Skip to main content
Sejumlah aktivis menggelar aksi untuk memprotes kudeta militer Myanmar saat KTT ASEAN digelar di Jakarta, Indonesia, 24 April 2021. © 2021 Tatan Syuflana/AP Foto

Dua tahun lalu, menyusul kudeta militer Myanmar yang meletus pada 1 Februari 2021, Indonesia menyerukan digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi Darurat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta. Presiden Joko Widodo mengumumkan, “Perkembangan situasi di Myanmar adalah sesuatu yang tidak dapat diterima dan tidak boleh terus berlangsung.” Pada 24 April 2021, sembilan pemimpin ASEAN dan Pemimpinan Junta Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing menyepakati lima poin konsensus yang dimaksudkan untuk memetakan jalan menuju dialog dan peredaan krisis.

Dalam beberapa hari, junta militer Myanmar menolak konsensus tersebut, dan terus melancarkan kekejaman terhadap rakyat Myanmar hingga hari ini, membantai, menyiksa, dan membuat kelaparan para pihak yang dianggap sebagai oposisi.

Sementara itu, komunitas internasional telah menempatkan ASEAN di kursi pengemudi, sesuatu yang selalu berulang, sebagaimana tertuang dalam resolusi Dewan Keamanan PBB bulan Desember tentang Myanmar yang menyatakan, “dukungan penuh PBB untuk peran sentral ASEAN dalam menemukan solusi damai di Myanmar.” Namun, tanpa alat atau pengaruh yang kuat untuk bergerak maju, ASEAN turut andil menjadikan Myanmar sebagai negara gagal.

“Indonesia sangat prihatin dengan kurangnya komitmen militer untuk mengimplementasikan lima poin konsensus,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di hadapan Majelis Umum PBB pada September 2022, setelah junta melakukan eksekusi terhadap empat aktivis pro-demokrasi. Bulan berikutnya, Retno Marsudi melaporkan bahwa situasi di Myanmar semakin “merosot dan memburuk.”

Keterusterangan Retno Marsudi ini menunjukkan bahwa keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 akan menghasilkan respon regional yang lebih kuat, sesudah Kamboja yang sebelumnya menjadi Ketua ASEAN menyerahkan keketuaan kepada Indonesia tahun lalu.

Namun seiring dengan berakhirnya kuartal pertama sebagai ketua ASEAN, Indonesia telah gagal.

Pernyataan Menlu RI sebagai ketua dalam The ASEAN Foreign Ministers' (AMM) Retreat pada Februari 2023 hanya berisi pernyataan yang lemah mengenai konflik di Myanmar, secara lunak mendesak junta militer Myanmar mengimplementasikan lima poin konsensus, yang antara lain berisi seruan agar junta militer segera mengakhiri kekerasan dan menggelar dialog konstruktif. Jakarta tidak memberikan kejelasan terkait tindakan apa yang akan diambil terhadap satu negara anggota yang tidak hanya melanggar kesepakatan bersama, melainkan juga melanggar Piagam ASEAN yang bersifat mengikat itu, yang menghormati prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.

Diam-diam, Retno Marsudi dilaporkan memaparkan sebuah rencana untuk membuat kemajuan implementasi konsensus tersebut dalam rapat pengarahan Dewan Keamanan PBB pada bulan Maret, yang adalah hasil KTT Pemimpin ASEAN November 2022 yang menyerukan “rencana implementasi berisi uraian indikator yang konkret, praktis dan terukur dengan jadwal yang jelas untuk mendukung Lima Poin Konsensus ASEAN.”

Namun, mewujudkan rencana penting bakal membutuhkan waktu yang lama sehingga ada konsekuensi yang harus dibayar yakni kekejaman pihak junta, yang seharusnya mencakup ancaman penangguhan Myanmar berdasarkan Pasal 20 Piagam ASEAN. Pasal ini mencakup ketidakpatuhan dan pelanggaran serius terhadap Piagam ASEAN. Indonesia seharusnya memformalkan proposal yang diutarakan oleh Jokowi pada KTT November 2022 guna memperluas larangan bagi perwakilan junta dalam pertemuan-pertemuan ASEAN.

