Menegakkan Moralitas
Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia
Daftar Istilah
Adat:Sistem hukum adat di Indonesia yang terdiri atas skema aturan-aturan yang tidak beraturan. Di Aceh, hal ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip Syariah, tetapi hal tersebut dapat berbeda antar kelompok masyarakat. Para pemimpin masyarakat menegakkan adat dalam prosedur penyelesaian perselisihan secara tradisional.
Aurat: arti sesungguhnya, “ketelanjangan”merujuk pada bagian tubuh yang dipercayai oleh umat Muslim tertentu harus ditutupi di area publik. Di Aceh, bagi laki-laki, sering diartikan daerah dari lutut hingga pusar, dan bagi perempuan, seluruh tubuh kecuali tangan, kaki dan wajah.
Desa: dalam bahasa Aceh, gampong; unit administrasi terendah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Kebanyakan desa di Aceh memiliki populasi kurang dari 1000 orang. Setiap Desa dipimpin oleh kepala desa (dalam bahasa Aceh, keucik) yang dipiih oleh masyarakat dan secara resmi ditunjuk untuk mengepalai administrasi gampong. Setiap gampong terdiri dari beberapa area yang lebih kecil (dalam bahasa Aceh, dusun), masing-masing dipimpin oleh kepala dusun (kadus).
Dewan Desa: dalam bahasa Aceh, tuhapeut, sebuah badan di tingkat desa, independen dari keucik, yang berfungsi sebagai badan deliberatif utama untuk desa. Dimana ada tuhapeut, tanggung jawab mereka dapat mencakup pencapaian keputusan merujuk penentuan masyarakat dan diusulkan kepada keucik untuk dipertimbangkan.
Dinas Syariat Islam: Kantor Syariah Islam, dinas institusi pemerintah resmi di Aceh yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
DPRA: Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, badan pembuat kebijakan di Provinsi Aceh.
GAM: Gerakan Aceh Merdeka.
Individu transjender: orang yang identitas atau ekpresi jendernya berbeda dari karakteristik fisik (“atau jenis kelamin”) tubuhnya pada saat lahir. Jender mengindikasikan arti-arti sosial dan budaya yang lekat dengan ide-ide “maskulinitas/kelelakian” dan “femininitas/keperempuanan,” dan terpisah dari jenis kelamin, klasifikasi tubuh sebagai laki-laki atau perempuan atas dasar faktor-faktor biologis, termasuk hormon, kromosom dan organ seksual.
Jilbab: penutup kepala perempuan Islami.
Jinayah/Jinayat: hukum pidana Islam.
Khalwat: arti harafiahnya, “pengasingan/perbuatan bersunyi-sunyian”; dalam Qanun No. 14/2003, diartikan sebagai situasi dimana dua orang dewasa berjenis kelamin berbeda yang tidak memiliki ikatan perkawinan atau hubungan darah berdua-duaan di sebuah tempat sepi.
Komnas Perempuan: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Mesum: arti harafiahnya, “ketidaksenonohan”; diinterpretasikan oleh WH untuk mengartikan kedekatan intim sebagai aktivitas seksual oleh seorang lelaki dan seorang perempuan yang tidak memiliki hubungan darah atau tidak saling menikah.
Meunasah: masjid kecil yang digunakan oleh masyarakat setempat di desa.
Mushollah: langgar, tempat dimana anggota masyarakat melaksanakan Ibadah, di Aceh, Mushollah sering dijadikan tempat rapat dan musyawarah tingkat desa.
Perbuatan bersunyi-sunyian: lihat definisi khalwat di atas.
Qanun: arti harafiahnya, “hukum,” terminologi yang bersumber dari bahasa Arab yang digunakan di Aceh untuk merujuk semua peraturan daerah yang disahkan oleh administrasi di tingkat provinsi, kabupaten atau kota, baik untuk menerapkan Syariah atau tidak. Terdapat perdebatan mengenai penggunaan istilah Qanun. Istilah ini dianggap dapat membingungkan masyarakat non-Muslim yang tidak mengerti arti Qanun. Istilah ‘Peraturan Daerah (Perda)’ atau ‘Peraturan Daerah Khusus (Perdasus),’ atau ‘Peraturan Daerah Istimewa (Perdai)’ dianggap lebih tepat penggunaannya dibanding istilah ‘Qanun.’ Selanjutnya, laporan ini akan menggunakan istilah ‘Peraturan Daerah (Perda).’
Razia: “pengrebekan,” terminologi yang digunakan oleh WH untuk menjelaskan aktivitas penegakkan hukum, termasuk juga pengadaan tempat pemeriksaan untuk memonitor pengawasan penampilan masyarakat berdasar tata cara Islam dan untuk merespon laporan masyarakat mengenai kekerasan Sharia.
Satuan Polisi Pamong Praja (SatpolPP): kepolisian di tingkat kota. Pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia diizinkan membentuk pasukan ini, yang terpisah dari kepolisian nasional, untuk menegakkan peraturan administratif setempat terkait ketertiban dan keamanan publik. Wilayatul Hisbah merupakan bagian dari pasukan ini di Aceh.
Syariah: arti harafiahnya, “cara” atau “jalan”; seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, pada intinya bersumber dari Quran, teks keagamaan utama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad.
Ulama:pemuka atau pemimpin agama Islam, cendikiawan Islam.
Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA): hukum nasional yang mulai dibelakukan sejak 2006; bertujuan untuk mencerminkan ketentuan-ketentuan dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada bulan Agustus 2005, yang mengakhiri konflik berpuluh-puluhpuluhan tahun antara GAM dan Pemerintah Indonesia.
Wilayatul Hisbah (WH): polisi Syariah.
Peta Aceh
I. Ringkasan
Ibu saya menjemput saya [dari kantor polisi Syariah] pukul 07.00. Saya menangis. Kepala dosen kampus saya, Doni, ada di sana untuk menguliahi saya. Seorang petugas polisi Syariah memberitahu dia bahwa saya telah ditangkap [di sebuah jalan sepi dibonceng di atas motor pacar saya]. Dia memberitahu ibu dan saya bahwa saya seharusnya dilempari batu sampai mati. Saya bilang, “Pak, saya hanya mencari jalan pintas, dan untuk itu saya harus dilempari batu? Bagaimana dengan petugas-petugas yang memperkosa saya semalam?”
– Nita, 20, ditangkap oleh polisi Syariah (Wilayatul Hisbah, atau WH) pada bulan Januari 2010 atas tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan kemudian diperkosa dalam tahanan WH.
Polisi tidak menanyakan siapapun malam itu tentang apa yang terjadi pada Budi, meskipun tulang rusuknya patah, terdapat luka bakar akibat sundutan rokok pada tubuhnya, mukanya hitam dan biru, dan bibirnya robek dan berdarah.… Pemerintah harus memastikan hal ini tidak akan terjadi lagi pada orang lain.
– Rohani, saksi pemukulan Budi (21 tahun)yang merupakan pacar anak perempuannya, Sri (17 tahun), pada tahun 2009 oleh anggota masyarakat yang yakin bahwa Sri dan Budi telah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” di dalam rumah Rohani.
Saya bilang, “Terserah saya mau mengenakan jilbab atau tidak—itu urusan saya dengan Tuhan.” Jawaban [petugas WH] adalah, “Tidak, ada aturannya dalam Islam yang mengatur hal itu.” Kemudian mereka mengembalikan kartu identitas saya, dan memberitahu bahwa jika saya melakukan hal yang sama sampai tiga kali, saya akan dicambuk…. Saya mungkin akan mengenakan jilbab, tetapi bukan karena saya dipaksa oleh WH, tetapi karena saya memang menginginkannya.
– Dewi, diperingati oleh WH karena melanggar persyaratan busana Islami pada bulan Mei 2010.
Aceh, berbeda dari provinsi-provinsi Indonesia lainnya, diizinkan oleh hukum nasional untuk menerapkan peraturan daerah Syariah yang bersumber dari dasar-dasar agama Islam. Menurut para pendukungnya, Syariah idealnya adalah sebuah sistem panduan lengkap tentang semua hal penting dalam hidup, yaitu hal yang memajukan amal, kesejahteraan sosial, dan keselarasan hidup bersama. Akan tetapi, dalam penerapannya di Aceh, dua peraturan daerah (Perda) yang diilhami oleh Syariah melanggar hak banyak orang—khususnya kaum miskin, perempuan, dan kaum muda—untuk membuat keputusan pribadi yang penting dalam menjalankan hidup mereka serta dalam mengekspresikan kepercayaan, identitas, dan moral mereka.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) hingga saat ini telah mengesahkan lima (5) Perda yang diilhami Syariah tentang berbagai hal, mulai dari pemberian amal, judi, hingga pengaturan ritual Islam dan perilaku Muslim yang sepantasnya. Human Rights Watch tidak memihak terkait masalah Syariah atau ketentuan yang mengatur kerja internal Islam. Akan tetapi, kami prihatin karena dua (2) kebijakan daerah—yaitu kebijakan yang melarang individu-individu berjenis kelamin berbeda yang tidak menikah untuk bersama dalam situasi-situasi tertentu, dan kebijakan yang mengharuskan masyarakat untuk berbusana Muslim di muka publik. Kebijakan-kebijakan tersebutmelanggar hak-hak dasar yang dilindungi oleh UUD 1945 Undang-Undang Dasar Indonesia (UUD 1945) maupun hukum hak asasi internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia dani mengikat secara hukum.
Penelitian kami berangkat dari usaha yang telah dilakukan sebelumnya oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan. Komnas Perempuan telah berulang kali memberi peringatan bahwa cara Syariah diterapkan di Aceh memfasilitasi terjadinya sejumlah pelanggaran.
Dua (2) Perda yang menjadi fokus laporan ini pada dasarnya ditegakkan oleh polisi khusus Syariah di tingkat kota, yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah (WH), yang memiliki anggota sekitar 6.300 personil yang tersebar di berbagai daerah di Aceh. WH didukung oleh warga dan anggota masyarakat adat untuk mengambil tindakan terhadap tersangka pelanggar ketentuan hukum yang terkait. Peraturan-peraturan daerah ini jelas bertentangan dengan hukum hak asasi manusia dan sering kali diterapkan secara sewenang-wenang. Beberapa tersangka diserang secara brutal, rumah mereka didobrak secara paksa oleh kelompok yang main hakim sendiri tanpa adanya tindakan berarti dari polisi.
Hukum tentang Khalwat (Perbuatan Bersunyi-sunyian)
Saat ini di Aceh jika dua orang dewasa berjenis kelamin berbeda yang tidak menikah atau tidak memiliki hubungan darah berdua-duaan di sebuah tempat terpencil, hal tersebut merupakan suatu tindakan kriminal. Kedekatan tanpa ikatan tersebut dilarang oleh hukum khalwat (mesum) Aceh (atau secara harfiah, hukum “perbuatan bersunyi-sunyian (ketidaksenonohan)”; selanjutnya disebut “Hukum Khalwat”). Pelanggarnya dapat dihukum cambuk dan/atau didenda hingga Rp 10 juta.
Banyak orang di Aceh memahami bahwa Hukum khalwat hanya melarang perzinahan, pemahaman ini didukung oleh Gubernur Aceh yang mengatakan bahwa hanya perzinahan yang boleh dituntut. Akan tetapi, hukum ini kerap diartikan secara luas dan telah berulang kali diterapkan untuk jenis perilaku yang beragam. Petugas Wilayatul Hisbah menginterpretasikan hukum ini secara luas hingga mencakup larangan bagi dua orang berjenis kelamin berbeda yang tidak menikah atau memiliki hubungan darah untuk hanya duduk dan berbicara di ruang “sepi,” terlepas dari apakah ada bukti keintiman atau tidak. Banyak pelanggaranserius atas nama Hukum khalwat yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch terjadi pada individu-individu yang awalnya ditahan. Dalam sebuah kasus yang sangat ekstrim, petugas-petugas WH menahan Nita, 20, semalaman di Langsa dengan tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” setelah mereka menemukan dia dan pacarnya mengendarai motor di sebuah jalan yang sepi; selama penahanannya, sejumlah petugas WH menginterogasinya secara agresif dan tiga (3) orang di antara mereka memperkosanya. Kepala WH setempat kemudian diganti, dan dua (2) dari petugas WH yang dituduh memperkosa diadili, divonis, dan dihukum penjara. Meskipun patut dihargai bahwa perkosaan tersebut diselidiki dan diproses seara hukum, pihak berwenang tidak mengambil langkah-langkah preventif untukmengekang praktek-praktek yang mengarah pada penahanan orang-orang seperti Nita.
Dalam pembelaannya, petugas WH mengatakan bahwa mereka kadang-kadang memaksa perempuan dan anak perempuan memberikan hasil pemeriksaan keperawanan, dan dalam beberapa kasus, memaksa tersangka agar setuju untuk menikah. Kedua praktik tersebut melanggar hukum hak asasi internasional.
Menurut petugas WH, mayoritas dari mereka yang ditangkap dan ditahan atas kecurigaan “perbuatan bersunyi-sunyian” tidak pernah secara formal didakwa, apalagi dituntut dalam sistem pengadilan Syariah. Sebaliknya, WH menyerahkan tersangka kepada pengawasan anggota keluarga; kerap kali surat permintaan maaf yang ditandatangani oleh individu yang ditahan dapat digantikan dengan jaminan yang ditandatangani oleh seorang anggota keluarga yang menyatakan bahwa ia akan memastikan tersangka tidak akan melakukan kesalahan serupa lagi, dan kadang-kadang disertai dengan pembayaran denda. Kepala WH Aceh, Marzuki Abdullah, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa banyak orang yang ditahan atas dasar “perbuatan bersunyi-sunyian” adalah anak-anak di bawah umur. Hal ini juga bertentangan dengan hukum hak asasi, yang menegaskan prinsip bahwa anak-anak boleh ditahan “hanya sebagai upaya terakhir.”
Ada juga bukti bahwa hukum ditegakkan secara selektif: banyak warga Aceh yang mengatakan kepada kami bahwa hukum jarang diterapkan kepada individu yang memiliki hubungan dekat secara politis dengan pihak berwenang. Seorang narasumber menceritakan kepada Human Rights Watch bahwa Kepala WH, Marzuki, mengatakan kepada kerabatnya bahwa jika kerabatnya mengatakan bahwa ia memiliki hubungan dengan Marzuki saat ada petugas WH yang mendekati, ia tidak akan ditahan. Narasumber tersebut juga mengatakan, “Hukum ini mendiskriminasi—jika Anda memiliki hubungan dengan orang yang berkuasa, Anda akan dibebaskan.” Beberapa orang lain memberitahu kami bahwa hukum tersebut tidak diterapkan kepada petugas polisi atau militer. Beberapa pihak lain mengatakan bahwa WH menyasar orang miskin, karena mereka jarang melakukan penggrebekan di restauran, kedai kopi, dan tempat-tempat rekreasi yang kerap didatangi oleh orang berada.
Dalam banyak kasus, petugas WH menyerahkan tersangka kepada polisi nasional (Polda/Polres). Petugas kepolisian di sebuah kecamatan di Banda Aceh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka menahan orang yang ditangkap atas dasar “perbuatan bersunyi-sunyian” dari WH kota sekitar lima (5) sampai enam (6) kali dalam sebulan. Human Rights Watch berbicara kepada tiga (3) perempuan yang mengatakan bahwa mereka atau anggota keluarga dekat mereka pernah ditahan semalaman oleh polisi, bersama dengan teman laki-laki mereka, setelah mereka dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan dilaporkan ke polisi.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketentuan Syariah Aceh secara jelas mendorong partisipasi masyarakat dalam penegakan Hukum Khalwat. Peraturan daerah lainnya mendesak aparat penegak hukum untuk tunduk kepada otoritas adat di tingkat desa dalam menangani tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan dalam kasus kekerasan ringan serta tindak kriminal lainnya. Akibatnya adalah masyarakat menegakkan hukum dengan mengidentifikasi, menahan, dan menghukum tersangka pelanggar atas dasar inisiatif mereka sendiri. Sejumlah pejabat publik tingkat tinggi di Aceh, termasuk Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, dan Kepala WH, Marzuki Abdullah, telah menyatakan secara publik penentangan mereka terhadap kekerasan yang demikian. Namun kepolisian diakui tidak bersedia mengambil langkah-langkah untuk menangkap dan mengadili para pelaku pelanggaran tersebutdengan alasan kesulitan dalam menangani kejahatan yang dilakukan oleh massa.
Dalam beberapa kasus yang diinvestigasi oleh Human Rights Watch, anggota masyarakat menuduh orang-orang melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” berdasarkan pada standar yang sewenang-wenang. Dalam beberapa kasus tersebut, masyarakat memberikan perlakuan yang kasar dan memalukan selama proses penangkapan. Kemudian, beberapa dari mereka yang dituduh diharuskan membayar ganti rugi atau menjalani hukuman lain yang ditentukan oleh para pemimpin adat melalui proses yang tidak adil. Ganti rugi dapat berupa kawin paksa, pengusiran dari desa, dan denda yang tinggi.
Seorang perempuan, Rohani, menceritakan sebuah kejadian pada tahun 2009 ketika Budi, pacar anak perempuannya, Sri (17 tahun), datang ke rumahnya untuk berbicara dengan Sri larut malam. Rohani dan anak perempuannya yang paling muda juga berada di rumah pada saat itu. Ketika Budi akan meninggalkan rumah satu jam kemudian, anggota masyarakat setempat menahan dia atas tuduhan bahwa ia telah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Mereka memukulinya dan membawanya ke meunasah (tempat ibadah) terdekat, dimana sekitar 50 orang kembali memukulinya dan menyundutnya dengan rokok sementara sejumlah laki-laki lain memanggil Rohani dan Sri untuk bergabung dengan mereka. Anggota masyarakat berupaya memaksa Budi dan Sri untuk menikah, tetapi Rohani menolaknya atas dasar bahwa puterinya masih duduk di sekolah menengah atas dan perlu menyelesaikan sekolahnya. Ketika kepala desa memanggil polisi Syariah dan polisi biasa, mereka menahan Budi dan Sri semalaman untuk melakukan penyelidikan. Sesudahnya, anggota masyarakat setempat memberitahu Rohani bahwa mereka telah memutuskan bahwa dia harus membayar denda dalam bentuk materi kepada komunitas sebagai hukuman atas kesalahan puterinya. Rohani membayar hukuman tersebut, tetapi tidak ada seorangpun dari anggota masyarakat tersebut yang dituntut pertanggungjawabannya oleh polisi maupun pimpinan masyarakat karena menganiaya Budi.
Petugas-petugasWH juga secara aktif mendorong masyarakat mengidentifikasi terduga pelaku pelanggaran hukum Syariah dan melaporkan mereka kepada pihak berwenang. Rosmiati menjelaskan bagaimana polisi menahan dia dan seorang teman laki-lakinya, Nurdin, semalaman setelah anggota masyarakat menuduh mereka melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Rosmiati berada di rumah Nurdin selama 20 menit untuk mengantarkan buku pada sore hari. Ia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Walaupun kami berpakaian lengkap, mereka memperlakukan kami seakan kami melakukan hal yang salah. Kami tidak melakukan apapun, tetapi mereka memutuskan main hakim sendiri.” Beberapa orang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa masyarakat di tempat itu menetapkan jam malam, dimana seseorang yang ditemukan berduaan dengan orang berjenis kelamin berbeda yang tidak memiliki ikatan pernikahan atau darah di atas jam tersebut merupakan bukti jelas “perbuatan bersunyi-sunyian.” Kombinasi penetapan aturan semacam itu ditambah penegakkan hukum yang tidak berdasarkan aturan resmi, menyebabkan terjadinya penahanan dan penangkapan yang semena-mena.
Orang-orang yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian,” baik yang ditahan oleh WH, polisi, maupun anggota masyarakat setempat mengalami berbagai konsekuensi negatif pada kehidupan sosial, pribadi, dan profesional mereka paska pembebasan. Hal ini termasuk stigmatisasi yang sangat berat, dikeluarkan dari program akademis, dan tekanan untuk membatasi hubungan profesional atau pribadinya. Stigmatisasi ini khususnya mempengaruhi perempuan. Fatimah, 37, yang ditahan oleh WH Banda Aceh selama beberapa jam dan kemudian dilepaskan menjelaskan bagaimana insiden yang tampaknya tidak berarti ini mengakibatkan dampak merugikan bagi kehidupan pribadi dan profesionalnya. Katanya, “Hal itu menghancurkan reputasi saya walaupun saya tidak melakukan hal yang buruk.…Anggota keluarga saya marah… Saya kehilangan banyak teman. Sejak saat itu, saya berhenti bekerja dari proyek [yang membawa saya ke Banda Aceh].”
Persyaratan Busana Islami
Sebuah peraturan daerah (Perda) Aceh lainnya mewajibkan semua umat Muslim di Aceh mengenakan busana Islami, yang didefinisikan sebagai pakaian yang menutupi aurat (bagi laki-laki, bagian tubuh dari lutut hingga pusar, dan bagi perempuan, seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah), yang tidak tembus pandang, dan tidak menunjukkan bentuk tubuh. Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa perempuan Muslim diwajibkan mengenakan jilbab (tutup kepala Islami) di muka publik setiap saat dan dilarang mengenakan pakaian yang menunjukkan bentuk tubuh. Walaupun hukum ini berlaku bagi baik laki-laki maupun perempuan, tetapi hukum ini memberikan pembatasan lebih ketat terhadap perempuan daripada laki-laki dan memiliki dampak diskriminatif. Tak mengherankan, perempuan merupakan pihak yang paling banyak ditegur sesuai dengan hukum.
Penerapan Perda tentang busana juga sering sewenang-wenang. Human Rights Watch berbicara dengan beberapa perempuan di Aceh yang dihentikan oleh WH dalam patroli atau penutupan jalan umum yang diadakan untuk mengawasi kepatuhan publik terhadap kode busana Islami. WH menghentikan perempuan yang menurut mereka tidak mengenakan pakaian sesuai dengan standar busana Islami. WH mencatat identitas mereka, memberitahu mereka bahwa busana mereka tidak sesuai, menguliahi mereka, dan mengancam mereka dengan hukuman atau cambuk jika mereka mengulangi perilaku tersebut. Menurut Erni, seorang perempuan yang dihentikan dan dikuliahi di sebuah pos pemeriksaan WH pada bulan Mei 2010, “[Petugas WH] menyuruh kami untuk mengenakan rok dan jangan pernah mengenakan celana panjang. Tetapi kemudian seorang perempuan petugas WH mengatakan bahwa saya boleh mengenakan celana panjang, dengan syarat atasan saya harus mencapai di bawah lutut. Saya tidak tahu yang mana yang dapat diterima.”
Beberapa perempuan memberitahu kami bahwa hukum tersebut lebih sering diberlakukan kepada orang miskin, karena petugas-petugas WH tidak pernah menghentikan penumpang yang bepergian menggunakan mobil, yang merupakan sebuat indikator kekayaan.Mereka memfokuskan perhatian hanya kepada warga Aceh yang bepergian menggunakan sepeda motor atau angkutan umum.
Perempuan-perempuan transjender di Aceh rentan pula menjadi target WH karena tidak memenuhi peraturan terkait dengan ekspresi dan identitas jender yang selayaknya. Seorang perempuan transjender memberitahu Human Rights Watch bagaimana WH menahan dia dan seorang perempuan transjender lainnya, karena tidak mengenakan busana Islami, terlepas dari fakta bahwa salah seorang dari mereka mengenakan pakaian perempuan yang sesuai dengan hukum dan yang lainnya mengenakan pakaian laki-laki yang juga sesuai dengan hukum.
Status Hukum Saat Ini
Masa depan peraturan daerah Aceh tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” dan busana Muslim masih tidak jelas. Gubernur Irwandi dan Partai Aceh yang baru saja menempati mayoritas kursi dalam Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terlihat tidak mendukung hukum dan lebih memilih pendekatan yang lebih lunak. Gubernur, misalnya, menyatakan pandangannya bahwa polisi seharusnya “hanya mengambil tindakan terhadap mereka yang benar-benar melakukan perzinahan.” Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, dua Perda baru yang diilhami Syariah yang lebih ketat disahkan oleh DPRA yang sebelumnya pada tahun 2009. Salah satunya berisi sejumlah pelanggaran Syariah tambahan yang disertai dengan hukuman yang lebih ketat, termasuk cambuk bagi perilaku homoseksual dan perzinahan oleh orang yang tidak/belum menikah dan rajam hingga mati bagi perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah menikah; sedangkan, Perda yang lainnya memperluas kekuasaan polisi Syariah, termasuk mengizinkan penahanan pra-pengadilan tersangka pelanggar Syariah. Para pendukung hukum terus menekan untuk implementasi nyata, namun sampai saat ini, undang-undang tersebut belum berpengaruh. Gubernur Irwandi mengambil posisi bahwa RUU tidak berpengaruh tanpa tanda tangannya, dan sampai sekarang, ia telah menolak untuk menandatangani dan mengadopsinya ke dalam hukum. Gubernur Irwandi mengatakan bahwa badan legislatif harus menyerahkan rancangan undang-undang revisi sebelum mereka dapat dipertimbangkan kembali, dan karena pemimpin legislatif saat ini tidak mendukung aspek kunci dari desain sebelumnya, mereka belum mengajukan versi revisi untuk dipertimbangkan pembaharuannya.
Sementara itu, pemahaman atas Perda tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” dan busana yang saat ini diartikan secara luas terus diberlakukan. Walaupun bukti menunjukkan bahwa jumlah orang yang dicambuk di muka publik atas pelanggaran yang dibuatnya telah menurun secara signifikan sejak pemilihan Gubernur Irwandi pada tahun 2007, tetapi hukuman cambuk di hadapan publik belum berhenti sepenuhnya. Statistik menunjukkan bahwa secara keseluruhan penegakan Perda tentang khalwat dan busana Muslim tetap seperti pada tahun 2007, dengan lebih dari 800 pelanggaran berdasarkan Hukum Khalwat yang dicatat oleh WH pada tahun 2009 saja.
Pemerintahan di tingkat kabupaten di Aceh, yang dapat menerapkan hukum Syariah, juga berupaya menerapkan standar yang lebih ketat atas perilaku dan penampilan pribadi yang mereka akui bersumber dari Syariah. Pada bulan Juli 2010, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat menerapkan peraturan daerah tentang busana Islami dapat diterima, bahkan dengan kekhususan yang melebihi peraturan di tingkat provinsi; Pemkab juga memberikan wewenang kepada pasukan WH setempat untuk mewajibkan perempuan yang mengenakan celana panjang yang tidak sesuai dengan peraturan untuk segera menggantinya dengan rok yang disediakan oleh pemerintah. Pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka telah membeli 20.000 rok semacam itu sebagai upaya memfasilitasi penerapan hukum, dan petugas-petugas WH mulai membagi-bagikannya pada bulan Mei 2010, bahkan sebelum Perda tersebut berlaku.
Rezim Syariah Aceh tampaknya mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintahan lainnya di Indonesia: laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2009 menemukan bahwa sejumlah pemerintah daerah di berbagai tempat di Indonesia telah mencontoh hukum Aceh dalam menerapkan peraturan busana dan perilaku yang berdasarkan pada Islam yang jelas-jelas membatasi hak-hak perempuan.
Pembenaran atas Hukum tentang Khalwat dan Busana Islami
Qanun No. 14/2003 menyatakan bahwa tujuan peraturan daerah (Perda) tersebut adalah untuk menegakkan Syariah dan adat istiadat di Aceh, melindungi publik dari tindakan-tindakan yang “merusak kehormatan dan martabat mereka,” mencegah anggota masyarakat melakukan perzinahan dan sejenisnya sejak dini, “meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum,” dan mencegah penurunan moral masyarakat.
Terlepas dari tujuan-tujuan yang dinyatakan secara jelas tersebut, baik Perda tentang Khalwat dan persyaratan busana bertentangan dengan hukum hak asasi manusia internasional. Komite Hak Asasi Manusia, badan yang bertugas mengartikan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menetapkan bahwa hubungan atas dasar kesepakatan bersama (konsensus)—baik yang bersifat seksual atau lainnya—antara dua orang dewasa secara pribadi merupakan aspek hak atas privasi yang dilindungi.
Hukum hak asasi manusia juga menjamin hak seseorang untuk menjalankan agama/keyakinannya dan hak kebebasan berekspresi. Pembatasan apapun atas hak-hak ini harus memiliki tujuan yang sah, diterapkan secara tidak sewenang-wenang maupun diskriminatif, dan luas dan dampak pembatasan apapun harus sebanding dengan tujuan tersebut. Walaupun perlindungan keamanan dan moral publik adalah tujuan pemerintah yang dapat dibenarkan, larangan “perbuatan bersunyi-sunyian” di Aceh tidak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut dan merupakan respon berlebihan terhadap masalah yang ingin diatasi. Melarang hubungan pribadi apapun antara laki-laki dan perempuan yang tidak menikah atau tidak memiliki hubungan darah benar-benar membatasi hak-hak laki-laki dan perempuan atas otonomi dan ekspresi pribadi dan menimbulkan efek negatif berkepanjangan bagi mereka yang dituduh melanggarnya, dan khususnya bagi perempuan, yang mengalami stigmatisasi dari masyarakat sekitarnya sebagai akibat adanya peraturan tersebut.
Persyaratan di Aceh yang mewajibkan semua umat Muslim mengenakan busana Islami juga melanggar hak-hak individu atas otonomi pribadi, ekspresi, dan kebebasan beragama, berpikir dan hati nurani. Persyaratan tersebut seolah-olah dirancang oleh mereka yang mendukung penerapan Syariah untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang main hakim sendiri; akan tetapi, hal tersebut tidak diperlukan dan merupakan respon berlebihan terhadap tindakan kekerasan seperti itu. Para petinggi di Aceh tidak dapat menunjukkan bukti bahwa dengan memaksa perempuan mengenakan jilbab dan pakaian yang menyembunyikan bentuk badan, tujuan pengurangan atau penghapusan kekerasan terhadap perempuan dapat tercapai. Terlebih, dalam memenuhi tugasnya untuk melindungi orang-orang dari kekerasan dan khususnya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, Negara seharusnya menyasar pada perilaku para pelaku kekerasan, bukan menafikan hak-hak mendasar korban kekerasan.
Para petinggi pemerintahan dan para ahli hukum Islam di Aceh yang diwawancarai oleh Human Rights Watch memliki pendapat berbeda tentang isu hak asasi manusia yang diasosiasikan dengan penerapan hukum Syariah sebagaimana diidentifikasikan dalam laporan ini. Mereka yang membela hukum tentang khalwat dan busana Islami berargumen bahwa hukum-hukum tersebut merupakan pembatasan yang dapat ditoleransi dalam lingkup hak asasi masyarakat di Aceh karena hukum-hukum tersebut bertujuan untuk menjunjung moralitas publik. Mereka juga berargumen bahwa penerapan hukum-hukum tersebut berkontribusi pada keamanan publik dengan mengurangi tingkat kekerasan main hakim sendiri yang terjadi di masyarakat, yang diakui sebagai masalah oleh setiap pengamat yang berbicara dengan Human Rights Watch. Akan tetapi, pihak berwenang lain mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka percaya hukum-hukum tersebut mungkin memperburuk, bukannya memberantas, masalah kekerasan main hakim sendiri di Aceh. Salah satu orang di antaranya mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WH menunjukkan bahwa WH harus dikerahkan untuk tujuan-tujuan lain, selain melaksanakan hukum yang berasal dari Syariah.
Metodologi
Laporan ini berdasarkan pada penelitian Human Rights Watch di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa dan Meulaboh, Aceh, dan Jakarta pada bulan April dan Mei 2010 dan penelitian lanjutan melalui korespondensi dan telepon selama bulan September. Human Rights Watch melakukan wawancara mendalam dengan lebih dari 80 orang, termasuk 11 perempuan dan seorang perempuan transjender yang mengalami pelanggaran-pelanggaran dalam penerapan Syariah, dan lima (5) perempuan, tiga (3) laki-laki dan seorang perempuan transjender yang menyaksikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kami berbicara dengan tiga (3) laki-laki yang berpartisipasi dalam satu atau lebih kejadian dimana anggota masyarakat menangkap orang-orang yang dicurigai melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian,” lima (5) saksi kejadian serupa, dan empat (4) perempuan korban kejadian serupa.
Human Rights Watch juga berbicara dengan lima (5) perwakilan organisasi internasional yang bekerja di Banda Aceh, Aceh, di Jakarta, 32 aktivis masyarakat sipil setempat, dan 33 orang lainnya, termasuk 29 perempuan dan empat (4) perempuan transjender, tentang pendapat mereka terkait penerapan hukum Syariah di Aceh. Kami menyebarkan kuisioner rinci melalui email dan dengan bantuan para aktivis masyarakat sipil di Aceh tentang pendapat dan pengalaman pribadi terkait penerapan hukum Syariah dan menerima 48 respon.
Human Rights Watch mengadakan wawancara dengan empat (4) petugas polisi di Banda Aceh dan Meulaboh dan dua (2) petugas Dinas Syariat Islam di tingkat provinsi. Kami juga berbicara dengan Wakil Gubernur Aceh, juru bicara DPR Aceh, dan dua (2) ulama di IAIN Al-Raniry.
Seluruh wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris atau Indonesia dengan bantuan seorang penerjemah. Para korban dan saksi mata diidentifikasi melalui laporan media dan dengan bantuan NGO dan perwakilan masyarakat sipil. Nama dan dalam beberapa kasus informasi terkait orang-orang yang kami temui dirahasiakan untuk melindungi keselamatan mereka. Kami menggunakan nama alias bagi semua korban pelanggaran hak asasi manusia yang disebutkan dalam laporan, termasuk petugas WH, petugas polisi, dan para pelaku kekerasan main hakim sendiri yang meminta kami merahasiakan nama mereka karena mengkhawatirkan dampak dari berbagi informasi kepada kami. Semua pihak yang diwawancarai diberitahukan tujuan wawancara ini, sifatnya yang sukarela, dan bagaimana informasi tersebut akan digunakan. Semua pihak yang diwawancara memberikan persetujuan secara lisan untuk diwawancara. Mereka diberitahu bahwa mereka dapat menolak menjawab pertanyaan atau dapat mengakhiri wawancara kapanpun. Tidak seorangpun mendapat imbalan.
Sumber-sumber lain yang kami gunakan meliputi dokumen-dokumen pemerintah, hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan, laporan-laporan NGO, informasi-informasi dari warga Aceh, media Indonesia dan internasional, dan keputusan dan surat panggilan Pengadilah Syariah.
Untuk statistik jumlah tindakan penegakan Syariah dalam beberapa waktu terakhir, kami menggunakan jumlah yang disediakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja-Wilayatul Hisbah, Satpol PP-WH, dimana WH merupakan salah satu komponennya. Akan tetapi, walaupun kantor Satpol PP-WH mengumpulkan statistik tentang jumlah “pelanggaran” hukum Syariah yang dicatat dari 24 kabupaten di Aceh pada tahun 2009, data tersebut tidak mencakup enam (6) kabupaten di Aceh, dan statistik tidak menunjukkan apa yang dimaksud dengan “pelanggaran” untuk tujuan pencatatan. Data juga tidak memperhitungkan kegiatan penegakan Syariah oleh kepolisian nasional (Polda/Polres) di Aceh atau situasi dimana tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” diselesaikan oleh pihak berwenang desa sesuai dengan tata cara adat.
