Skip to main content

Apartheid Berbasis Gender Seyogianya Menjadi Kejahatan Internasional

Published in: Just Security
Dalam foto yang diambil pada 5 Maret 2025 ini, sejumlah perempuan Afghanistan yang mengenakan niqab sedang melintas di sepanjang jalan di pinggiran Kabul. Sejak Taliban kembali berkuasa di Kabul pada Agustus 2021, mereka telah memberlakukan pembatasan yang luas terhadap perempuan berdasarkan interpretasi yang ketat terhadap hukum Islam. Kalangan perempuan telah dipinggirkan dari kehidupan publik dalam apa yang disebut PBB sebagai “apartheid berbasis gender.” © WAKIL KOHSAR/AFP via Getty Images

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sedang merumuskan posisi mereka dalam sebuah usulan perjanjian untuk mencegah dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, menjelang pertemuan “komite persiapan” pada Januari 2026 yang akan meletakkan dasar bagi amendemen dan negosiasi penuh atas rancangan yang telah dipertimbangkan sejak tahun 2019. Beberapa negara dan para pendukung secara khusus mendukung penambahan ketentuan yang mengakui apartheid berbasis gender sebagai kejahatan internasional. Hal ini menghadirkan peluang unik untuk mengisi celah dalam hukum internasional guna melindungi hak — dan kehidupan — perempuan dan anak perempuan.

Selama empat tahun ke depan di Majelis Umum PBB, negara-negara anggota akan mengajukan amendemen dan membahas rancangan perjanjian internasional tersebut. Prosesnya, yang dituangkan dalam resolusi Desember 2024, dijadwalkan selesai pada tahun 2029. Hasil akhirnya diharapkan menjadi tambahan penting bagi hukum internasional; meskipun kejahatan terhadap kemanusiaan telah merajalela di seluruh dunia, saat ini belum ada perjanjian internasional yang spesifik dan komprehensif untuk mencegah dan menghukum pelanggaran berat ini, terutama yang dilakukan di luar konteks konflik bersenjata. Ketiadaan perjanjian khusus ini turut mengurangi bobot kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga mengurangi pemahaman publik dan respons pemerintah. Ketiadaan perjanjian internasional juga berarti tidak adanya badan khusus beranggotakan sejumlah ahli yang berfokus pada penafsiran dan pemantauan penegakannya, dan terbatasnya jalur untuk mengadili pelanggaran tanggung jawab negara.

Para pembela hak-hak perempuan telah mengidentifikasi sejumlah cara agar perjanjian internasional ini juga memperkuat perlindungan internasional terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan, termasuk dengan menjadikan apartheid berbasis gender sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional.

Kepemimpinan Pembela Hak-Hak Perempuan Afghanistan

Perkembangan baru dalam hukum internasional sering kali muncul sebagai respons terhadap kekejaman atau krisis tertentu. Krisis hak-hak perempuan paling serius di dunia saat ini terjadi di Afghanistan, di mana Taliban telah memberlakukan sejumlah pembatasan yang luas dan sistematis terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan, yang menyoroti perlunya perlindungan internasional yang lebih kuat.

Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Afghanistan telah mendokumentasikan krisis ini, dan menyampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia pada bulan September 2024, “sistem diskriminasi, pemisahan, dan penindasan seks dan gender yang dilembagakan oleh Taliban – singkatnya, penganiayaan berbasis gender, sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan… berdampak pada hampir seluruh penduduk. Jika tidak ditangani, dampaknya akan membentuk generasi mendatang.”

Sejak Taliban untuk kali pertama berkuasa di Afghanistan, dari tahun 1996 hingga 2001, banyak pembela hak-hak perempuan Afghanistan telahmenggunakan istilah “apartheid berbasis gender” untuk menggambarkan kekejaman Taliban terhadap perempuan serta anak perempuan. Pada tahun 1999, Abdelfattah Amor, yang saat itu menjabat sebagai pelapor khusus PBB untuk penghapusan intoleransi dan segala bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan, sependapat, dengan menulis bahwa “Taliban telah memperkenalkan apa yang sebenarnya merupakan sistem apartheid terhadap perempuan.”

Sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan pada tahun 2021, kekejaman yang mereka lakukan terhadap perempuan dan anak perempuan telah memicu kembali diskusi tentang apartheid berbasis gender dan mempercepat seruan untuk mengakuinya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam sebuah perjanjian internasional.

Banyak pembela hak-hak perempuan Afghanistan berpendapat bahwa pelanggaran sistematis dan struktural yang dilakukan Taliban terhadap hak-hak semua perempuan dan anak perempuan memiliki karakter dan tingkat keparahan yang sama dengan tindakan apartheid yang digolongkan sebagai kejahatan berdasarkan Statuta Roma yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dengan satu-satunya perbedaan adalah bahwa kejahatan Taliban didasarkan pada gender, bukan ras.

