Skip to main content

Myanmar: Perlunya Tindakan Konkret Dewan Keamanan PBB

Bencana Hak Asasi Manusia Makin Intensif Sejak Resolusi Desember

Seorang pria duduk di depan sebuah rumah di negara bagian Shan yang rusak akibat pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang, 10 Januari 2023. © 2023 Sipa via AP Images

(New York) – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seharusnya membangun resolusi Desember 2022 tentang Myanmar dengan mengadopsi langkah-langkah nyata untuk meminta pertanggungjawaban junta atas pelanggaran yang sedang berlangsung, kata Human Rights Watch. Dewan akan mengadakan sesi tentang Myanmar pada 13 Maret 2023, dan mendengarkan laporan dari Noeleen Heyzer, utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar, dan Retno Marsudi, selaku Menteri Luar Negeri Indonesia dan kepala kantor utusan khusus Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk Myanmar.

Negara-negara anggota Dewan Keamanan seharusnya mempertimbangkan resolusi Desember tentang Myanmar, yang mengecam pelanggaran hak yang dilakukan militer sejak kudeta 1 Februari 2021, hanya sebagai langkah awal untuk menguatkan kembali pengawasan global atas kekejaman junta. Dewan seharusnya mengambil sejumlah tindakan yang berarti berdasarkan Bab VII Piagam PBB, termasuk melembagakan embargo senjata global, merujuk situasi negara tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan menjatuhkan sanksi yang dialamatkan pada kepemimpinan junta dan perusahaan-perusahaan milik militer.

“Junta Myanmar telah menunjukkan sikap kebal terhadap pernyataan kecaman atau keprihatinan,” kata Louis Charbonneau, Direktur urusan PBB di Human Rights Watch. “Pengabaian mereka terhadap resolusi Dewan Keamanan Desember lalu menunjukkan perlunya resolusi baru yang memberlakukan tindakan-tindakan tegas seperti embargo senjata dan sanksi yang ditujukan pada para pejabat militer senior dan sejumlah perusahaan yang punya keterkaitan dengan militer.”

Sejak Desember, pasukan keamanan junta telah membunuh sedikitnya 263 orang melalui penembakan artileri, serangan udara, dan pembakaran di desa-desa, serta penyiksaan, pemerkosaan, dan eksekusi dalam tahanan, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Pihak berwenang telah menangkap setidaknya 486 orang dan menghukum 401 orang selama periode yang sama, termasuk para guru, biksu, dokter dan perawat, pengacara, legislator Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan pejabat partai, serta pekerja kemanusiaan.

Sebagian besar vonis hukuman yang dijatuhkan antara 10 tahun hingga penjara seumur hidup berdasarkan ketentuan “terorisme” atau “penghasutan” yang diberlakukan atau diperluas oleh junta untuk memperluas kriminalisasi gerakan oposisi.

Junta telah melakukan pelanggaran meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil – termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pemenjaraan di luar undang-undang – yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Banyak serangan terhadap warga sipil dan desa-desa terlihat jelas sebagai kejahatan perang. Sejak Februari 2021, pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 3.000 orang dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 20.000 orang.

Pada bulan Februari, junta memperpanjang keadaan darurat buatannya selama enam bulan lagi sebelum mengumumkan darurat militer di 40 kotapraja baru di sejumlah negara bagian dan wilayah, mengalihkan semua kekuasaan eksekutif dan yudikatif kepada kepala komando militer regional yang relevan.

Resolusi dewan Desember lalu yang menyerukan “akses kemanusiaan yang penuh, aman dan tanpa hambatan,” mengungkapkan keprihatinan mendalam pada “semakin banyaknya pengungsi internal dan peningkatan dramatis atas kebutuhan kemanusiaan.” Namun, junta Myanmar meningkatkan blokade bantuan kemanusiaan untuk mencegah bantuan mencapai populasi yang membutuhkan sebagai bentuk hukuman kolektif. Sejak resolusi diadopsi, operasi militer di tenggara dan barat laut telah membuat lebih dari 150.000 warga sipil mengungsi, sehingga jumlah total orang yang mengungsi sejak kudeta menjadi 1,3 juta jiwa. Bentrokan bersenjata telah memberi pengaruh pada hampir 80 persen dari kota-kota di seluruh negeri.

Resolusi Desember memuat banyak referensi ke ASEAN, yang mengadopsi “Lima Poin Konsensus” pada April 2021 sebagai tanggapan atas kudeta Myanmar. Kepala Junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing sejak awal telah menolak setiap poin dari konsensus sambil mengeksploitasi rasa hormat masyarakat internasional untuk blok regional tersebut. Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Indonesia seharusnya mengubah rute pendekatan blok itu untuk mengisolasi junta Myanmar secara lebih efektif sambil meminta dukungan ASEAN untuk tindakan tambahan Dewan Keamanan dan bekerja sama dengan upaya negara lain untuk memblokir aliran pendapatan dan senjata ke junta.

“Para jenderal telah memulai kebijakan bumi hangus dalam upaya untuk membasmi oposisi,” Volker Türk, komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia, melaporkan awal bulan ini. “Militer, yang didorong oleh impunitas yang terus menerus dan mutlak, secara konsisten telah menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban dan prinsip internasional. Tindakan nyata dan mendesak diperlukan untuk mengakhiri bencana yang buruk ini.”

Negara-negara anggota Dewan Keamanan, mengingat ketidakpatuhan mencolok junta terhadap lima poin konsensus ASEAN dan resolusi Desember, seharusnya menggunakan sesi hari ini untuk mengidentifikasi langkah-langkah konkret untuk melawan sejumlah penyelewengan dan pelanggaran berat hak asasi manusia internasional serta hukum humaniter yang terjadi setiap hari.

“Utusan khusus PBB dan menteri luar negeri Indonesia seharusnya menjelaskan kepada negara-negara anggota Dewan Keamanan bahwa pembunuhan, penyiksaan, penangkapan di luar hukum, dan kejahatan perang yang dilakukan junta menuntut tindakan yang lebih terarah,” kata Charbonneau. “Memotong pasokan uang dan senjata junta adalah langkah penting selanjutnya untuk menahan kekejaman yang dilakukan setiap hari di negara tersebut.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country