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka, atau orang yang mereka kenal, menjual tembakau ke gudang Sampoerna. Dari korespondensi dan pertemuan dengan Philip Morris Internasional, yang memiliki Sampoerna, kami memahamai bahwa Sampoerna membeli tembakau secara eksklusif melalui pemasok, dan Sadhana adalah perushaan “pemasok dengan volume utama.” Sadhana sebelumnya dimiliki oleh Sampoerna namun kini independen. Berdasarkan informasi ini dan wawancara berikutnya dengan ahli lokal, kami percaya bahwa responden kadang-kadang salah sebut bisnis yang dilakukan Sadhana sebagai bisnis yang dilakukan Sampoerna.

[250] Wawancara Human Rights Watch dengan Ijo, petani, Garut, Jawa Barat, 11 Juni 2015.

[251] Wawancara Human Rights Watch dengan Sarwono, pedagang, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[252] Wawancara Human Rights Watch dengan David, pedagang, Pamekasan, Jawa Timur, 12 September 2014.

[253] Wawancara Human Rights Watch dengan Suharto, pemilik gudang, Pamekasan, Jatim, 12 September 2014.

[254] Wawancara Human Rights Watch dengan David, pedagang, Pamekasan, Jawa Timur, 12 September 2014.

[255] Wawancara Human Rights Watch dengan Untung, pedagang, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[256] Wawancara Human Rights Watch dengan Mulyadi, 40, pedagang, Pamekasan, Jawa Timur, 16 Juni 2015.

[257] Wawancara Human Rights Watch dengan Cipto, 60, pedagang, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014.

[258] Wawancara Human Rights Watch dengan Cipto, 60, pedagang, Probolinggo, Jawa Timur, 10 September 2014..

[259] Surat dari Pieter Sikkel, Presiden dan CEO, Alliance One International, kepada Human Rights Watch, 14 Desember 2015.

[260] Surat dari H. Michael Ligon, wakil presiden, Universal Corporation, kepada Human Rights Watch, 24 Desember 2015.

[261] Wawancara Human Rights Watch dengan Ivan, petani, Lombok Timur, NTB, 28 Agutus 2015.

[262] Wawancara Human Rights Watch dengan Abdi, 45, petani, Lombok Timur, NTB, 29 Agustus 2015.

[263] Wawancara Human Rights Watch dengan Tirto, 45, petani, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[264] Wawancara Human Rights Watch dengan empat petani, Lombok Timur, NTB, 20 September 2014.

[265] Wawancara Human Rights Watch dengan Kevin, 31, teknisi, Sumenep, Jawa Timur, 15 Juni 2015.

[266] Wawancara Human Rights Watch dengan Stanley, 34, petani, Lombok Timur, NTB, 30 Agustus 2015.

[267] Wawancara Human Rights Watch dengan Hanif, 45, petani, Probolinggo, Jawa Timur, 20 Juni 2015.

[268] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang petani, Magelang, Jawa Tengah, 15 September 2015.

[269] Wawancara Human Rights Watch dengan Ivan, petani, Lombok Timur, NTB, 28 Agustus 2015.

[270] Email dari Surjanto Yasaputera, sekretaris perusahaan PT. Wismilak Inti Makmur Tbk. (Wismilak), kepada Human Rights Watch, 6 Januari 2016.

[271] Surat dari Stefanus JJ. Batihalim, PT. Nojorono Tobacco International, kepada Human Rights Watch, 23 Desember 2015.

[272] Percakapan telepon Human Rights Watch dengan Hasan Aoni Azis, GAPPRI (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), 4 April 2016.

[273] China National Tobacco tak merespons sejumlah surat yang dikirimkan Human Rights Watch sejak Desember 2013.

[274] Surat dari Linwood Sykes, direktur, Leaf Procurement, Altria Client Services, kepada Human Rights Watch, 20 November 2015.