Mereka mengajukan argumen yang meyakinkan bahwa pembentukan kejahatan internasional apartheid berbasis gender diperlukan untuk mengisi celah dalam hukum internasional terkait hak-hak perempuan, dan untuk memastikan adanya akuntabilitas atas keseluruhan kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan berdasarkan gender.

Seruan para pembela hak-hak perempuan Afghanistan tersebut telah menerima dukungan kuat dari para pemimpin dan pakar hak asasi manusia di PBB, termasuk KomisarisTinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Direktur Eksekutif UN Women, Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang menafsirkan konvensi hak-hak perempuan, Kelompok Kerja PBB untuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak Perempuan, dan Pelapor Khusus untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Afghanistan.

Kejahatan Apartheid

Istilah apartheid berasal dari Afrika Selatan, di mana pemerintah kolonial supremasi kulit putih menciptakan dan secara brutal menerapkan sistem pemisahan dan penindasan berdasarkan ras. Kebijakan apartheid menentukan di mana orang dapat tinggal dan bekerja, di mana mereka dapat belajar dan apa yang boleh mereka pelajari, serta bagaimana mereka boleh, atau tidak boleh, bepergian. Berdasarkan Undang-Undang Registrasi Penduduk Afrika Selatan tahun 1950, kebijakan diskriminatif diberlakukan terhadap orang-orang yang tidak dikategorikan sebagai kulit putih, dengan pelanggaran terburuk menimpa warga kulit hitam, yang ditetapkan sebagai “pribumi.”

Kecaman internasional menyebabkan negara-negara mengadopsi Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid (Konvensi Apartheid) tahun 1973, yang mendefinisikan apartheid sebagai kejahatan global dan universal terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1994, sistem apartheid secara resmi dihapuskan di Afrika Selatan, tetapi ketidakadilan yang mendalam yang diciptakan selama apartheid masih menyisakan dampak buruk yang berkepanjangan.

Banyak hukum internasional telah berkembang melalui berbagai upaya untuk merancang respons global terhadap berbagai situasi mengerikan, dan pelanggaran-pelanggaran di Afrika bagian selatan punya dampak jangka panjang terhadap hukum internasional. Pada tahun 1998, empat tahun setelah berakhirnya apartheid di Afrika Selatan, dan setelah kekejaman di Rwanda dan bekas Yugoslavia, negara-negara mengadopsi Statuta Roma yang membentuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Statuta Roma menggolongkan apartheid, mencirikannya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan mendefinisikannya sebagai “tindakan tidak manusiawi... yang dilakukan dalam konteks rezim penindasan dan dominasi sistematis yang dilembagakan oleh satu kelompok ras terhadap kelompok atau berbagai kelompok ras lainnya dan dilakukan dengan tujuan mempertahankan rezim tersebut.”

Persyaratan Statuta Roma untuk kejahatan apartheid — bahwa kejahatan tersebut dicirikan oleh rezim yang dilembagakan (dengan kata lain, hukum atau kebijakan sistematis yang ditegakkan oleh Negara atau otoritas serupa), dan niat untuk mempertahankan rezim tersebut — membedakan pelanggaran tersebut dari kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, yang didefinisikan oleh Statuta Roma sebagai “perampasan secara sengaja dan berat terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional karena identitas kelompok atau kolektivitas.” Meskipun menurut rancangan pasal-pasal tentang kejahatan terhadap kemanusiaan keduanya harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil agar dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, hanya pada kasus apartheid diperlukan temuan yang jelas mengenai keberadaan rezim yang dilembagakan dan adanya niat untuk mempertahankan rezim tersebut. Sebagaimana dibahas di bawah ini, penganiayaan dan apartheid, ketika didasarkan pada ras, sudah ada sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terpisah dan saling melengkapi dan telah berjalan selama puluhan tahun.

Kejahatan apartheid internasional, baik dalam Konvensi Apartheid maupun Statuta Roma, berlaku khusus untuk “kelompok ras,” meski ras dipahami dalam hukum hak asasi manusia internasional dan yurisprudensi hukum pidana internasional juga mencakup keturunan dan asal usul kebangsaan atau etnis.

Pertanyaan Seputar Apartheid Berbasis Gender

Penting untuk mengkaji kemungkinan adanya konsekuensi hukum internasional jika apartheid berbasis gender ini dimasukkan ke dalam rancangan perjanjian internasional kejahatan terhadap kemanusiaan. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan, beserta tanggapan singkat, untuk memandu negara-negara dan pihak lain dalam mempertimbangkan posisi mereka bila ingin mempertimbangkan apartheid berbasis gender sebagai kejahatan dalam perjanjian internasional ini.

Apa yang menjadi ambang batas untuk menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan apartheid berbasis gender?

Serupa dengan diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan juga berkaitan dengan tingkatan. Diskriminasi rasial masih terjadi di banyak negara, bahkan mungkin di semua negara, dan banyak pemerintah gagal mengambil tindakan yang memadai guna mencegah dan menanggapi diskriminasi rasial.

