Skip to main content

Jurnalis Indonesia Bergulat dengan Islamisme

Wartawan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia mendorong –dan sering kali menghasut– peningkatan tren di kalangan islamis reaksioner.

Published in: Foreign Policy in Focus
Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X berbicara kepada para wartawan setelah memberikan suaranya di sebuah tempat pemungutan suara di Yogyakarta, pada 17 April 2019. © 2019 Rizqullah Hamiid Saputra/Pacific Press/Sipa USA via AP Images

Pada awal Januari 2016, sejumlah wartawan di Yogyakarta mengobrol soal seorang dokter perempuan yang meninggalkan suaminya, pindah ke pulau Kalimantan dan bergabung dengan gerakan kembali ke lahan bernama Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Wartawan yang bekerja di berbagai media asal Indonesia melaporkan bahwa suami dari dokter itu telah memasukkan laporan “orang hilang” ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, mengaku bahwa istrinya “diculik”. Mereka menggambarkan Gafatar dengan buruk sebagai “ajaran yang menyimpang” dari Islam, menyebut gerakan itu sedang menipunya agar mau bergabung. Beberapa wartawan bahkan melihat sejumlah kasus beberapa orang lain yang “menghilang”.

Para wartawan ini diduga turut menciptakan histeria publik mengenai Gafatar.

Pada 15 Januari 2016, gerombolan bersenjatakan tongkat, pentung, dan parang mengancam komunitas petani dengan kekerasan jika mereka tidak meninggalkan Kalimantan. Aparat pemerintah dan kepolisian mengunjungi komunitas mereka dan mendesak agar tuntutan tersebut dipenuhi. Tiga hari kemudian, milisi etnik melayu menyerang lahan pertanian Gafatar. Sebuah video dari rekaman ponsel memperlihatkan polisi dan militer hanya diam saja ketika massa merusak properti dan membakar delapan rumah milik komunitas itu.

Gerombolan massa perusuh dan sejumlah pejabat pemerintah akhirnya menggusur 2.422 keluarga – 7.916 orang, termasuk banyak anak– antara Januari dan pertengahan Februari. Pada puncaknya, pihak berwenang Indonesia menahan lebih dari 6.000 anggota Gafatar yang digusur paksa dari Kalimantan.

Pada 3 Februari, Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga muslim berpengaruh, mengeluarkan fatwa larangan Gafatar, menyebutnya sebagai organisasi sesat. Itu terjadi tak lama sebelum polisi mulai menangkapi para pimpinan Gafatar.

Kegagalan Jurnalisme dan Demokrasi

Intoleransi agama menimpa Indonesia pasca-Suharto. Kalangan minoritas termasuk Kristen, Hindu, Buddha, Ahmadiyah, dan Muslim Syiah, serta penganut agama asli dan pengikut agama baru seperti Gafatar, menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan. Ada juga diskriminasi yang meluas terhadap perempuan dan orang-orang LGBT.

Intoleransi agama menimpa Indonesia pasca-Suharto. Minoritas termasuk Kristen, Hindu, Buddha, Ahmadiyah, dan Muslim Syiah, serta penganut agama asli dan pengikut agama baru seperti Gafatar, menghadapi diskriminasi, intimidasi, dan kekerasan. Ada juga diskriminasi yang meluas terhadap perempuan dan orang-orang LGBT.

Kadang-kadang, wartawan menjadi saksi kekerasan sektarian dan komunal berskala besar yang menewaskan sekitar 90.000 orang, mulai dari kekerasan sektarian di kepulauan Maluku hingga kekacauan di Timor Timur setelah referendum yang diorganisir PBB.

Namun ada kalanya wartawan dihadapkan pada persoalan sensitif, seperti gerakan kembali ke lahan Gafatar, yang menguji gagasan profesionalisme mereka.

Pada Mei 2016, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja  Purnama alias Ahok, penganut Kristen, dengan pidana penjara dua tahun dengan tuduhan penodaan terhadap ajaran Islam. Lebih dari 150 orang dijebloskan ke penjara karena kasus penodaan agama pasca Suharto di Indonesia sebuah peningkatan luar biasa dari sebelumnya yang hanya 10 kasus. Pasal Penodaan Agama (UU 1 / PNPS / 1965) menghukum penyimpangan dari prinsip utama enam agama Indonesia yang diakui secara resmi -Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu - hingga lima tahun penjara.

Kebangkitan Islam konservatif menghadirkan tantangan bagi para wartawan di negara muslim terbesar di dunia ini. Pelecehan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap agama-agama minoritas difasilitasi oleh aturan yang legal, diperkuat pada tahun 2006 dengan tujuan menjaga “kerukunan beragama.” Dalam praktiknya, merongrong kebebasan beragama. Beberapa wartawan Indonesia juga kesulitan untuk memisahkan antara agama dan profesi mereka.