Human Rights Watch yakin bahwa masih banyak kasus pelanggaran dalam penerapan hukum-hukum yang diilhami Syariah di Aceh diluar dari yang didokumentasikan dalam laporan ini. Karena sensitivitas isu dan stigmatisasi yang dihadapi oleh para terduga pelanggar hukum, banyak orang enggan berbicara terbuka tentang pengalaman mereka, terutama kepada orang asing. Beberapa perempuan mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka berupaya keras mencegah orang lain mengetahui tuduhan-tuduhan kepada mereka. Keengganan untuk berbicara terbuka tentang hukum dan penegakannya tidak hanya ditemui di antara korban-korban hukum, tetapi juga di kalangan aktivis masyarakat sipil, yang mana beberapa di antaranya mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ketika mereka berbicara, mereka juga menghadapi stigmatisasi dan cemoohan publik sebagai “pengkhianat” agama dan identitas mereka sebagai orang Aceh.
Pada bulan September 2010, Human Rights Watch mengirimkan beberapa surat kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, Kepala Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Hasbi Abdullah, Kepala Polisi Daerah Aceh Irjen Fajar Priyanto, dan Kepala Wilayatul Hisbah Marzuki Abdullah, untuk mendapatkan data mengenai jumlah, jenis kelamin, dan usia orang-orang yang ditahan atas tuduhan pelanggaran Qanun 14/2003, dan juga untuk mendapatkan pandangan mereka mengenai permasalahan yang diangkat dalam laporan. Hingga tanggal 24 November, kami masih belum menerima respon apa pun. Surat-Surat yang Human Rights Watch kirimkan tercantum pada lampiran.
II. Latar Belakang
Syariah, agama kita, telah bercampur dengan politik. Ini adalah akar masalahnya. Selama 29 tahun, Aceh tidak memiliki hukum apapun—tidak ada hukum, tidak ada aturan. Di sini, kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Kamu mau membunuh, kamu mau memukul, kamu mau merampok, kamu mau membakar rumah? Oke! Tidak ada hukum, tidak ada pertanyaan, tidak ada masalah. Siapa melakukan apa? Lupakan saja.... Lalu masyarakat berkata, “Berikan kami hukum.” Hal itu bukanlah semata karena kami yakin bahwa cara hidup kita harus sesuai dengan Syariah. Syariah telah ada selama beratus-ratus tahun...bahkan adat istiadat dan tradisi setempat kami diambil dari Syariah. Itu semata agar ada hukum positif yang bekerja pada kami, di antara kami, di tengah kami.
– Prof. Yusni Sabi, mantan rektor IAIN Al-Raniry Aceh
Provinsi Aceh di Indonesia, sering disebut sebagai “Serambi Mekah,” dianggap sebagai tempat dimana Islam pertama kali memasuki Asia Tenggara. Terletak di ujung barat laut pulau Sumatra, Aceh merupakan tempat pendaratan alamiah bagi para pedagang Islam yang bepergian melalui Selat Malaka. Pada tahun 800, kepercayaan mereka telah merajai daerah tersebut. Islam kemudian tersebar ke berbagai tempat lain di Indonesia dan akhirnya menjadi agama yang dominan di negara yang saat ini memiliki populasi terbanyak keempat di dunia. Walaupun ada berbagai kepercayaan di Aceh sebagaimana di daerah lain, kepercayaan Islam yang kuat tetap menjadi aspek identitas yang penting bagi banyak orang Aceh.
Hubungan antara Islam dan Negara memainkan peranan penting dalam konflik bersenjata di Aceh selama 60 tahun terakhir. Pada tahun 1950an, para pemuka agama di Aceh dipimpin oleh ulama, termasuk Teungku M. Daud Beureueh melawan Pemerintah Pusat untuk mendirikan negara Islam sebagai bagian dari pemberontakan yang lebih luas di Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai pemberontakan Darul Islam (Rumah Islam).[1] Konflik berakhir di Aceh pada tahun 1962 ketika Pemerintah Indonesia memberikan hak khusus kepada provinsi tersebut, termasuk “otonomi luas” dalam hal agama dan adat istiadat dan hak untuk mendirikan pengadilan Syariah yang menangani perselisihan dalam hukum keluarga dan hukum sipil.[2]
Pada tahun 1976, sebuah gerakan separatis baru, Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, mulai mempertanyakan klaim Jakarta untuk mengontrol provinsi tersebut. Para pemimpin GAM khususnya prihatin terhadap eksploitasi kekayaan dan sumber daya alam oleh Pemerintah Pusat, tetapi pada mulanya mereka terdorong oleh aspirasi mendirikan negara Islam sebagaimana pendahulu mereka, Darul Islam.[3] Awalnya, pasukan bersenjata Indonesia menekan gerakan tersebut, tetapi pada tahun 1990 Presiden Suharto menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan mengadakan kampanye anti-pemberontakan hingga tahun 1998, dimana dalam periode tersebut militer melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar di Aceh.[4] Pasukan GAM juga melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan orang-orang yang dicurigai sebagai “informan.”[5]
Paska pengunduran diri Presiden Suharto pada bulan Mei 1998, kelompok masyarakat sipil di Aceh bergerak cepat, mendesak Pemerintah Indonesia menangani pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama dekade sebelumnya.[6] Pada awal tahun 1999, para aktivis pelajar Aceh mengadakan kampanye di tingkat provinsi untuk mendesak adanya referendum kemerdekaan dari Indonesia. Menyikapi hal tersebut, pada bulan September 1999, para pembuat kebijakan di Indonesia mengesahkan Undang-undang (UU) tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Walaupun hal tersebut bukanlah yang diprioritaskan oleh para perwakilan GAM atau para aktivis pelajar, undang-undang tersebut mencakup ketentuan yang memberikan pihak berwenang di Aceh hak untuk menerapkan Syariah, yang didefinisikan sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.”[7]
Pada tahun 2001, para pembuat kebijakan di Indonesia, dengan dukungan dari Presiden Abdurrahman Wahid dan penggantinya, Megawati Sukarnoputri, mengesahkan UU No. 18/2001 yang menetapkan “otonomi khusus” bagi Aceh.[8] Di dalamnya, Aceh diizinkan menerapkan Syariah sebagai sistem hukum formal, membentuk pengadilan Syariah, dan mengartikulasikan aturan-aturan dalam bentuk peraturan daerah (Perda), atau yang dikenal di Aceh sebagai qanun.[9] Keputusan Pemerintah Indonesia tentang penerapan Syariah di Aceh didukung oleh perwakilan-perwakilan partai politik Islam di tingkat nasional yang yakin bahwa konflik di Aceh merupakan reaksi terhadap desakan Presiden Suharto atas nasionalisme sekuler, yang tidak diterima sepenuhnya di Aceh.[10] Pemerintah Indonesia juga mendukung penerapan Syariah sebagai strategi politik matang untuk meningkatkan dukungan bagi pemerintah di antara masyarakat Aceh dan melemahkan dukungan bagi gerakan GAM.[11]
Hukum Syariah dan Pendekatan Qanun Aceh
Dalam Islam, Syariah (“cara” atau “jalan”) sering diartikan sebagai seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran, kitab utama agama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia: terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan pada tanggung jawab Negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang berasal dari Islam.[12]
Paska dikeluarkannya UU No. 44/1999, Gubernur Aceh mulai mengeluarkan peraturan-peraturan berbasis Syariah tentang berbagai isu, termasuk busana Muslim, alkohol, dan judi.[13] Peraturan-peraturan ini tidak dijalankan oleh Pemerintah Provinsi,[14] tetapi sejak bulan April 1999, muncul berbagai laporan yang mengatakan bahwa beberapa kelompok laki-laki di Aceh menegakkan peraturan ini secara main hakim sendiri melalui “razia jilbab,” yang menyasar pada perempuan-perempuan yang tidak mengenakan jilbab, melakukan pelecehan verbal, menggunting rambut atau pakaian mereka, dan melakukan aksi kekerasan lain terhadap mereka.[15] Frekuensi terjadinya kejadian-kejadian semacam ini maupun penyerangan-penyerangan lainnya terhadap individu-individu yang dianggap melanggar prinsip-prinsip Syariah tampaknya meningkat paska dikeluarkannya UU No. 44/1999 dan peraturan-peraturah Gubernur terkait Syariah.[16]
Paska pengesahan UU Otonomi Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan serangkaian qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004 yang berisi hukuman pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11/2002 tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah), dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami; Qanun No. 12/2003 melarang konsumsi dan penjualan alkohol; Qanun No. 13/2003 melarang perjudian; Qanun No. 14/2003 melarang “perbuatan bersunyi-sunyian”; dan Qanun No. 7/2004 tentang pembayaran zakat. Aturan-aturan tersebut mencakup sejumlah ketentuan yang membedakannya dari hukum pidana yang diterapkan di tempat lain di Indonesia. Kecuali perjudian, tidak ada tindak pidana semacam ini yang dilarang di luar Aceh. Tanggung jawab penegakan qanun terletak pada Kepolisian Nasional dan pasukan polisi khusus Syariah yang hanya terdapat di Aceh, atau yang dikenal sebagai Wilayatul Hisbah (WH, “Pihak Berwenang Syariah”). Semua qanun mengatur penalti, meliputi denda, hukuman penjara, dan cambuk, sebuah bentuk penghukuman yang tidak dikenal di sebagian besar daerah di Indonesia.[17]
Reaksi GAM terhadap Penerapan Hukum Syariah
Walaupun tampaknya sebagian besar penduduk Aceh mendukung adanya hukum Syariah,[18] para perwakilan GAM pada awalnya mengkritik dengan keras, menyebutnya sebagai “muslihat” yang bertujuan untuk menyesatkan masyarakat Aceh dan pihak berwenang agama untuk mendukung Pemerintah yang didukung oleh Jakarta.[19] Para pemimpin GAM berargumen bahwa usulan Syariah yang diajukan oleh Jakarta gagal menjawab alasan utamapemberontakan GAM; bahwa Pemerintah menggunakan Syariah untuk melemahkan dukungan internasional kepada GAM dengan menunjukkan seolah-olah para pemimpin GAM adalah kelompok Muslim radikal yang menuntut hak khusus; dan bahwa Jakarta tidak memiliki hak untuk menentukan cara kepatuhan terhadap Islam kepada masyarakat Aceh.[20] GAM menentang pengesahan hukum-hukum Syariah oleh DPRA, dan pada tahun 2002, ketika polisi mulai menegakkan persyaratan agar Muslim mengenakan busana Islami, GAM mengeluarkan pernyataan yang mengutuk upaya tersebut.[21] Akan tetapi, para pewakilan militer dan Pemerintah Pusat tetap mendorong penerapan Syariah,[22] dan Gubernur Aceh secara resmi membentuk pasukan WH pada tahun 2004 melalui Keputusan Gubernur.[23] Sejak saat itu, para petugas mulai “menginformasikan dan menuntun” para terduga pelanggar Syariah, memberikan peringatan lisan kepada mereka yang dianggap melanggar hukum, tetapi tidak secara formal melakukan penyelidikan, penuntutan, atau merujuk para pelanggar kepada pengadilan Syariah.
Resolusi Konflik Aceh dan Penerapan Syariah Paska-perang
Paska berhentinya gencatan senjata selama lima (5) bulan pada bulan Mei 2003, Presiden Megawati menempatkan Aceh di bawah hukum perang dan memerintahkan operasi militer besar-besaran hingga Mei 2004.[24] Bencana alam tsunami menimpa Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, membunuh lebih dari 130.000 orang di Aceh dan menyisakan kehancuran fisik yang sangat besar setelahnya.[25] Dalam jangka waktu satu bulan, para perwakilan GAM dan Pemerintah Indonesia, yang saat ini dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memulai serangkaian negosiasi damai yang kemudian mengarah pada penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) di Helsinki, Finlandia, pada bulan Agustus 2005, yang mengakhiri konflik berpuluh-puluh tahun. Persyaratan dalam MOU Helsinki diintegrasikan dalam hukum nasional pada tahun 2006 dalam Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).[26]
Baik penyelesaian konflik berkepanjangan antara Pemerintah Pusat dan GAM maupun upaya pemindahan dan bantuan kemanusiaan besar-besaran paska tsunami membawa perubahan signifikan bagi masyarakat Aceh. Berakhirnya konflik memungkinkan kebebasan bergerak yang lebih luas bagi masyarakat dari segala tingkatan umur dan mengakhiri pembatasan informasi yang masuk maupun keluar dari provinsi tersebut. Beberapa pengamat mengatakan bahwa hilangnya pembatasan informasi dan berita dari Jakarta dan dunia dalam waktu singkat ini didukung oleh pelonjakan jumlah pekerja bantuan asing, yang secara signifikan meliberalkan wajah Aceh, khususnya kaum mudanya.[27] Desakan yang makin meningkat terhadap penerapan Syariah yang mengikuti fenomena tersebut dianggap sebagai reaksi dari masuknya pengaruh luar—khususnya dari Barat—paska konflik dan paska tsunami di Aceh.[28] Memang, bahkan ketika perundingan damai Helsinki sedang berjalan, para petugas WH berubah dari hanya “menyarankan” para terduga pelanggar tentang persyaratan dalam qanun Syariah menjadi melakukan penyelidikan dan menghukum para pelanggar secara resmi.[29] Antara pertengahan 2005 dan awal 2007, setidaknya 135 orang dicambuk di Aceh karena melanggar qanun.[30]
Pada bulan Desember 2006, Irwandi Yusuf, mantan juru bicara pasukan militer GAM yang mencalonkan diri sebagai Gubernur sebagai kandidat independen, memenangkan pemilihan Gubernur Aceh pertama paska perang setelah mengkritik secara publik penerapan Syariah di provinsi tersebut.[31] Akan tetapi, bukannya mengusulkan reformasi mendasar terhadap sistem Syariah yang telah ada, Irwandi mengadopsi strategi melemahkan Syariah guna menguatkan pembangunan ekonomi.[32] Paska periode dua (2) tahun pertama kepemimpinan Irwandi, tidak ada tindak pidana Syariah baru yang diterapkan di Aceh, dan jumlah orang yang dihukum cambuk menurun secara signifikan.[33] Tetapi, hukuman cambuk tidak sepenuhnya berhenti di Aceh; pada tanggal 6 Agustus 2010, seorang laki-laki dan seorang perempuan dicambuk karena melanggar hukum yang melarang “perbuatan bersunyi-sunyian” dan tiga (3) laki-laki dicambuk karena perjudian di Kabupaten Pidie Jaya yang untuk pertama kalinya menerapkan hukuman cambuk.[34] Di tempat-tempat lain di Aceh, WH melakukan penegakan Syariah—razia, patroli dan merespon laporan pelanggaran dari masyarakat—secara konsisten sejak 2007.
Pada bulan April 2009, Partai Aceh, partai politik yang didirikan oleh para mantan pejuang GAM, mendominasi DPRA dalam pemilihan legislatif pertama Aceh paska perang. Pada bulan September 2009, satu bulan sebelum para pembuat kebijakan yang baru menempati kantornya, DPRA periode sebelumnya di akhir masa jabatannya mengesahkan dengan suara bulat dua (2) qanun baru yang bertujuan untuk menggantikan dan memperluas kerangka hukum pidana Syariah di Aceh yang telah ada.[35] Salah satu Perda, Qanun Hukum Jinayat, membuat kode prosedural yang sepenuhnya baru bagi penegakan hukum Syariah oleh polisi (termasuk WH), jaksa, dan pengadilan di Aceh.[36] Perda lainnya, Qanun Jinayat, memperkuat dan memperluas badan hukum pidana Syariah di Aceh. Perda ini mengulangi larangan-larangan pidana Syariah yang telah ada, dan pada saat bersamaan meningkatkan hukumannya,[37]serta sejumlah tindak pidana baru, termasuk ikhtilat (pergaulan atau percampuran),[38] zinah (perselingkuhan, yang didefinisikan sebagai hubungan seksual oleh dua orang yang tidak menikah satu sama lain), pelecehan seksual, pemerkosaan, dan perilaku homoseksual.[39] Perda tersebut juga mengizinkan hukuman yang sangat berat, termasuk cambuk hingga 60 kali atas dasar “pergaulan,” cambuk hingga 100 kali karena terlibat dalam perilaku homoseksual, cambuk hingga 100 kali untuk perselingkuhan oleh orang yang belum menikah, dan rajam hingga mati untuk perselingkuhan oleh orang yang telah menikah.[40]
Kantor Gubernur Irwandi dan juru bicara DPRA yang baru, Hasbi Abdullah, menolak penerapan Qanun Jinayat tanpa adanya revisi ketentuan tentang rajam terlebih dahulu.[41] Seperti yang dikemukakan oleh Abdullah: “[k]ami tidak ingin Aceh dilihat sebagai tempat yang tidak bersahabat di komunitas internasional dan tidak menjunjung hak asasi manusia secara serius.”[42] Tidak sepakat atas ketentuan ambigu UU PA, Gubernur Irwandi mengatakan bahwa hukum tidak bisa berlaku tanpa tanda tangannya, sementara beberapa anggota DRPA mengatakan bahwa undang-undang mulai berlaku secara otomatis 30 hari setelah persetujuan oleh badan legislatif, dengan atau tanpa persetujuan Irwandi.[43]
Hingga saat ini, interpretasi Irwandi atas UU PA tampaknya telah menang sebagai hasil atas penolakannya untuk mengesahkan qanun-qanun yang dikeluarkan pada tahun 2009 ini, tidak ada satupun yang diterapkan oleh pihak berwenang di tanah Aceh. Beberapa pejabat pemerintah, termasuk Dinas Syariat Islam dan Kepolisian di tingkat Provinsi, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka mendesak Gubernur untuk merundingkan revisi Perda dengan DPRA guna memfasilitasi penerapannya. Bagaimanapun juga, hingga saat laporan ini ditulis, kantor gubernur tampaknya belum menjalankan rekomendasi para pejabat tersebut, dan Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, mengatakan kepada Human Rights Watch pada bulan Mei 2010 bahwa para pembuat kebijakan tidak mengutamakan revisi peraturan-peraturan daerah tersebut.[44]
Dalam laporannya pada tahun 2009, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa daerah-daerah lain di Indonesia tampak telah terinspirasi oleh Aceh untuk mengeluarkan Perda-perda bernuansa Syariah yang diskriminatif terhadap perempuan.[45] Laporan tersebut mengidentifikasi lebih dari 150 Perda yang merujuk pada Syariah sebagai dasar legitimasinya, 63 di antaranya mendiskriminasikan perempuan, termasuk 21 di antaranya yang menerapkan busana Islami dalam konteks tertentu dan sejumlah Perda yang, seyogyanya untuk memberantas prostitusi, melarang kebebasan bergerak semua perempuan.[46]
III. Penegakan Syariah di Aceh
Kepolisian Nasional diberi wewenang untuk menegakkan semua hukum di Aceh, termasuk peraturan-peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten, tetapi penegak utama hukum pidana bernuansa Syariah di Aceh adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya Wilayatul Hisbah (WH). Sebagaimana dijelaskan di bawah ini, warga sipil juga berperan langsung dalam menegakkan Perda-perda bernuansa Syariah, peranan yang secara jelas ditetapkan dalam Perda-perda tersebut.
Peran Wilayatul Hisbah
Gubernur dan bupati/camat di Aceh, sebagaimana entitas administratif lainnya di Indonesia, dapat membentuk Satpol PP untuk menegakkan peraturan terkait dengan “ketertiban publik dan ketentraman masyarakat.”[47] UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) secara khusus memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk membentuk unit WH yang bertanggung jawab menerapkan hukum Syariah sebagai bagian dari Satpol PP.[48] Petugas-petugas Satpol PP lainnya sesekali mengadakan patroli dan operasi bersama dengan rekan-rekannya di WH.
Marzuki Abdullah, Kepala Satpol PP-WH di Aceh, mengatakan di media pada bulan Agustus 2010 bahwa pasukannya terdiri dari 6.300 petugas—laki-laki dan perempuan—yang tersebar di seluruh Aceh.[49] Petugas-petugas WH ditempatkan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Bustami, seorang petugas WH yang memulai pelatihannya pada bulan Januari 2010, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pasukan WH terdiri dari para petugas yang dipekerjakan berdasarkan kontrak dan sejumlah “sukarelawan,” yang tidak menerima upah tetapi melalui proses perekrutan yang sama dengan para pekerja kontrak.[50] Ketika Bustami ditemui oleh Human Rights Watch pada bulan Mei 2010, ia sedang menjalani pelatihan tentang bagaimana menahan dan berinteraksi dengan orang. Ia mengatakan bahwa perekrutannya terdiri dari tes fisik, tes urin, dan penilaian atas kemampuannya membaca teks Islami tertentu dan pemahamannya atas hukum Islam (fiqh).[51]
Semua petugas WH memiliki wewenang untuk “menegur dan menasihati, memperingatkan, dan memberikan bimbingan moral” kepada orang-orang yang mereka curigai melanggar hukum Syariah di Aceh, memberitahu pihak berwenang yang sesuai tentang kemungkinan adanya pelanggaran hukum Syariah, dan memfasilitasi penyelesaian pelanggaran Syariah melalui tata cara atau hukum adat. Petugas WH yang telah diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki wewenang tambahan, yaitu menangkap dan menahan orang-orang yang dituduh melakukan pelanggaran Syariah tertentu, termasuk “perbuatan bersunyi-sunyian,” hingga 24 jam dan mengadakan penyelidikan seperti layaknya polisi atas dugaan pelanggaran Syariah, termasuk mendapatkan testimoni dari saksi mata dan memerintahkan pemeriksaan medis. Pada bulan Januari 2010, Kepala Dinas Syariat Islam, yang mengawasi hukum Islam di Aceh dan penyusunan qanun Syariah, mengatakan bahwa sebelum April 2009, setidaknya 50 anggota WH telah diangkat sebagai PNPS dan menerima pelatihan tambahan dari Kementerian Dalam Negeri.[52]
UU PA, qanun-qanun Aceh, dan peraturan daerah yang membentuk WH menjelaskan wewenang WH secara berbeda satu dengan yang lain. Keputusan Gubernur No. 1/2004, yang secara resmi membentuk WH, mengatur peran WH sebagai sumber panduan dan nasihat spiritual bagi masyarakat Aceh.[53] Qanun No. 11/2002, yang mengatur tentang persyaratan busana Islami, memberikan wewenang kepada WH untuk “menegur dan menasihati” para pelanggar dimana ada “alasan yang masuk akal” untuk mencurigai bahwa mereka telah melanggar hukum.[54] Perda ini tidak memberikan petugas WH wewenang untuk menangkap tersangka, melainkan menyerahkan mereka kepada Kepolisian Daerah (Polda) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNPS) jika perilaku mereka tidak berubah.[55] Qanun No. 14/2003 tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” secara jelas menyatakan bahwa aparatkepolisian diizinkan menangkap, menahan, dan mencekal tersangka pelanggar.[56] Qanun tersebut juga memberi wewenang kepada pejabat penyelidik sipil untuk melakukan penyelidikan di bawah koordinasi pihak penyelidikanKepolisian, dan menyebutkan bahwa petugas WH dapat ditunjuk sebagai penyelidik sipil, mempertimbangkan peran petugas WH dalam menangkap dan menahan tersangka.[57] Qanun No. 14/2003 tidak menyebutkan atas dasar apa penangkapan“perbuatan bersunyi-sunyian” dapat dilakukan atau berapa lama tersangka pelanggar dapat ditahan tanpa adanya otorisasi peradilan.
Pada bulan Mei 2010, Kepala WH, Marzuki, dan Wakil Gubernur, Mohammad Nazar, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pihaknya menginterpretasikan bahwa Perda-perda ini memberikan para penyelidik WH wewenang untuk menangkap dan menahan individu-individu yang dicurigai melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” hingga 24 jam untuk melakukan penyelidikan dan memberikan panduan tentang hukum Islam kepada para pelanggar.[58] Qanun Hukum Jinayat yang dikeluarkan pada tahun 2009, yang disahkan oleh DPRA tetapi belum diterapkan hingga saat penulisan laporan ini, menyatakan bahwa penyelidik dapat menahan siapapun yang dicurigai telah melakukan tindakan pidana apapun (termasuk pelanggaran hukum ringan) untuk kepentingan penyelidikan hingga 24 jam, dengan demikian mengizinkan interpretasi serupa atas Perda-perda terkait.[59]
Human Rights Watch memperoleh data tentang penegakan hukum yang dilakukan oleh WH selama 2009 yang meliputi 18 dari 24Kabupaten di Aceh. Data menunjukkan bahwa dari lima (5) qanun Syariah yang memuat hukuman pidana, upaya penegakan WH berpusat pada dua qanun, yaitu Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat (mesum) (arti harafiahnya, “perbuatan bersunyi-sunyian [ketidaksenonohan]”) dan Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Qanun No. 11/2002 memuat sejumlah kewajiban Syariah, mensyaratkan umat Muslim untuk tidak menyebarkan ajaran sesat, menjalankan shalat Jumat, menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, tidak menyediakan kesempatan bagi umat Muslim untuk membatalkan puasanya selama bulan Ramadhan, dan mengenakan busana Islami.[60] Dari 3.701 pelanggaran Syariah yang dicatat oleh WH selama tahun 2009, 2.689 di antaranya berkenaan dengan Qanun No. 11/2002, dan 836 berkenaan dengan Qanun No. 14/2003.[61]
Di Banda Aceh, ibukota Provinsi, petugas-petugas WH menegakkan hukum Syariah secara konsisten sejak Gubernur Irwandi berkuasa pada tahun 2007—mereka mencatat adanya 992 pelanggaran Syariah pada tahun 2007, 894 pelanggaran pada tahun 2008, dan 920 pelanggaran pada tahun 2009.[62] Sementara tingkat penegakan hukum tertinggi di Banda Aceh adalah di tingkatprovinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota hampir tidak pernah menegakkan Perda-perda tersebut.
WH mencatat adanya 836 pelanggaran larangan “perbuatan bersunyi-sunyian” di seluruh Aceh selama 2009. Daerah-daerah dengan jumlah pelanggaran tertinggi termasuk Kota Lhokseumawe, Kabupaten Pidie dan Gayo Lues, dan Banda Aceh. Bukti tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang ditahan oleh anggota WH dan polisi mungkin lebih besar.
Pelanggaran Syariah yang Dicatat oleh WH Selama 2009[63]
Pelanggaran Syariah yang Dicatat oleh WH Selama 2009 (di Tingkat Kabupaten/Kota)[64]
Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Syariah dan Penyelesaian Perselisihan secara Adat
WH bukanlah satu-satunya institusi yang bertanggung jawab menegakkan Syariah di Aceh. Tidak hanya WH dan polisi, masyarakat juga didorong menegakkan larangan perbuatan bersunyi-sunyian dan penyelesaian dugaan perbuatan bersunyi-sunyian melalui mekanisme penyelesaian adat. Sistem hukum Syariah tumpang tindih dengan sistem hukum adat Aceh. Adat adalah seperangkat aturan yang tidak terkodifikasi yang dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain dan yang ditegakkan oleh pemimpin masyarakat dalam prosedur penyelesaian perselisihan secara tradisional. Kebiasasan dan standar adat di Aceh sangat dipengaruhi oleh Islam dan berkaitan erat dengan prinsip-prinsip Syariah.[65] Sistem adat memainkan peranan penting dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.[66]
Qanun No. 14/2003 menyatakan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam penegakan larangan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan menegaskan bahwa mereka harus menyerahkan para pelanggar yang mereka “tangkap basah” kepada pihak berwenang yang terkait.[67] Sebagai tambahan, Qanun No. 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat menyatakan bahwa petugas WH dan Kepolisian wajib tunduk kepada pihak berwenang di tingkat desa, baik ketika individu-individu yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” maupun ketika kekerasan terjadi sewaktu penangkapannya,[68] dan mengizinkan lembaga adat menjatuhkan sanksi kepada pelanggar, termasuk memberikan ganti rugi uang dan pengusiran atau pengasingan dari desa tersebut.[69]
IV. Empat Ilustrasi Kasus
Sri dan Budi[70]
Rohani, seorang pegawai negeri, menceritakan kepada Human Rights Watch sebuah kejadian yang terjadi pada bulan Oktober 2009 ketika pihak berwenang menangkap puterinya, Sri, yang berusia 17 tahun dan pacar Sri, Budi, yang berusia 20 tahun yang disangka melakukan perbuatan bersunyi-sunyian.
Pada malam itu sekitar pukul 10, Budi mengunjungi rumah Rohani untuk berbicara dengan Sri, “Puteri saya ada di rumah, tetapi saya juga di rumah, demikian juga adik perempuan Sri. Sri membiarkan Budi masuk ke kamarnya karena hari sudah larut malam, tetapi mereka hanya mengobrol.” Ketika Budi akan meninggalkan rumah pukul 11 malam, tiga (3) orang laki-laki dari lingkungan setempat segera menangkap dia dan membawanya ke meunasah (masjid kecil) terdekat. Tak lama kemudian, anggota masyarakat membawa Rohani dan Sri ke sana untuk bergabung dengannya. Rohani berkata kepada Human Rights Watch, “Mereka memukuli Budi di depan rumah, dan kemudian membawa dia ke meunasah terdekat dengan berjalan kaki. Di sana mereka terus memukuli dia dan menyundutnya dengan rokok. Banyak laki-laki dari masyarakat sekitar datang—mungkin sekitar 50 orang. Dan banyak di antara mereka memukuli dia.”
Para tetangga dan anggota masyarakat tidak membiarkan Rohani, Sri atau Budi menjelaskan situasinya; sebaliknya, mereka mendesak Sri dan Budi agar sepakat untuk menikah. Rohani menentang keras ide tersebut dan dapat membujuk anggota masyarakat untuk tidak memaksakan kehendak mereka. Tak lama kemudian, polisi tiba dan menahan Sri dan Budi tanpa memberikan mereka, atau Rohani, kesempatan untuk bercerita. Rohani mengatakan,“Menurut saya, apa yang terjadi tidak adil. Masyarakat menghukum Budi tanpa bukti, tanpa menanyakan apakah ia melakukan perbuatan bersunyi-sunyian atau tidak, tetapi [dia dan Sri] tetap ditahan.”
Polisi membebaskan Sri atas jaminan Rohani keesokan paginya, tetapi Rohani mengatakan bahwa pasukan WH tidak memberikan jaminan bagi Budi dan menahannya hingga 15 hari berikutnya. Seusai kejadian tersebut, polisi tidak melakukan upaya identifikasi atau menangkap para penyerang Budi. Rohani mengatakan kepada Human Rights Watch:
Polisi tidak menanyakan siapapun malam itu tentang apa yang terjadi pada Budi, meskipun tulang rusuknya patah, terdapat luka bakar akibat sundutan rokok pada tubuhnya, mukanya hitam dan biru, dan bibirnya robek dan berdarah … Pemerintah harus memastikan hal ini tidak akan terjadi lagi pada orang lain. Sangatlah penting untuk memberitahu mereka atas apa yang terjadi di masyarakat—bahwa ada perilaku buruk, dan mereka tidak memahami hukum.
Pada bulan Desember, anggota masyarakat mendekati Rohani dan mengatakan bahwa ia harus memberi mereka tiga (3) kambing, tiga (3) kardus besar beras, sebuah nangka muda, dan resep sop kambing. Ia berkata kepada Human Rights Watch, “Mereka mengatakan itu adalah hukuman atas apa yang dilakukan oleh Sri, tetapi saya tidak tahu bagaimana mereka sampai pada keputusan tersebut. Saya memberikan apa yang mereka inginkan karena saya tidak mau distigmatisasi karena tidak melakukan apa yang diminta oleh adat.” Rohani menambahkan bahwa Sri tidak pernah pacaran lagi sebagai akibat kejadian tersebut dan bahwa Budi tidak pernah ke rumahnya lagi.
Rosmiati dan Nurdin[71]
Polisi menahan Rosmiatidan seorang teman lelakinya, Nurdin, pada bulan Januari 2009 setelah para tetangga Rosmiati menuduh mereka melakukan perbuatan bersunyi-sunyian. Rosmiati mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ia memasuki rumah Nurdin pada suatu sore dengan maksud mengembalikan sejumlah buku kepadanya. Dalam 20 menit, anggota masyarakat mengepung rumah tersebut. Rosmiati menceritakan apa yang terjadi selanjutnya:
Saya mendengar suara-suara, seperti sekerumunan orang yang marah. Ada sekelompok orang berjumlah antara 10-50 orang. Saya mendengar mereka mengetuk, menendang dan berusaha mendobrak pintu. Mereka mendobrak pintu, masuk, dan tanpa mengatakan apapun, mereka memukul [Nurdin]. Hidungnya berdarah. Orang yang memukulnya masuk, seperti seorang pemimpin. Dia sangat marah. Dia memegang pisau.… Mereka mengambil beberapa barang kami, seperti telepon genggam dan charger, dan sebuah televisi kecil. Salah satu dari mereka memegang payudara saya, seakan saya perempuan murahan, yang tertangkap basah dengan seorang laki-laki di dalam rumah. Saya sangat malu. Saya sangat ingin menampar dia.
Tak lama kemudian, seorang petugas polisi tiba dan membawa Rosmiati dan Nurdin ke kantor polisi terdekat, dimana mereka ditahan lebih dari 24 jam atas dugaan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Di kantor polisi, Rosmiati diinterogasi di sebuah ruangan besar oleh sejumlah petugas polisi, dimana beberapa orang lain di kantor tersebut melihatnya. Dalam interogasi, polisi mengatakan bahwa jika ia mengaku, ia akan dilepaskan dalam jangka waktu 24 jam, dan bahwa jika ia menolak untuk mengaku atau meminta bantuan pengacara, “Itu akan membuat situasi lebih sulit.” Rosmiati memberikan pengakuan palsu karena berpikir hal tersebut akan membuatnya lekas dilepaskan, tetapi polisi tetap menahannya semalaman.
Keesokan harinya, Rosmiati berbicara dengan kepala kantor polisi. Ia merasa bahwa polisi menahannya untuk memaksanya membayar suap. “Dia berbicara tentang hal-hal yang tidak masuk akal, tentang listrik, tentang bagaimana ia harus makan, bagaimana ia tidak mau melibatkan pihak-pihak lain, dan seterusnya…. Polisi hanya berusaha mendapatkan uang—[kepala kantor polisi mengindikasikan bahwa] jika mereka mendapatkannya, mereka akan membiarkan masalah tersebut hanya dalam kantor polisi. Jika mereka tidak mendapatkannya, mereka akan melibatkan pihak-pihak lain, seperti jaksa.” Polisi akhirnya melepaskan dia atas jaminan temannya pada sore harinya setelah meminta dia menandatangani surat permohonan maaf dan meminta temannya menandatangani formulir guna menjamin kelakukan baiknya di masa yang akan datang. Polisi menahan ID dan menyuruhnya melapor ke kepolisian dua (2) kali dalam minggu berikutnya untuk mendapatkan kembali ID. Dengan bantuan petugas dari negaranya, Rosmiati dapat mengambil ID dari kepolisian dalam jangka waktu seminggu.