Alih-alih menunjuk seseorang sebagai utusan khusus untuk Myanmar, seperti dua ketua sebelumnya, Indonesia telah membentuk Kantor Utusan Khusus Urusan Myanmar pimpinan Menlu Retno Marsudi, yang bekerja sama dengan diplomat senior Ngurah Swajaya. Kantor tersebut telah beroperasi "dengan cara sederhana," kata seorang juru bicara kepada media Frontier Myanmar. “Tidak semua kegiatan diplomatik perlu diungkapkan kepada publik.” Rencana yang diumumkan untuk utusan militer Myanmar belum terwujud.

Bergulat dengan sikap keras kepala junta Myanmar telah memperlihatkan adanya keretakan dalam blok regional. Indonesia dan Malaysia, seringkali bersama Singapura dan Filipina, cenderung setuju pada pendekatan yang lebih vokal terhadap Myanmar namun dihalangi oleh Thailand dan Kamboja yang enggan mengisolasi junta Myanmar. Hasilnya adalah strategi common denominator atau inti kesamaan dengan kedok “konsensus”.

Retno Marsudi melaporkan bahwa pada AMM Retreat Februari lalu, para menteri luar negeri “menegaskan kembali pendekatan persatuan” terhadap Myanmar – sebuah kedok karena secara keliru menyamakan pendekatan yang beragam dengan kelemahan.

Pada Desember 2022, Thailand jadi tuan rumah dari sebuah pertemuan “informal” terkait krisis di Myanmar dengan para pejabat junta, yang dihadiri oleh Kamboja, Laos, dan Vietnam, sementara negara-negara ASEAN yang lain tak hadir. Thailand yang keberpihakannya dipertanyakan memimpin “dialog track 1.5” bersama dengan Laos, Bangladesh, India, dan perwakilan junta menyusul pada pertengahan Maret. Jika Bangkok tidak ragu menentukan arahnya sendiri tanpa persetujuan semua anggota ASEAN, mengapa Indonesia harus membelenggu dirinya sendiri sebagai Ketua ASEAN untuk mempertahankan “konsensus” yang tidak menguntungkan siapa pun?

Indonesia justru seharusnya memanfaatkan peran keketuaannya dengan turut membangun koalisi dengan pemerintah terkait, termasuk kekuatan regional dan negara-negara barat yang bersembunyi di balik “sentralitas ASEAN”, untuk menciptakan tekanan berlapis namun saling melengkapi. Mendapatkan dukungan dari banyak, bahkan semua, negara ASEAN serta Jepang dan Korea Selatan akan dapat memperkuat tindakan diplomatik dan hukuman.

Jakarta seharusnya mendorong pemerintah di sejumlah negara lain untuk memperberat sanksi terhadap sumber pendapatan junta – pertama dan terutama dari minyak dan gas – dan meningkatkan penegakan terhadap langkah-langkah yang ada. Jakarta seharusnya menyambut baik dengan tindakan yang lebih konkret dari Dewan Keamanan, dengan langkah-langkah menuju resolusi yang memberlakukan embargo senjata global, sanksi yang menyasar militer, dan merujuk situasi tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Indonesia tidak dapat menampilkan dirinya sebagai perantara atau utusan di antara otoritas junta dan dunia luar kecuali diberlakukan tindakan hukum yang didesak oleh komunitas internasional dan punya dampak serius untuk menarik perhatian pihak junta.

“Kepentingan rakyat Myanmar harus selalu menjadi prioritas,” kata Jokowi pada KTT Darurat ASEAN di Jakarta dua tahun lalu.

Tapi, para jenderal junta tidak melayani negara maupun rakyatnya. Indonesia seharusnya terlibat, secara formal dan konsisten, dengan para pihak yang memang berkepentingan di sana, antara lain aktivis masyarakat sipil Myanmar dan pihak oposisi Pemerintah Persatuan Nasional. Sejumlah kelompok dalam negeri juga merupakan kunci bagi Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) untuk menyalurkan bantuan secara efektif, yang merupakan salah satu tugas dari lima poin konsensus, bukan justru mengandalkan otoritas junta yang telah menyalahgunakan dan mempersenjatai bantuan kemanusiaan.

“Semua kritik itu seharusnya tidak ditujukan kepada ASEAN,” kata Retno Marsudi November lalu. “Kritik-kritik ini seharusnya ditujukan kepada junta.… Kami sudah mengerjakan bagian kami.”

Tentu saja, junta bertanggung jawab langsung atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan di seluruh Myanmar.

Namun bagi jutaan orang yang ditindas secara brutal oleh junta, ASEAN belum melaksanakan tugasnya. Masih banyak hal yang perlu Jakarta lakukan dan selesaikan, dan lebih banyak lagi yang perlu dilakukan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country