Fundamentalisme tumbuh dalam diam, tapi bisa tumbuh dengan cepat dalam berbagai sektor, termasuk jurnalisme,” kata akademisi Muslim Rumadi Ahmad.

Tren itu juga terbukti problematis bagi hak-hak perempuan. Sejak 2007, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mendata adanya lebih dari 420 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Hal itu mencerminkan gambaran media saat ini.

Dua akun Instagram, “Lawan Patriarki” dan “Magdalene Indonesia,” memperlihatkan liputan misoginis media di Indonesia. Mereka sering menggunakan tanda pagar #wtfmedia. Analisis tahun 2016 terhadap media asal Indonesia yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform, Arus Pelangi, dan OutRight Action International menemukan bahwa media arus utama Indonesia umumnya “memusuhi” komunitas LGBT.

Masalah lain yang juga muncul adalah semakin berkurangnya popularitas media tradisional akibat kedatangan internet: Google, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan sebagainya. Perusahaan-perusahan itu telah mengubah cara warga Indonesia mengikuti berita. Konsumen Indonesia masih belajar membedakan laporan dari sumber tepercaya dan propaganda dari pihak yang berkepentingan, dan bagaimana jurnalisme bermutu sungguh dibuat.

Wartawan bukan lagi penjaga gerbang yang memutuskan apa yang seharusnya publik ketahui dan tidak. Seorang individu kini bertindak sebagai manajer sirkulasi dan editor. Dewan Pers memperkirakan ada 47.000 organisasi media di Indonesia.

Pertumbuhan “berita palsu” telah menciptakan masalah ekonomi, sosial, dan politik. Berbagai “konsultan media” selalu siap melayani klien mereka – dan di masa kini, termasuk menciptakan berita palsu untuk menyebarkan propaganda.

Perusahaan internet, terutama Google dan Facebook, juga telah mengalihkan iklan dari media tradisional, menghabiskan anggaran media arus utama yang terbatas dan menekan reporter mereka untuk bertahan hidup dengan gaji yang lebih kecil. Menerima suap, sebuah praktik sejak era Suharto, masih jamak di kalangan wartawan Indonesia.

Berikut ini unsur-unsur kuat yang turut menurunkan kualitas jurnalisme yang baik dan berdampak pada demokrasi, di Indonesia.

Panduan untuk Perbaikan Mutu Jurnalisme

Desember 2003, guru jurnalisme Bill Kovach mengunjungi lima kota di Sumatra, Jawa, pulau Bali, untuk menerbitkan terjemahan Indonesia dari buku Elemen Jurnalisme, yang dia tulis bersama dengan Tom Rosenstiel.

Kovach dan Rosenstiel mengidentifikasi 10 prinsip esensial dan praktek jurnalisme;

  • Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
  • Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga
  • Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
  • Wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
  • Jurnalisme harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
  • Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
  • Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
  • Jurnalisme harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
  • Wartawan harus diberikan keleluasaan untuk mengikuti hati nurani mereka
  • Warga juga punya hak dan tanggung jawab terhadap sebuah berita

Kovach sering diberi tahu bahwa 10 prinsip itu sangat sulit diterapkan. Dia mengakui kesulitan-kesulitan itu, menekankan bahwa prinsip-prinsip itu seperti "bintang di langit ... yang membantu para pelaut menentukan arah." Kovach dan Rosenstiel menulis bahwa apa yang seharusnya dikejar wartawan adalah "kebenaran jurnalistik" untuk membantu orang dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari - jelas bukan "kebenaran Islam" atau interpretasi keagamaan lainnya.

Apa yang harus digunakan wartawan Indonesia sebagai rujukan pedoman mereka adalah sistem hukum Indonesia –terutama Undang-Undang Dasar 1945, yang secara eksplisit menjamin kebebasan beragama dan hak berkumpul, berserikat, dan mengekspresikan pendapat.

Sayangnya, itu juga memberi terlalu banyak ruang bagi yurisdiksi yang lebih rendah untuk membatalkan hak-hak itu. Sekarang ada ratusan, jika tidak ribuan, hukum, peraturan, dan peraturan daerah yang bermasalah –termasuk 420 peraturan– yang dibuat atas nama syariat Islam, mulai dari diskriminasi terhadap minoritas non-Muslim hingga membuat peraturan wajib berjilbab.

Indonesia juga telah meratifikasi delapan prinsip konvensi internasional tentang hak asasi manusia. Delapan prinsip itu menyediakan bahkan standar lebih kuat bahwa para wartawan Indonesia seyogianya patuh dalam mengejar kebenaran fungsional dalam pelaporan mereka.

Introspeksi tentang kegagalan wartawan Indonesia dalam melaporkan intoleransi agama membuat kita harus kembali membekali wartawan dengan pelatihan yang lebih baik tentang UUD 1945 dan banyak konvensi hak asasi manusia. Pelatihan semacam itu diharapkan akan menghindari masalah wartawan yang memicu ketegangan agama seperti yang mereka lakukan terhadap anggota Gafatar.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country