Filep Karma, seorang aktivis sekaligus mantan tahanan politik terkemuka asal Papua, ditemukan tewas Senin lalu di Pantai Base-G, Jayapura, Papua. Ia saat itu sedang menempuh perjalanan untuk menyelam bersama saudara ipar dan keponakannya, dan tampaknya pergi menyelam sendirian setelah dua kerabatnya itu pulang lebih dulu. Filep, seorang penyelam ahli dengan pengalaman tiga puluh tahun, ditemukan mengenakan pakaian selam scuba miliknya.
Putrinya mengatakan Filep meninggal karena “kecelakaan dan tenggelam.”
Saya bertemu Filep pada tahun 2008 ketika mengunjungi penjara Jayapura untuk mewawancarai tahanan politik. Filep saat itu jelas merupakan pemimpin yang dicari oleh para tahanan lain untuk mendapatkan inspirasi. Ia mengartikulasikan prinsip-prinsipnya untuk hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Kami dengan cepat menjadi teman, berdiskusi dan berdebat tentang situasi hak asasi manusia di Papua.
Filep Karma dilahirkan pada tahun 1959 di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Kata Filep pada saya, sang ayah mendidiknya tentang perlakuan buruk terhadap orang asli Papua di bawah pemerintahan Indonesia.
Pada tahun 1998, Karma mengorganisir sebuah aksi protes di Pulau Biak, menyerukan kemerdekaan Papua sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan yang dilarang oleh pemerintah Indonesia. Pasukan militer Indonesia membubarkan aksi protes itu dengan kekerasan. Filep dipenjara, kemudian dibebaskan pada 1999. Pada tahun 2004, ia kembali mengorganisir protes Bintang Kejora menyusul pembunuhan terhadap Theys Eluai, pemimpin pro-kemerdekaan lainnya. Pihak berwenang mengadili dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi Filep karena “makar.”
Pada tahun 2010, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang tahanan politik di Papua dan Kepulauan Maluku, dengan meluncurkan sebuah kampanye global untuk membebaskan para tahanan. Pada tahun 2011, ibu Filep, yakni Eklefina Noriwari, mengajukan petisi kepada Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penahanan Sewenang-wenang agar Filep dibebaskan. Kelompok kerja tersebut memutuskan bahwa penahanan Filep telah melanggar hukum internasional, dan menyerukan agar pemerintah Indonesia membebaskannya. Pihak berwenang baru melepaskan Filep pada tahun 2015.
Setelah dibebaskan, Karma merangkul agenda aktivisme politik yang lebih luas. Ia berbicara tentang hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan. Ia berkampanye untuk hak-hak kalangan minoritas. Ia mengorganisir bantuan untuk keluarga tahanan politik.
Humor, integritas, dan keberanian moral pada diri Filep Karma menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kematiannya merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi orang Papua, tetapi juga bagi banyak orang di seluruh Indonesia yang telah kehilangan pahlawan hak asasi manusia.