Tidak seorangpun dihukum atas penyerangan atau pencurian yang dialami Rosmiati dan Nurdin. Rosmiati mengatakan bahwa walau ia mempertimbangkan mengajukan tuntutan terhadap orang-orang yang menyerang mereka, ia tidak yakin bagaimana cara melakukannya. Dalam interogasinya, ia memberitahu polisi bagaimana anggota masyarakat memaksa masuk ke rumah Nurdin dan mencuri beberapa barang milik mereka. Tetapi, polisi tidak pernah menyarankan ia untuk mengajukan tuntutan terhadap anggota masyarakat, dan terus menekan dia untuk mengakui tuduhan perbuatan bersunyi-sunyian. Rosmiati mengatakan bahwa faktor-faktor ini, ditambah dengan stres yang ia alami, mengalahkan keinginannya untuk mengajukan petisi kepada polisi guna menangkap para penyerangnya. Rosmiati meninggalkan Aceh segera setelah paspornya dikembalikan. Ia dan Nurdin terus menanggung dampak tuduhan terhadap mereka bahkan lama setelah mereka dilepaskan dari tahanan:
Setelah saya dilepaskan [dari tahanan kepolisian], saya ingin meninggalkan [Aceh] secepatnya… karena [pengakuan] saya tidak benar, dan sangat memalukan. Kejadian itu sangat menyakitkan, dan saya sangat malu. Kejadian itu sangat traumatis bagi saya, ingatan yang sangat menyakitkan. Sangatlah berat bagi saya, tetapi lebih berat lagi bagi [Nurdin]. Ketika ia kembali ke rumah, kelapa desa mengatakan bahwa dia tidak dapat tinggal di sana lagi dan bahwa dia harus memberikan semua barangnya kepada desa tersebut, dan uang untuk memotong sapi atau kambing dan memasaknya, sebagai kompensasi karena memalukan desa. [Nurdin] khawatir akan keselamatannya. Dia meminta seorang teman datang dengan sebuah mobil van dan mereka cepat-cepat mengambil sebagian besar barangnya dan tidak pernah kembali walaupun dia telah membayar sewa hingga Juni.… Ketika ia berusaha mendapatkan rumah baru, ia mendapat masalah hingga beberapa bulan kemudian karena ia mendapat reputasi [buruk].
Siti dan Ahmad[72]
Siti dan Ahmad ditangkap secara kasar oleh anggota masyarakat Siti pada akhir April 2010 dan diserahkan kepada polisi, bersama dengan anak laki-laki Siti yang berusia enam (6) tahun. Siti, yang telah bercerai, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa kejadian tersebut terjadi ketika Ahmad, yang telah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun, datang ke rumahnya di desa yang baru ia tinggali selama dua (2) bulan:
Ahmad datang ke rumah saya pada sore hari. Putera saya yang berusia enam tahun sedang tidur di dalam rumah. Kami bermesraan dan melepaskan pakaian. Kemudian saya mendengar orang-orang datang ke rumah saya. Saya panik dan berusaha mengenakan pakaian, dan kemudian orang-orang tersebut mendobrak pintu kamar tidur saya. Ada enam orang di dalam rumah saya. Mereka mulai memukuli Ahmad, dan saya berusaha melindungi dia. Saya melindungi dia dengan tubuh saya, makanya saya terluka juga. Ada darah di ruang tamu saya dari mulutnya. Mereka membawa Ahmad keluar, dan setidaknya ada 100 orang di sekitar rumah saya, mungkin lebih. Mereka membawa Ahmad ke beranda dan terus memukuli dia. Kemudian mereka membawa dia ke rumah lain, melepaskan pakaiannya, dan memukuli dia dari semua sisi. Ahmad berteriak agar mereka berhenti, mengatakan bahwa ia akan menikahi saya. Orang-orang mengatakan bahwa itu adalah jalan keluar yang baik.
Polisi menahan Siti dan Ahmad, memaksa Ahmad bermalam di sel dan Siti dan anaknya bermalam di musholla kantor polisi. Keesokan harinya, WH mengambil alih Siti dan Ahmad dan membawa mereka ke kantor WH, dimana mereka memaksa Siti dan Ahmad untuk menikah. WH mengatakan kepada mereka bahwa WH akan membatalkan kasus mereka jika mereka sepakat untuk menikah. Mulanya, Siti dan Ahmad setuju untuk menikah, dan Siti memberitahu Human Rights Watch bahwa ia berpikir “mereka akan melakukannya pada saat itu juga.” Tetapi, sesaat kemudian, WH menyadari bahwa Ahmad telah menikah dan bahwa istri pertamanya menolak memberikan izin baginya untuk menikahi perempuan lain, sebagaimana diwajibkan oleh hukum Indonesia yang mengizinkan poligami. Siti memberitahu Human Rights Watch:
Wakil kepala kantor WH mengatakan bahwa saya tidak dapat menikahi Ahmad karena dia telah memiliki istri dan istrinya menolak memberikan izin. Kemudian petugas WH mengatakan hal-hal buruk kepada saya. Mereka menanyakan mengapa saya mau berselingkuh dengan seorang lelaki yang telah menikah. Saya memberitahu mereka bahwa dia berbohong kepada saya dan saya tidak tahu bahwa ia telah menikah. Mereka berkata, “Apa kamu mau dicambuk?” dan mereka mengambil cambuk dari dinding dan mengancam saya dengannya. Saya menangis dan anak saya menangis.
WH melepaskan Siti dan anak laki-lakinya dari tahanan sekitar tengah malam dan mengizinkan dia kembali ke rumah, walaupun mereka meminta dia kembali untuk ditanyakan lebih lanjut keesokan harinya. Pada bulan Mei 2010, Siti mengetahui dari polisi bahwa WH telah meneruskan berkas kasusnya ke jaksa, tetapi dia tidak tahu apakah mereka telah memutuskan untuk memproses dia dan Ahmad ke Pengadilan Syariah atau tidak.
Polisi tidak melakukan apapun untuk menyelidiki kekerasan yang menimpa Siti dan Ahmad. Siti mengatakan, “Orang-orang di komunitas saya harusnya ditahan karena mereka masuk ke rumah saya tanpa seizin saya… tetapi polisi hanya meminta saya menikahi Ahmad.” Saat ini, Siti masih tinggal di desa yang sama dan tidak menikah; dia belum pernah bertemu Ahmad lagi sejak kejadian tersebut. Siti mengatakan kepada Human Rights Watch, “Saya malu, karena desa saya malu. Saya takut meninggalkan rumah dan saya stres.… Saya khawatir bahwa proses pengadilan Syariah akan memakan waktu lama, atau bahwa saya lupa detil apa yang terjadi. Saya takut mereka akan menahan saya atau menghukum saya. Saya punya seorang anak dan dia masih sangat muda. Tidak ada orang yang akan menjaganya.”
Nita dan Azhar[73]
Nita, 19, mahasiswa di sebuah universitas, menceritakan kejadian pada bulan Januari 2009 ketika petugas WH menahan dia setelah menemukan dia dan pacarnya di sebuah jalan sepi pada siang hari. Nita memberitahu Human Rights Watch bahwa dia dan Azhar akan menjemput adik perempuan Nita dari sekolah dengan menggunakan motor Nita dan mengambil jalan, melalui perkebunan kelapa, yang dipikir merupakan jalan pintas. Nita memberitahu Human Rights Watch:
Kami berada di perempatan dan kami berhenti sehingga Azhar dapat melihat jalan yang akan kami ambil. Dua orang menghampiri—mereka WH. Mereka mengambil kunci motor saya dan bertanya apakah kami telah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Saya bilang tidak. Petugas WH bilang mereka ingin menanyai kami. Saya minta petugas WH tersebut memberikan permintaan tertulis. Dia hanya mengatakan bahwa saya harus datang ke kantor mereka pada pukul 1 siang…
[Tak lama setelah tiba,] laki-laki saudara tiri saya datang ke kantor WH dan meminta bukti kepada WH bahwa saya telah melakukan sesuatu. Kepala kantor WH mengatakan kepadanya bahwa dia tidak akan membebaskan saya kecuali orangtua saya datang. Kemudian WH menginterogasi saya secara kasar. Mereka berteriak, “Apa yang kamu lakukan?” berulang-ulang kali dan memukul dinding dan meja. Ada sekitar 40 orang di kantor WH. Sekitar 15 di antaranya menginterogasi saya. Salah satu petugas WH, Fedi, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sugestif, seperti ‘apa kamu punya pacar?’ Ada seorang petugas perempuan yang menginterogasi saya menuduh saya melakukan hubungan seksual dengan saudara laki-laki saya.… Ibu tiri saya datang pada pukul 3 siang untuk menjemput saya tetapi mereka tidak melepaskan saya karena saya tidak memiliki hubungan langsung dengannya.… Saya merasa seakan saya diperlakukan seperti seorang teroris—seperti saya meledakkan rumah presiden. WH membawa masuk satu pasangan lain tak lama kemudian, dan mereka membuat perempuan tersebut membayar Rp 2 juta dan lelaki tersebut Rp 1 juta untuk dapat keluar.
Sekitar pukul 10.30 malam, mereka memindahkan saya ke sebuah ruangan kecil di sebelah kamar mandi, jauh dari ruangan utama. Ruangan itu kecil, gelap dan kotor. Sekitar dua jam kemudian, seorang petugas WH, Nazir, masuk dan menutup pintu. Dia berkata, ’kamu mau masalah ini selesai? Kamu tidak mau ini diserahkan ke polisi, kan?’ Dia memaksakan makanan dan minuman yang tadinya berada di mulutnya dan di lantai ke dalam mulut saya. Dia mengangkat rok saya. Dia berkata, ‘kalau kamu teriak, ada banyak laki-laki di luar sana, dan mereka semua akan ikut bergiliran.’ Saya diperkosa, kemudian dia pergi, dan saya menangis hingga tertidur. Dua atau tiga jam kemudian, dua petugas WH lainnya, Feri dan Dedi, masuk dan menutup pintu. Feri menanyakan mengapa saya menangis, saya mengatakan bahwa Nazir telah melakukan hal yang sangat buruk pada saya. Kemudian Dedi membungkam mulut saya dan menahan lengan saya dan Feri memperkosa saya. Dedi memaksa saya melakukan oral seks kepadanya.
Keesokan harinya, seorang petugas WH lainnya datang ke ruangan tersebut dan menyuruh saya pergi. Saya mengatakan kepadanya bahwa tiga temannya telah memperkosa saya. Dia menyuruh saya untuk tidak memberitahu orang lain selain dia. Ibu saya menjemput saya pukul 7 pagi. Saya menangis. Kepala dosen kampus saya, Doni, ada di sana untuk menguliahi saya, karena dia juga bekerja sebagai Satpol PP. Seorang perempuan petugas Syariah memberitahu dia bahwa saya telah tertangkap basah melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Dia (Doni – ed.) memberitahu ibu dan saya bahwa saya seharusnya dilempari batu sampai mati karena pelanggaran yang saya lakukan. Saya berkata kepada Doni, ‘Pak, saya hanya berusaha mencari jalan pintas, dan untuk itu saya harus dilempari batu? Bagaimana dengan petugas-petugas yang memperkosa saya semalam?’ … Pagi itu, polisi membariskan petugas-petugas WH. Ketika saya menunjuk Nazir, Doni berkata kepadanya, ‘Kamu sudah melakukan ini beberapa kali, tapi kami selalu memaafkan kamu.’
Polisi Langsa menangkap dua (2) dari tiga (3) petugas WH yang memperkosa Nita, Mohammed Nazir, 29, dan Feri Agus, 28; Tak lama setelah tuduhan terhadap WH diketahui publik, Syahril, Kepala Kantor WH Langsa, diganti. Pengadilan terhadap Nazir dan Feri atas pemerkosaan berakhir pada tanggal 15 Juli 2010; kedua lelaki tersebut dinyatakan bersalah dan divonis delapan (8) tahun penjara, lebih ringan dari 12 tahun sebagaimana dituntut oleh jaksa.[74]Pada bulan November 2010, petugas ketiga yang memperkosa WH Nita tetap bebas, dan tidak ada indikasi bahwa pihak berwenang di Aceh masih berusaha untuk membuatnya diadili.
Pada bulan Mei 2010, ketika pengadilan terhadap para penyerang Nita berlangsung, Wakil Gubernur Mohammad Nazar memberitahu Human Rights Watch bahwa apa yang terjadi pada Nita adalah kasus pengecualian dan bahwa dia telah memerintahkan Kepala WH memberikan “sanksi berat” kepada anggota-anggota WH di Langsa. Tetapi ketika Human Rights Watch berbicara dengan Kepala WH di Aceh, dia mengatakan bahwa menurutnya tuduhan Nita palsu dan bahwa Nita berusaha “menjebak” pasukan WH, ia juga mengatakan bahwa beberapa sanksi telah diterapkan kepada WH Langsa.
Saat ini, Nita masih trauma oleh pelecehan yang ia alami dan tidak lagi menemui Azhar. Keluarganya pindah sebagai akibat kejadian tersebut, dan Nita belum kembali lagi ke sekolah setelah kejadian itu. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Saya ingin melanjutkan kuliah saya, tapi tidak di kota ini. Saya masih enggan keluar rumah.” Nita mengatakan bahwa pemerintah seharusnya dapat melakukan beberapa hal untuk mencegah terulangnya pelecehan yang ia alami: “Tidak ada lagi manipulasi proses … adakan pengadilah terhadap anggota WH; dan … tidak ada lagi korban. Biar saya menjadi korban terakhir.”
V. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Penerapan Hukum Khalwat
Kasus-kasus yang diutarakan dalam Bab IV di atas secara jelas menggambarkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan dan pelanggaran penahanan, yang menyertai penegakan Hukum Perbuatan Bersunyi-sunyian oleh petugas-petugas WH dan masyarakat setempat. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa hukum diterapkan untuk perilaku yang sepenuhnya tidak berbahaya yang seharusnya tidak dikriminalisasi, yang diterapkan secara selektif, yang penegakan hukumnya sering menekan tersangka untuk “mengakui” perasaannya satu sama lain dan kemudian mendesak mereka untuk menikah, dan di beberapa kasus hukum diterapkan kepada anak dibawah umur. Setiap isu ini dibahas secara terpisah sebagaimana berikut ini.
Hukum Diterapkan secara Sewenang-wenang untuk Mengkriminalisasi Perilaku yang Tidak Berbahaya
Semua pejabat pemerintah, orang-orang yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian,” dan anggota masyarakat sepakat bahwa pelanggaran “perbuatan bersunyi-sunyian” didefinisikan secara luas dan ambigu dalam Qanun No. 14/2003. Ambiguitas ini membuka pintu terhadap penerapan hukum secara sewenang-wenang.
Tujuan Qanun tersebut tampaknya adalah untuk mencegah perzinahan dan hubungan seksual di luar perkawinan: pada Pasal 2, peraturan daerah (Perda) menyatakan bahwa larangan “perbuatan bersunyi-sunyian” berlaku untuk “segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zinah.”[75] Definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” memang diberikan dalam Perda tersebut, tetapi tidak jelas dan luas, dan WHmaupun warga sipil memberlakukan Perda tersebut untuk berbagai tindakan, termasuk duduk bersama di warung dan tempat-tempat rekreasi, mengobrol di dalam rumah, dan bepergian bersama dengan menggunakan motor.
Sebagian masalahnya terletak pada pendefinisian awal tentang apa yang dimaksudkan dengan pelanggaran. Qanun No. 14/2003, pada Pasal 1(20) mendefinisikan khalwat (mesum) sebagai sebuah pelanggaran tunggal—walaupun kata “khalwat” diterjemahkan menjadi “perbuatan bersunyi-sunyian” dan kata “mesum” diterjemahkan menjadi “ketidaksenonohan.” Qanun No. 14/2003 hanya mendefinisikan khalwat (“perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan”) dan tidak mendefinisikan mesum.[76]
Petugas-petugas WH mengartikan Perda tersebut menjadi: pasangan yang terlibat dalam tingkah laku yang diyakini oleh seorang petugas WH secara subyektif “dapat mengarah” pada hubungan seksual telah melanggar hukum.
Fatimah, seorang pegawai negeri sipil berusia 37 tahun, menceritakan kepada Human Rights Watch pengalamannya di Banda Aceh pada bulan November 2009 yang menunjukkan bagaimana penegakan hukum yang sewenang-wenang dapat terjadi. Pada suatu malam sekitar pukul 20.00, Fatimah, yang berasal dari daerah lain dan berada Banda Aceh untuk bekerja, beserta rekan kerjanya, Sofyan, seorang jurnalis yang baru saja ia temui, pergi ke sebuah daerah pelabuhan terkenal untuk duduk dan makan jagung bakar. Mereka sedang menunggu seorang rekan lain yang akan menghubungi mereka. Ketika mereka makan, para petugas WH mendatangi mereka dan menanyakan apakah mereka sudah menikah dan memiliki surat nikah. Ketika Fatimah dan Sofyan mengatakan bahwa mereka tidak menikah, para petugas WH mengambil kartu identitas mereka dan mengatakan bahwa mereka harus lapor ke kantor untuk mengambil identitas mereka dan menerima “bimbingan” dua hari kemudian. Sofyan menjadi marah, mengatakan kepada WH bahwa mereka bolehmenahan identitasnya, dan sebagai reaksinya, WH menahan mereka. Fatimah memberitahu Human Rights Watch, “Saya dituduh melakukan ‘perbuatan bersunyi-sunyian’, tetapi saya berada di tempat publik. [Kemudian,] saya kembali dan saya menghitung jarak antara tempat saya duduk dan penjual—saya berada 15 langkah dari mereka. Itu bukan tempat sepi, dan ada lampu, dan ada banyak orang. Saya hanya korban dari situasi.”[77]
Zuhriyah, 26, menceritakan bagaimana pada tanggal 1 Mei 2010 pada sore hari WH mendekati dia dan pacarnya ketika mereka sedang duduk di sebuah warung di pantai di Banda Aceh, makan mi, dengan sebuah tas memisahkan mereka. Kedua petugas WH menanyakan apakah mereka menikah dan meminta bukti surat nikah. Ketika mereka tidak dapat menunjukkan dokumen tersebut, WH mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh duduk bersama dan bahwa mereka harus pergi. Mereka pindah ke sisi lain meja tersebut dan berusaha meneruskan makan mereka, tetapi petugas-petugas WH melihatnya dan berjalan kembali ke arah mereka, sehingga mereka akhirnya meninggalkan pantai.[78]
Tindakan-tindakan penegakan yang semacam ini, meskipun tidak berakhir dengan penahanan, menyebabkan kebingungan dan kemarahan pihak-pihak yang terkena. Zuhriyah mengatakan kepada Human Rights Watch, “[Pacar saya dan saya] tidak melakukan apapun. Kami hanya mengobrol. Bukankah kami boleh duduk dan berbicara satu sama lain?”[79]
Interpretasi luas atas terminologi “perbuatan bersunyi-sunyian” oleh WH membuat orang takut ditangkap karena tindakan-tindakan sepele. Fatimah mengatakan kepada Human Rights Watch, “Perda tersebut membuat saya tidak nyaman dan hati-hati… kalau kita harus menghabiskan seluruh waktu kita dengan orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, hidup akan menjadi sulit. Dan tidak ada definisi apa yang dimaksud ‘tempat sepi,’ atau apa yang dimaksud ‘jam sepi’. Itu artinya sewenang-sewenang—tergantung pada apa yang diinterpretasikan oleh WH.”[80] Dewi, seorang jurnalis dari Banda Aceh, mencatat bahwa ketidakjelasan definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” mempermudah orang menggunakan hukum sebagai alat untuk melakukan pelecehan; ia berkata, “Kalau tidak ada standar, dan saya tidak suka dengan seseorang dan melihat dia dengan pacarnya, saya laporkan saja mereka ke WH dan WH akan menahan mereka.”[81]
Hukum Diterapkan secara Selektif
Ada juga bukti bahwa orang-orang yang memiliki hubungan baik dengan orang-orang penting dan orang-orangkaya tidak dihukum karena melanggar hukum. Sebagaimana Fatimah menceritakan kepada Human Rights Watch, setelah WH membebaskannya dari tahanan, mereka menyuruh dia untuk kembali minggu berikutnya dengan seorang kerabat untuk menjamin bahwa dia tidak akan melanggar hukum lagi. Dia meminta seorang kerabat menemaninya yang secara pribadi mengenal Kepala WH Aceh. Fatimah mengatakan bahwa ketika kerabatnya menghubungi Kepala WH, dia mengatakan bahwa Fatimah seharusnya mengatakan kepada petugas-petugas WH yang mendekatinya tentang kerabatnya tersebut, maka Fatimah tidak akan ditahan. Fatimah memberitahu Human Rights Watch, “Hukum mendiskriminasi—jika Anda memiliki hubungan dengan orang yang berkuasa, Anda akan dibebaskan. Hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki koneksi.”[82]
Bustami, seorang petugas WH, memberitahu Human Rights Watch bahwa petugas-petugas WH diperintahkan untuk tidak menahan anggota kepolisian nasional dan angkatan bersenjata Indonesia; sebaliknya, jika petugas WH mencurigai mereka melanggar hukum Syariah, mereka harus memberitahukan atasannya untuk menerima sanksi internal. Bustami mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ia menentang keras kebijakan ini, “Kalau petugas polisi, kami menyerahkan mereka kepada kantornya. Tetapi pacarnya, kami bawa ke kantor kami. Ini sangat tidak adil.”[83] Salah satu aktivis di Aceh menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena polisi dan pejabat militer tunduk hanya pada hukum nasional, bukan kepada hukum yang berlaku di tingkat provinsi atau kabupaten, hal ini efektif membebaskan mereka dari perda Syariah di Aceh.[84]
Beberapa warga Aceh memberitahu Human Rights Watch bahwa mereka percaya WH melakukan razia untuk menangkap para pelanggar “perbuatan bersunyi-sunyian” hanya di tempat-tempat yang sering didatangi oleh orang biasa, menghindari tempat-tempat yang sering didatangi orang kaya. WH melakukan razia untuk menangkap pasangan-pasangan yang tidak menikah di daerah pantai tertentu di Banda Aceh yang sering didatangi oleh orang muda dan orang biasa. Akan tetapi, hanya sedikit kejadian serupa dengan operasi WH dilaporkan terjadi di restauran, kedai kopi atau tempat-tempat rekreasi lain yang sering didatangi oleh orang kaya. Fatimah mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa setelah dia dan rekan lelakinya ditahan ketika makan makanan yang dibeli dari penjual di pinggir jalan di sebuah tempat pantai terkenal, “Saya bilang [kepada petugas WH yang menangkapnya], ‘Kalau kamu mau melakukan operasi [untuk memonitor orang yang melakukan ”perbuatan bersunyi-sunyian”], kamu seharusnya melakukannya di restauran juga, karena saya yakin di sana banyak pasangan yang tidak punya surat nikah. Kamu harusnya menerapkan Syariah secara sistematis.’”[85] Maliyah, seorang jurnalis radio, sepakat; ia mengatakan kepada Human Rights Watch, “WH tidak adil dalam melakukan razia. Mereka mengadakan razia di tempat-tempat yang hanya dikunjungi orang-orang biasa, tidak ke tempat-tempat seperti kafe, karena mereka takut [menantang orang-orang yang statusnya lebih tinggi].”[86]
“Pengakuan” Paksa
WH dan polisi secara agresif menginterograsi para tersangka dan menekan mereka untuk mengakui perasaan pribadinya terhadap tersangka yang lain. Sebagai contoh, Fatimah, yang kasusnya diceritakan di atas, mengatakan kepada Human Rights Watch apa yang terjadi setelah dia dan rekannya, Sofyan, ditahan oleh WH:
Seorang petugas laki-laki WH menanyakan siapa teman saya. Saya mengatakan yang sebenarnya kepada mereka, tetapi dia menginginkan jawaban yang berbeda. Dia terus bertanya, ‘Apa kamu suka dia?’ dan ‘Apa hubungan kalian?’ Saya berulang kali menjawab, ‘Sepenuhnya profesional.’ Kemudian petugas WH menginterograsi Sofyan.… Dia terus menanyakan apakah dia suka saya, berulang-ulang kali. Akhirnya dia menjawab, ‘Iya, saya suka dia.’ Kemudian dia bertanya, ‘Apa kamu akan menikahi dia?’ dan Sofyan berkata, ‘Saya tidak tahu.’ Kemudian petugas WH memanggil saya lagi. Dia bilang saya tidak boleh pulang sebelum jawaban kami sama. Dia bilang saya harus memikirkan jawaban saya baik-baik atau mereka akan menahan saya. Saya berkata, ‘Kalau saya akan ditahan, bawa saya ke polisi.’ Tetapi dia menolak. Tengah malam, saya benar-benar khawatir pekerjaan saya tidak akan selesai dan saya tidak dapat pulang. Jadi saya ingin mengakhirinya. Saya mengatakan kepada WH bahwa saya suka [Sofyan].[87]
Seusai “pengakuannya,” petugas-petugas WH mengatakan kepada Fatimah bahwa mereka tidak akan memaksa dia menikahi Sofyan, tapi jika dia ingin dibebaskan dari tahanan, seorang kerabat harus datang ke kantor WH dan menjamin bahwa dia akan berperilaku baik di masa yang akan datang. Fatimah menjelaskan bahwa orangtuanya telah meninggal dan bahwa saudara satu-satunya tinggal di Jakarta, dan awalnya WH menolak membebaskan dia dari tahanan. Dia kemudian menyebutkan nama salah seorang kerabat jauh yang cukup terkenal, kemudian petugas yang menginterogasinya tiba-tiba meminta izin dan meninggalkan kantor. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 2 pagi, petugas WH lainnya memberitahu bahwa dia telah dilepaskan dan bahwa mereka akan mengantar dia ke hotelnya, walau dia harus kembali ke kantor dengan seorang kerabat minggu berikutnya.
Rosmiati juga menceritakan hal serupa kepada Human Rights Watch, yakni bahwa polisi menginterogasi dia secara agresif dan mendesak dia untuk mengakui melakukan hubungan seksual dengan temannya yang juga ditahan bersamanya, terlepas apakah pengakuannya benar atau tidak. Dan Siti, yang kasusnya terdapat di Bab III, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa WH secara spesifik menanyakan kesediaannya untuk menikahi laki-laki yang ditahan bersamanya. Dalam kasus Siti, WH secara spesifik mendesak dia dan Ahmad agar sepakat untuk saling menikah dan memberitahu mereka bahwa WH akan menghentikan penyelidikan “perbuatan bersunyi-sunyian” tersebut dan membebaskan mereka dari tahanan jika mereka sepakat menikah.[88]
Praktik yang dilakukan WH mendesak pasangan-pasangan agar menikah sebagai ganti dihentikannya tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” bukanlah hal yang aneh. Menurut laporan media selama 2009-2010, perwakilan-perwakilan WH menyatakan mereka “memastikan” bahwa pasangan yang ditangkap akan menikah,[89] atau menyerahkan individu-individu tertuduh “perbuatan bersunyi-sunyian” kepada orangtua mereka jika orangtuanya sepakat untuk memastikan bahwa mereka akan menikah satu sama lain.[90] Komandan Operasi Aceh Tgk Adin mengatakan kepada media di Aceh pada bulan Juni 2010 bahwa WH menganggap ini sebagai bagian dari fungsi “pembinaan”; ia mengatakan, “Jika mengakui sudah berhubungan badan, WH menganjurkan, terutama kepada pihak keluarga untuk menikahkan saja, demi masa depan mereka. Pernikahan bukanlah sanksi hukum atau sanksi adat, namun itu bisa dijadikan tawaran untuk solusi pembinaan kepada tersangka.”[91] Tidak jelas bagaimana dan apakah WH dapat memastikan bahwa pasangan-pasangan yang sepakat untuk menikah benar-benar melakukannya. Akan tetapi, Siti memberitahu Human Rights Watch bahwa setelah dia dan Ahmad awalnya bersedia menikah di bawah tekanan WH, dia yakin bahwa pernikahan tersebut akan diadakan seketika itu juga.
Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polisi Daerah (Polda) Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa polisi tetap tidak yakin tentang tindakan-tindakan yang boleh mereka lakukan ketika mereka menyelidiki tersangka pelanggar hukum Syariah, tapi dia menganggap bahwa pernikahan paksa adalah sebuah kejahatan. Hal ini sesuai dengan hukum hak asasi manusia, yang jelas mewajibkan negara melindungi hak seseorang untuk menikah hanya atas persetujuan mereka sepenuhnya dan tanpa tekanan, hak yang dilanggar ketika para petugas penegak hukum mengkondisikan pembebasan tersangka pelanggar hukum dari tahanan bila mereka sepakat untuk menikah.[92]
Pelanggaran-pelanggaran Lain: Tes Keperawanan dan Penerapan Hukum tentang Khalwat terhadap Anak-anak
Kepala WH Aceh, Marzuki, juga mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa sebagai bagian dari penyelidikan mereka atas kasus-kasus “perbuatan bersunyi-sunyian,” para petugas WH dapat dan dalam banyak kasus meminta tersangka perempuan melakukan tes keperawanan.[93] Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa menurutnya, wajar jika WH meminta para tersangka “perbuatan bersunyi-sunyian” melakukan tes keperawanan, walaupun menurutnya hal tersebut “jarang” terjadi.[94]
Hukum hak asasi manusia melarang pihak berwenang negara meminta perempuan melakukan tes keperawanan semacam itu karena hal tersebut melanggar hak integritas fisik dan privasi perempuan dan anak perempuan.[95] Tindakan semacam itu juga tidak diperlukan, karena tidak ada alasan medis atau forensik yang sah dan dapat diterima atas penyelenggaraan tes semacam itu dan hal tersebut diskriminatif terhadap perempuan.[96]
Para petugas WH juga menerapkan Hukum Perbuatan Bersunyi-sunyian kepada anak-anak. Menurut Marzuki, Kepala WH Aceh, “banyak” dari mereka yang ditahan dan diselidiki oleh WH atas tuduhan melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” berusia, seperti Sri, ”sekitar 17 tahun.”[97] Media-media di Aceh memberitakan beberapa contoh dalam setahun terakhir ini dimana petugas WH menahan anak-anak berusia antara 15 dan 18 tahun atas tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian.”[98] Penahanan anak-anak atas tuduhan bahwa mereka telah melanggar Hukum Perbuatan Bersunyi-sunyian sangat bermasalah menurut hukum hak asasi manusia, yang sebagaimana hukum nasional Indonesia, menyatakan bahwa anak-anak boleh ditahan “hanya sebagai upaya terakhir.”[99]
Stigmatisasi dan Dampak Lain Akibat Pelarangan “Perbuatan Bersunyi-sunyian”
Baik perempuan dan laki-laki yang ditahan oleh WH atau polisi atas tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” mengalami berbagai konsekuensi sosial, personal dan profesional yang negatif paska pembebasannya. Konsekuensi-konsekuensi tersebut termasuk stigmatisasi, dikeluarkan dari program akademis, dan tekanan untuk membatasi perilaku profesional atau pribadi mereka. Stigmatisasi ini khususnya menimbulkan efek sangat buruk bagi perempuan. Sebagaimana seorang aktivis hak perempuan mengatakan kepada Human Rights Watch, “Paska razia WH, perempuan adalah pihak yang mendapat stigmatisasi. Laki-laki dapat pergi begitu saja.”[100]
Fatimah, perempuan yang ditahan bersama dengan rekan laki-lakinya, Sofyan, dalam patroli WH atas tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian,” mengingat pengalamannya terkait stigmatisasi tersebut. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch:
Saya pulang ke rumah dan berita bahwa saya ditahan telah beredar di koran dan Facebook. Kepala WH membuat pernyataan di media, dan media menyebutkan profesi saya dan detil yang memungkinkan orang mengetahui siapa saya. Itu menghancurkan reputasi saya walaupun saya tidak melakukan apapun yang buruk. Anggota keluarga saya marah. Saya berusaha menjelaskan, tetapi mereka berkata, ”Kalau kamu tidak melakukan kesalahan apapun, lalu mengapa kau ditahan?” Saya merasa seakan saya dihakimi, seakan saya telah menghancurkan reputasi keluarga saya karena kejadian ini. Akibatnya, saya kehilangan banyak teman.… Sejak saat itu, saya berhenti mengerjakan proyek [di Banda Aceh] akibat apa yang telah terjadi.[101]
Rosmiati, yang ditahan oleh polisi bersama dengan temannya, Nurdin, atas dugaan“perbuatan bersunyi-sunyian”, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pengalaman tersebut telah menodai reputasinya dan Nurdin, dan bahwa Nurdin menghadapi kesulitan mendapatkan tempat tinggal baru setelah dia diusir dari kampungnya sebagai akibat dari kejadian tersebut.[102] Wati, yang ditahan oleh WH dan diinterogasi atas laporan “perbuatan bersunyi-sunyian” oleh anggota masyarakatnya, mengatakan kepada Human Rights Watch, “Ketika orang-orang di kampus saya mendengar berita tersebut, mereka tidak mengetahui cerita tersebut seutuhnya, dan kemudian kepala kampus saya mengatakan bahwa saya harus keluar dari kampus. Seorang anggota fakultas berusaha membela saya, tetapi dia tidak dapat mengubah hasilnya. Saya hanya punya satu semester lagi sebelum selesai.”[103] Dia akhirnya diizinkan kembali ke kampus untuk menyelesaikan program studinya, tetapi itupun setelah ada pengangkatan kepala universitas yang baru. Sebagai akibat dari kejadian itu, Tunangan Wati pun diusir dari desa dimana ia menyewa kamar.
Beberapa perempuan meninggalkan rumahnya atau menghindari bepergian ke daerah-daerah tertentu, atau bahkan meninggalkan Aceh, setelah dituduh “bersunyi-sunyian.” Wati menceritakan bahwa ia terpaksa membatasi pergerakan dan hubungannya sebagai akibat dari apa yang terjadi padanya. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Saya berusaha bersembunyi setelahnya. Sulit bagi saya untuk bertemu teman-teman saya.… Saya trauma. Sekarang, suami saya dan saya punya kesepakatan—saya tidak akan pergi kemanapun sendirian dengan laki-laki lain. Resikonya terlalu tinggi.”[104]
Untuk beberapa perempuan—termasuk Nita, Siti dan puteri Rohani, Sri—tuduhan terhadap mereka menghancurkan hubungan mereka dengan laki-laki yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” dengan mereka.
