Pekan lalu, Kepolisian Resor Bogor secara tak masuk akal menahan dan menimpakan pasal penodaan agama kepada seorang perempuan dengan kondisi kesehatan mental. Sebabnya, ia memasuki sebuah masjid di Bogor, kota satelit Jakarta, bersama anjingnya dan tanpa melepas sepatu.
Sebuah video insiden 30 Juni tersebut, yang menyebar luas di media sosial, menunjukkan bagaimana sang perempuan Katolik berusia 52 tahun marah-marah dan menuding para pengurus masjid hendak menikahkan suaminya dengan perempuan lain.
Kelakuan perempuan itu lantas memicu tanggapan penuh kemarahan dari para jemaah. Dia dilaporkan memukul seorang penjaga masjid saat diusir.
Perempuan itu diketahui menderita skizofrenia paranoid sejak 2013, dan pemeriksaan psikiatris di RS Polri Kramat Jatik, Jakarta Timur membenarkan hal tersebut.
Polres Bogor menjerat perempuan itu dengan pasal penodaan agama; agaknya karena syariat Islam menajiskan ludah anjing serta mengatur para pengunjung untuk melepas alas kaki sebelum memasuki masjid. Pengadilan negeri akan memutuskan apakah ia patut diadili. Setelah insiden, ia langsung ditahan. Polres Bogor melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor pada 10 Juli 2019.
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 di Indonesia menghukum segala bentuk penyimpangan dari ajaran keenam agama resmi negara dengan pidana penjara hingga lima tahun. Pasal itu hanya digunakan sebanyak delapan kali dalam empat dekade, tetapi jumlah penggunaannya naik menjadi 125 kali pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Dan sejak Presiden Joko Widodo menjabat pada 2014, telah lebih dari 30 orang didakwa dengan pasal ini.
Tanpa mengecilkan ketakpatutan tingkah perempuan itu, membalas tindakan yang tampaknya berhubungan secara langsung dengan kondisi kesehatan mental dengan ancaman pidana penodaan agama membuktikan betapa pasal ini rawan diselewengkan. Situasi ini jadi semakin mengkhawatirkan dalam konteks terkini, ketika kelompok-kelompok Islamis Indonesia menggencarkan penggunaan kasus-kasus penodaan agama untuk menggerakkan serta menghasut masyarakat muslim, mayoritas di negara ini. Pemerintah seharusnya mencabut pasal penodaan agama dan menggugurkan semua kasusnya tertunda, termasuk yang terkini dan dibicarakan dalam laporan ini. Kasus tersebut hanya mendudukkan seorang individu yang rentan di hadapan ancaman hukuman pidana.