[275] Salinan korespondensi Human Rights Watch dengan perusahaan tersedia di lampiran laporan ini. Human Rights Watch juga berkorepondensi dan bertemu dengan perusahaan ini (kecuali China National Tobacco) terkait penelitian bahaya buruh anak di pertanian tembakau di Amerika Serikat. Lihat Human Rights Watch, Tobacco’s Hidden Children: Hazardous Child Labor in United States Tobacco Farming, Mei 2014, https://www.hrw.org/report/2014/05/13/tobaccos-hidden-children/hazardous-child-labor-united-states-tobacco-farming. Korespondensi dengan perusahaan tersedia di lampiran laporan ini: https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/us0514AppendicesFullLR.pdf. Lihat juga Human Rights Watch, Teens of the Tobacco Fields: Child Labor in United States Tobacco Farming, Desember 2015, https://www.hrw.org/report/2015/12/09/teens-tobacco-fields/child-labor-united-states-tobacco-farming. Korespondensi perusahaan tersedia di lampiran laporan ini: https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/appendicesfull_0_0.pdf.

[276] Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimun untuk Bekerja, diadopsi 26 Juni 1973, 1015 U.N.T.S. 297, berlaku 19 Juni 1976.

[277] Konvensi ILO No. 182 tentang Larangan dan Aksi Tanggap tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Buruh Anak (Konvensi Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak), diadopsi 17 Juni 1999, 38 I.L.M. 1207, berlaku 19 November 2000.

[278] Kebijakan ini berdasarkan Konvensi ILO. 184, pasal 16, dan rekomendasi ILO No. 190, pasal 4.

[279] Untuk daftar anggota, lihat Eliminating Child Labour in Tobacco Growing (ECLT) Foundation, “Governance,” http://www.eclt.org/about-us/governance/ (diakses 24 januari 2016).

[280] ECLT Foundation, “Members’ Pledge and Commitment,” http://www.eclt.org/about-us/members-pledge-commitment/ (diakses 24 Januari 2016).

[281] Dewan HAM PBB, “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework.”

[282] Lihat, PMI, “External Monitoring,” http://www.pmi.com/eng/sustainability/good_agricultural_practices/agricultural_labor_practices/pages/external_monitoring-.aspx# (diakses 20 April 2016).

[283] British American Tobacco (BAT), “Who We Are,” http://www.bat.com/group/sites/UK__9D9KCY.nsf/vwPagesWebLive/DO52ADCY?opendocument (diakses 19 Januari 2016).

[284] BAT, “Our Brands,” http://www.bat.com/group/sites/UK__9D9KCY.nsf/vwPagesWebLive/DO52ADK2?opendocument (diakses 30 Maret 2016).

[285] Surat dari Jennie Galbraith, Kepala Lanjut, British American Tobacco, kepada Human Rights Watch, 14 Desember 14, 2015.

[286] Ibid.

[287] Surat dari Jennie Galbraith, kepala keberlanjutan dan reputasi manajemen, British American Tobacco, kepada Human Rights Watch, 15 Maret 2016.

[288] Surat dari Galbraith, 14 Desember 2015.

[289] Surat dari Letter from Galbraith, 15 Maret 2016.

[290] BAT, “Social Responsibility in Tobacco Production,” http://www.bat.com/group/sites/UK__9UANCV.nsf/vwPagesWebLive/DO9URDMN (diakses 30 Maret 2016).

[291] Surat dari Galbraith, 15 Maret 2016.

[292] Ibid.

[293] Surat dari Letter from Galbraith, 14 Desember 2015.

[294] Surat dari Letter from Galbraith, 15 Maret 2016.

[295] Imperial Tobacco Group (Imperial), “Annual Report and Accounts 2015,” http://ar15.imperial-tobacco.com/pdfs/full-annual-report-2015.pdf (diakses 20 Januari, 2016).

[296] Surat dari Kirsty Green-Mann, kepala CSR, Imperial Tobacco Limited, kepada Human Rights Watch, 4 Desember 2015.

[297] Surat dari Green-Mann, 4 Desember 2015.

[298] Surat dari Kirsty Green-Mann, kepala CSR, Imperial Tobacco Limited, kepadHuman Rights Watch, 26 Oktober 2015.

[299] Surat dari Green-Mann, 4 Desember 2015.

[300] Ibid.

[301] Surat dari Kirsty Green-Mann, kepala CSR, Imperial Tobacco Limited, kepada Human Rights Watch, 5 April, 2016.

[302] Surat dari Green-Mann, 4 Desember 2015.

[303] Imperial, “Annual Report and Accounts 2015 ”

[304] Japan Tobacco International (JTI), “Facts and Figures,” http://www.jti.com/our-company/facts-and-figures/where/ (diakses 11 April 2016) and JTI “JTI at a Glance,” http://www.jti.com/our-company/jti-at-a-glance/ (diakses 11 April 2016).