Pembenaran terhadap Hukum tentang Khalwat, dan Beberapa Pandangan yang Berbeda
Sejumlah pejabat pemerintah di Aceh berargumen bahwa kriminalisasi “perbuatan bersunyi-sunyian” dan penggunaan polisi dan WH untuk menegakkan hukum adalah cara untuk memberantas tindakan main hakim sendiri atau kekerasan di tingkat desa terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam perilaku tidak bermoral. Al Yasa’ Abubakar, mantan kepala Dinas Syariat Islam, yang memainkan peranan penting dalam perumusan Qanun No. 14/2003, mengatakan kepada Human Rights Watch, “Kami ingin agar hukum ‘perbuatan bersunyi-sunyian’ mencegah masyarakat main hakim sendiri terhadap orang lain.”[105] Husni M. Agee, staf Departemen Pengembangan Hukum Dinas Syariat Islam, sepakat; ia mengatakan, “Islam melarang anarki dalam komunitas. Kami menerapkan Syariah sehingga orang tidak menghukum mereka yang berbuat salah secara main hakim sendiri—sehingga orang yang melakukan pelanggaran dihukum oleh pemerintah, bukan oleh masyarakat.”[106]
Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polda Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa polisi tidak diizinkan menahan orang tertuduh “perbuatan bersunyi-sunyian” lebih dari 24 jam, tetapi menurutnya polisi sering terpaksa melakukan hal tersebut.[107] Budiyono mengatakan bahwa masyarakat di Aceh berpendapat bahwa polisi gagal menjunjung hukum ketika mereka dalam waktu singkat melepaskan orang-orang yang dituduh “bersunyi-sunyian.” Pendapatnya didukung oleh rancangan Qanun Hukum Jinayat tahun 2009 yang mengatur bahwa polisi diizinkan memerintahkan penahanan tersangka “perbuatan bersunyi-sunyian” hingga 15 hari.
Tetapi, Budiyono juga mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa menurutnya penerapan hukum Syariah secara formal mendorong peningkatan kekerasan oleh masyarakat. Ia mengatakan, “Praktek [oleh masyarakat] ini telah berlangsung lama, ini adalah sebuah kebiasaan. Tapi sebelumnya, kami tidak [melakukan kekerasan].… Kekerasan mulai terjadi setelah damai tercapai di Aceh. Orang menjadi antusias menegakkan Syariah Islam.”[108]
Para pejabat pemerintah lainnya berpendapat bahwa definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” yang ambigu dalam Qanun No. 14/2003 sangat bermasalah dan dapat mengarah pada penerapan hukum pidana yang berlebihan oleh WH.[109] Hasbi Abdullah, Ketua DPRA, juga sepakat bahwa definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” yang ada saat ini “subyektif” dan bahwa hal tersebut harus diklarifikasi.[110]
Yusni Sabi, mantan rektor IAIN Al-Raniry Banda Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa kasus-kasus yang melibatkan penahanan sewenang-wenang dan interograsi yang berlebihan oleh WH dalam menegakkan hukum Syariah menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh harus mendefinisikan peran WH. Ia mengatakan, “Ketika kamu bicara tentang Syariah, kamu berbicara tentang kebaikan, damai, dengan bujukan secara baik-baik, bukan dengan [cara] kasar. WH tidak boleh selalu melakukan apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu, saya pikir WH harus memiliki panduan khusus, tidak sekedar bertindak … dengan cara-cara yang terkadang tidak masuk akal. Hal itu memalukan Syariah.”[111]
VI. Penegakan Hukum tentang Khalwat oleh Masyarakat
Hukum (”Perbuatan Bersunyi-sunyian”) juga mendorong masyarakat sipil berpartisipasi dalam penerapan hukum, dan peraturan daerah (Perda) Aceh lainnya memberikan wewenang pada mekanisme adat untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam ini. Ditambah dengan definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” yang tidak jelas dalam hukum ini, hal tersebut mendorong adanya tindakan main hakim sendiri dan mengarahkan warga sipil untuk menuduh secara sewenang-wenang anggota masyarakatnya melakukan kesalahan, sebagaimana digambarkan dalam tiga (3) dari empat (4) kasus yang diuraikan dalam Bab III. Dan ketika anggota masyarakat melakukan pelanggaran, seperti menyerang tersangka, polisi jarang melakukan campur tangan dan hampir tidak melakukan apa-apa untuk menghukum para penyerang.
Bab ini menjelaskan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan penegakan masyarakat atas Hukum Khalwat. Bab ini diakhiri dengan analisis minimnya respon polisi terhadap upaya penegakan oleh masyarakat yang menggunakan kekerasan dan sewenang-wenang.
Qanun No. 14/2003 mengatakan: “Anggota masyarakat harus berperan serta mencegah perbuatan ‘bersunyi-sunyian’ atau mesum dalam rangka memenuhi kewajiban mereka sebagai Muslim dan menjalankan mandat untuk mengalahkan yang tidak adil,” walau Perda tersebut juga memberi catatan bahwa penegakan tersebut tidak boleh berbentuk main hakim sendiri. Dewi, seorang jurnalis, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ini adalah interpretasi tentang apa yang diminta dalam Islam yang umumnya dipahami. Ia berkata, “Kami percaya bahwa jika seseorang dalam masyarakat kami melakukan kesalahan … dan kami tidak menghentikannya, Allah akan menyalahkan kami juga.”[112]
Kebijakan-kebijakan tentang penegakan hukum juga mendorong penyelesaian oleh masyarakat, misalnya: setidaknya salah satu Dinas Syariat Islam di tingkat kabupaten baru-baru ini mengumumkan bahwa para penegak hukum hanya akan menangani tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” yang telah ditangani oleh pihak berwenang di tingkat desa terlebih dahulu.[113]
Hampir semua orang yang diwawancarai oleh Human Rights Watch di Aceh sering menemukan praktik penegakan hukum Syariah di tingkat masyarakat dan banyak dari mereka mengetahui contoh kejadian serupadi desa mereka sendiri, walau mereka mengatakan bahwa kejadian-kejadian semacam itu tidak umum dibahas di luar kelompokmasyarakatnya. Media juga melaporkan banyak kasus semacam itu.[114] Menurut Surya, 23, seorang mahasiswa di Banda Aceh, “Seringkali masyarakat menangkap tertuduh lebih memilih untuk menyelesaikan masalahnya melalui prosedur adat dan tidak ingin pihak lain mengetahuinya. Itu adalah cara untuk menjaga nama baik desa.”[115] Keengganan atas tersebarluasnya kejadian ”perbuatan bersunyi-sunyian” menyebabkan beberapa kelompok masyarakat memilih tidak memanggil WH dan polisi ketika mereka melakukan penangkapan.
Human Rights Watch berbicara dengan sejumlah orang yang berpartisipasi, menyaksikan, atau menjadi korban kejadian semacam itu. Dalam kasus-kasus tersebut dan dalam banyak kasus yang didiskusikan dalam berita di media, penegakan Hukum Khalwat oleh masyarakat melibatkan warga sipil, dan sering ada “pengintai” yang bertugas mengawasi jika ada orang yang melanggar hukum. Dalam beberapa kasus, sekelompok orang bergabung dalam kerumunan massa; dalam beberapa kasus lainnya, tersangka pelanggar diminta menjalani ritual hukuman dimana mereka disiram air atau bahkan air selokan. Para pemimpin masyarakat kemudian berusaha menyelesaikan masalah, sering dengan meminta para pelanggar menikah satu sama lain, membayar penalti kepada pihak desa, segera meninggalkan desa, atau digiring keliling desa untuk dipermalukan.
Dalam beberapa kasus yang diselidiki oleh Human Rights Watch, korban penegakan Hukum Khalwatoleh masyarakat adalah orang yang dianggap“orang luar,” orang yang lahir di luar kampung yang mereka diami. Bustami, petugas WH yang telah disebutkan sebelumnya, memberitahu kami bahwa dia telah turut serta beberapa kali dalam tindakan penegakan oleh masyarakat sebelum dia diangkat menjadi anggota WH pada bulan Januari 2010: ”Banyak orang yang ditangkap adalah orang luar. Kami tidak pernah menangkap laki-laki dan perempuan yang keduanya tinggal di desa ini. Dan banyak perempuan [penduduk desa yang ditangkap] bukan orang asli, walau mereka telah lama tinggal di sini—ketika mereka masih kecil, keluarga mereka pindah ke desa ini.”[116]
Bustami menceritakan kepada Human Rights Watch contoh kasus yang terjadi di awal 2009 dimana ia ikut menangkap dan menghukum seorang perempuan yang telah tinggal di desanya selama beberapa saat dan seorang laki-laki yang pindah dan tinggal dengannya. Walaupun pasangan itu telah menempati rumah yang sama selama beberapa saat, masyarakat awalnya tidak menyadari bahwa laki-laki tersebut tidak menikah atau memiliki hubungan darah dengan perempuan tersebut:
Kami memberi peringatan—jika dalam seminggu laki-laki tersebut tidak meninggalkan rumahnya, kami akan menangkap dia. Tetapi lelaki tersebut tetap tinggal di rumah perempuan itu, jadi kami menangkap dia. Kami [menyiram air] kepada mereka. Dan kemudian kami memproses kasus mereka di meunasah. Sebagai hukuman, mereka [masing-masing memberi sebuah kambing untuk komunitas]. Perempuan itu seorang pelajar jadi dia tidak mau menikah dengan lelaki itu, dan [membayar dengan kambing] adalah hukuman paling ringan.… Lalu perempuan itu pindah. Semua pelanggar yang melakukan zinah harus pergi karena akan memberikan reputasi buruk kepada desa tersebut jika mereka tidak meninggalkan desa.[117]
Penyerangan terhadap Individu yang Dituduh “Bersunyi-sunyian” dan Minimnya Respon Polisi
Dalam lima kasus, individu-individu yang dituduh “bersunyi-sunyian” memberitahu Human Rights Watch bahwa warga sipil mendobrak masuk ke rumahnya atau secara kasar menyerang mereka ketika melakukan penangkapan. Walau banyak korban mengatakan bahwa mereka enggan melaporkan pelanggaran tersebut kepada polisi karena takut akan ada proses lebih lanjut terhadap mereka atau karena mereka tidak tahu bagaimana cara mengajukan pengaduan ke polisi, beberapa mengatakan bahwa polisi jarang mengambil tindakan terhadap anggota masyarakat yang menyerang individu-individu yang disangka “bersunyi-sunyian.” Dalam kasus Rohani dan Siti, sebagaimana diuraikan dalam Bab III, polisi menangkap dan melakukan penyelidikan atas dugaan “perbuatan bersunyi-sunyian,” tetapi tidak menahan seorang pun yang terlibat dalam penyerangan berat terhadap teman Siti, Ahmad, dan pacar puteri Rohani, Budi. Dan, sebagaimana dideskripsikan dalam Bab III, polisi tidak menyelidiki upaya memasuki rumah secara paksa, penyerangan dan pencurian yang dilakukan oleh masyarakat kepada Rosmiati dan temannya, Nurdin.
Hamid, dari Aceh Barat, menceritakan kejadian serupa yang terjadi pada bulan Februari 2009 di desanya. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia memerintahkan orang-orang di desanya untuk mengawasi sebuah rumah yang disewa oleh beberapa laki-laki setelah melihat salah seorang dari mereka mengobrol dengan seorang perempuan yang menyewa kamar dekat beranda rumah tersebut. Pada pukul 2 pagi, mereka melaporkan bahwa mereka melihat perempuan itu memasuki rumah melalui pintu belakang, dan Hamid memanggil sekelompok anak muda berusia 20 tahun, termasuk dua (2) aparat polisi, untuk membantu mereka menangkap pasangan tersebut. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch:
Kami mengepung rumah. Saya mengetuk pintu tapi tidak ada yang membukakannya. Karena kami yakin bahwa ada perempuan di dalam, salah satu pemuda menendang pintu. Tujuh dari kami memasuki rumah, tiga melalui pintu depan dan empat melalui pintu belakang. Kami membuka kamar ruang tidur dan melihat laki-laki itu di tempat tidur.… Yang lain mengangkat tempat tidur dan mereka menemukan perempuan tersebut, tanpa pakaian, bersembunyi di bawahnya. Kami menyuruh perempuan itu berpakaian dan kemudian kami membawa laki-laki dan perempuan tersebut keluar. Kami tampar laki-laki dan perempuan itu karena mereka berbohong kepada kami. Kami menanyai mereka satu persatu, menanyakan mereka dari mana, apa yang mereka lakukan, dimana mereka tinggal.[118]
Hamid dan laki-laki lainnya dari desa tersebut meminta lelaki tersebut membayar ganti rugi kepada mereka dan mengusir pasangan tersebut dari desa. Aparat polisi dalam kelompok tersebut tidak menggunakan wewenang mereka atau melibatkan aparat penegak hukum lainnya untuk menangani tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan tidak melakukan apapun untuk mencegah mereka memasuki rumah secara paksa atau menampar tersangka.
Paling tidak dalam satu kasus, polisi tidak memperkarakan anggota masyarakat yang terlibat dalam penyerangan berat terhadap tersangka “perbuatan bersunyi-sunyian,” tetapi mereka bergerak cepat dalam memperkarakan korban penyerangan dan perempuan yang diduga melakukan perzinahan dengan lelaki tersebut. Achyar, Kepala RT (Rukun Tetangga/ Dusun) di Aceh Barat,[119] mengatakan kepada Human Rights Watch bagaimana atas permintaan seorang penduduk, Husein, yang mencurigai bahwa istrinya, Sudarmi, melakukan zinah, Achyar memerintahkan satpam mengawasi rumah Husein pada tanggal 7 April 2010.[120] Larut malam itu, satpam melaporkan bahwa Khaidir, seorang lelaki, berada di dalam rumah tersebut. Banyak penduduk desa kemudian mengepung rumah dan memanggil Husein, yang masuk dan menemukan Sudarmi dan Khaidir bersama, tanpa pakaian. Husein memukuli Khaidir dan membawa dia ke luar, dimana sejumlah pemuda desa mulai memukuli Khaidir juga.
Achyar mengakui bahwa ia memaksa Khaidir, yang tidak mengenakan pakaian, dan Sudarmi, yang telah mengenakan baju tidur dan memegang anaknya yang masih kecil, berjalan 300 meter ke pos keamanan desa, menyatakan bahwa ia melakukan hal tersebut untuk melindungi mereka. Ketika mereka tiba di pos keamanan, anggota masyarakat mengikat Khaidir ke sebuah tiang, jelas untuk mencegahnya melarikan diri. Polisi akhirnya tiba dan mengambil alih Sudarmi dan Khaidir, yang kemudian dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Ketika polisi meminta pernyataan dari Achyar dan seorang pegawai desa lainnya sore itu dan memanggil kembali Achyar dan beberapa pemuda desa dalam minggu itu, mereka tidak memperkarakan seorangpun atas penyerangan yang melibatkan kekerasan terhadap Khaidir. Pihak berwenang desa mengusir Sudarmi dari desa segera setelah kejadian tersebut.
Suwalto, Kepala Divisi Penyelidikan Kejahatan Kepolisian Resort (Polres) Aceh Barat, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ketika polisi menahan Khaidir, “kondisinya buruk” dan membutuhkan perawatan medis.[121] Akan tetapi, polisi tidak memperkarakan seorangpun dengan tuduhan penyerangan dalam kejadian tersebut. Suwalto memberitahu Human Rights Watch bahwa kantornya telah berusaha memproses baik tuduhan penyerangan maupun“perbuatan bersunyi-sunyian”, dan bahwa walaupun mereka telah mengadakan wawancara terkait dengan kedua tuduhan tersebut, mereka tidak berhasil menyelesaikan kasus penyerangan. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Kami selalu mendapatkan jawaban bahwa penyerangan tersebut dilakukan oleh masyarakat dan bahwa ada banyak pelaku—mereka tidak menyebutkan A, B atau C, dan kami tidak bisa menahan semua orang. Masalahnya yang kami hadapi adalah saksi—mereka berusaha melindungi satu sama lain karena mereka berasal dari daerah yang sama.”[122]
Terlepas dari penyebab kekerasan masyarakat terhadap tersangka “perbuatan bersunyi-sunyian,” para pejabat pemerintah, cendikiawan Islam, dan aktivis yang berbicara dengan Human Rights Watch pada umumnya sepakat bahwa baik Islam maupun hukum itu sendiri memberi sanksi terhadap kekerasan yang dilakukanmasyarakat dalam menangkap atau memproses para tersangka “perbuatan bersunyi-sunyian.”[123]
Dalam beberapa kesempatan, aparat penegak hukum dan pejabat pemerintahan di Aceh telah secara publik mendesak masyarakat berhenti melakukan kekerasan dalam menerapkan larangan “perbuatan bersunyi-sunyian.” Pada awal 2009, Kepala WH, Marzuki, mengatakan kepada seorang reporter lokal, “Ini bukan menegakkan hukum, tetapi melanggar hukum,” dan bahwa mereka yang melakukan tindakan yang brutal dalam menangkap tersangka khalwat akan diproses secara hukum. Pada bulan Mei 2010, Wakil Gubernur, Mohammad Nazar, memberikan pernyataan publik yang menekankan bahwa inti dari Islam adalah pembinaan, bukan penghukuman.[124] Tetapi, Nazar juga mengakui bahwa polisi di Aceh tetap enggan menangkap pelaku kekerasan atas nama Islam.[125]
Yusni Sabi, mantan rektor IAIN Al-Raniry Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa anggota masyarakat yang percaya bahwa Islam mewajibkan mereka ikut serta dalam penegakan hukum yang main hakim sendiri berpegang pada interpretasi teks keagamaan yang salah. Ia mengatakan, “Ada ajaran yang mengatakan bahwa jika ada pelanggaran hukum, jika kamu memiliki wewenang untuk menghentikannya, kamu harus melakukannya. Tetapi ini bukan berarti bahwa semua orang memiliki wewenang di tangannya.... Hukum bukanlah terletak di tangan siapa saja dan semua orang, hukum berada di tangan penegak hukum.”[126] Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, sependapat; ia mengatakan bahwa ia menentang penegakan hukum yang main sendiri, dan menurutnya bukan ini yang dimaksudkan oleh Islam. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen bahwa penegakan hukum dilakukan oleh otoritas formal, dalam kasus ini misalnya WH.[127]
Penetapan Jam Malam yang Sewenang-wenang
Beberapa warga Aceh yang kami temui mengatakan bahwa desa mereka telah secara informal memberlakukan jam malam, menetapkan jam batas dimana jika laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan darah atau perkawinan ditemukan berduaan, mereka akan secara otomatis dianggap melanggar hukum dan diperlakukan seakan mereka telah melakukan hubungan seksual, walaupun tidak ada bukti tambahan yang mendukung tuduhan ini.
Bustami mengatakan kepada kami bahwa di daerahnya, dianggap bukti “perzinahan” yang tak terbantahkan jika seorang lelaki dan perempuan yang tidak saling terikat pernikahan atau hubungan darah berada di dalam rumah salah satu dari mereka setelah pukul 10 malam. Bustami mengatakan bahwa peraturan ini berguna. Ia mengatakan, “Kami mempunyai standar jadi mudah bagi kami menangkap orang yang melanggarnya.”[128] Dia menceritakan sebuah kasus yang terjadi pada bulan Desember 2009 dimana dia beserta beberapa orang lain ditugaskan untuk mengawasi dan menerapkan standar tersebut kepada seorang perempuan yang tinggal di sana. Perempuan itu dicurigai melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan pacarnya, yang berkewarganegaraan Malaysia. Setelah mendapatkan persetujuan kepala desa, sekitar 10 orang melakukan pengawasan terhadap pasangan tersebut selama hampir sebulan. Suatu sore, laki-laki tersebut tetap berada di rumah perempuan itu walau waktu telah lewat dari pukul 10 malam. Kemudian mereka mengepung rumah tersebut, menangkap pasangan tersebut, dan mewajibkan mereka melakukan prosedur “pembersihan,” mensyaratkan mereka membayar masing-masing satu kambing kepada masyarakat, dan mengusir perempuan tersebut dari desa.[129]
Dalam kasus di atas maupun kasus-kasus lainnya, penentuan berdasarkan waktu dimana kedekatan fisik dianggap sebagai kejahatan yang semacam ini jelas merupakan penerapan peraturan daerah (Perda) tentang Khalwat secara sewenang-wenang. Dalam kasus yang diceritakan oleh Rohani, sebagaimana diuraikan dalam Bab III, puterinya dan pacar puterinya dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” oleh anggota masyarakat hanya karena pacarnya mengunjungi rumah mereka dari pukul 10 malam hingga 11 malam, terlepas dari kenyataan bahwa Rohani juga berada di rumah pada saat itu.[130] Rosmiati, yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” oleh anggota masyarakat teman lelakinya karena dia memasuki rumah lelaki tersebut selama 20 menit di awal sore hari, mengatakan kepada Human Rights Watch, “Sekali kamu telah dicurigai, kamu sebenarnya telah dihukum. Tidak masalah apakah kamu benar atau salah.”[131]
Pelanggaran Proses dan Penghukuman yang Sewenang-wenang
Dalam enam (6) kasus yang diselidiki oleh Human Rights Watch, lembaga-lembaga di tingkat desa menghukum orang-orang dengan tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” setelah adanya keputusan bersalah di tingkat desa. Di bawah hukum dan kebiasaan di Indonesia, lembaga adat berwenang menyelesaikan perselisihan dan memberikan hukuman yang memiliki kekuatan hukum. Akan tetapi, dalam kasus-kasus ini, pihak tertuduh tidak diperlakukan berdasarkan asas praduga tak bersalah, tidak memiliki kesempatan untuk berbicara,mempertanyakan tuduhan atau menghadirkan saksi. Mreka juga tidak memiliki jaminan institusional yang memastikan bahwa para pembuat keputusan adil atau tidak memihak. Hukuman-hukuman tersebut meliputi pengusiran tertuduh dari desa, penyitaan barang miliknya, atau permintaan untuk kedua tertuduh menikah. Temuan-temuan ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh beberapa aktivis masyarakat sipil di Aceh, yang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa, dalam praktiknya, institusi-institusi adat sering memberikan hukuman-hukuman yang sewenang-wenang dan berlebihan, dimana beban terberat biasanya ditanggung oleh anggota masyarakat yang sudah termarjinalisasi.[132]
Rohani mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia dihampiri oleh anggota masyarakatnya pada bulan Desember 2009, beberapa bulan setelah puterinya dan pacar puterinya dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian,” dan mengatakan bahwa dia harus membayar denda—makanan dalam jumlah besar, termasuk beras—sebagai kompensasi bagi masyarakat atas penghinaan yang ditimbulkan oleh puterinya terhadap desa tersebut.[133] Rohani mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia tidak mengetahui bagaimana atau kapan komunitasnya menentukan bahwa dia bersalah atau penalti yang harus dia bayar, dan dia tidak diberikan kesempatan menjelaskan kejadian tersebut dari pihaknya.
Rosmiati memberitahu Human Rights Watch bahwa pihak berwenang desa menghukum temannya, Nurdin, setelah dia dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” pada bulan Januari 2009 dengan memerintahkan Nurdin meninggalkan desa secepatnya, terlepas dari kenyataan bahwa dia telah membayar sewa tempat tinggalnya di desa tersebut hingga enam (6) bulan berikutnya.[134]Kelompok masyarakat di sekitar rumah Nurdin juga mengatakan kepada dia bahwa mereka telah memutuskan bahwa dia harus menyerahkan semua barang pribadi miliknya dan membayar ganti rugi berupa seekor binatang untuk disembelih dan dimasak untuk desa tersebut. Nurdin tidak berada di sana ketika masyarakat menentukan bahwa dia bersalah dan hukuman yang harus ia jalani, dan dia tidak diizinkan memberikan penjelasan atas kejadian tersebut dari sisinya.
Bustami, dari Banda Aceh, menceritakan satu kejadian yang terjadi pada tahun 2009 dimana dia ikut serta dalam penangkapan tersangka pelaku ”perbuatan bersunyi-sunyian”, seorang perempuan yang tinggal di desa tersebut dan pacar perempuan tersebut, yang berasal dari luar desa:
Kami menangkap pasangan tersebut dan membawa mereka ke meunasah. Kami menyiram mereka dengan air sumur. Kemudian kami meminta para tetua desa untuk memproses kasus tersebut. Para tetua memberikan tiga pilihan pada mereka: apa kamu mau digiring keliling desa [proses mempermalukan di hadapan publik], apa kamu mau memberi desa dua kambing, atau kamu mau menikah? Dalam kasus tersebut, lelaki itu memilih pilihan kedua—masing-masing dari mereka memberi sebuah kambing—karena perempuan itu masih pelajar dan tidak siap untuk menikah. Setelah itu, perempuan tersebut pindah ... dia harus pergi.[135]
Hamid, 27, dari Aceh Barat, menceritakan sebuah kejadian di awal 2010 dimana dia mengaku bahwa anggota masyarakatnya menangkap seorang lelaki dan seorang perempuan melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” di dalam mobil lelaki tersebut pada malam hari. Laki-laki tersebut bekerja di sebuah perusahaan besar. Masyarakat menyita motor perempuan tersebut untuk memaksa lelaki tersebut tunduk pada hukuman yang diberikan oleh kepala desa, yang memerintahkan dia membayar Rp 10 juta untuk menebus motor dan tidak melaporkan dia kepada WH atau polisi. Hamid mengatakan bahwa standar denda atas “perbuatan bersunyi-sunyian” di desanya adalah Rp 3 juta, tetapi ia menambahkan, “Kepala desa mengatakan bahwa karena pelanggar bekerja di sebuah perusahaan besar, jumlah denda yang biasa tidak cukup, jadi dia harus membayar Rp 10 juta.”[136]
Hamid membela bahwa hukuman tersebut tergolong ringan dibandingkan dengan hukuman yang diberikan di desa lain. Ia mengatakan bahwa desa sekitarnya menghukum pelanggar dengan cara berdiri di dalam selokan setinggi leher mereka selama satu jam. Berita-berita di media juga melaporkan praktik yang demikian maupun hukuman yang serupa, termasuk menyiram tersangka pelanggar dengan air selokan, terjadi di beberapa masyarakat.[137] Hamid menjelaskan keuntungan penyelesaian tuduhan “perbuatan bersunyi-sunyian” dalam masyarakat daripada memanggil WH atau polisi untuk melaporkan para pelanggar: “Kami tidak ingin membawa orang-orang yang kami tangkap ke WH karena nanti WH yang akan mengambil denda tersebut. Kami menggunakan denda untuk membangun lapangan voli, dan ketika kami ada upacara, kami gunakan uangnya untuk itu.”[138]
Kegagalan Polisi dalam Merespon Pelanggaran oleh Anggota Masyarakat
Perwakilan polisi di Aceh memberitahu Human Rights Watch bahwa akhir-akhir ini mereka tidak bersedia berusaha menegakkan hukum yang melarang penyerangan dan tindak kekerasan lainnya dalam situasi dimana terjadi kekerasan di tingkat masyarakat, dengan alasan kesulitan menyelidiki kejadian semacam itu maupun masalah-masalah terkait pemberantasan kejahatan yang melibatkan banyak pelaku dari kelompok masyarakat yang sama.
Elfiana, Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Baiturrahman, Banda Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa kepolisian daerah di Aceh tidak berusaha menangkap pelaku kekerasan dalam kasus-kasus ”perbuatan bersunyi-sunyian”.[139] Dia menjelaskan prosedur standarnya adalah: “kami menjemput perempuan tersebut, kami memberitahu masyarakat, ‘kalian tidak boleh melakukan hal tersebut—itu kejahatan,’ dan kami membawa perempuan tersebut ke rumah sakit bila dia terluka.”[140] Elfiana mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ada lima (5) atau enam (6) kasus terkait penangkapan tersangka pelaku “perbuatan bersunyi-sunyian” yang dilakukan oleh masyarakat pada bulan April 2010 di daerah yang masuk dalam wilayah yurisdiksi kantornya; satu kasus melibatkan kekerasan, tetapi polisi belum menahan seorangpun atas penyerangan tersebut, walaupun lengan tersangka laki-laki patah dan mukanya dipukuli. Elfiana mengatakan: “Kami tidak pernah menahan orang-orang untuk kekerasan seperti itu, karena sulit membuktikan siapa pelakunya, atau pasangan tersebut tidak melihat siapa pelakunya. Dan jika itu dilakukan oleh banyak orang, kami tidak dapat menahan mereka semua.”[141]
Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polda Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa kebijakan resmi kepolisian dalam situasi semacam itu adalah berupaya menghentikan kekerasan masyarakat dan melindungi korban, dan bahwa kepolisian tidak akan memperkarakan penyerangan atau pengaduan-pengaduan lainnya terhadap para pelaku kekerasan kecuali korban mengajukan pengaduan.[142] Jika mereka tidak mengajukan laporan, polisi akan menganggap, berdasarkan Qanun No. 9/2008, bahwa prosedur adat akan menyelesaikan pengaduan penyerangan ringan apapun secara memuaskan. Kekurangan nyata dari pendekatan ini adalah bahwa banyak orang di Aceh tidak bersedia meminta bantuan dari kepolisian untuk mengajukan pengaduan, khususnya ketika pelaku kekerasan tinggal di lingkungan masyarakatnya.[143] Sebuah studi yang dilakukan oleh UNDP pada tahun 2006 menyatakan bahwa fenomena ini di antaranya disebabkan oleh persepsi yang ada di Aceh, yaitu bahwa sistem pengadilan formal rumit, intimidatif dan sangat korup; dan di sisi lain, disebabkan oleh desakan pihak berwenang desa kepada para penduduk untuk tidak melakukan penyelesaian di luar struktur desa.[144]
Budiyono juga memberitahu Human Rights Watch bahwa kantornya telah berusaha meyakinkan masyarakat untuk tidak melakukan main hakim sendiri.[145] Sementara upaya kepolisian Aceh belum berhasil, ia berharap bahwa inisiatif terbaru, yaitu Pemolisian Masyarakat (Polmas), yang diterapkan oleh kepolisian Aceh sebagai bagian dari program nasional yang diterapkan oleh Kepolisian bersama dengan International Organisation for Migration (IOM), akan memperbaiki situasi.[146]
Program Polmas bertujuan untuk “membangun kepercayaan masyarakat kepada [Kepolisian],” dengan cara memberdayakan anggota masyarakat untuk “secara aktif menemukan, mengidentifikasi, menganalisis dan mencari penyelesaian masalah-masalah yang mengganggu keamanan, ketertiban dan masalah-masalah sosial lainnya.”[147] Budiyono mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa berdasarkan program Polmas di Aceh, polisi meminta semua dewan kampung (tuhapeut) untuk menunjuk setidaknya satu Petugas Polmas, yang bertanggung jawab memastikan bahwa dewan kampung menyelesaikan dugaan-dugaan “perbuatan bersunyi-sunyian” melalui mekanisme adat, tanpa menggunakan kekerasan. Menurut Budiyono, petugas Polmas juga ditugasi meyakinkan pihak berwenang desa untuk menghubungi polisi jika penegakan larangan “perbuatan bersunyi-sunyian” oleh masyarakat di luar kendali.
Gaut Pengasihan, Project Officer Program Reformasi Kepolisian Indonesian IOM di Aceh, membenarkan bahwa petugas Polmas[148] bekerja dengan anggota dewan kampung untuk mencari penyelesaian yang sesuai dengan hukum untuk perselisihan-perselisihan ringan yang masuk dalam yurisdiksi lembaga adat, sebagai bagian dari komponen program Polmas yang dinamai Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM).[149] IOM memainkan peranan dalam proses ini dengan mendampingi pelatih-pelatih kepolisian mengadakan pemolisian masyarakat dan pelatihan hak asasi manusia bagi petugas Polmas dan aparat kepolisian. Dalam pelatihan-pelatihan ini, IOM berusaha memajukan pelembagaan prinsip-prinsip hak asasi manusia dasar, seperti kebutuhan atas partisipasi yang aktif dan berguna oleh perempuan dalam FKPM. Tetapi, di Aceh, program pelatihan tidak secara spesifik terkait dengan Syariah ataupun penerapan qanun Aceh.
Kemungkinan dampak dari program Polmas adalah menempatkan petugas Polmas untuk berupaya meyakinkan pihak berwenang desa berhenti menggunakan kekerasan dalam menangkap orang-orang yang dicurigai melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” (maupun kejahatan-kejahatan ringan lainnya). Salah satu aktivis masyarakat sipil di Meulaboh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa menurutnya program Polmas mengurangi tingkat kekerasan yang terjadi di masyarakat ketika menangani kasus “perbuatan bersunyi-sunyian,” walaupun dia sependapat bahwa mekanisme adat perlu dibuat lebih mewakili kepentingan perempuan.[150] Bagaimanapun juga, inisiatif Polmas tidak melemahkan penggunaan mekanisme adat dalam menyelesaikan perselisihan terkait dugaan “perbuatan bersunyi-sunyian,” karena hal tersebut adalah salah satu pelanggaran yang mana berdasarkan peraturan daerah di Aceh lembaga adat berwenang untuk menyelesaikannya. Program Polmas juga tidak secara langsung mengatasikelemahan proses adat yang adil sebagaimana teridentifikasi di atas; ataupun menempatkan penekanan khusus untuk memajukan pertanggungjawaban anggota masyarakat yang melakukan kekerasan dalam menerapkan hukum yang melarang “perbuatan bersunyi-sunyian.”
VII. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Persyaratan Busana Islami
Para petugas Wilayatul Hisbah (WH) mengadakan razia, pengawasan dan patroli untuk menerapkan pembatasan busana bagi umat Muslim sebagaimana diatur dalam Qanun No. 11/2002. WH Aceh melaporkan bahwa mereka mencatat 2.689 pelanggaran Qanun No. 11/2002 selama tahun 2009.[151] Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran persyaratan untuk berbusana Islami.[152] Sedangkan, terkait dengan Hukum Khalwat, penegakan hukum sering sewenang-wenang dan disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Razia-razia WH terhadap busana Islami dapat menjaring sejumlah tertuduh pelanggar dalam hitungan beberapa jam saja. Pada tanggal 26 Januari 2010, misalnya, WH dan Satpol PP Banda Aceh mengadakan razia di dekat Universitas Syiah Kuala yang menghasilkan dalam waktu singkat penahanan hampir 200 terduga pelanggar kode busana Islami.[153] Dalam razia lainnya di sebuah perempatan besar di Banda Aceh pada tanggal 4 Mei 2010, petugas-petugas WH menahan sementara 194 orang, 191 di antaranya adalah perempuan, di daerah pos pemeriksaan untuk memberi mereka “nasihat dan bimbingan” terkait hukum Syariah dan dan busana Islami yang selayaknya.[154] Seorang jurnalis perempuan yang ditahan dalam razia ini, Dewi, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa WH menghentikan dia ketika dia mengendari motor, menggunakan jeans, kaus ketat, dan selendang di pundaknya, bukannya jilbab. Dia diminta untuk turun dari motor dan melapor kepada dua (2) perempuan petugas WH. Dia bercerita kepada Human Rights Watch:
Mereka [dua perempuan petugas WH] mengambil kartu identitas saya dan mencatat nama dan nomor identitas saya dan meminta saya menandatangani buku dan menuliskan hal tidak baik yang telah saya lakukan. Saya bertanya ‘apa yang telah saya lakukan?’ [Salah satu perempuan petugas WH] berkata, ‘pakaian kamu. Kamu tidak mengenakan jilbab.... Ada peraturan dalam Islam tentang hal itu.’ Saya berkata, ‘itu pilihan saya mau pakai jilbab atau tidak—itu urusan saya dengan Tuhan.’ Jawaban dia adalah, ‘tidak, ada aturannya dalam Islam yang mengatur hal itu.’ Kemudian dia mengembalikan kartu identitas saya, dan memberitahu saya bahwa jika saya melakukan hal yang sama sampai tiga kali, saya akan dicambuk.[155]
Erni, seorang mahasiswa, menceritakan pengalamannya dalam razia yang sama, dimana dia juga dihentikan oleh WH karena tidak mengenakan busana Islam, sepertinya karena dia mengenakan jeans:
Saya sedang menuju kampus saya. Saya sedang mengendarai motor, mengenakan jilbab dan jeans dan kaus panjang yang mencapai lutut. Seorang petugas WH menghentikan saya dan menangkap saya dan menempatkan saya bersama para pelanggar lainnya. Ada banyak perempuan yang dihentikan—sekitar 100. Kami harus menunjukkan kartu mahasiswa kami, dan mereka mencatat nama kami dan mengatakan bahwa itu adalah peringatan pertama, tapi jika kami melakukannya lagi, kami akan dibawa ke kantor WH. Kemudian mereka memberi nasihat kepada kami semua. Ada sekitar 20 perempuan dalam satu kelompok. Mereka mengutip ayat hadith tentang bagaimana perempuan harus bersikap dan bagaimana perempuan adalah dasar negara dan jika perempuan berlaku buruk, semuanya akan hancur.[156]
Petugas-petugas WH juga melakukan patroli dan pengawasan untuk menahan sementara dan menguliahi orang-orang yang dicurigasi melanggar hukum Syariah. Erni mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia ditahan oleh WH dalam sebuah patroli dan dituduh melanggar ketentuan berbusana dalam Qanun No. 11/2002 pada pertengahan 2009 akibat mengenakan pakaian yang tidak sepenuhnya menutupi kaki, “Seorang petugas WH menghentikan saya dan dia tidak sopan. Dia mengatakan, ‘mengapa kamu berpakaian seperti itu? Itu membuat keluargamu terlihat buruk.’ Saya harus mengatakan kepada dia nama saya, pekerjaan saya, alamat saya, dan menandatangani sebuah formulir.”[157] Seorang perempuan lain, Nursiah, menceritakan sebuah kejadian pada bulan April 2010. “Saya sedang akan pergi ke toko, dan petugas WH berteriak pada saya di depan orang banyak. Dia menyuruh saya memastikan bahwa rambut saya seluruhnya tertutup karena jilbab saya tertarik sedikit ke belakang.”[158]
Walaupun interaksi dengan petugas WH dalam operasi-operasi semacam ini sering—tapi tidak selalu—singkat,[159] perempuan yang mengalaminya merasa frustasi atas campur tangan pihak berwenang negara dalam hal yang menurut mereka bersifat pribadi. Dewi memberitahu Human Rights Watch:
Salah seorang pahlawan Aceh, [Cut Nyak Dien], mengenakan selendang [di pundaknya], bukan jilbab, dan dia mengenakan celana, walaupun ada Syariah Islam di Aceh pada saat itu juga. Mengapa kita tidak boleh lagi mengenakan selendang? Seakan-akan mereka ingin menjadikan kita seperti orang Arab. Itu bukan adat kebiasaan kita, itu bukan budaya kita, dan itu tidak cocok dengan kondisi di Aceh. Saya mungkin mengenakan jilbab, tetapi bukan karena saya dipaksa oleh WH, tetapi karena saya memang mau. Saya tidak ingin mengenakannya hanya untuk terlihat terhormat. Saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri.[160]
Sebagaimana dicatat di atas, persyaratan busana Islami dalam Qanun No. 14/2003 dan peraturan Kabupaten Aceh Barat menggunakan bahasa yang jender-netral dan berlaku baik untuk perempuan maupun laki-laki, tetapi mereka tidaklah sebanding dan oleh karenanya memiliki dampak diskriminatif terhadap perempuan dalam prakteknya, karena mereka menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap perempuan daripada laki-laki. Dan perempuan merupakan pihak mayoritas yang ditegur atas dasar hukum tersebut. Bustami, seorang petugas WH, memberitahu Human Rights Watch bahwa ketika WH melakukan razia semacam itu, “Kami hanya mencari perempuan yang tidak menutupi rambutnya atau yang mengenakan rok dan celana ketat.”[161] Kepala WH, Marzuki, mengatakan, “Kami menyasar pada semua orang, tetapi biasanya perempuan yang melakukan kesalahan.”[162]
Human Rights Watch berbicara dengan perempuan di Aceh yang marah terhadap Pemerintah yang telah mengabaikan kebebasan mereka dalam memilih menggunakan jilbab atau tidak dan bahwa pihak berwenang menganggap wajar jika mereka memaksa perempuan berpakaian dengan cara tertentu. Perempuan yang dihentikan mengatakan bahwa tindakan-tindakan penegakan oleh WH membuat mereka tidak nyaman dan malu dan bahwa petugas-petugas WH menerapkan persyaratan berbusana secara sewenang-wenang, menimbulkan kebingungan tentang busana seperti apa yang dianggap ketat.
Perempuan lain yang berbicara dengan kami memberikan contoh lain yang menunjukkan bahwa hukum ditegakkan secara sewenang-wenang. Maliyah, seorang jurnalis, mengatakan bahwa ia menyaksikan razia WH pada awal 2010 di luar sebuah masjid di Banda Aceh: “Ada seorang perempuan muda yang ingin sembahyang. Seorang perempuan petugas WH menghentikannya karena dia mengatakan bahwa perempuan muda tersebut mengenakan pakaian ketat. Tetapi pakaian perempuan tersebut sopan!”[163] Erni mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa bahkan setelah ia dihentikan oleh WH, ia tetap tidak tahu standar apa yang diterapkan oleh WH dalam menilai busana perempuan. Ia mengatakan “[Laki-laki petugas WH] menyuruh kami untuk mengenakan rok dan jangan pernah mengenakan jeans. Tetapi kemudian seorang perempuan petugas WH mengatakan bahwa saya boleh mengenakan celana panjang, tetapi jika saya melakukannya, atasan saya harus mencapai di bawah lutut. Saya tidak tahu yang mana yang dapat diterima—mungkin jika saya mengenakan celana ketat tapi dengan atasan yang sangat panjang?”[164]
Bukti juga menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi target tindakan-tindakan semacam itu biasanya muda dan tidak kaya. Pengaduan yang sering disuarakan oleh perempuan adalah bahwa ketika WH mengadakan pemeriksaan, mereka hanya menghentikan perempuan yang mengendarai motor dan tidak menghentikan mobil. Akibatnya, tindakan penegakan WH kerap menjadikan kaum miskin sebagai target. WH menjadikan perempuan muda sebagai target dengan mengadakan razia di dekat sekolah menengah atas (SMA) atau universitas. Maliyah menceritakan satu kejadian yang ia lihat pada bulan Desember 2009. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, “Ada razia di depan sebuah SMA. Ada banyak perempuan di jalan, tetapi mereka hanya menghentikan perempuan yang mengendarai motor atau kendaraan umum. Saya berada di dalam mobil, dan saya tidak mengenakan jilbab, tetapi saya tidak dihentikan. WH tidak adil.”[165]
Komnas Perempuan dan sumber-sumber media mengutip bukti yang menunjukkan bahwa polisi WH juga menggunakan hukum Syariah—baik Qanun No. 11/2002 maupun Qanun No. 14/2003—sebagai dalih untuk menahan dan menegur perempuan transjender (individu-individu transjender--laki-laki yang mengadopsi jender perempuan) dan individu-individu yang jendernya tidak sesuai dengan harapan masyarakat (non-conforming) atas dasar ekspresi dan identitas jender mereka. Wawancara kami mendukung kesimpulan tersebut.[166]
Perempuan-perempuan transjender di Aceh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka merasa WH menahan mereka karena melanggar persyaratan busana Islami. Surya, seorang perempuan transjender, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia dan seorang perempuan transjender lainnya ditahan dalam patroli gabungan Satpol PP-WH pada awal 2009, di antaranya karena para anggota patroli beranggapan dia dan temannya melanggar hukum Syariah karena mereka berpakaian seperti perempuan, bukan karena masalah tertentu terkait dengan busana mereka. Ketika mereka dilepaskan dari tahanan keesokan harinya, seorang petugas WH berkata dengan Surya, “Kamu tidak boleh seperti ini. Kamu bisa dicambuk.”[167]
Pada bulan Desember 2009, patroli WH menahan dua teman Surya yang juga transjender, Cici dan Andi, atas dasar pelanggaran kode busana ketika mereka akan membeli makanan di sebuah warung pada larut malam. Menurut Surya, yang melihat mereka di kantor WH ketika dia pergi ke sana untuk menjamin pembebasan mereka, Cici mengenakan pakaian yang menaati persyaratan busana Islami bagi perempuan—celana tidur yang longgar, atasan panjang yang mencapai tulang kering, dan jilbab—dan Andi mengenakan pakaian yang seharusnya sesuai dengan persyaratan kode busana untuk laki-laki—kaus dan celana panjang. Surya mengatakan kepada Human Rights Watch, “Mereka mendiskriminasi kami—tidak peduli apa yang kami lakukan.… Kami harus berpakaian secara layak di depan publik, tetapi menurut saya, saya telah berpakaian layak.”[168]
Pada bulan Agustus 2010, Marzuki, Kepala WH, mengatakan di media Indonesia bahwa menurutnya, homoseksual dilarang di Aceh, baik ada peraturan daerah yang melarangnya atau tidak. Terkait perempuan transjender, dia mengatakan, “Kami menganggap mereka sebagai lelaki, dan mereka harus berpakaian sesuai itu.”[169] Komentar ini menunjukkan bahwa pasukan WH menyamakan ekspresi dan identitas jender dengan orientasi seksual—mengasumsikan bahwa perempuan transjender berhubungan seksual dengan laki-laki—dan bahwa polisi WH menggunakan Qanun No. 11/2002 sebagai sarana untuk mengkriminalisasi homoseksualitas dan identitas jender yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Sebuah Pemerintah Kabupaten Mengikuti Busana
Pemerintah di tingkat kabupaten dan kota di Aceh diizinkan berkontribusi dalam penerapan hukum Syariah. Dalam satu kasus, pemerintah di sebuah kabupaten berusaha melakukannya dengan menerapkan persyaratan tambahan terkait busana Islami. Pada bulan Oktober 2009, Ramli Mansur, Bupati Aceh Barat, mengajukan peraturan daerah yang berangkat dari ketentuan kode busana dalam Qanun No. 11/2002 dan menerapkan larangan pakaian ketat bagi perempuan, khususnya celana yang menunjukkan bentuk kaki, dan melarang toko eceran menjual pakaian perempuan yang ketat. Ramli juga memerintahkan petugas-petugas WH memberikan rok yang disediakan oleh Pemerintah kepada perempuan-perempuan yang ditemukan mengenakan celana ketat dan menyita pakaian yang melanggar hukum tersebut. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dilaporkan membeli 20.000 rok untuk memfasilitasi penerapan ketentuan hukum tersebut.[170]
Pada awal 2010, Ramli menunda penerapan peraturan, dilaporkan bahwa hal tersebut akibat desakan Gubernur Irwandi. Akan tetapi, seusai sesi “Opini publik” terhadap rancangan Perda pada bulan Mei 2010, petugas-petugas WH di Aceh Barat mulai membagikan rok yang disediakan Pemerintah kepada perempuan yang mereka hentikan dekat perbatasan Kabupaten akibat melanggar kode busana.[171] Para aktivis masyarakat sipil mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa peraturan telah berlaku sejak Juli 2010.[172]
Pembenaran Resmi atas Persyaratan Busana Islami
Beberapa tokoh agama dan pejabat pemerintah membela persyaratan busana Islami di Aceh atas dasar agama dan ketertiban publik. Secara khusus, staf Dinas Syariat Islam mengatakan bahwa persyaratan busana perempuan bertujuan untuk mengurangi hasrat seksual maupun kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Para pejabat ini berargumen bahwa wajar bila Negara memaksa perempuan mengenakan jilbab dan busana Islami lainnya, karena akan mengurangi resiko bahwa mereka menjadi korban main hakim sendiri. Lainnya tidak setuju dengan penerapan persyaratan berbusana Islami dengan alasan bahwa hal tersebut tidak akan meningkatkan ketakwaan publik dan sebenarnya malah dapat melemahkannya.
Para pejabat di Dinas Syariat Islam, Drs. Abdullah Muhammad, Direktur Pengembangan Hukum, dan Husni M. Agee, anggota staf di departemennya, membenarkan persyaratan busana Islami atas dasar moralitas, menyatakan bahwa Pemerintah memiliki hak menerapkan pembatasan perilaku pribadi yang berakar dari Islam, dan bahwa ajaran-ajaran Islam secara spesifik mewajibkan pembatasan busana sebagaimana yang mereka terapkan.[173] Ramli Mansur, Bupati Aceh Barat, mengutarakan pendapat yang sama dalam sebuah wawancara di sebuah surat kabar Indonesia. Ia mengatakan, “Itu…tercantum dalam [Quran] bahwa jika seorang perempuan meniru laki-laki [dengan mengenakan celana panjang], dia akan menghabiskan 500 tahun dalam kesendirian sebelum dia sampai ke surga.…Itu tanggung jawab saya sebagai seorang pemimpin membantu orang-orang sehingga mereka tidak menderita di hidup yang selanjutnya.…Kalau kamu mempertanyakannya, maka kamu murtad.”[174]
Drs. Abdullah Muhammad dan Husni M. Agee juga membela persyaratan busana Islami yang berlaku di seluruh Aceh ini atas dasar ketertiban publik. Mereka mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa hal tersebut bertujuan untuk mengurangi hasrat seksual dan kekerasan laki-laki karena perempuan mengenakan jeans ketat dan busana yang tidak layak lainnya. Agee, mengutip kekerasan main hakim sendiri terhadap perempuan yang tercatat di Aceh pada tahun 1999 ketika Syariah pertama kali diterapkan, mengatakan bahwa persyaratan busana bertujuan melindungi perempuan agar tidak menjadi target penyerangan serupa karena busana Islami, ketika diterapkan secara sesuai terhadap perempuan, mengurangi resiko kekerasan dengan meningkatkan rasa hormat masyarakat terhadap mereka. Baik Agee dan Drs. Abdullah Muhammad, Kepala Pengembangan Hukum Dinas Syariat Islam, sepakat bahwa larangan bagi perempuan mengenakan celana panjang (kecuali dikenakan di bawah rok) akan meningkatkan efektivitas dan kejelasan atas hukum.[175] Ramli mengutip beberapa pembenaran sebagai dukungan atas standar busana yang lebih ketat di Aceh Barat. Ia mengatakan kepada seorang jurnalis, “[K]etika perempuan tidak berpakaian sesuai dengan hukum Syariah, mereka meminta untuk diperkosa. Itu adalah fakta bahwa laki-laki menjadi liar ketika mereka melihat payudara dan paha perempuan. Itu membangkitkan hasrat mereka.”[176]
Sebaliknya, Yusni Sabi, mantan rektor IAIN Al-Raniry Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia mempertanyakan nilai hukum pidana yang menerapkan standar busana: “Formalitas kadang mengurangi ketulusan. Orang bertindak bukan karena ketakwaan mereka, tapi karena mereka tidak ingin ditangkap oleh polisi, dan itu tidak ada nilainya sama sekali. Negara harus selektif terhadap hal tersebut dan tidak membuat negara polisi, dimana pemerintah ada dimana-mana. Syariah harus diterapkan pertama-tama di keluarga, di rumah, di masyarakat…itu bukanlah urusan polisi.”[177] Al Yasa’ Abubakar, mantan kepala Dinas Syariat Islam, mengatakan bahwa menurutnya, kegiatan penegakan oleh WH yang lebih dari hanya memberi nasihat dan berusaha memaksa perempuan mengganti busananya tidak mungkin efektif. Ia mengatakan, “satu-satunya hal yang dapat memaksa [orang] untuk mengenakan busana yang sesuai adalah lingkungannya.”[178]
VIII. Standar-standar Hukum
Qanun No. 11/2002 dan No. 14/2003 melanggar hak-hak yang diakui secara internasional atas kehidupan pribadi dan atas otonomi beraktivitas yang tidak melanggar hak-hak orang lain. Qanun No. 14/2003, Hukum tentang Khalwat, melarang dua orang dewasa bergaul dalam berbagai situasi, walau keduanya menyatakan kesepakatannya. Walaupun peraturan tersebut diterapkan sebagai upaya untuk menangani masalah kekerasan main hakim sendiri, penanganan yang seperti ini atau respon yang tidak sebanding tidaklah diperlukan. Demikian pula, Qanun No. 11/2002 secara sewenang-wenang dan diskriminatif membatasi hak perempuan dan perempuan transjender untuk membuat keputusan pribadi atas busana mereka, menolak hak mereka atas otonomi pribadi maupun hak untuk bebas berekspresi dan beragama. Perda-perda ini juga mengizinkan hukuman cambuk bagi para terdakwa pelanggar hukum Syariah, hukuman yang tidak diizinkan oleh hukum hak asasi manusia, terlepas dari atas dasar apa hukum tersebut diberlakukan, karena hukuman cambuk merupakan hukuman badaniah.
Cara WH dan polisi menerapkan hukum Syariah, dan khususnya Qanun No. 11/2002 dan No. 14/2003, juga meningkatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang mana Indonesia telah berjanji untuk melindunginya di bawah berbagai perjanjian hak asasi manusia. Definisi “perbuatan bersunyi-sunyian” yang tidak jelas dan penerapan hukum secara sewenang-wenang oleh pihak penegak hukum melanggar kewajiban yang tercantum dalam hukum hak asasi manusia, yakni bahwa hukum pidana haruslah cukup sempit dan secara tepat dijelaskan untuk memenuhi prinsip kepastian hukum dan keterdugaan (foreseeability).
Dampak diskriminatif dari Qanun No. 11/2002 terhadap perempuan, serta penegakan hukum yang selektif terhadap perempuan transjender dan kaum miskin melanggar hak non-diskriminasi. Praktik Wilayatul Hisbah yang mensyaratkan pembebasan dari hukuman atau penutupan penyelidikan pelanggaran atas kesepakatan para tertuduh pelaku“perbuatan bersunyi-sunyian” untuk saling menikah melanggar hak untuk memasuki pernikahan hanya atas dasar kebebasan dan persetujuan penuh orang tersebut. Praktik WH yang memaksa perempuan dan anak perempuan yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” untuk menyerahkan tes keperawanantidaklah perlu, bersifat diskriminatif, melanggar hak privasi dan integritas pribadi mereka, dan merupakan penyiksaan menurut hukum internasional. Indonesia memiliki kewajiban menghentikan praktik-praktik kejam seperti ini dan memberikan kepada mereka yang haknya telah dilanggar pemulihan yang efektif, termasuk akuntabilitas dan reparasi.
Indonesia juga memiliki kewajiban mencegah terjadinya penegakan hukum Syariah secara main hakim sendiri oleh warga sipil, memberikan sanksi terhadap kekerasan sipil yang terjadi, dan melindungi rakyat dari ancaman kekerasan lebih lanjut terhadap mereka. Saat ini, Indonesia gagal memenuhi kewajiban inikarena pihak penegak hukum tidak mendorong para korban kekerasan untuk melaporkan tindak kekerasan dan menolak menyelidiki dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kekerasan tersebut, walaupun penegak hukum mengetahui adanya tindak kekerasan. Dorongan untuk menyelesaikan perselisihan semacam ini melalui mekanisme hukum adat bukanlah respon yang cukup, khususnya ketika mekanisme adat tersebut diterapkan secara selektif, lemah dalam menjamin proses yang adil, tidak menghukum para pelaku kekerasan, dan menerapkan hukum yang tidak sesuai dan tidak sebanding terhadap mereka yang dituduh melakukan“perbuatan bersunyi-sunyian.”
Syariah, Hukum Nasional, dan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Penerapan Syariah di Aceh terjadi dalam konteks arsitektur hukum yang rumit. Tiga (3) kerangka hukum yang saling tumpang tindih berlaku di Aceh: sistem hukum umum formal, sistem hukum Syariah formal, dan sistem hukum adat istiadat informal. Sistem hukum ini berlaku dalam hirarki yang jelas: UUD 1945 Indonesia adalah sumber hukum tertinggi, diikuti oleh hukum yang disahkan di tingkat nasional, diikuti oleh hukum umum dan Syariah yang disahkan di tingkat provinsi dan kabupaten di Aceh, diikuti oleh hukum adat dan kebiasaan. Akan tetapi, perlu ada beberapa mekanisme yang diterapkan untuk memastikan bahwa hirarki ini dijaga dan yang mengatur ketiga tingkatan ini agar tidak saling bertentangan. Apa yang ada saat ini tampaknya berjalan buruk.
Beberapa pemikir Islam, dari Aceh maupun dari daerah lain di Indonesia, menekankan kepada Human Rights Watch bahwa secara teori, tidak ada pertentanganantara sebagian besar aspek hukum hak asasi manusia, hukum nasional Indonesia, dan penerapan hukum Syariah di Aceh. Al Yasa’ Abubakar, mantan kepala Dinas Syariat Islam, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pada prinsipnya, hukum Syariah dapat berjalan secara selaras dengan kerangka hukum nasional Indonesia, walaupun para pejabat di Aceh berpendapat tugas tersebut sulit, karena mereka percaya tidak ada contoh memadai yang dapat mereka ikuti.[179] Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, sepakat bahwa dalam banyak aspek, Syariah dapat selaras dengan hak asasi manusia. Ia mengatakan, “Bagi kami, Islam merupakan cara dari Tuhan untuk menentukan hidup orang, dengan peradaban, tidak dengan ideologi radikal. Kami harus menyiapkan masyarakat untuk memahami bahwa hukum Islam tidak keras.…Hukum Islam adalah tentang kesejahteraan, bukan tentang gangguan terhadap hak orang. Islam dapat menjadi kekuatan untuk berubah bagi kebaikan masyarakat. [Tapi] reformasi dan transformasi ini tidak dapat dilakukan dengan kekerasan.”[180] Yusni Sabi sepakat; ia mengatakan, “hak asasi manusia tentu saja sesuai dengan Islam, tidak ada pertanyaan tentang itu.…Ajaran Islam paling dasar sesuai dengan hak asasi manusia.…Syariah yang sebenarnya [adalah]: ‘Melakukan hal-hal baik bagi tetanggamu, saudaramu.’ Tapi karena kita berpikiran sempit, kita hanya memusatkan pada hal-hal kecil.”[181]
UUD 1945 Indonesia (Undang-undang Dasar Republik Indonesia (1945)) secara luas melindungi kebebasan berekspresi dan berasosiasi. Pasal 28E menyatakan:
- Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…
- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
- Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
UUD 1945 mengakui hak kebebasan beragama dalam Pasal 29, yang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”[182] Pasal 28I menyatakan bahwa hak kebebasan berpikir dan berhati nurani, dan kebebasan beragama adalah hak-hak “yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”[183] UUD 1945 menegaskan hak atas kepastian hukum dan ”perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan “untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.”[184] UUD 1945 juga menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”[185]
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan ketentuan-ketentuan ini[186] dan menjamin hak kebebasan dari penangkapan dan penahanan sewenang-sewenang.[187] UU No. 39/1999 mencatat bahwa hak-hak ini hanya boleh dibatasi oleh hukum, dan hanya untuk tujuan ”menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.”[188] Lebih lanjut, UU ini menyatakan bahwa anak-anak hanya boleh ditangkap atau ditahan ”sebagai upaya terakhir.”[189] Pada tahun 2005, DPR mengintegrasikan seluruh isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam hukum nasional.[190] Sebagaimana didiskusikan di bawah ini, ICCPR dan perjanjian hak asasi manusia internasional lainnya yang mana Indonesia merupakan Negara Pihak mewajibkan Indonesia menghormati dan melindungi berbagai hak, termasuk hak kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan bebas dari diskriminasi.
UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) menjamin kesetaraan posisi dihadapan hukum, kebebasan berbicara, dan kebebasan berasosiasi. UU PA melarang penggeledahan sewenang-sewenang atau tidak sah atas tubuh atau kediaman seseorang dalam bentuk apapun; pembatasan kebebasan setiap orang; penyiksaan sewenang-wenang; atau penangkapan, penahanan, pengadilan dan pemenjaraan yang melawan hukum terhadap penduduk Aceh.[191] UU PA juga mewajibkan Pemerintah “memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak.”[192]
UU PA juga menyatakan bahwa salah satu “wewenang khusus” Pemerintah Aceh adalah kuasanya untuk mengatur urusan agama dengan menerapkan Syariah bagi Muslim di Aceh “dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.”[193] UU PA menyatakan bahwa Syariah di Aceh dapat meliputi jinayat (hukum pidana), maupun peraturan terkait dengan ibadah, hukum keluarga, hukum perdata, pengadilan, pendidikan, dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.[194] Pemerintah provinsi, kota dan kabupaten Aceh dapat menerapkan Syariah, tetapi mereka juga harus ”menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.”[195] Para petinggi di Aceh juga dilarang oleh UU PA “membuat keputusan…yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.”[196]
Walaupun badan eksekutif Pemerintah Pusat umumnya memiliki wewenang untuk membatalkan hukum-hukum yang bertentangan dengan kepentingan publik, atau berbenturan dengan hukum lain atau menggantikan undang-undang dan peraturan lain, UU PA mengecualikan Qanun berbasis Syariah dari wewenang ini. Akibatnya, Mahkamah Agung adalah satu-satunya lembaga pemerintahan nasional di Indonesia yang dapat membatalkan qanun Syariah. Walau demikian, sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mahkamah Agung pernah menolak mengkaji kesesuaian isi peraturan daerah terkait moralitas dengan hukum yang lebih tinggi, melainkan hanya mengatakan bahwa peraturan tersebut disahkan melalui prosedur yang tepat.[197]
Standar-standar Internasional
Indonesia adalah Negara anggota sebagian besar perjanjian hak asasi internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR),[198] Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT),[199] Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC),[200] dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).[201]
Hak atas Kepastian Hukum
Pasal 15 ICCPR mewajibkan bahwa semua tindak pidana harus secara memadai diuraikan dalam hukum, dengan menerapkan prinsip-prinsip kepastian hukum dan keterdugaan (foreseeability), mensyaratkan bahwa hukum pidana harus cukup sempit dan ditarik secara tepat untuk menjadikan perilaku khusus sebagai targetnya.[202]
Hak atas Privasi
Pasal 17 ICCPR menyatakan, ”tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya” dan bahwa setiap orang memiliki “hak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.”[203] Hak ini meliputi “area tertentu, yakni keberadaan individu dan otonomi yang tidak menyentuh area kebebasan dan privasi orang lain.”[204] Satu aspek hak atas privasi dan otonomi yang dilindungi, sebagaimana ditegaskan oleh Komite Hak Asasi Manusia, adalah kesepakatan antar orang dewasa untuk melakukan aktivitas seksual secara pribadi. Negara harus melindungi hak ini dan aspek-aspek hak individu lainnya atas otonomi: hak untuk membuat keputusan secara bebas sesuai dengan nilai-nilai, kepercayaan, situasi dan kebutuhan pribadi seseorang. Negara tidak boleh memberlakukan pembatasan-pembatasan tidak sah dan pemaksaan yang membatasi hak ini, bahkan ketika tujuan pembatasan-pembatasan semacam itu adalah untuk mencegah orang dari mengadopsi gaya hidup yang oleh sebagian besar orang dianggap buruk atau merugikan orang yang melakukannya. Pembatasan apapun terhadap hak atas otonomi harus diarahkan pada tujuan yang sah dan diterapkan secara non-diskriminatif, dan lingkup dan dampak pembatasan tersebut harus benar-benar sebanding untuk memenuhi tujuan tersebut.[205]
Kebebasan Beragama
Hak asasi manusia juga menjamin hak kebebasan beragama, termasuk hak untuk menjalankan agama/keyakinan seseorang melalui ibadah, penaatan, pengamalan, dan pengajaran secara pribadi maupun di tempat umum. ICCPR, yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2006, menyatakan bahwa “tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.”[206] Pemerintah hanya dapat membatasi hak kebebasan beragama jika diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, , atau hak dan kebebasan mendasar orang lain, suatu persyaratan yang ketat. Pembatasan apapun harus bersifat non-diskriminatif dan sebanding.[207]
Asma Jahangir, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dan pendahulunya, Abdelfattah Amor, mengkritik peraturan-peraturan yang mensyaratkan penggunaan busana yang menunjukkan agama di area publik, dan Jahangir menyatakan bahwa “penggunaan metode pemaksaan dan sanksi yang diterapkan kepada individu-individu yang tidak ingin mengenakan busana atau simbol tertentu yang menunjukkan agama dianggap dapat dihukum atas nama agama” secara umum bertentangan dengan hukum hak asasi manusia.[208] Hukum hak asasi manusia juga menjamin hak kebebasan berekspresi, dan Komite Hak Asasi Manusia, badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan ICCPR, mencatat bahwa hukum-hukum yang secara spesifik mengatur busana yang boleh dikenakan oleh perempuan di muka publik dapat melanggar hak ini, maupun hak kebebasan beragama dan hak untuk bebas dari diskriminasi.[209]
Larangan Penyiksaan
Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) melarang hukuman fisik, termasuk cambuk. Komite Hak Asasi Manusia mencatat bahwa larangan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat “tidak hanya berkaitan dengan tindakan yang menyebabkan rasa sakit secara fisik tetapi juga tindakan yang menyebabkan penderitaan mental kepada korban.”[210] Komite mencatat bahwa larangan tersebut juga meliputi “hukuman fisik, termasuk hukuman yang berlebihan yang diterapkan sebagai hukuman atas kejahatan atau sebagai tindakan edukatif atau disipliner.”[211] Pelapor Khusus untuk Penyiksaan secara spesifik mengangkat larangan hukuman fisikbahkan jika hukum yang mengizinkannya bersumber dari agama. Ia menyatakan bahwa “Negara-negara yang menerapkan hukum agama terikat untuk melakukannya sedemikian rupa untuk menghindari penerapan ... hukuman fisik dalam prakteknya.”[212]
Pada tahun 2008, Komite Anti Penyiksaan, yang mengawasi pelaksanaan Konvensi Anti Penyiksaan, secara spesifik membahas pemberlakuan hukuman fisik di Aceh. Komite tersebut menemukan bahwa “pelaksanaan hukuman di muka pulik dan penggunakan metode-metode fisik yang berlebihan (seperti cambuk)… bertentangan dengan Konvensi.”[213] Komite menyimpulkan bahwa Indonesia harus mengkaji hukum-hukum di Aceh “yang mengizinkan penggunaan hukuman fisik sebagai sanksi pidana, dengan maksud untuk segera menghapusnya, karena hukuman-hukuman seperti itu merupakan pelanggaran kewajiban-kewajiban dalam Konvensi.”[214]
Larangan Diskriminasi
Pasal 3 ICCPR menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan harus menikmati akses yang setara terhadap hak-hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan, prinsip yang disebutkan juga dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).[215] Di bawah hukum hak asasi manusia, baik diskriminasi langsung maupun tidak langsung terhadap hal-hal yang dilindungi sangat dilarang. Oleh karena itu, hukum yang tampaknya normal tetap dapat mengakibatkan diskriminasi secara tidak langsung jika hukum tersebut memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok tertentu.[216] CEDAW mewajibkan negara-negara untuk “tidak melakukan tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan,” dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik juga tidak melakukan hal tersebut, dan untuk “membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.”[217] Konvensi ini mengizinkan pembedaan perlakuan berdasarkan jenis kelamin hanya ketika pembedaan tersebut berdasarkan pada kriteria yang masuk akal dan obyektif, untuk mencapai tujuan sah, dan sepadan dengan tujuan yang ingin dicapai. Persyaratan busana Islami, yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab, melarang mereka mengenakan pakaian ketat, dan mewajibkan mereka menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, kaki dan wajah mereka, tidak memenuhi kriteria ini.