[305] Surat dari Maarten Bevers, wakil presiden, Corporate Affairs and Communications, Global Leaf, Japan Tobacco International, kepada Human Rights Watch, 8 Desember 2015.

[306] JTI, “Agricultural Labor Practices 2014,” http://www.jti.com/files/9314/1052/2789/JTI_Agricultural_Labor_Practices.pdf (diakses 19 Januari 2016).

[307] Surat dari Bevers, 8 Desember 2015.

[308] Surat dari Maarten Bevers, wakil presiden, Corporate Affairs and Communications, Global Leaf, Japan Tobacco International, kepada Human Rights Watch, 23 Februari 2016.

[309] Surat dari Bevers, 8 Desember 2015.

[310] Philip Morris International (PMI), “About Us,” http://www.pmi.com/eng/about_us/pages/about_us.aspx (diakses 20 Januari 2016).

[311] Surat dari Miguel Coleta, pegawai sustainability, Philip Morris International, kepada Human Rights Watch, 14 Desember 2015.

[312] Ibid.

[313] PMI, “Agricultural Labor Practices Code,” http://www.pmi.com/eng/media_center/company_statements/documents/alp_code.pdf (diakses 20 Januari 2016).

[314] Kecuali disebutkan dalam catatan kaki yang lain, semua informasi PMI yang disimpulkan di sini dan di dua paragraf berikutnya diambil pada 14 Desember 2015, surat dari Coleta kepada Human Rights Watch.

[315] Control Union, “Third Party Assessment, Sadhana, Lombok, Indonesia, Agricultural Labor Practices Program,” Oktober 2015, http://www.pmi.com/eng/sustainability/good_agricultural_practices/agricultural_labor_practices/Documents/CU_Third_Party_Assessment_Sadhana.pdf (diakses 20 April 2016).

[316] Reynolds American, “Who We Are,” http://www.reynoldsamerican.com/About-Us/Who-We-Are/Our-Operating-Companies/default.aspx (diakses 11 April 2016) dan RJ Reynolds Tobacco, “Who We Are,” http://www.rjrt.com/transforming-tobacco/who-we-are/ diakses 11 April 2016).

[317] Alliance One International (AOI), “Frequently Asked Questions,” http://www.aointl.com/au/faqs.asp (diakses 24 Januari 2016).

[318] Surat dari Pieter Sikkel, presiden dan CEOr, Alliance One International, kepada Human Rights Watch, 14 Desember 2015.

[319] Informasi The Alliance One yang dirangkum di sini dan di tiga pearagraf berikutnya diambil dari 14 Desember 2015, surat dari Sikkel kepada Human Rights Watch, 14 Desember 2015.

[320] Universal Corporation (Universal), http://www.universalcorp.com/ (diakses 20 Januari 2016).

[321] Surat dari H. Michael Ligon, wakil presiden, Universal Corporation, kepada Human Rights Watch, 24 Desember 2015. Menurut PMI, PMI membeli tembakau melalui Pandu dan Tempu Rejo, afiliasi Universal di Indonesia. Email Human Rights Watch dengan Miguel Coleta, PMI, 23 Januari 2016.

[322] Informasi The Universal yang dirangkum di sini dan di paragraf selanjutnya diambil dari surat dari Ligon kepada Human Rights Watch, 24 Desember 2015.

[323] Surat kepada Human Rights Watch dari Coleta, 14 Desember 2015, dan Sikkel, 14 Desember 14 2015.

[324] Surat dari Coleta, 14 Desember 2015.

[325] Surat dari Sikkel, 14 Desember 2015.

[326] Surat dari Coleta, 14 Desember 2015, dan Sikkel, 14 Desember 2015.

[327] Ibid.

[328] Surat dari Ligon, 24 Desember 2015.

[329] Surat kepada Human Rights Watch dari Coleta, Galbraith, Green-Mann, Ligon, dan Sikkel yang semuanya menggambarkan rencana ini.

[330] Email dari Karima Jambulatova, manajer program, ECLT Foundation, kepada Human Rights Watch, 18 April 2016.

[331] Sebagaimana telah disebutkan, istilah “pekerja anakkonsisten dengan standar ILO, dipakai untuk mengacu pekerjaan yang dilakukan anak-anak di bawah usia kerja minimum atau anak anak di bawah umur 18 tahun yang terlibat dalam pekerjaan berbahaya.