ICCPR menegaskan kesetaraan semua orang, termasuk hak atas privasi, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul.[218] Hak-hak ini membutuhkan kebebasan menjalani kehidupan intim tanpa gangguan, kebebasan seseorang untuk berekspresi, termasuk identitas jender seseorang, melalui pakaian atau perilaku, dan kebebasan bergerak dan bertemu di muka publik tanpa takut adanya pelecehan atau penyerangan terhadapnya. ICCPR juga melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual; pada tahun 1994, Komite Hak Asasi Manusia PBB berpendapat bahwa “orientasi seksual” adalah status yang dilindungi dari diskriminasi di dalam ICCPR. Indonesia harus mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan diskriminasi oleh WH atas dasar identitas jender dan orientasi seksual.[219]
Larangan Penangkapan Sewenang-sewenang
Pasal 9 ICCPR menyatakan, “Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.”[220] Larangan atas kesewenang-wenangan berarti perampasan kebebasan, bahkan jika diizinkan oleh hukum, harus sepadan dengan alasan-alasan penangkapan. Sebagaimana dijelaskan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB, “kesewenang-wenangan” tidak“bertentangan dengan hukum,” tapi harus diinterpretasikan secara lebih luas untuk mencakup elemen-elemen ketidaksesuaian, ketidakadilan, lemahnya dugaan (predictability) dan proses hukum yang adil.[221] Komite Hak Asasi Manusia menetapkan bahwa penahanan yang diizinkan oleh hukum haruslah masuk akal, diperlukan dan sepadan dengan mempertimbangkan situasi-situasi khusus kasus tersebut.[222] Menurut Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang, perampasan kebebasan dianggap sewenang-wenang ketika hal tersebut merupakan akibat dari pelaksanaan hak atau kebebasan yang dijamin dalam Pasal 18 ICCPR, yang menjamin hak kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.[223]
Hak untuk Memasuki Perkawinan secara Bebas
CEDAW secara spesifik mensyaratkan bahwa negara harus mengusahakan hak perempuan untuk memasuki perkawinan hanya atas persetujuan bebas dan sepenuhnya dari mereka, hak yang dilanggar ketika petugas WH menempatkan individu-individu dalam situasi di bawah paksaan dimana mereka harus setuju untuk menikah agar segera dibebaskan dari tahanan.[224] Komite Hak-hak Anak juga mengutuk pernikahan paksa sebagai praktik yang merugikan.[225]
Hukum Hak Asasi Manusia dan Tes Keperawanan
Tes keperawanan melanggar ketentuan CEDAW, CAT dan ICCPR. Tes semacam itu diskriminatif terhadap perempuan, dan karena tidak ada alasan yang masuk akal untuk memaksakan pemeriksaan keperawanan, praktik tersebut merupakan pelanggaran hak perempuan dan anak perempuan atas integritas fisik dan privasi.[226] Sir Nigel Rodley, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, mengklasifikasi tes keperawanan sebagai bentuk penyiksaan spesifik jender.[227]
Hak atas Pemulihan
ICCPR dan CAT mewajibkan Indonesia menyelidiki, menghukum, dan memberikan pemulihan bagi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusiayang dilakukan oleh para penegak hukum terhadap individu-individu yang ditahan atas dugaan pelanggaran Syariah.[228] Komite Anti Penyiksaan menyimpulkan pada tahun 2008 bahwa kewajiban Indonesia dalam hal ini mencakup “memastikan bahwa anggota-anggota WH menjalankan yurisdiksi sebagaimana ditetapkan, dilatih secara memadai dan melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, khususnya terkait larangan penyiksaan dan perlakuan buruk, dan bahwa tindakan mereka harus dikaji oleh pihak berwenang yudisial umum.”[229] Komite juga menyimpulkan bahwa lembaga-lembaga negara di Indonesia harus mengawasi tindakan-tindakan WH dan memastikan bahwa perlindungan hukum fundamental diberlakukan kepada semua orang yang dituduh melanggar hal-hal yang termasuk dalam wewenangnya, dan bahwa Indonesia “harus memastikan lebih lanjut bahwa mekanisme bantuan hukum ada untuk menjamin bahwa setiap orang memiliki hak atas pengacara dan proses hukum lainnya yang adil, sehingga semua tersangka memiliki kemungkinan membela dirinya dan mengajukan pengaduan perlakuan abusif yang melanggar hukum nasional dan Konvensi.”[230]
Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Aktor Sipil
Hukum hak asasi manusia mengakui akuntabilitas negara terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aktor sipil dan mensyaratkan negara memenuhi kewajibannya (due diligence) dalam mencegah dan merespon pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.[231]
Hak atas Proses Hukum yang Adil
Indonesia juga gagal memenuhi kewajibannya di bawah ICCPR karena mensyaratkan orang-orang yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” dan/atau yang menjadi korban tindak kekerasan untuk tunduk pada mekanisme penyelesaian perselisihan secara adat yang tidak memiliki jaminan dasar proses hukum yang adil dan yang mungkin menerapkan pembayaran penalti kepada pihak berwenang desa secara sewenang-wenang, pengusiran dari daerah tempat tinggal tertuduh, atau perkawinan paksa. Seperti dicatat oleh para ahli, sistem adat “tidak memuat perlindungan untuk menjamin hak-hak para pihak yang berselisih, termasuk praduga tak bersalah, hak atas perwakilan, dan hak untuk naik banding,” dan sistem adat cenderung merekomendasikan hasil yang “diarahkan pada menjaga keselarasan sosial di atas kepentingan individu.”[232] Pasal 14 ICCPR menjamin bagi semua orang hak atas persidangan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang ditetapkan oleh hukum, dan hak akses ke pengadilan Negara Pihak dalam kasus yang melibatkan tuduhan kriminal. Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 32 menguraikan, “akses terhadap pengadilan harus secara efektif dijamin dalam semua kasus semacam ini untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang dirampas, dalam hal prosedural, haknya untuk mengklaim keadilan.”[233] Berdasarkan Komite Hak Asasi Manusia, pengadilan yang berdasarkan pada hukum adat kebiasaan harus memenuhi persyaratan dasar pengadilan yang adil, termasuk jaminan atas persidangan yang adil dan terbuka dan praduga tak bersalah.[234] Mereka yang dituduh melakukan tindak pidana harus memiliki hak membela dirinya sendiri, memeriksa saksi yang memberatkan, dan mengajukan banding atas putusan adat sesuai prosedur yang juga memenuhi persyaratan proses hukum yang adil menurut ICCPR.[235]
IX. Rekomendasi
Kepada Gubernur Aceh
- Secara publik mengkritisi penegakan Hukum tentang Khalwat dan persyaratan busana yang sewenang-wenang dan diskriminatif. Mendesak DPRA untuk mencabut atau mengamandemen Qanun No. 11/2002 dan Qanun No. 14/2003 untuk menyesuaikannya dengan standar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam hukum Indonesia dan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
- Menolak mengesahkan Qanun-qanun yang masih ditunda atau yang masih berupa rancangan yang melanggar hukum hak asasi manusia.
- Mengeluarkan keputusan gubernur yang jelas membatasi wewenang Wilayatul Hisbah dan melarang WH menangkap dan menahan orang-orang yang diduga melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian.”
- Membentuk mekanisme pengaduan yang sepenuhnya independen bagi individu untuk mendaftarkan kekhawatirannya tentang perilaku atau pelanggaran oleh Wilayatul Hisbah.
- Memerintahkan tinjauan independen sistem perekrutan dan prosedur pelatihan Wilayatul Hisbah, termasuk pelatihan yang diberikan oleh kepolisian. Memastikan bahwa personil WH menerima pelatihan mengenai perlindungan hak asasi yang dijamin oleh UUD dan hukum nasional.
- Secara eksplisit melarang semua aparat penegak hukum menangkap dan menahan orang-orang transjender dan orang-orang yang jendernya tidak sesuai dengan harapan masyarakat (non-conforming) dan orang-orang yang dianggap homoseksual atas dasar identitas jender atau orientasi seksual mereka.
Kepada Presiden Republik Indonesia
- Secara publik mendesak pencabutan atau revisi peraturan daerah (Perda) Aceh tentang Khalwat dan pembatasan busana atas dasar bahwa perda-perda tersebut, sebagaimana yang diterapkan, tidak sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia Indonesia dan jaminan UUD 1945 atas kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi.
- Memerintahkan Kepolisian Daerah di Aceh untuk menyelidiki dan menuntut aktor sipil pelaku kekerasan terhadap mereka yang dituduh melanggar hukum Syariah.
- Memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mengkaji semua peraturan daerah yang bertujuan untuk memajukan moralitas, termasuk Qanun No. 11/2002 dan Qanun No. 14/2003, dan untuk membatalkan atau mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung untuk mengkaji peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau hukum nasional.
Kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Mengkaji semua peraturan daerah yang bertujuan untuk memajukan moralitas, termasuk di Aceh, dan membatalkan atau mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung untuk mengkaji peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau hukum nasional, termasuk Qanun No. 11/2002 dan Qanun No. 14/2003.
- Mengevaluasi semua hukum yang diajukan di tingkat provinsi dan kabupaten, termasuk di Aceh, yang bertujuan untuk memajukan moralitas dan menyarankan Pemerintah Daerah tentang kemungkinan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan jaminan hak asasi manusia dalam hukum-hukum nasional dan UUD 1945 Indonesia.
Kepada DPRD Aceh
- Membatalkan Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat dan mengamandemen Qanun No. 11/2002 dengan menghapus persyaratan busana Islami.
- Membentuk badan-badan yang efektif dan independen yang dapat menerima pengaduan warga terkait penyalahgunaan kuasa oleh WH dan polisi, merekomendasikan tindakan disipliner atau hukuman bagi mereka yang ditemukan telah menyalahgunakan kuasa mereka, dan membuat temuan mereka dapat diakses oleh publik.
- Meminta masukan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Institusi nasional untuk hak asasi manusia, termasuk Komnas Perempuan dan masyarakat sipil di Aceh sebelum mengesahkan Qanun-qanun yang memuat hukuman-hukuman pidana untuk memastikan bahwa hukuman-hukuman tersebut sesuai dengan hukum nasional dan jaminan UUD 1945onal atas hak asasi manusia.
- Mengamandemen Qanun No. 8/2009 sehingga tidak lagi mewajibkan aparat penegak hukum untuk tunduk pada pihak berwenang desa untuk penyelesaian kasus-kasus “perbuatan bersunyi-sunyian,” penyerangan, dan masuk paksa.
- Menguatkan independensi dan imparsialitas mekanisme penyelesaian perselisihan secara adat. Memastikan mekanisme adat melindungi hak individu sebagaimana mestinya. Melindungi hak individu untuk bersengketa dihadapan otoritas resmi dan pihak berwenang, bukan di depan otoritas adat, jika salah satu pihak yang bersengketa menginginkannya.
- Menyediakan dana yang memadai bagi badan-badan hak asasi manusia dan agen-agen terkait di tingkat Provinsi (lihat daftar di bawah) untuk memungkinkan mereka melakukan kampanye peningkatan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan pencegahan kekerasan.
- Menyediakan dana yang memadai bagi Badan PPPA dan biro-biro lain untuk memungkinkan mereka melakukan kampanye peningkatan kesadaran tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan pencegahan kekerasan.
Kepada Biro Hukum dan Hak Asasi Manusia Departemen Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Badan PPPA), dan Majelis Adat Aceh (MAA)
- Melaksanakan kampanye-kampanye peningkatan kesadaran yang tidak mendukung adanya tindakan main hakim sendiri dan kekerasan sipildalam penerapan hukum Syariah. Kampanye-kampanye tersebut harus menekankan bahwa segala bentuk kekerasan sipil—termasuk tindakan yang diambil atas nama solidaritas atau moralitas masyarakat—merupakan tindak pidana. Kampanye-kampanye juga harus menekankan pada ketidaksesuaian tindakan semacam itu dengan Islam,hukum nasional, provinsi, serta adat.
- Mengumpulkan dan mempublikasikan statistik tahunan tentang sifat dan lingkup penyelesaian kasus-kasus “perbuatan bersunyi-sunyian” di tingkat desa.
- Memastikan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan yang terkait dengan ketentuan penegakan Syariah di Aceh diperbolehkan untuk mengakses layanan untuk korban kekerasan perempuan dan wanita
Kepada Wilayatul Hisbah
- Mengakhiri praktik-praktik pendirian pos pemeriksaan untuk mengawasi busana dan razia sebagai upaya mengidentifikasi para pelaku “perbuatan bersunyi-sunyian.”
- Segera mengakhiri praktik yang mendorong tersangka pelaku “perbuatan bersunyi-sunyian” untuk menikah dan yang memerintahkan dilakukannya tes keperawanan dalam penyelidikan “perbuatan bersunyi-sunyian.”
- Menyelidiki dan menghukum, termasuk memecat, semua petugas WH yang melanggar otoritas mereka atau menggunakan kekerasan terhadap individu-individu dalam otoritas mereka.
- Memastikan bahwa petugas-petugas WH memberitahu polisi dalam setiap situasi dimana terlihat bahwa orang yang dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian” telah diserang oleh anggota masyarakat.
- Membuat prosedur dan standar internal yang mengatur WH tersedia secara online bagi publik dan mencatat dan mempublikasikan statistik umur dan jender semua individu yang ditahan oleh WH, alasan penahanan, dan lama penahanan mereka.
- Menyediakan pelatihan bagi petugas-petugas WH untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk orang-orang transjender, dalam menerapkan Syariah di Aceh.
Kepada Kepolisian Daerah di Aceh
- Mencatat dan mempublikasikan statistik umur dan jenis kelamin semua individu yang ditahan oleh polisi karena melanggar Qanun No. 14/2003, alasan penahanan, dan lama penahanan mereka.
- Memerintahkan polisi untuk menyelidiki tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat.
- Meluncurkan kampanye pendidikan tingkat desa dengan pesan bahwa kekerasan terhadap tertuduh pelanggar Syariah adalah kejahatan.
- Memastikan bahwa polisi merespon laporan-laporan pelanggaran Syariah, mendorong korban-korban kekerasan atau campur tangan di tingkat masyarakat untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Kepolisian. Memastikan bahwa semua kejadian semacam itu dicatat.
- Menyelidiki semua laporan kekerasan dan mengajukan kasus-kasus tersebut kepada Kejaksaan.
- Memastikan bahwa unit-unit khusus perempuan telah didirikan di semua kantor polisi sehingga perempuan korban dapat secara rahasia dan pribadi melaporkan kejadian kekerasan dan kepada petugas perempuan.
- Menyediakan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam hukum nasional dan UUD 1945 dan bagaimana menghormati hak asasi manusia dalam melaksanakan tugasnya. Evaluasi untuk memastikan bahwa pelatihan memiliki dampak terukur terhadap kinerja polisi. Memastikan bahwa polisi gagal untuk bertindak sesuai dengan pelatihan ini didisiplinkan.
- Menyediakan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum tentang orientasi seksual dan identitas jender dan secara jelas melarang menjadikan orang-orang sebagai target atas dasar ekspresi jender dan asumsi atau fakta orientasi seksual mereka. Mengevaluasi dan memodifikasi pelatihan sebagaimana diperlukan untuk memastikan bahwa pelatihan adalah memiliki dampak besar terhadap kinerja polisi. Pastikan bahwa polisi gagal untuk bertindak sesuai dengan pelatihan ini didisiplinkan.
Kepada Pemerintah Amerika Serikat, Australia, Belanda, Uni Eropa, dan Inggris, IOM dan Donor-donor Internasional Lainnya
- Menekan para pejabat pemerintah di Indonesia dan Aceh untuk menerapkan hukum Syariah dalam kerangka penghormatan atas hukum nasional dan hak asasi manusia; mendesak para pejabat untuk mengamandemen atau mencabut Qanun-qanun yang tidak sesuai dengan standar-standar ini.
- Mendukung upaya meningkatkan kapasitas dan penyadaran hak asasi manusia kepada para pembuat kebijakan dan pegawai negeri di Aceh dan dalam Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.
- Mendukung NGO dan kelompok masyarakat sipil di Aceh yang mengawasi ketentuan dan laporan penerapan hukum Syariah, termasuk mereka yang mewakili inidividu-individu yang dituduh melanggar hukum-hukum tersebut.
- Mendukung program pelatihan Kepolisian di Indonesia dan memastikan bahwa program-program tersebut menekankan pada tanggung jawab polisi dan aparat penegak hukum untuk menuntut para pelaku kekerasan di tingkat desa, termasuk dalam penerapan hukum Syariah oleh masyarakat. Secara seksama memeriksa para petugas yang dilatih untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam pelanggaran.
- Mendukung program-program yang bertujuan meningkatkan ketentuan dukungan medis, psikologis, ekonomi dan hukum yang bebas biaya bagi perempuan di Aceh yang mengalami kekerasan, pemerkosaan dan pengusiran dari masyarakat mereka.
X. Annex
3 September 2010
Bpk. Hasbi Abdullah
Ketua DPRA
Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh
Banda Aceh
Fax: +62 651 21638
Hal: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Syariah Islam di Provinsi Aceh
Kepada Yth. Bapak Hasbi Abdullah,
Terima kasih karena Anda telah bertemu dengan rekan saya Christen Broecker di Banda Aceh pada tanggal 21 Mei 2010. Human Rights Watch sangat menghargai kesediaan Bapak untuk berbagi informasi dengan kami tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh.
Saya menulis surat ini untuk menanyakan kepada Bapak informasi lebih lanjut tentang tindakan-tindakan yang Bapak ambil terkait pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam pelaksanaan Syariah Islam di Aceh. Human Rights Watch berkomitmen untuk mengeluarkan laporan dengan materi yang tepat dan obyektif.
Kami berharap Bapak dan staf Bapak bersedia menjawab pertanyaan yang terlampir agar laporan kami dapat mencerminkan secara akurat pendapat-pendapat Bapak. Kami sangat menghargai jika Bapak dapat memberikan jawaban tertulis kepada kami sebelum tanggal 3 Oktober 2010 supaya kami dapat mengolah jawaban Bapak sebelum mengedarkan laporan tersebut.
Selain informasi yang kami ajukan di bawah ini, mohon berikan juga materi-materi lain, statistik dan informasi tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh yang menurut pendapat Bapak bersangkutan dengan permintaan kami.
Terima kasih karena telah memberikan waktu untuk membahas hal-hal yang penting ini.
Hormat saya,
Elaine Pearson
Penjabat Direktur Divisi Asia
Kami sangat menghargai informasi apapun yang dapat Anda berikan tentang hal-hal berikut:
Status Rancangan Undang-Undang yang Disusun oleh DPRA
- Apa status draf Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Jinayat saat ini? Sudahkah DPRA mengkaji dan meninjau kembali teks RUU tersebut? Jika demikian, dapatkah Anda memberitahu kami kapan DPRA akan mulai mempertimbangkan RUU ini lagi? Apakah Anda akan menanyakan anjuran/masukan dari organisasi masyarakat sipil sebelum DPRA meneruskan diskusi RUU tersebut?
- Apa status rancangan Qanun Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)? Dapatkah Anda memberitahu kami kapan DPRA akan mulai mempertimbangkan rancangan Qanun ini lagi? Apakah Anda akan menanyakan anjuran/masukan dari organisasi masyarakat sipil sebelum DPRA meneruskan diskusi rancangan Qanun tersebut?
- Apakah Anda pernah meminta WH dan polisi untuk mengambil data dan melaporkan kepada DPRA jumlah, kelamin dan umur individu yang pernah ditahan dengan dugaan melanggar Qanun 14/2003 selama tahun 2008, 2009, 2010? Jika demikian, apakah data itu bisa diakses oleh masyarakat umum? Jika tidak, apakah Anda bermaksud meminta WH dan polisi untuk menyediakan data tersebut kepada DPRA dan masyarakat umum?
- Apakah Anda pernah meminta Mahkamah Syariah untuk mengumpulkan data dan melaporkan kepada DPRA tentang jumlah kasus dugaan pelanggaran Qanun 14/2003 selama tahun 2009 dan 2010 yang dibawa ke pengadilan dan juga putusan dan hukuman dari pengadilan tersebut? Jika tidak, akankah Anda bermaksud meminta Mahkamah Syariah untuk memberikan data tersebut kepada DPRA dan juga masyarakat umum?
Penegakkan Hukum tentang Khalwat (Mesum) atau “Pengasingan”
- Pada tanggal 17 Mei, seorang petugas WH mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa WH berpendapat jika laki-laki dan perempuan yang tidak menikah atau bersaudara duduk dimana saja, termasuk tempat umum, pada waktu malam, mereka telah bermesum dan telah melanggar Qanun 14/2003. Apakah Anda setuju dengan penafsiran Qanun 14/2003 ini? Jika tidak, maukah Anda mendukung adanya amendemen Qanun 14/2003 untuk menerangkan maksudnya khalwat (mesum)?
- WH percaya mereka berhak mendesak sepasang laki-laki dan wanita untuk menunjukkan sertifikat pernikahan mereka jika ada dugaan khalwat (mesum). Apakah Anda setuju dengan praktek ini? Jika tidak, maukah Anda mendukung adanya amendemen Qanun 14/2003 untuk menerangkan wewenang WH dan juga melarang praktek seperti ini?
- WH menganggap bahwa mereka berhak meminta perempuan yang diduga khalwat (mesum) untuk melakukan visum atau pemeriksaan medis guna memastikan keperawanan mereka. Apakah Anda setuju dengan praktek ini? Jika tidak, maukah Anda mendukung adanya amendemen Qanun 14/2003 guna menerangkan wewenang WH dan juga melarang praktek seperti ini?
- Tahun ini petugas WH menyatakan di media bahwa mereka menganggap hal yang pantas jika mereka menawarkan untuk menutup penyidikan khalwat (mesum) jika pasangan yang ditangkap tersebut setuju untuk menikah. Apakah Anda setuju dengan praktik ini? Jika tidak, maukah Anda mendukung adanya amendemen Qanun 14/2003 untuk menerangkan wewenang WH dan juga melarang praktek seperti ini?
- Human Rights Watch mencatat banyak kasus dimana individu diduga khalwat (mesum) oleh masyarakat dengan dasar yang tidak kuat. Misalnya lelaki dan perempuan yang non muhrim akan diduga khalwat jika dilihat berdua-duaan setelah jam tertentu biarpun tidak ada bukti bahwa mereka akan berhubungan seks. Maukah Anda mendukung adanya amendemen untuk Qanun 14/2003 guna menghilangkan ketentuan tentang partisipasi oleh masyarakat dalam penegakkan hukum tentang khalwat (mesum)?
- Beberapa individu menyatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka telah dihukum secara adat setelah dituduh berbuat khalwat (mesum) tetapi mereka tidak pernah diberikan kesempatan untuk membela cerita mereka ataupun diberikan kesempatan untuk partisipasi di dalam proses penyelesaian. Maukah Anda mendukung adanya perundang-undangan yang memperkuatkan sistem perlindungan hukum untuk penyelesaian secara adat atau adanya amendemen Qanun 9/2008 tentang Kehidupan dan Bimbingan Adat untuk akan mengganti wewenang lembaga adat dalam menyelesaikan tuduhan khalwat?
3 September 2010
Yth. Bpk. Muhammad Nazar
Wakil Gubernur Provinsi Aceh
Jl. T. Nyak Arief No. 219
Banda Aceh 23144
Fax: +62 651-7552535
Hal: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Syariah Islam di Provinsi Aceh
Kepada Yth. Bapak Wakil Gubernur Muhammad Nazar,
Terima kasih karena Anda telah bertemu dengan rekan saya Christen Broecker di Banda Aceh pada tanggal 19 Mei 2010. Human Rights Watch sangat menghargai kesediaan Anda untuk berbagi informasi dengan kami tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh.
Saya menulis surat ini untuk menanyakan kepada Anda informasi lebih lanjut tentang beberapa kebijakan dan praktek WH dan Polri terkait pelaksanaan Syariah Islam. Human Rights Watch berkomitmen untuk mengeluarkan laporan dengan materi yang tepat dan obyektif.
Kami berharap Anda dan staf Anda bersedia menjawab pertanyaan yang terlampir agar laporan kami dapat mencerminkan secara akurat pendapat-pendapat Anda. Kami sangat menghargai jika Anda dapat memberikan jawaban tertulis kepada kami sebelum tanggal 3 Oktober 2010 supaya kami dapat mengolah jawaban Anda sebelum mengedarkan laporan tersebut.
Selain informasi yang kami ajukan di bawah ini, mohon berikan juga materi-materi lain, statistik dan informasi tentang peran WH dalam pelaksanaan Syariah Islam di Aceh yang menurut pendapat Anda bersangkutan dengan permintaan kami.
Terima kasih karena Anda telah memberikan waktu untuk membahas hal-hal yang penting ini.
Hormat saya,
Elaine Pearson
Penjabat Direktur Divisi Asia
Cc: Yth. Bpk. Irwandi Yusuf, Gubernur Provinsi Aceh, Jalan Teungku
Nyak Arief, Banda Aceh, Fax : +62 651-51091/53676
Kami sangat menghargai informasi apapun yang dapat Anda berikan tentang hal-hal berikut:
Personil dan Prosedur WH
- Apakah Ketua WH melapor kepada Bapak Gubernur? Jika tidak, kepada pejabat pemerintah mana WH melapor?
- Berapa banyak petugas WH di Aceh yang juga berperan sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)? Berapa banyak PPNS bekerja untuk WH dalam tahun 2008 dan 2009? Bagaimana cara dinas Anda mengangkat petugas WH ke posisi PPNS?
- Apakah petugas WH wajib mematuhi sebuah kode etik? Jika demikian, dapatkah Anda memberikan kepada Human Rights Watch sebuah salinan dokumen tersebut?
- Sampai sekarang Human Rights Watch tidak dapat menemukan Keputusan Gubernur No. 1/2004 mengenai Pembentukan dan Administrasi Wilayatul Hisbah. Dapatkah Anda menyediakan salinan elektronik untuk dokumen ini?
Penegakkan Hukum tentang Khalwat (Mesum) atau “Pengasingan”
- Apakah Anda pernah meminta WH dan polisi untuk mengumpulkan data dan melaporkan kepada Anda jumlah, kelamin dan umur individu yang pernah ditahan dengan dugaan melanggar Qanun 14/2003 selama tahun 2008, 2009, 2010? Jika demikian, apakah data itu bisa diakses oleh masyarakat umum? Jika tidak, apakah Anda bermaksud melakukan hal tersebut?
- WH menganggap bahwa mereka dapat menahan individu yang diduga khalwat (mesum) selama 24 jam untuk melakukan penyidikan. Human Rights Watch berbicara dengan inidvidu yang pernah ditahan oleh WH dan polisi dengan dugaan yang sama pada tahun 2009 dan 2010. Undang-undang mana yang memberikan wewenang kepada petugas WH dan polisi untuk menahan individu yang diduga melanggar Qanun 14/ 2003 tentang khalwat (mesum)? Apakah Anda setuju dengan praktek tersebut? Jika tidak, apa langkah yang Anda telah ambil untuk menghentikan praktek tersebut?
- Apakah Anda setuju jika WH menganggap bahwa lelaki dan perempuan yang tidak menikah atau bersaudara telah berbuat khalwat (mesum) dan melanggar Qanun 14/2003 jika mereka duduk dimana saja, termasuk tempat umum, pada waktu malam? Jika tidak, apa langkah yang telah Anda ambil untuk menghentikan praktek tersebut?
- Apakah anda setuju jika WH sesekali mendesak sepasang lelaki dan perempuan yang diduga khalwat untuk menikah, dan menawarkan untuk menutup penyidikan mereka jika lelaki dan perempuan tersebut memutuskan untuk menikah? Jika tidak, apa langkah yang telah Anda ambil untuk menghentikan praktek tersebut?
- Apakah Anda pernah meminta Mahkamah Syariah untuk memberikan laporan kepada dinas Anda tentang jumlah pelanggar Qanun 14/2003 pada tahun 2009 dan 2010 yang kasusnya telah dibawa ke pengadilan di Mahkamah Syariah? Apa pula putusan dan hukuman dari pengadilan tersebut? Jika demikian, apakah laporan itu bisa diakses oleh masyarakat umum?
Penegakkan Hukum tentang Khalwat Melalui Cara Adat
- Human Rights Watch telah mencatat banyak kasus tentang individu yang diduga khalwat (mesum) oleh masyarakat dan juga dihukum karena perbuatan mereka, tetapi mereka tidak dapat memberikan cerita mereka ataupun diberikan kesempatan untuk berpartisipasi di dalam proses penyelesaian masalah. Apa langkah yang telah Anda ambil untuk menyelesaikan isu tersebut?
Langkah untuk Melawan Main Hakim Sendiri
- Human Rights Watch mencatat banyak kasus dimana orang yang diduga khalwat (mesum) dipaksa masuk ke dalam rumah mereka, serta mengalami penyerangan dan penghinaan secara umum oleh anggota masyarakat. Petugas polisi di Aceh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka tidak akan menyidik insiden kekerasan kecuali jika mereka menerima laporan dari pihak korban dan jika tidak, mereka biarkan masalah kekerasan itu diselesaikan secara adat. Dari semua kasus yang Human Rights Watch selidiki, tidak ada satu orangpun yang diberikan hukuman secara adat walaupun mereka berbuat kekerasan. Apa langkah yang Anda ambil untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Penegakkan Ketentuan Syariah Islam Lain
- Apakah Anda pernah menyuruh WH untuk membuat laporan kepada dinas Anda tentang jumlah, kelamin dan umur individu yang pernah dihentikan karena mereka telah melanggar ketentuan “busana Islam” di dalam Qanun 11/2002? Jika demikian, apakah data itu dapat diakses oleh masyarakat umum? Jika tidak, apakah Anda bermaksud melakukan hal tersebut?
- Apa langkah yang Anda ambil untuk menangani diskriminasi penegakkan Qanun 11/2002 oleh WH terhadap perempuan?
- Pada bulan Juli 2010, Kabupaten Aceh Barat telah mengesahkan peraturan lokal yang mempunyai syarat lebih rinci tentang ketentuan “busana Islam” daripada ketentuan dalam Qanun 11/2002. Apakah Anda percaya bahwa peraturan ini sesuai dengan undang-undang nasional? Jika tidak, apakah Anda atau staf Anda telah mengambil langkah untuk membuat permohonan kepada Mahkamah Agung RI untuk melakukan uji materi terhadap peraturan tersebut? Mohon dijelaskan.
Mekanisme Ganti Rugi
- Apakah Anda pernah meminta WH untuk membuat laporan kepada dinas Anda tentang jumlah dan rincian dugaan kelakuan buruk yang dilakukan oleh petugas WH, Kepala WH dan polisi dan juga langkah yang diambil oleh institusi-institusi tersebut untuk menyelesaikan dugaan tersebut? Jika tidak, apakah Anda bermaksud mengumpulkan informasi tersebut dan juga akan memberikan informasi tersebut kepada masyarakat umum di masa yang akan datang?
- Pada tanggal 15 Juli pengadilan di Langsa menemukan bahwa petugas WH Mohammed Nazir dan Feri Agus telah memperkosa seorang perempuan sewaktu ia ditahan di Kantor Dinas WH Langsa dengan tuduhan khalwat pada bulan Januari 2010. Pada bulan Mei 2010, Marzuki Abdullah, Kepala WH Langsa, menyatakan kepada Human Rights Watch bahwa dugaan kepada petugas WH itu tidak benar dan juga tidak ada tindakan terhadap petugas WH tersebut kecuali penggantian Kepala WH Langsa. Apa langkah yang telah Anda ambil untuk mencegah terjadinya pelanggaran semacam ini dilakukan oleh petugas WH Langsa dan WH di lain tempat di waktu yang akan datang?
Kesesuaian Syariah Islam di Aceh dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nasional Indonesia
- Apakah Anda percaya bahwa Qanun 14/2003, yang melarang non muhrim laki-laki dan wanita bersama-sama di tempat terpencil, adalah sesuai dengan kewajiban HAM Indonesia dan juga undang-undang nasional Indonesia? Jika tidak, apakah Anda mengambil langkah apapun untuk menjawab isu tersebut? Mohon dijelaskan.
- Apakah Anda percaya bahwa persyaratan “busana Islam” dalam Qanun 11/2002, yang mengharuskan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat mereka (dari pusar ke lutut untuk laki-laki dan seluruh badan kecuali tangan untuk perempuan), dan juga memakai pakaian yang tidak ketat atau transparan, adalah sesuai dengan kewajiban HAM Indonesia dan juga undang-undang nasional Indonesia? Jika tidak, apakah Anda mengambil langkah apapun untuk menjawab isu tersebut? Mohon dijelaskan.
3 September 2010
Bpk. H. Marzuki Abdullah
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah di Aceh
Jl. Tgk. H. M. Daud Beureuh No. 129
Banda Aceh
Fax: +62 651-28854
Hal: Wilayatul Hisbah dan Syariah Islam di Aceh
Kepada Yth. Bapak H. Marzuki,
Terima kasih karena Anda telah bertemu dengan rekan saya Christen Broecker di Banda Aceh pada tanggal 19 Mei 2010. Human Rights Watch sangat menghargai kesediaan Bapak untuk berbagi informasi tentang peran Wilayatul Hisbah (WH) dalam pelaksanaan Syariah Islam di Aceh.
Saya menulis surat ini untuk menanyakan kepada Anda informasi lebih lanjut tentang beberapa kebijakan dan praktek WH. Human Rights Watch berkomitmen untuk mengeluarkan laporan dengan materi yang tepat dan obyektif.
Kami berharap Anda dan staf Anda bersedia menjawab pertanyaan yang terlampir agar laporan kami dapat mencerminkan secara akurat pendapat-pendapat Anda. Kami sangat menghargai jika Anda dapat memberikan jawaban tertulis kepada kami sebelum tanggal 3 Oktober 2010 supaya kami dapat mengolah jawaban Anda sebelum mengedarkan laporan tersebut.
Selain informasi yang kami ajukan di bawah ini, mohon berikan juga materi-materi lain, statistik dan informasi tentang peran WH dalam pelaksanaan Syariah Islam di Aceh yang menurut pendapat Anda bersangkutan dengan permintaan kami.
Terima kasih karena Anda telah memberikan waktu Anda untuk membahas hal-hal yang penting ini.
Hormat saya,
Elaine Pearson
Penjabat Direktur Divisi Asia
Kami sangat menghargai informasi apapun yang dapat Anda berikan tentang hal-hal berikut:
Personil dan Pelatihan:
- Berapa banyak petugas WH yang bekerja di Provinsi Aceh pada saat ini? Dapatkah Anda memberikan kepada kami jumlah petugas WH di semua Kabupaten Aceh pada tahun 2009 and 2008? Dari jumlah tersebut, berapa banyak yang diberi upah dan berapa banyak relawan? Dan juga berapa banyak perempuan dari jumlah tersebut?
- Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon petugas WH agar mereka dipekerjakan?
- Mohon beritahu kami tentang program pelatihan yang diberikan untuk petugas-petugas WH baru. Apakah hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalam program ini? Mohon dijelaskan.
- Berapa banyak petugas WH di Aceh yang juga berperan sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)? Berapa banyak PPNS bekerja untuk WH pada tahun 2008 dan 2009?
- Apakah petugas WH, termasuk petugas WH yang juga PPNS, dilatih atau diawasi oleh Polri? Jika demikian, dari Dinas Polri yang mana? Mohon beritahu kami tentang pelatihan yang Polri berikan kepada petugas WH.
- Mohon beritahu kami kepada pejabat pemerintah mana WH melapor.
Operasi dan Prosedur:
- Apakah petugas WH wajib mematuhi sebuah kode etik? Jika demikian, dapatkah Anda memberikan kepada Human Rights Watch sebuah salinan dokumen tersebut?
- Pada tanggal 19 Mei 2010 Anda menyediakan kepada Human Rights Watch Rekapitulasi Data Pelanggaran Qanun Syariat Islam di Provinsi Aceh Tahun 2009 yang mengatakan bahwa WH telah mencatat 3701 pelanggaran Qanun 11/2002, 12/2003, 13/2003 dan 14/2003. Apakah dinas Anda mengeluarkan laporan seperti ini untuk tahun 2008? Jika demikian, dapatkah Anda memberikan laporan tersebut kepada Human Rights Watch?
- Dapatkah anda menyediakan data yang mencatat penangkapan WH terhadap individu yang diduga melanggar Syariah Islam pada tahun 2008, 2009 dan 2010? Dari data tersebut, berapa banyak laki-laki dan berapa banyak perempuan? Dapatkah Anda menyediakan data yang mencatat umur individu yang ditangkap oleh WH pada tahun 2008, 2009 dan 2010?
Penegakan hukum tentang khalwat atau mesum
- Dapatkah anda menyediakan informasi lebih rinci tentang umur dan jenis kelamin individu-individu yang pernah disidik atas dugaan melakukan khalwat (mesum) pada tahun 2009 dan 2010?
- Undang-undang mana yang memberi anggota WH, yang juga PPNS, kewenangan untuk menahan tersangka pelanggar Qanun 14/2003 tentang khalwat (mesum)?
- Laporan tahun 2009 menyatakan bahwa WH mencatat total 836 kasus pelanggaran Qanun 14/2003 tentang khalwat (mesum). Dari jumlah kasus tahun 2009 dan 2010 tersebut, berapa banyak individu tersangka ditahan oleh WH dalam jangka waktu kapanpun? Dapatkah Anda menyediakan data berapa jumlah laki-laki dan berapa jumlah perempuan?
- Pada tanggal 17 Mei, seorang petugas WH mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa WH berpendapat jika laki-laki dan perempuan yang tidak menikah atau bersaudara duduk dimana saja, termasuk tempat umum, waktu malam, mereka telah bermesum dan telah melanggar Qanun 14/2003. Apakah ini pernyataan yang sesuai dengan kebijakan WH?
- Dari jumlah total tahun 2009 dan 2010, berapa banyak kasus pelanggaran Qanun 14/2003 disarankan oleh WH untuk dibawa ke Mahkamah Syariah? Dari jumlah tersebut, berapa kasus benar-benar dilanjutkan ke pengadilan? Apa putusan dan hukuman dari kasus-kasus tersebut?
- Pada tanggal 19 Mei Anda mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa penyidik WH mengharuskan perempuan yang diduga melanggar Qanun 14/2003 untuk melakukan visum (pemeriksaan medis) guna menunjukkan keperawanan mereka di dalam “banyak” kasus. Untuk tahun 2009 dan 2010, mohon beritahu kami berapa banyak kasus dimana WH meminta perempuan yang diduga melakukan khalwat (mesum) untuk menunjukkan keperawanan mereka melalui visum.
- Dalam tahun 2009 dan 2010, berapa banyak kasus khalwat WH tutup karena para pelanggar sepakat untuk menikah? Apakah penganjuran pernikahan kepada pelanggar Qanun 14/2003 merupakan sebuah kebijakan resmi yang dilakukan oleh WH?
- Dalam tahun 2009 dan 2010, berapa banyak kasus khalwat (mesum) yang anggota WH jawab dan berikan kepada pihak yang berwenang agar dapat diselesaikan secara adat dan diberikan hukuman sesuai dengan adat? Dari jumlah kasus tersebut, apakah WH mengawasi proses penyelesaian untuk memastikan bahwa proses itu adil? Mohon dijelaskan.
Penegakkan ketentuan Syariah Islam
- Rekapitulasi Data Pelanggaran Qanun Syariat Islam di Provinsi Aceh Tahun 2009 menyatakan bahwa 2689 dari semua kasus yang ditangani WH adalah kasus pelanggaran Qanun 11/2002. Dari jumlah tersebut, berapa banyak individu dituduh tidak berpakaian “sesuai dengan busana Islam?” Dari jumlah tersebut, berapa banyak laki-laki dan berapa banyak perempuan?
- Human Rights Watch berbicara dengan beberapa orang yang melaporkan bahwa petugas WH Banda Aceh pernah menahan pelanggar ketentuan “busana Islam” dari Qanun 11/2002 pada bulan November 2009 dan Desember 2009. Selama tahun 2009 dan 2010, berapa banyak individu telah WH tahan karena melanggar ketentuan tersebut?
- Selama tahun 2009 dan 2010, berapa banyak individu transgender yang ditahan oleh WH karena melanggar ketentuan “busana Islam” dari Qanun 11/2002? Selama tahun 2009 dan 2010, pernahkah petugas WH menahan individu homoseksual karena orientasi seksual mereka dan jika demikian, berapa banyak kasus?
Mekanisme Ganti Rugi
- Berapa banyak laporan yang Anda terima terkait dugaan kelakuan buruk oleh personil WH selama tahun 2009 dan 2010? Berapa banyak laporan yang diajukan kepada Polri terkait dugaan kelakuan buruk yang dilakukan oleh anggota WH pada tahun 2009 dan 2010? Mohon beritahu kami berapa banyak tindakan ganti rugi maupun tindakan kriminal yang diambil terhadap personil WH sebagai akibat dari laporan tersebut selama tahun 2009 dan 2010, dan jika demikian, tindakan seperti apa yang dibuat.
- Pada tanggal 15 Juli pengadilan di Langsa menemukan bahwa petugas WH Mohammed Nazir dan Feri Agus telah memperkosa seorang perempuan sewaktu ia ditahan di Kantor Dinas WH Langsa dengan tuduhan khalwat pada bulan Januari 2010. Apa tindakan yang WH telah ambil untuk mencegah terjadinya pelanggaran semacam ini di waktu akan datang?
3 September 2010
Inspektur Jenderal Fajar Priyantoro
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Aceh
Jl. Cut Nyak Din
Banda Aceh
Fax: +62 651 477 06
Hal: Polisi dan Syariah Islam di Aceh
Kepada Yth. Bapak Irjen Fajar Priyantoro,
Terima kasih karena telah mengizinkan Budiyono, Kepala Pembangunan Hukum Polda Aceh, untuk bertemu dengan rekan saya Christen Broecker pada tanggal 24 Mei 2010. Human Rights Watch sangat menghargai kemauan Polda Aceh untuk berbagi informasi tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh.
Saya menulis surat ini untuk menanyakan informasi lebih lanjut tentang beberapa kebijakan dan praktek WH. Human Rights Watch berkomitmen untuk mengeluarkan laporan dengan materi yang tepat dan obyektif.
Kami berharap bahwa Bapak dan staf Bapak bersedia menjawab pertanyaan yang terlampir agar laporan kami dapat mencerminkan secara akurat pendapat-pendapat Bapak. Kami sangat menghargai jika Bapak dapat memberikan jawaban tertulis kepada kami sebelum tanggal 3 Oktober 2010 supaya kami dapat mengolah jawaban Bapak sebelum mengedarkan laporan tersebut.
Selain informasi yang kami ajukan di bawah ini, mohon berikan juga materi-materi lain, statistik dan informasi tentang peran polisi dalam pelaksanaan Syariah Islam di Aceh yang menurut pendapat Bapak bersangkutan dengan permintaan kami.
Terima kasih atas waktu Bapak untuk membahas hal-hal yang penting ini.
Hormat saya,
Elaine Pearson
Penjabat Direktur Divisi Asia
Cc: Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Kepolisian Negara RI,
Jl. Trunojoyo No. 3, Jakarta, Indonesia, Fax: +62 21 720 7277
Kami sangat menghargai informasi apapun yang dapat Anda berikan tentang hal-hal berikut:
Pelatihan Polisi dan Pengawasan Personil Wilayatul Hisbah (WH)
- Apakah petugas WH, termasuk petugas WH yang juga Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dilatih atau diawas oleh polisi? Jika demikian, dari dinas Polri yang mana? Mohon jelaskan program pelatihan seperti apa dan apakah pelatihan tentang hak asasi manusia (HAM) juga merupakan salah satu bagian dalam program ini.
- Mohon jelaskan bagaimana cara polisi mengawasi penegakkan Qanun 14/2003 tentang khalwat (mesum) yang dilakukan oleh WH. Apakah rincian proses pengawasan ini ditulis di undang-undang atau peraturan manapun? Jika demikian, dapatkah Anda memberikan materi tersebut kepada Human Rights Watch?
- Apakah petugas-petugas WH harus mendapat otorisasi dari kepolisian sebelum menahan individu yang diduga berbuat khalwat (mesum) di kantornya pada waktu kapanpun?
Operasi dan Prosedur
- Apakah kantor Anda mengumpulkan dan mencatat data tentang jumlah individu yang diduga khalwat (mesum) oleh Polda Aceh per tahun? Apakah kantor Anda mengumpulkan data, seperti umur atau kelamin, tentang inidvidu yang diduga melanggar? Dapatkah anda menyediakan Human Rights Watch dengan data tersebut untuk tahun 2008, 2009 dan 2010?
- Apakah kantor Anda mengumpulkan data tentang jumlah, umur dan jenis kelamin inidvidu yang ditahan oleh polisi selama jangka waktu kapanpun dengan dugaan mereka melakukan khalwat (mesum)? Dapatkah anda menyediakan data tersebut untuk tahun 2008, 2009 dan 2010?
- Budiyono, Kepala Pembangunan Hukum Polda Aceh, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa menahan inidvidu yang diduga melanggar Qanun 14/2003 sebetulnya bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena hukuman maksimal jika melanggar Qanun 14/2003 ialah dipenjara dibawah lima (5) tahun. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut? Jika tidak, mohon beritahu kami undang-undang mana yang memberikan wewenang kepada petugas polisi untuk menahan individu yang diduga melanggar Qanun 14/2003.
- Kepala WH Aceh, Marzuki Abdullah, menyatakan kepada Human Rights Watch bahwa penyidik WH kadang-kadang mengharuskan perempuan yang diduga melanggar Qanun 14/2003 untuk melakukan visum (pemeriksaan medis) guna memastikan keperawanan mereka. Apakah polisi juga mengharuskan perempuan yang dituduh melakukan khalwat (mesum) untuk melakukan visum guna memastikan keperawanan mereka? Dalam berapa kasus Polda Aceh telah menerapkan kebijakan tersebut pada tahun 2009 dan 2010?
- Berapa banyak penyidikan khalwat (mesum) pada tahun 2009 dan 2010 yang telah polisi tutup karena para pelanggar tersebut setuju untuk menikahi pasangannya? Apakah mendesak pasangan yang diduga melanggar Qanun 14/2003 untuk menikah merupakan sebuah kebijakan resmi Polda Aceh?
- Berapa banyak laporan tentang khalwat (mesum) pada tahun 2009 dan 2010 yang petugas polisi respon dan serahkan kepada badan adat para pelanggar agar diselesaikan dan dihukum, jika ada, secara adat? Jika ada kasus seperti yang tersebut, apakah polisi mengawasi proses penyelesaian secara adat tersebut untuk memastikan bahwa proses itu adil? Mohon dijelaskan.
- Berapa banyak laporan tentang dugaan kelakuan buruk personil WH telah diajukan oleh masyarakat kepada Polda Aceh pada tahun 2009 dan 2010? Mohon beritahu kami berapa banyak personil WH yang didakwa dengan tindak kriminal atas laporan ini pada tahun 2009 dan 2010, berapa banyak kasus dibawa ke pengadilan dan, jika ada, putusan dari kasus yang dibawa ke pengadilan tersebut.
- Berapa banyak laporan tentang dugaan kelakuan buruk yang dilakukan oleh petugas polisi dalam menegakkan Qanun 14/2003 yang Anda terima pada tahun 2009 dan 2010? Mohon beritahu kami jumlah tindakan perbaikan (remedy) maupun tindakan kriminal yang diambil terhadap petugas polisi atas dasar laporan tersebut selama tahun 2009 dan 2010 dan juga tindakan apa yang diambil terhadap mereka.
Prakarsa Polisi Masyarakat (POLMAS)
- Apakah program POLMAS dibuat dengan peraturan resmi dan jika demikian, dapatkah Anda memberikan salinan peraturan tersebut kepada Human Rights Watch?
- Berapa banyak wakil POLMAS telah diangkat di kampung-kampung seluruh Aceh?
- Dinas Polri yang mana bertanggung jawab untuk melatih wakil POLMAS dan seperti apa program pelatihannya?
- Pada tanggal 24 Mei 2010, Budiyono mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa berdasarkan program POLMAS, setiap lembaga adat diminta mengangkat seorang perwakilan POLMAS yang diberikan tanggung jawab untuk mengawasi lembaga adat (Tuha Peut) agar isu seperti khalwat (mesum) dapat diselesaikan secara adat dan tanpa kekerasan. Budiyono juga menyatakan bahwa wakil POLMAS akan memberikan nasihat kepada lembaga adat (Tuha Peut) agar memanggil pihak kepolisian jika penegakkan khalwat (mesum) secara adat tidak efisien dan melibatkan kekerasan. Apakah Anda setuju dengan pernyataan tentang POLMAS tersebut? Mohon dijelaskan.
- Apakah para perwakilan POLMAS yang berada di kampung mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi tindak lanjut penyelesaian kasus dugaan khalwat secara adat dan memastikan bahwa proses dan hasil dari penyelesaian tersebut itu adil dan sesuai dengan undang-undang hak asasi manusia (HAM)?
- Apakah para perwakilan POLMAS mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada pihak kepolisian jika anggota masyarakat melakukan kekerasan sewaktu menangkap individu yang diduga melakukan khalwat (mesum) atau jika lembaga adat (Tuha Peut) tidak mengambil tindakan untuk menghukum inidvidu yang melakukan kekerasan? Mohon dijelaskan.
XI. Ucapan Terima Kasih
Laporan ini ditulis oleh Christen Broecker, fellow dari New York University School of Law yang bekerja di Divisi Asia Human Rights Watch, berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan pada bulan April dan Mei 2010. Elaine Pearson, Wakil Direktur Divisi Asia, dan Joseph Saunders, Wakil Direktur Program, menyunting laporan ini. Aisling Reidy, penasihat hukum senior, menyediakan kajian hukum. Nadya Khalife, peneliti hak-hak perempuan: Dipika Nath, peneliti hak-hak LGBT; dan Joe Stork, Wakil Direktur Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara, juga menyediakan kajian tambahan. Karina Swenson, Renita Moniaga, Yazid Alfata, Patricia Paramita, dan Griselda Raisa Susanto, pekerja magang di Divisi Asia, memberikan bantuan dalam penelitian dan penerjemahan. Patricia Yocie, pekerja magang di Divisi Hak-hak Perempuan, menerjemahkan laporan ini. Jake Scobey-Thal, rekan di Divisi Asia, memberikan bantuan dalam hal penyuntingan, administrasi, teknis dan produksi. Anna Lopriore, Grace Choi, dan Fitzroy Hepkins menyediakan bantuan dalam hal produksi.
Human Rights Watch hendak berterima kasih kepada semua pihak perseorangan yang telah bersedia diwawancarai untuk laporan ini, khususnya warga Aceh yang telah berbagi pengalaman pribadi mereka dengan kami.
Kami juga sangat berterima kasih kepada semua organisasi non-pemerintah dan pihak perserorangan yang telah banyak membantu kami dalam melaksanakan penelitian ini dan memberikan masukan kepada kerja kami. Terima kasih kepada Shadia Marhaban, presiden Liga Inong Aceh (LINA), dan staf LINA, dan Andy Yentriyani, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), karena telah memberikan bantuan dalam penelitian dan mengkaji laporan ini. Terima kasih kepada Mohammad Fadel, Asisten Profesor Hukum, Fakultas Hukum University of Toronto, yang juga mengkaji laporan ini. Terima kasih kepada staf LBH APIK dan LBH Banda Aceh serta Chairul Azmi, SH, Koordinator LBH Banda Aceh Pos Meulaboh, karena telah memberikan bantuan dan mengatur wawancara. Terima kasih kepada para aktivis lainnya di Aceh yang telah memberikan bantuan dalam penelitian, mengatur wawancara, dan mengkaji laporan ini tetapi tidak ingin disebutkan namanya. Terima kasih kepada Rizki Affiat dan Novia Liza, yang telah memberikan bantuan penerjemahan di Aceh.
[1]Gerakan Darul Islam dibentuk pada tahun 1942 di Jawa Barat oleh para pejuang Muslim yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara independen berbasis hukum Islam, dan akhirnya terdiri dari kelompok-kelompok di berbagai daerah, termasuk Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan JawaTengah. Awalnya, gerakan ini bergabung dengan gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Setelah Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945, Presiden Sukarno menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler, dan berbagai fraksi gerakan Darul Islam mengangkat senjata melawan Pemerintah Pusat dalam pemberontakan Darul Islam. Berbagai kelompok daerah yang termasuk dalam gerakan ini secara bertahap ditekan oleh Pemerintah antara tahun 1957-1965.
[2]Lihat International Crisis Group (ICG), Islamic Law and Criminal Justice in Aceh[Hukum Islam dan Peradilan Pidana di Aceh], Crisis Group Asia ReportNo. 117, 31 Juli 2006, hlm. 3. Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia[Islam dan Bangsa: Pemberontakan Separatis di Aceh, Indonesia] (2009), hlm. 33.
[3] Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia [Islam dan Bangsa: Pemberontakan Separatis di Aceh, Indonesia] (2009), hlm. 199.
[4]Setidaknya 1.000 warga Aceh dibunuh oleh angkatan bersenjata atau dinyatakan hilang dan kemudian ditemukan meninggal, puluhan ribu warga Aceh dipenjara dan disiksa dalam kamp-kamp militer, dan diperkosa sebagaimana dilaporkan secara luas. Human Rights Watch, Indonesia: The War in Aceh [Indonesia: Perang di Aceh], Vol. 13, No. 4 (C) (Agustus 2001), http://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indaceh0801-02.htm#TopOfPage (diakses pada tanggal31 Agustus 2010).
[5] Human Rights Watch, Indonesia: Why Aceh is Exploding[Indonesia: Mengapa Aceh Meledak], Press Backgrounder, 27 Agustus 1999, http://www.hrw.org/campaigns/indonesia/aceh0827.htm (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[6]Para pejabat pemerintah secara resmi mengakhiri DOM dan mengeluarkan permohonan maaf secara publik kepada masyarakat Aceh, tetapi aparat militer tidak dituntut atas pelanggaran-pelanggaran masa lalu, dan aktivitas militer melawan GAM, disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terus meningkat tetap terjadi.Ibid.
[7]Undang-undang No. 44/1999. Aspinall, hlm. 146, 209.
[8]Undang-undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.
[9]Ibid., Pasal 25. UU tersebut memberikan Aceh 70% pendapatan produksi minyak dan gas alam di provinsi tersebut dan memberikan wewenang lebih kepada Pemerintah Provinsi terkait hal-hal keamanan. Qanun-qanun ”didasarkan atas syariah Islam dalam sistem hukum nasional.”
[10]Michelle Ann Miller, Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta’s Security and Autonomy Policies in Aceh[Pemberontakan dan Reformasi di Indonesia: Kebijakan Jakarta terkait Keamanan dan Otonomi di Aceh](2009) hlm. 52; Aspinall, hlm. 211.
[11]Aspinall, hlm. 211.
[12]Islam di Aceh didominasi oleh aliran Sunni (Sunnah wal Jamaah), dan khususnya mengikuti mahzabShafi’i (salah satu dari empat (4) mahzab/aliran fiqh utama; lainnya adalah Hanafi, Hanbali dan Maliki).
[13]Keputusan Gubernur No.451.1/21249 (disahkan pada tanggal 6 September 1999, mulai berlaku sejak 23 September 1999) (memerintahkan semua perempuanpegawai pemerintahan mengenakan busana Islami).Miller, hlm. 54.
[14]International Crisis Group, Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict? [Aceh: Dapatkan Otonomi Membendung Konflik?], ICG Asia Report No. 18, 27 Juni 2001, hlm. 10. Lihat juga Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariah Islam. Tampaknya Perda ini tidak diberlakukan karena kurangnya dana.Ibid.
[15]Miller,hlm. 55. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 239 (mengutip laporan pada tahun 2000 tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan “razia jilbab” yang dilakukan oleh sekelompok pemuda yang menggunting rambut mereka, menyirami mereka dengan cat, dan melakukan pelecehan seksual kepada mereka).
[16]Miller, hlm. 55.
[17]QanunNo. 14/2003 tentang “perbuatan bersunyi-sunyian” mengizinkan pemberlakuan hukuman cambuk antara 3-9 kali, dan/atau denda antara Rp 2,5-10 juta. Pasal 22(1). Cambuk juga diizinkan sebagai hukuman bagi kejahatan-kejahatan seperti perzinahan dan perjudian di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, walaupun sepertinya hukuman ini belum sering diterapkan. Andi Hajramurni, “Makassar’s ‘sharia’ bylaws see a decline in enforcement effort [Penurunan Upaya Penegakan Perda Syariah Makassar],” The Jakarta Post, 31 Agustus 2010.
[18]ICG, Islamic Law and Criminal Justice in Aceh [Hukum Islam dan Peradilan Pidana di Aceh], hlm. 4.
[19]Aspinall, hlm. 213 (mengutipSerambi Indonesia, 14 Desember 2000 dan 5 Maret 2002). Walaupun anggota GAM adalah umat Muslim, sejak tahun 1990an gerakan ini tidak lagi mengadvokasi pelaksanaan hukum Islam, tetapi mendesak kemerdekaan dan pengakhiran pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat militer Indonesia dan menolak untuk menjelaskan lebih lanjut sistem hukum yang akan didukung oleh GAM dalam Aceh yang berdaulat. Damien Kingsbury, Peace in Aceh: A Personal Account of the Helsinki Peace Process[Damai di Aceh: Catatan Pribadi tentang Proses Damai Helsinki] (2006), hlm. 182.
[20]Aspinall, hlm. 213-215.
[21]Biro Pusat Informasi GAM 2002, dalam Aspinall, hlm. 215 (“[GAM] selalu menyatakan bahwa warga Aceh tidak membutuhkan pihak luar untuk mengajar kita tentang Islam atau untuk menerapkan hukum apapun, termasuk Syariah, untuk memaksa kita tunduk pada agama kita.... Sejauh perhatian [GAM], walaupun kami sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berpakaian sopan, kami tidak menganggap ini sebagai masalah yang perlu didikte oleh Negara.”).
[22]ICG,Islamic Law and Criminal Justice in Aceh[Hukum Islam dan Peradilan Pidana di Aceh] (2006), hlm. 5. Pihak militerdilaporkan mendirikan kantor-kantor Dinas Syariat Islam di wilayah-wilayah yang paling banyak terkena dampak konflik.
[23]Keputusan Gubernur No. 1/2004 tentang Pembentukan dan Administrasi Wilayatul Hisbah. Lihat UNDP Indonesia, “Access to Justice in Aceh [Akses terhadap Keadilan di Aceh],” hlm. 48-49.
[24]Selama periode tersebut, Human Rights Watch mencatat peningkatan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat keamanan Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran tersebut termasuk eksekusi ekstra-yudisial, penghilangan paksa, pemukulan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan pembatasan drastis kebebasan bergerak. Human Rights Watch, Aceh at War: Torture, Ill-Treatment, and Unfair Trials[Aceh di Masa Perang: Penyiksaan, Perlakuan Buruk dan Pengadilan yang Tidak Adil], 26 September 2004, http://www.hrw.org/en/node/11979/section/5 (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010). Sejak saat itu, situasi diturunkan menjadi “darurat sipil.”
[25]Kingsbury, Peace in Aceh [Damai di Aceh], hlm. 20.
[26]Tidak seperti MOU Helsinki, yang mengizinkan Aceh merancang kitab hukum pidana berdasarkan perjanjian-perjanjian hak asasi internasional, UU PA mengizinkan penerapan Syariah tanpa adanya rujukan kepada standar hak asasi manusia internasional. UU No. 11/2006, Pasal 127, 244. MOU Helsinki (15 Agustus 2005), Pasal 1.4.2, dimuat kembali dalam Kingsbury, Peace in Aceh [Damai di Aceh], hlm. 199-208.
[27] Orlando Guzman, “Indonesia: After the Wave [Indonesia: Paska Gelombang],” Frontline World, 26 Juni 2007, http://www.pbs.org/frontlineworld/stories/indonesia605/reporters_diary.html (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010) (“Selama bertahun-tahun Aceh tertutup dari bagian dunia lain, dan remaja sebaiknya tetap berada di dalam rumah pada malam hari akibat pertempuran yang terjadi. Seiring damai, hadir pula suasana yang lebih liberal dan riang, dan kaum muda Aceh sekarang mengadaptasinya. Orang muda Aceh sekarang memiliki pacar, dan mereka meninggalkan jilbab mereka sesuai dengan mode populer global.”).
[28] Eliza Griswold, The Tenth Parallel[Pararel Kesepuluh] (2010), hlm. 193-94.
[29]Bill Guerin, “Flogging for Islamic law [Cambuk bagi Hukum Islam],” Asia Times, Hong Kong, 30 Juni 2005. Pada tanggal 24 Juni 2005, Kecamatan Bireuen, 15 orang yang diputuskan melanggar Qanun tentang perjudian dicambuk masing-masing antara 6-10 kali dalam penerapan hukuman cambuk di muka publik pertama di Aceh. Mereka dihukum karena memasang taruhan Rp 1.000,00 di sebuah pesta.
[30]Fabio Scarpello, “Rebel-led democracy for Indonesia's Aceh [Demokrasi yang Dipimpin oleh Pemberontak di Aceh, Indonesia],” Asia Times, 3 Februari 2007,http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/IB10Ae02.html.
[31]Stephen Fitzpatrick, “Hope for moderate in Aceh [Harapan untuk Moderat di Aceh],” The Australian, 9 Desember 2006 (Irwandi menyatakan, antara lain, “Ini bukan hukum Syariah yang sebenarnya. Syariah seharusnya bukan tentang melihat kesalahan yang dilakukan oleh orang, tetapi tentang meningkatkan kesejahteraan orang.”)
[32]Pada bulan Maret 2008, Irwandi menyatakan, “Menurut saya, pendapat-pendapat tentang Syariah tidak seharusnya didominasi oleh tiga isu ini [alkohol, judi dan khalwat]. …[K]ami lebih baik lebih memusatkan pada ekonomi. Jadi, pendidikan, kesehatan dan ekonomi saling berkaitan, dan saya akan memusatkan pada isu-isu ini.” Riyadi Suparno, “Central government must allow Aceh to sustain hard-won peace [Pemerintah Pusat Harus Mengizinkan Aceh Mempertahankan Damai yang Dimenangkan dengan Susah Payah],” The Jakarta Post, 3 Maret 2008, http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/03/central-government-must-allow-aceh-sustain-hardwon-peace.html.
[33]Wawancara Human Rights Watch Interview dengan aktivisLSM, Banda Aceh, 9 Mei 2010. Salah satu aktivis mengatakan bahwa rendahnya angka pencambukan bukanlah hasil dari keengganan pihak gubernur untuk melaksanakan hukuman tersebut, melainkan hasil dari kebingungan tentang apakah pendanaan pelaksanaan hukuman cambuk adalah tanggung jawab pemerintah provinsi atau dari distrik di mana hukuman itu harus dilakukan. Para aktivis juga mencatat bahwa jaksa Syariah mengalami kesulitan dalam menemukan dan menarik orang-orang yang bersalah karena telah melanggar ketentuan Syariah untuk muncul di hadapan Mahkamah Syariah dan menyerahkan diri untuk dicambuk atau dihukum.
[34] Nurdin Hasan, “Shariah Police in Aceh Cane 5 for Adultery, Gambling [Polisi Syariah di Aceh Mencambuk 5 (Orang-ed.) atas dasar Perzinahan, Perjudian],” The Jakarta Globe , 7 Agustus 2010.
[35] Seluruhnya merupakan perwakilan partai politik nasional yang dipilih dalam masa konflik pada tahun 2004.
[36]RancanganQanun Hukum Jinayat (2009). Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch. Saat ini, semua aparat penegak hukum di Aceh harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
[37]Sebagai contoh, berdasarkan Qanun No. 11/2003, judi dapat dikenakan hukuman maksimal 12 kali cambuk. Berdasarkan Rancangan QanunJinayat, judi dapat dihukum cambuk hingga 60 kali. Qanun No. 12/2003, Pasal 23(1); Rancangan Qanun Jinayat (2009), Pasal 17.
[38]Didefinisikan sebagai berpelukan, berpegangan tangan, atau berciuman, oleh orang-orang yang tidak saling menikah (muhrim). Pelanggaran ini dapat dihukum hingga 60 kali cambuk, 60 bulan penjara, atau denda hingga sebesar 600 gram emas. Rancangan Qanun Jinayat, Pasal 1(17)-(18), 22.
[39]Ibid., Pasal 1(20), 24; Pasal 1(21), 27; Pasal 1(24), 29; Pasal 1(22)-(23), 33. Pemerkosaan dalam lingkup perkawinan tidak termasuk dalam definisi pemerkosaan.
[40]Human Rights Watch, Indonesia: New Aceh Law Imposes Torture[Indonesia: Hukum Aceh Baru Memberlakukan Penyiksaan], Press Release,11 Oktober 2009, http://www.hrw.org/en/news/2009/10/11/indonesia-new-aceh-law-imposes-torture (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[41]Hamid Zein, Kepala Biro Hukum kantor Gubernur Aceh, menyatakan, “Selama badan eksekutif dan legislatif tidak menangani perbedaan dalam penerapan [hukuman mati] rajam, Pemerintah Aceh tidak akan menandatangani Perda tersebut.” “Aceh government rejects Shariah bylaw [Pemerintah Aceh Menolak Perda Syariah],” Fridae.com, 22 September 2009, http://www.fridae.com/newsfeatures/2009/09/22/8985.aceh-government-rejects-Shariah-bylaw (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[42]“New Aceh council to rethink controversial stoning bylaw [Dewan Aceh yang Baru Memikirkan Kembali Perda tentang Rajam yang Kontroversial],” The Jakarta Post, 22 Oktober 2009, http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/22/new-aceh-council-rethink-controversial-stoning-bylaw.html (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[43] Ketentuan yang relevan dari UU PA yang bersengketa adalah Pasal 234 (1), yang menyatakan “alam hal rancangan qanun yang telah disetujui bersama dengan DPRA dan Gubernur atau DPRK dan bupati/walikota tidak disahkankan oleh Gubernur…. dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun ini disetujui, rancangan qanun tersebut sah menjadi qanun dan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Aceh atau Lembaran Daerah kabupaten/kota.” Gubernur Irwandi telah menitik beratkan pada frase "disetujui bersama"dalam mengklaim bahwa DPRA diminta untuk memperoleh persetujuan terhadap draft Qanun Jinayat dan Hukum Qanun Jinayat sehingga mereka secara otomatis memenuhi syarat untuk berlakunya 30 hari setelah dukungan mereka dengan DPRA. Undang-undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), pasal 234 ayat 1.
[44]Wawancara Human Rights Watch dengan Hasbi Abdullah, Ketua DPRA, Banda Aceh, 21 Mei 2010.
[45]Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia (2009), Bagian 3.2. Sebagaimana dicatatoleh Human Rights Watch. Lihat juga The Global Campaign to Stop Killing and Stoning Women and Women Living Under Muslim Laws (WLUML), “West Aceh, Indonesia: New regulation forbidding the wearing of 'tight clothing’ by women may be open to abuse [Aceh Barat, Indonesia: Peraturan Baru yang Melarang Penggunaan ‘Pakaian Ketat’ oleh Perempuan Memungkinkan Timbulnya Pelecehan],” 7 Juni 2010, http://www.wluml.org/node/6380 (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[46]Ibid.
[47]Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 244(1). Sejumlah pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia telah membentuk Satpol PP. Mereka terpisah dari Kepolisian dan diberdayakan untuk menegakkan peraturan-peraturan administratif terkait ketertiban dan keamanan publik dan biasanya diberdayakan untuk mengumpulkan pajak daerah dan untuk menegakkan ketertiban publik setempat. Human Rights Watch mendokumentasikan penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh Satpoll PP Jakarta dalam mengusir penduduk daerah kumuh perkotaan. Human Rights Watch, Condemned Communities[Kelompok yang Dikutuk], 5 September 2006, http://www.hrw.org/en/node/11220/section/4#_ftn39 (diakses pada tanggal 30Agustus 2010).
[48]Ibid., Pasal 244(2). Walaupun pasukan WH Aceh awalnya dibentuk di bawah otoritas Dinas Syariat Islam, WH kemudian disatukan dengan Satpol PP.
[49]Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[50]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010. Seorang aktivis masyarakat sipil di Banda Aceh mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa seorang petugas WH memberitahu dia bahwa ia digaji hampir Rp 1,2 juta per bulan.
[51]Ibid.
[52]“Kasus Oknum WH Tamparan Bagi Penegak Hukum,” Serambi Indonesia, 21 Januari 2010. Para petugas menerima rekomendasi dari WH dan Pemerintah Aceh dan menerima pelatihan dari Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Lihat juga Qanun PNPS Dibahas, 24 November 2009.
[53]Meliputi memberitahu publik tentang qanun yang terkait dengan hukum Syariah; mengawasi kepatuhan atas hukum Syariah; menegur, memperingatkan dan memberikan bimbingan moral kepada mereka yang disangka melanggar hukum Syariah; berusaha menghentikan tindakan/perilaku yang dicurigai melanggar hukum Syariah; menangani pelanggaran-pelanggaran melalui proses adat; dan menyerahkan pelanggaran hukum Syariah kepada penyelidik pidana. UNDP Indonesia, “Access to Justice in Aceh [Akses terhadap Keadilan di Aceh],” hlm. 48-50.
[54]Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Pasal 1(11).
[55]Ibid., Pasal 14.
[56]Termasuk menerima laporan pelanggaran, mengambil tindakan di tempat kejadian, meminta seseorang untuk berhenti dan meminta identitasnya, memeriksa dan menyita dokumen, mengambil sidik jari dan foto, dan memanggil orang sebagai tersangka atau saksi.
[57]QanunNo. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum), Pasal 18; Pasal 1(11). Kepolisian Nasional bertugas memfasilitasi penyediaan, pelatihan dan pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pasal 133-134. Berdasarkan UU PA, pegawai negeri sipil di Aceh merupakan bagian dari pegawai negeri sipil nasional (Pasal 118). Gubernur merekomendasikan komposisi pegawai negeri sipil untuk disetujui oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara melalui Menteri Dalam Negeri (Pasal 121). Lihat juga UU PA, Pasal 245 (juga menyatakan bahwa petugas WH dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil).
[58]Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010; wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[59]Rancangan Qanun Hukum Jinayat, Pasal 15-18. Penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan, kecuali jika para pelaku tertangkap basah.
[60]Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, Pasal 13(1).
[61] Satpol PP-WH Aceh, "Report of Data on Breaches of Sharia Laws in the Province in Aceh in 2009 [Laporan Data Pelanggaran Hukum Syariah di Provinsi Aceh Selama 2009].”Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.
[62]“Ada 920 Pelanggar Syriat Islam di Aceh,” Serambi Indonesia, 4 Januari 2010.
[63]Ibid.
[64] Satpol PP-WH Aceh, "Report of Data on Breaches of Sharia Laws in the Province in Aceh in 2009 [Laporan Data Pelanggaran Hukum Syariah di Provinsi Aceh Selama 2009]." Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.
[65]Qanun No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat mendefinisikan adat sebagai “aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimuliakan sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup.”
[66]UNDP Indonesia, “Access to Justice in Aceh [Akses Terhadap Keadilan di Aceh],” hlm. 49 (“adat terus menjadi sistem peradilan di Aceh yang diandalkan oleh masyarakat Aceh untuk menyelesaikan permasalahan mereka”).
[67]Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat, Pasal 8(1)-(2) dan 9.
[68]Qanun No. 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Pasal 13.
[69]Ibid., Pasal 16.
[70]Wawancara Human Rights Watch dengan “Rohani,” Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[71]Wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan “Rosmiati,” 7 Juli 2010.
[72]Wawancara Human Rights Watch dengan “Siti,” Banda Aceh, 20 Mei 2010.
[73]Wawancara Human Rights Watch dengan “Nita,” Langsa, Aceh, 11 Mei 2010.
[74]Agence France-Presse, “Indonesian Islamic Police Jailed for Gang-Raping Woman [Polisi Islami Indonesia Dipenjara karena Bersama-sama Memperkosa Perempuan],” 15 Juli 2010.
[75]Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat, Pasal 2.
[76]Perzinahan adalah tindak pidana berdasarkan hukum nasional Indonesia, sesuai dengan Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, walaupun polisi hanya diizinkan menerapkan hukum jika pasangan yang terkena dampaknya mengajukan pengaduan kepada polisi dalam jangka waktu tiga (3) bulan diikuti dengan pengajuan perceraian atau perpisahan akibat perzinahan tersebut.
[77]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[78]Wawancara Human Rights Watch dengan “Zuhriyah,” Banda Aceh, 10 Mei 2010.
[79]Ibid.
[80]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[81]Wawancara Human Rights Watch dengan “Dewi,” 17 Mei 2010.
[82]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[83]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[84] Human Rights Watch komunikasi email dengan para aktivis di Banda Aceh, 7 November 2010.
[85]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[86]Wawancara Human Rights Watch denganMaliyah, Banda Aceh, 14 Mei 2010.
[87]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[88]Wawamcara Human Rights Watch dengan “Siti,” Banda Aceh, 20 Mei 2010.
[89]Dwi Putrasyah, Kepala Satpol PP-WH Banda Aceh, membenarkan bahwa dalam kasus ini sepasang muda-mudi ditangkap oleh satpam kampus IAIN Al-Raniry Banda Aceh di sebuah ruangan kosong. Pasangan ditahan oleh WH dan Dwi mengatakan, “Kita akan melihat sejauh mana mereka berbuat, kalau terindikasi mesum maka kita akan membicarakan hal tersebut kepada kedua belah pihak keluarga. Setelah itu kita melakukan pembinaan dan kemudian memulangkan keduanya ke keluarga masing-masing. Mereka nanti wajib melapor selama seminggu. Tapi jika perbuatan mereka sudah terlalu jauh maka akan kita nikahkan.” “Dua Sejoli Dicokok Satpam Kampus,” Serambi Indonesia, 25 April 2010.
[90]“Masukan Pacar ke Kamar, PRT Diserahkan ke WH,” Serambi Indonesia, 2 Juni 2010 (Seorang pekerja rumah tangga dan pacarnya ditangkap di kamar PRT tersebut di rumah majikannya dan dibawa ke kantor WH di Banda Aceh. Menurut Danops Evendi, ”Sekarang kita masih menunggu pihak keluarga masig-masing untuk penyelesaian lebih lanjut. Jika pihak keluarga bersedia menikahkan mereka maka kasus ini akan kita serahkan kepada keluarganya masing-masing.”).
[91]“Berduaan dalam Toko, Sepasang Kekasih Ditangkap,” Serambi Indonesia, 24 Juni 2010.
[92]Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dalam Pasal 16(1)(b) secara spesifik mensyaratkan bahwa negara-negara harus melindungi hak perempuan untuk memasuki pernikahan hanya atas persetujuan bebas dan sepenuhnya dari mereka. CEDAW, diadopsi pada tanggal 18 Desember1979, G.A. Res. 34/180, U.N. GAOR Supp. (No. 46) di 193, U.N. Doc A/34/36, mulai berlaku pada tanggal 3 September 1981. Indonesia meratifikasi CEDAW pada tahun 1984. Komite untuk Hak-hak Anak, Komentar Umum No. 3, CRC/GC/2003/3, 17 Maret 2003, paragraf 11.
[93]Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[94]Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[95] Lihat Laporan Interim Pelapor Khusus kepada Komisi Hak Asasi Manusia terkait pertanyaan tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukum lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, A/55/290, 11 Agustus 2000, http://www.un.org/documents/ga/docs/55/a55290.pdf (diakses pada tanggal 13 Mei 2010), hlm. 7 (temuan bahwa tes keperawanan adalah bentuk penyiksaan yang spesifik jender).
[96]Tes keperawanan adalah pemeriksaan ginekologis yang dilakukan untuk menetapkan status selaput dara (hymen) dimana robeknya selaput dara, terlepas dari apakah hal tersebut akibat hubungan seksual atau tidak, dianggap sebagai tanda hilangnya keperawanan. Pemeriksaan selaput dara ini tidak memiliki landasan hukum atau medis, dan sebaliknya menunjukkan asumsi yang salah terhadap status keperawanan korban dan kesalahpahaman yang sering didapati terkait pembuktian keperawanan secara medis. Para ahli membenarkan bahwa kondisi selaput dara perempuan tidak dapat menjadi indikato yang dapat dipercaya terkait hubungan seksual yang baru-baru saja dilakukan dan sifat hubungan seksual tersebut, secara sukarela atau tidak. Tingkat elastisitas, ketahanan dan ketebalan selaput dara, letaknya yang di lubang vagina, dan akibatnya kerentanan untuk robek dan memar, berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Human Rights Watch, Libya: A Threat to Society?[Libya: Ancaman bagi Masyarakat?], 27 Februari 2006, http://www.hrw.org/en/node/11468/section/6#_ftn82 (mengutip wawancara dengan Dr. Greg Larkin,Professor of Emergency Medicine di University of Texas Southwestern Medical Center, 14 Februari 2006) (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[97]Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[98]Media melaorkan penangkapan ”perbuatan bersunyi-sunyian” oleh WH selama 2009 dan awal 2010 dan mencatat bahwa kadang-kadang setidaknya salah seorang dari pasangan yang ditangkap berusia di bawah 18 tahun. “WH Pergoki Pasangan Mesum dalam Bus Sekolah,” Serambi Indonesia, 29 April 2009 (perempuan berusia 16 tahun ditangkap di Sabang); “4 Pria 1 Wanita Diarak Warga,” Serambi Indonesia, 1 Desember 2009 (perempuan berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 15, 17 dan 18 ditangkap di Aceh Tengah); “Pekerja Salon Garap Brondong,” Serambi Indonesia, 22 Februari 2010, (laki-laki berusia 17 tahun ditangkap).
[99]Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC), diadopsi pada tanggal 20 November 1989, G.A. Res. 44/25, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) di 167, U.N. Doc. A/44/49 (1989), mulai berlaku pada tanggal 2 September 1990, Pasal 37(b); UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 66.
[100]Wawancara Human Rights Watch dengan Flower Aceh, Banda Aceh, 10 Mei 2010.
[101]Wawancara Human Rights Watch dengan “Fatimah,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[102]Wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan “Rosmiati,” 7 Juli 2010.
[103]Wawancara Human Rights Watch dengan “Wati,” Darussalam, 25 Mei 2010.
[104] Ibid.
[105] Human Rights Watch interview with Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar, Banda Aceh, May 21, 2010.
[106]Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Abdullah Muhammad dan Husni M. Agee, Kantor Dinas Syariat Islam, 20 Mei 2010.
[107]Wawancara Human Rights Watch dengan Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polda Aceh, Banda Aceh, 24 Mei 2010.
[108]Ibid.
[109]Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Abdullah Muhammad dan Husni M. Agee, Kantor Dinas Syariat Islam, 20 Mei 2010.
[110]Wawancara Human Rights Watch dengan Hasbi Abdullah, Ketua DPRA, Banda Aceh, 21 Mei 2010.
[111]Wawancara Human Rights Watch dengan Yusni Sabi, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[112]Wawancara Human Rights Watch dengan “Dewi,” 17 Mei 2010.
[113]Umar Budiman, Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen, mengatakan kepada reporter bahwa sejak Januari hingga April 2010, WH dan polisi Syariah hanya menangani kasus-kasus yang telah didengar oleh pihak berwenang desa dan hanya atas saran dari dinas pemerintah setempat. “Pelanggaran Tetap, WH Sigap,” Serambi Indonesia, 13 April 2010.
[114]Kejadian-kejadian dilaporkan oleh media di Aceh selama 2009-2010 dimana masyarakat menangkap tersangka pelaku ”perbuatan bersunyi-sunyian”, termasuk sebagaimana berikut ini: “Warga Lambhuk Gerebek Pasangan Mesum”, Serambi Indonesia, 23 Januari 2009 (pasangan dirazia; dipukuli warga; direndam dalam air dingin); “Janda Muda Ditangkap Warga”, Serambi Indonesia, 18 Maret 2009 (warga mengawasi rumah; merazianya; laki-laki setengah telanjang dan perempuan mengenakan mukena; dibawa ke Polsek Tapaktuan); “Warga Ciduk Pasangan Indehoi [Mesum] dalam Mobil”,Serambi Indonesia, 30 Mei 2009 (melakukan ”perbuatan bersunyi-sunyian” di dalam sebuah mobil pada malam hari; ditangkap oleh warga); “Petugas Kebersihan Dicukur Rambut dan Dimandikan Warga”,Serambi Indonesia, 13 Juni 2009 (ditangkap oleh warga; dicukur rambutnya, dimandikan dan dipukuli); “4 Pria 1 Wanita Diarak Warga”, Serambi Indonesia, 1 Desember 2009 (dirazia; ditemukan alkohol; diarak keliling 8 kampung; digantungkan tanda di lehernya dan dicukur rambutnya); “Siang Bolong Pasok Lelaki ke Kamar”,Serambi Indonesia, 13 Januari 2010 (tertangkap pada siang hari di sebuah asrama perempuan; laki-laki dipukuli habis-habisan); “Dokter dan Pegawai Ditangkap”,Serambi Indonesia, 18 Januari 2010 (doktor dituduh melakukan khalwat dengan pegawai; ditangkap dan dibawa ke kepala desa).
[115]Wawancara Human Rights Watch dengan “Surya,” 15 Mei 2010.
[116]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[117]Ibid.
[118]Wawancara Human Rights Watch dengan “Hamid,” Aceh Barat, 22 Mei 2010.
[119]Rukun Tetangga/ Dusun adalah entitas administratif resmi di bawah Pemerintahan Desa. Kepala Rukun Tetangga merupakan posisi yang diakui secara resmi, di bawah kepala desa (keucik).
[120]Wawancara Human Rights Watch dengan “Achyar,” Aceh Barat, 22 Mei 2010.
[121]Wawancara Human Rights Watch dengan Suwalto, Kepala Divisi Penyelidikan Kejahatan Polres Aceh Barat, 22 Mei 2010. Suwalto mengatakan bahwa dia sedang keluar kota ketika insiden tersebut terjadi, tetapi dia mengetahui rincian kasus. Achyar mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Khaidir ”tampak hitam-hitam dan biru-biru”, tetapi dia tidak terluka secara parah, dan bahwa Sudarmi tidak terluka. Pada bulan April 2010, beberapa surat kabar di Indonesia melaporkan kejadian tersebut, mengatakan bahwa kekerasan yang menimpa Sudarmi dan Khaidir lebih parah. Para pejabat di Jakarta meminta penyelidikan atas kejadian tersebut dan penangkapan para pelaku. “Religious Official Badly Beaten for Adultery [Pemimpin Agama Dipukuli dengan Parah Akibat Perzinahan],” The Jakarta Globe, 9 April 2010.
[122]Wawancara Human Rights Watch dengan Suwalto, Kepala Divisi Penyelidikan Kejahatan Polres Aceh Barat, 22 Mei 2010.
[123] “Warga Lambhuk Gerebek Pasangan Mesum,” Serambi Indonesia, 23 Januari 2009.
[124]Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[125]Ibid.
[126]Wawancara Human Rights Watch dengan Yusni Sabi, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[127]Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[128]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[129]Ibid.
[130]Wawancara Human Rights Watch dengan “Rohani,” Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[131]Wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan “Rosmiati,” 7 Juli 2010.
[132]Wawancara Human Rights Watch dengan LBH Banda Aceh.
[133]Wawancara Human Rights Watch dengan “Rohani,” Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[134]Wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan “Rosmiati,” 7 Juli 2010.
[135]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[136]Wawancara Human Rights Watch dengan “Hamid,” Aceh Barat, 22 Mei 2010.
[137]Lihat, misalnya “Cari Kehangatan di Toko Pakan”,Serambi Indonesia,24 April 2010 (pasangan di Banda Aceh ditangkap melakukan ”perbuatan bersunyi-sunyian” di sebuah toko makanan binatangoleh warga; dibawa ke meunasah dan disiram air selokan; kemudian dibawa ke kantor WH).
[138]Wawancara Human Rights Watch dengan “Hamid,” Banda Aceh, 22 Mei 2010.
[139]Wawancara Human Rights Watch dengan Elfiana, Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[140]Ibid.
[141]Ibid.
[142]Wawancara Human Rights Watch dengan Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polda Aceh, Banda Aceh, 24 Mei 2010.
[143]Human Rights Watch mendapatkan informasi bahwa hanya ada satu kasus dimana kekerasan terjadi dalam penangkapan tersangka ”perbuatan bersunyi-sunyian” oleh masyarakat dan dimana polisi menahan pelaku kekerasan tersebut di Kabupaten Aceh Barat.
[144]UNDP Indonesia, “Access to Justice in Aceh [Akses terhadap Keadilan di Aceh],” hlm. 79. Studi ini mencatat bahwa tekanan tersebut berasal dari kepercayaan yang diajukan oleh para pemimpin desa, yakni bahwa keselarasan sosial harus dijaga dengan bayaran apapun dan bahwa merujuk permasalahan tersebut untuk diselesaikan di luar struktur desa akan meningkatkan perselisihan dan rasa malu para pemimpin adat dan masyarakat. Studi ini menyimpulkan bahwa ”kurangnya kepercayaan [terhadap sistem hukum formal] telah, selama bertahun-tahun, membentuk sikap pasrah…sehingga, daripada bersusah payah berusaha mengakses keadilan dengan hasil yang sia-sia, orang lebih memilih untuk ’pasrah pada nasibnya.’”
[145]Wawancara Human Rights Watch dengan Budiyono, Kepala Pengembangan Hukum Polda Aceh, Banda Aceh, 24 Mei 2010.
[146]Program Polmas di Aceh adalah salah satu iniatif Polmas di tingkat nasional yang termasuk dalam peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Perkap No. 7/2008 tentang Panduan Dasar Strategi dan Penerapan Pemolisian Masyarakat dalam Melaksanakan Tugas-tugas Kepolisian. IOM mendampingi dalam penyusunan peraturan tersebut dan dalam beberapa inisiatif pelatihan terkait dengan program tersebut.
[147]Ibid., Pasal 7-8.
[148]Setiap kepala Polres di Aceh, seperti juga di daerah lain di Indonesia, biasanya menunjuk seorang petugas Pemolisian Masyarakat (Polmas) di setiap desa. Kepolisian Indonesia telah lama memiliki kebijakan penunjukan seorang anggota polisi di setiap desa, tetapi sejak penerapan program Polmas, nama jabatan petugas tersebut telah berubah dari Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) menjadi Petugas Pemolisian Masyarakat (Polmas). IOM tidak berperan dalam proses pemilihannya. Korespondensi Human Rights Watch melalui email dengan Gaut Pengasihan, 9 dan 13 September 2010.
[149]Korespondensi Human Rights Watch melalui email dengan Gaut Pengasihan, 9 dan 13 September 2010. Dalam tahapan pertama pelaksanaan program Polmas (2007-2009), para pelatih kepolisian di tingkat nasional dan daerah, didampingi oleh asisten Proyek IOM, memajukan integrasi FKPM ke dalam lembaga-lembaga adat, seperti dewan kampung. Dalam FKPM, petugas Polmas dan anggota dewan kampung menggunakan teknik yang dinamakan SARE(Scanning, Analyze, Response and Evaluation [Pemindaian, Analisis, Respon dan Evaluasi]), untuk menangani keprihatinan anggota masyarakat terhadap ketertiban publik dan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana ringan, termasuk pencurian, di tingkat desa.
[150]Wawancara Human Rights Watch dengan seorang aktivis masyarakat sipil, Meulaboh, 23 Mei 2010.
[151] Satpol PP-WH Aceh, "Report of Data on Breaches of Sharia Laws in the Province in Aceh in 2009 [Laporan Data Pelanggaran Hukum Syariah di Provinsi Aceh Selama 2009]".Sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.
[152]Perda ini juga memuat persyaratan terkait sembahyang dan kewajiban berpuasa selama Ramadhan yang sesekali ditegakkan oleh WH. Sebagai contoh, pada tanggal 22 Juli 2010, WH Meulaboh menghentikan tiga (3) warga negara Amerika yang dipercaya merupakan misionaris karena melanggar larangan Qanun No. 11/2002 terkait upaya mendorong umat Muslim berpindah ke agama lain. “Pelaku dan Korban Pemurtadan Ditangkap,” Serambi Indonesia, 22 Juli 2010. Pada tanggal 9 Januari 2010 di Pidie Jaya, WH menahan belasan nelayan yang menangkap ikan pada hari Jumat karena melanggar persyaratan dalam Qanun No. 11/2002 yaitu bahwa laki-laki harus mengikuti sembahyang Jumat. “Belasan Nelayan Pijay Ditangkap,” Serambi Indonesia, 9 Januari 2010. Pada tanggal 30 Agustus 2009 di Sigli, para petugas WH menangkap dua (2) perempuan yang menjual makanan sebelum matahari tenggelam dalam masa Ramadhan karena melanggar ketentuan dalam Qanun No. 11/2002 yakni bahwa orang tidak boleh memberi kesempatan bagi orang lain untuk membatalkan puasanya selama bulan Ramadhan. “Dua Wanita Pedagang Dibekuk Satpol PP dan WH Pidie ,” Serambi Indonesia, 30 Agustus 2009.
[153]Nurdin Hasan, “Tight Jeans and Shorts Under Attack in Aceh [Jeans Ketat dan Celana Pendek Diserang di Aceh],” The Jakarta Globe, 28 Januari 2010, http://www.thejakartaglobe.com/home/tight-jeans-and-shorts-under-attack-in-aceh/355504 (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[154]“Ratusan Pelanggar Syariat Terjaring Razia WH,” Serambi Indonesia, 5 Mei 2010. Lelaki-lelaki ditangkap karena mengenakan celana pendek di atas lutut.
[155]Wawancara Human Rights Watch dengan “Dewi,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[156]Wawancara Human Rights Watch dengan ”Erni,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[157]Ibid.
[158]Wawancara Human Rights Watch dengan “Nursiah,” 13 Mei 2010.
[159] Terkadan patroli WH melampaui wewenang mereka dengan menahan individu-individu yang tertangkap tidak mengenakan busana Islam selayaknya, walau Perda tentang busana ini tidak menyebutkan bahwa para pelanggar boleh ditangkap atau ditahan. Fatimah mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia ditahan oleh WH atas tuduhan ”perbuatan bersunyi-sunyian” pada bulan November 2009 bersama dengan enam (6) perempuan muda yang semuanya ditahan karena tidak mengenakan jilbab. Dia mengatakan kepada Human Rights Watch, ”Seorang perempuan petugas WH berteriak pada perempuan-perempuan muda yang tidak mengenakan jilbab itu karena mereka menutupi muka mereka. Dia berteriak, ’mengapa kamu melakukan itu?’ dan salah seorang perempuan itu menjawab, ’karena saya malu.’ WH berteriak lagi, ’kamu tidak malu ketika kamu di luar?’”
[160]Wawancara Human Rights Watch dengan “Dewi,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[161]Wawancara Human Rights Watch dengan “Bustami,” Banda Aceh, 17 Mei 2010.
[162]Wawancara Human Rights Watch dengan Marzuki Abdullah, Kepala WH Aceh, Banda Aceh, 19 Mei 2010.
[163]Wawancara Human Rights Watch dengan “Erni,” Banda Aceh, 15 Mei 2010.
[164]Ibid.
[165]Wawancara Human Rights Watch dengan “Maliyah,” Banda Aceh, 14 Mei 2010. Lihat Tom Boellstorff, “The Emergence of Political Homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging [Munculnya Homofobia Politik di Indonesia: Maskulinitas dan Kepemilikan Nasional],” Ethnos, vol. 69:4, Desember 2004, hlm. 465–486, http://www.asylumlaw.org/docs/sexualminorities/IndonesiaBoellstorff-Homophobia123004.pdf (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[166]Ada kebiasaan lama atas ekspresi transjender di Indonesia, dimana perempuan transjender dikenal sebagai waria (kata yang berasal dari kata ’wanita’, yang berarti perempuan, dan ’pria’, yang berarti laki-laki). Perilaku homoseksual tidak diatur dalam hukum di tingkat nasional di Indonesia; tetapi, beberapa pengamat mencatat adanya peningkatan prasangka terhadap orang-orang yang dianggap homoseksual dan transjender. Dédé Oetomo, “Claiming gay persons' sexual rights in Indonesia [Menuntut hak seksual orang-orang gay di Indonesia],” Sexual Health Exchange vol. 3, 2001, http://www.kit.nl/exchange/html/2001-3-claiming_gay_persons.asp (mencatat bahwa waria mendapatkan toleransi dan penerimaan yang cukup tinggi dalam masyarakat Indonesia, walaupun umumnya melalui pekerjaan-pekerjaan tertentu, misalnya penghibur (entertainer), ahli kecantikan, konsultan pernikahan dan peramal) (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[167]Wawancara Human Rights Watch dengan “Surya,” Banda Aceh, 23 Mei 2010.
[168]Wawancara Human Rights Watch dengan “Surya,” Banda Aceh, 23 Mei 2010.
[169] Dewi Kurniawati, “Acehnese Gays Face a Climate of Fear and Abuse [Kaum Gay Aceh Menghadapi Ketakutan dan Pelanggaran],” The Jakarta Globe, 19 Agustus 2010.
[170]Tom Allard, “No question over who wears the pants in West Aceh [Tidak Perlu Ditanyakan Siapa yang Mengenakan Celana di Aceh Barat],” The Age, 27 Mei 2010 (melaporkan bahwa ”[WH] Aceh Barat menutup jalan di luar ibukota Kabupaten, Meulaboh, memeriksa setiap mobil dan menghentikan pengendara motor jika ada pengendara perempuan yang mengenakan celana.”)
[171] Fakhrurradzie Gade, “Tight Pants Ban Takes Effect in Indonesia [Larangan Celana Ketat Diberlakukan di Indonesia],” 27 Mei 2010 (mencatat bahwa pada tanggal 27 Mei, ”Polisi Islam menangkap 18 perempuan yang bepergian dengan menggunakan motor yang mengenakan [jilbab] tapi juga mengenakan jeans. Setiap perempuan diberi rok panjang dan celana mereka disita. Mereka dilepaskan dari tahanan polisi setelah memberikan identitas mereka dan menerima nasihat.” Ramli mengatakan bahwa setiap toko/penjual yang ditangkap melanggar larangan tentang penjualan rok pendek dan jeans akan dicabut izin usahanya.) Tom Allard, “No question over who wears the pants in West Aceh [Tidak Perlu Ditanyakan Siapa yang Mengenakan Celana di Aceh Barat],” The Age, 27 Mei 2010.
[172]Korespondensi Human Rights Watch melalui email dengan aktivis masyarakat sipil, 20 Agustus 2010.
[173]Mereka berargumen bahwa Quran, dan khususnya Surah An Nur (Bab tentang Cahaya), melarang perempuan menunjukkan bentuk tubuhnya. Surah menyebutkan, ”Katakan kepada laki-laki yang percaya untuk menurunkan pandangannya, dan melindungi bagian pribadinya. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya, Allah Maha Tahu atas apa yang mereka lakukan. Dan katakan kepada perempuan yang percaya untuk menurunkan pandangannya, dan melindungibagian pribadinya dan tidak menunjukkan perhiasan mereka selain hanya apa yang sudah jelas, dan menarik kerudung mereka menutupi seluruh Juyubihinna [tubuh, wajah, leher dan dada, dll] dan tidak menunjukkan perhiasan mereka selain kepada suaminya [dan saudara sedarah dan perempuan pasangannya, anak, dan perempuan pelayan tertentu]. Dan jangan biarkan mereka menghentakkan kakinya sehingga menyingkap perhiasan yang mereka sembunyikan…” (Surah An Nur: 31-32, terjemahan oleh Muhsin Khan).
[174] Dewi Kurniawati, “West Aceh District Chief Says Shariah Law Needed or There Will Be Hell to Pay [Bupati Aceh Barat Mengatakan Bahwa Hukum Syariah Diperlukan Atau Bayarannya Akan Mahal],” The Jakarta Globe, 18 Agustus 2010.
[175]Wawancara Human Rights Watch dengan Drs. Abdullah Muhammad dan Husni M. Agee, Dinas Syariat Islam, Banda Aceh, 20 Mei 2010.
[176] Dewi Kurniawati, “West Aceh District Chief Says Shariah Law Needed or There Will Be Hell to Pay [Bupati Aceh Barat Mengatakan Bahwa Hukum Syariah Diperlukan Atau Bayarannya Akan Mahal],” The Jakarta Globe, 18 Agustus 2010.
[177]Wawancara Human Rights Watch dengan Yusni Sabi, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[178]Wawancara Human Rights Watch dengan Al Yasa’ Abubakar, Banda Aceh, 21 Mei 2010.
[179]Wawancara Human Rights Watch dengan Al Yasa’ Abubakar, Banda Aceh, 21 Mei 2010.
[180]Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[181]Wawancara Human Rights Watch dengan Yusni Sabi, Banda Aceh, 18 Mei 2010.
[182]Undang-undang Dasar Republik Indonesia (1945), Pasal 29(2).
[183]Ibid., Pasal 28I
[184]Ibid., Pasal 28D; Pasal 28G
[185]Ibid., Pasal 28I; Pasal 28B (menyebutkan bahwa setiap anak memiliki hak ”atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”).
[186]Undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan agama dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing dan menyatakan bahwa hak atas kebebasan berpikir dan berhati nurani tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 22 dan 4. UU ini juga menjamin hak atas pelakuan setara di hadapan hukum, hak untuk berkumpul dan berasosiasi secara damai, hak atas perlindungan dan keamanan, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, dan hak untuk bebas dari diskriminasi. Pasal 2, 5, 24, 30, 33, dan 3(3). Diskriminasi didefinisikan sebagai: ”setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung, didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar…golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin,…keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia...”
[187]Ibid., Pasal 34.
[188]Ibid., Pasal 73.
[189]Ibid., Pasal 66.
[190]Undang-undang No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
[191]Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 227.
[192]Ibid., Pasal 231(1).
[193]Ibid., Pasal 7(2); Pasal 16(2)(a)-(b); Pasal 17(2)(a)-(b)); Pasal 16(4)).
[194]Ibid., Pasal 125.
[195]Ibid., Pasal127.
[196]Ibid., Pasal 47.
[197]Pada bulan April 2007, Mahkamah Agung menolak mengkaji peraturan yang diberlakukan di Kabupaten Tangeran yang secara tidak jelas mengkriminalisasi ”prostitusi” terhadap kesesuaian secara substansi dengan hukum-hukum yang lebih tinggi atau Konsitusi, dan sebaliknya memutuskan bahwa peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan hukum Indonesia yang lebih tinggi karena telah mengikuti langkah-langkah sesuai prosedur. “Perda Pelacuran Tangerang Tak Bertentangan dengan UU”, Gatra, 13 April 2007. Perda tersebut menyebutkan: ”[s]etiap orang yang sikap atau perilakunya…menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada…di daerah kelihatan oleh umum.” Perda Kabupaten Tangerang No. 8/2005, dikutip dari Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia (2009), Tabel 7. Sebagai tambahan, pada tahun 2008 Mahkamah Agung mendengarkan banding lima (5) kasus Syariah Aceh, empat (4) di antaranya melibatkan hukuman cambuk. Dalam masing-masing kasus, Mahkamah Agung mempertahankan putusan bersalah dan tidak memeriksa kesesuaiannya hukum yang mendasari putusan tersebut dengan hukum nasional. Kasus No. 01 K/AG/JN/2008, No. 01 PK/JN/2008, No. 02 K/AG/JN/2008, No. 03 K/AG/JN/2008, No. 04 K/AG/JN/2008, sebagaimana dicatat oleh Human Rights Watch.
[198]Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), diadopsi pada tanggal 16 Desember 1966, G.A. Res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) di 52, U.N. Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. Indonesia meratifikasi ICCPR pada tahun 2006.
[199] Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT), diadopsi pada tanggal 10 Desember 1984, G.A. res. 39/46, annex, 39 U.N. GAOR Supp. (No. 51) di 197, U.N. Doc. A/39/51 (1984), mulai berlaku pada tanggal 26Juni 1987. Indonesia meratifikasi CAT pada tahun 1998.
[200]Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC), diadopsi pada tanggal 20 November 1989, G.A. Res. 44/25, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) di 167, U.N. Doc. A/44/49 (1989), mulai berlaku pada tanggal 2 September 1990. Indonesia meratifikasi CRC pada tahun 1990.
[201] Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), diadopsi pada tanggal 18 Desember 1979, G.A. Res. 34/180, U.N. GAOR Supp. (No. 46) di 193, U.N. Doc A/34/36, mulai berlaku pada tanggal 3 September 1981. Indonesia meratifikasi CEDAW pada tahun 1984.
[202] ICCPR, Pasal 15; lihat Manfred Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary [Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik: Komentar CCPR], 2nd rev. ed,. (Kehl am Rhein: Engel, 2005), hlm.361.
[203] ICCPR, Pasal 17.
[204]Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary [Kovenan PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik: Komentar CCPR] (Kehl am Rhein, Germany: N.P. Engel, 1993), hlm. 294.
[205] Komite PBB untuk Hak Asasi Manusia (HRC), Komentar Umum No. 16 terhadap Pasal 17 ICCPR, ”Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum Diadopsi oleh Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia," UN Doc. HRI/GEN/Rev.3, 15 Agustus 1997.
[206] ICCPR, Pasal 18.
[207]UN HRC, Komentar Umum No. 22, dikeluarkan untuk memperjelas arti Pasal 18 (Sesi Ke-48, 1993), 20 Juli 1993, Doc.CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, par. 8.
[208]Laporan Pelapor Khusus untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Mr. Abdelfattah Amor, “Implementation of the Declaration on the Elimination of all Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief [Implementasi Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan],” Komisi Hak Asasi Manusia, Sesi Ke-54, E/CN.4/1998/6, 22 Januari 1998, par. 60(a) (mengidentifikasi kewajiban Afganistan bahwa perempuan mengenakan ”apa yang dideskripsikan sebagai busana Islam” merupakan pelanggaran prinsip toleransi dalam bidang agama dan keyakinan).
[209]Laporan Pelapor Khusus untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Asma Jahangir, “Civil and Political Rights, Including the Question of Religious Intolerance [Hak-hak Sipil dan Politik, Termasuk Pertanyaan Intoleransi Agama],” Komisi Hak Asasi Manusia, Sesi Ke-62, E/CN.4/2006/5, 9 Januari 2006, hlm.17, par. 55.
[210] Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 20, Pasal 7 (Sesi Ke-44, 1992), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum Diadopsi oleh Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia, U.N. Doc. HRI/GEN/1/Rev.1 di 30 (1994), par. 5.
[211]Ibid.
[212]Laporan Pelapor Khusus, Komisi Hak Asasi Manusia, Sesi Ke-53, Hal 8(a), U.N. Doc. E/CN.4/1997/7 (1997).
[213]Komentar Akhir, Komite Anti Penyiksaan: Indonesia, CAT/C/IDN/CO/2, 2 Juli 2008, par. 15.
[214]Ibid.
[215] ICCPR, Pasal 3; CEDAW, Pasal 2.
[216]Komite CEDAW menyatakan bahwa definisi diskriminasi dalam Pasal 1 Konvensi meliputi baik diskriminasi langsung dan tidak langsung oleh aktor-aktor publik dan privat. Lihat misalnya, "CEDAW Committee Concluding Comments on the Belize initial report [Komentar Akhir Komite CEDAW terhadap Laporan Awal Belize]," dikutip dalam United Nations/Division for the Advancement of Women, Assessing the Status of Women: A Guide to the Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women [Menilai Status Perempuan: Panduan Pelaporan Di Bawah Kerangka Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan] (New York: United Nations, 2000), hlm. 102.
[217] CEDAW, Pasal 2.
[218] ICCPR, Pasal 17, 19, dan 21.
[219]ICCPR, Pasal 2, 6. Nicholas Toonen vs Australia, Sesi Ke-50, Komunikasi No. 488/1992,CCPR/c/50/D/488/1992, 14 April 1994, par. 8.7 (temuan bahwa ”rujukan kepada ’jenis kelamin’ dalam Pasal 2, paragraf 1, dan 26 dianggap termasuk orientasi seksual.”) “Report of the Independent Expert on Minority Issues [Laporan Ahli Independen tentang Isu-isu Kelompok Minoritas],” E/CN.4/2006/74, 6 Januari 2006, par. 28.
[220] ICCPR, Pasal 9.
[221]Komunikasi No. 305/1988: Belanda. CCPR/C/39/D/305/1988 (yurisprudensi), Pandangan Komite Hak Asasi Manusia terhadap Pasal 5, Paragraf 4, Protokol Tambahan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik—Sesi ke-39 tentang Komunikasi No. 305/1988, 15 Agustus 1990.
[222]Van Alphen vsBelanda, Komunikasi No. 305/1988, diadopsi pada tanggal 15 Agustus 1990, U.N. GAOR, Hum. Rts. Comm., Sesi Ke-39, ¶ 5.8, U.N. Doc. CCPR/C/39/D/305/1988 (1990); A v. Australia, Komunikasi No. 560/1993, diadopsi pada tanggal 30 April 1997, U.N. GAOR, Hum. Rts. Comm., Sesi Ke-59,¶ 9.2, U.N. Doc. CCPR/C/59/D/560/1993 (1997).
[223]Lihat Lembar Fakta No. 26, Bagian IV "Criteria Adopted by the Working Group to Determine whether a Deprivation of Liberty is Arbitrary [Kriteria Diadopsi oleh Kelompok Kerja untuk Menetapkan Apakah Perampasan Kemerdekaan adalah Sewenang-wenang]," Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang, http://www2.ohchr.org/english/about/publications/docs/fs26.htm (diakses pada tanggal 16 Oktober 2010).
[224]CEDAW, Pasal 16(1)(b).
[225]Lihat Komite Hak-hak Anak, Komentar Umum No. 3, CRC/GC/2003/3, 17 Maret 2003,par. 11.
[226] Lihat Human Rights Watch, Dignity on Trial: India’s Need for Sound Standards for Conducting and Interpreting Forensic Examinations of Rape Survivors[Martabat dalam Pengadilan: Kebutuhan India atas Standar Baku untuk Mengadakan dan Memahami Pemeriksaan Forensik terhadap Survivor/Korban Perkosaan], 6 September 2010, http://www.hrw.org/en/node/92720/section/1; Human Rights Watch, Libya: A Threat to Society?[Libya: Ancaman terhadap Masyarakat?], 27 Februari 2006,http://www.hrw.org/en/node/11468/section/6#_ftn82 (mengutip wawancara dengan Dr. Greg Larkin, Professor of Emergency Medicine di University of Texas Southwestern Medical Center, 14 Februari 2006) (diakses pada tanggal 31 Agustus 2010).
[227]Laporan Interim Pelapor Khusus kepada Komisi Hak Asasi Manusia terkait pertanyaan tentang penyiksaan dan perlakuan atau hukum lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, A/55/290, 11 Agustus 2000, http://www.un.org/documents/ga/docs/55/a55290.pdf(diakses pada tanggal 13 Mei 2010), hlm. 7.
[228]ICCPR, Pasal 2(3)(a); CAT, Pasal 7.
[229]Komentar Akhir, Komite Anti Penyiksaan: Indonesia, CAT/C/IDN/CO/2, 2 Juli 2008, par. 15.
[230]Ibid.
[231]ICCPR, Pasal 9.
[232]UNDP Indonesia, “Access to Justice in Aceh [Akses terhadap Keadilan di Aceh],” hlm. 98.
[233]Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 32, Article 14: Right to equality before courts and tribunals and to a fair trial [Pasal 14: Hak atas Kesetaraan Dihadapan Pengadilan dan Tribunal dan Pengadilan yang Adil], U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (2007).
[234]Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 32, Article 14: Right to equality before courts and tribunals and to a fair trial [Pasal 14: Hak atas Kesetaraan Dihadapan Pengadilan dan Tribunal dan Pengadilan yang Adil], U.N. Doc. CCPR/C/GC/32 (2007). Ini berarti bahwa praduga tak bersalah harus diberlakukan hingga tuduhan telah dibuktikan tanpa ada keragu-raguan yang dapat diterima.
[235]Ibid.