Namun, hanya pelanggaran sistematis terberat yang memenuhi ambang batas apartheid — khususnya ketika, seperti yang diatur dalam Statuta Roma, “tindakan tidak manusiawi...[dilakukan] dalam konteks rezim penindasan dan dominasi sistematis yang dilembagakan oleh satu kelompok ras atas kelompok ras lain dan dilakukan dengan tujuan mempertahankan rezim tersebut.”

Definisi apartheid dalam Konvensi Apartheid dan Statuta Roma menetapkan ambang batas yang tinggi terhadap tindakan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan ini, yang tercermin dalam jarangnya ketentuan ini diterapkan dalam praktik hukum. Dengan demikian, apartheid merupakan kejahatan yang hanya relevan dalam kondisi amat spesifik, dan hanya dalam beberapa kasus hukum istilah ini pernah digunakan.

Organisasi kami, Human Rights Watch, telah mendokumentasikan sejumlah pelanggaran yang dianggap memenuhi syarat sebagai kejahatan apartheid dalam perlakuan otoritas Myanmar terhadap orang-orang Rohingya dan perlakuan otoritas Israel terhadap warga Palestina. Mahkamah Internasional (ICJ), dalam advisory opinion atau pandangan hukumnya pada tahun 2024, menyatakan Israel bertanggung jawab atas pelanggaran Pasal 3 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang mewajibkan pemerintah negara-negara agar “mencegah, melarang, dan menghapus semua pemisahan rasial dan apartheid.” Belum ada satu pun penuntutan yang tuntas terhadap individu atas kejahatan apartheid di mana pun di dunia, meskipun satu kasus masih berjalan di pengadilan Afrika Selatan saat ini.

Jika apartheid berbasis gender dimasukkan dalam perjanjian internasional kejahatan terhadap kemanusiaan, maka kejahatan apartheid berbasis gender akan memiliki ambang batas yang sama tingginya dengan kejahatan apartheid saat ini. Tidak ada negara yang mencapai kesetaraan gender, dan banyak pemerintah yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan atau gagal mengambil langkah-langkah memadai untuk mencegah diskriminasi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut memicu kewajiban berdasarkan beberapa instrumen hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional, tetapi hanya dalam keadaan tertentu tindakan tersebut dapat dikelompokkan sebagai apartheid. Hanya situasi paling mengerikan yang berpotensi memenuhi ambang batas ini.

Bagaimana temuan adanya apartheid berbasis gender bisa mempengaruhi bantuan kemanusiaan dan berbagai bentuk keterlibatan lainnya dengan suatu negara?

Penting untuk ditegaskan bahwa jika apartheid berbasis gender diakui sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional, hal tersebut tidak akan berlaku surut.

Jika apartheid berbasis gender menjadi kejahatan internasional, dan suatu Negara dinyatakan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencakup apartheid berbasis gender, otoritas dari negara-negara lain bertanggung jawab untuk mencegah, mengakhiri, dan menghukum kejahatan tersebut, termasuk tidak membantu pelaksanaannya, sebagaimana kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya.

Kewajiban yang dibebankan kepada negara-negara adalah salah satu uji tuntas. Memasukkan apartheid berbasis gender dalam perjanjian internasional akan menciptakan kerangka kerja bagi negara-negara untuk menilai keterlibatan mereka dalam situasi tersebut. Namun, perjanjian internasional tersebut tidak mewajibkan atau melarang jenis tindakan tertentu, yang akan bersifat unik untuk setiap situasi.

Bantuan kemanusiaan tidak boleh ditolak, dan ada banyak contoh bagaimana bantuan telah dan dapat diberikan tanpa mendukung pemerintah dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Para donor telah menemukan berbagai cara untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Rohingya dan Palestina, sementara mereka menghadapi apa yang oleh beberapa pengamat dipandang sebagai apartheid.

Apakah kejahatan penganiayaan berbasis gender memberikan perlindungan yang memadai bagi perempuan dan anak perempuan?

Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan berbasis gender telah diakui sebagai kejahatan internasional berdasarkan Statuta Roma dan telah dimuat dalam rancangan pasal-pasal perjanjian internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, dengan adanya penganiayaan berbasis gender sebagai instrumen akuntabilitas tidak berarti bahwa pengakuan apartheid berbasis gender sebagai kejahatan dalam hukum internasional menjadi tidak perlu. Tidak ada hierarki di antara kejahatan terhadap kemanusiaan – semuanya merupakan kejahatan yang sangat serius, dan negara memiliki kewajiban yang sama untuk mencegahnya. Apartheid berbasis gender mencakup unsur-unsur dan dimensi kerugian berbasis gender yang tidak tercakup dalam penganiayaan berbasis gender, seperti cara suatu sistem pemerintahan dapat dibangun di atas fondasi diskriminasi berbasis gender yang ekstrem.

Sebagaimana disebutkan di atas, persyaratan Statuta Roma tentang rezim penindasan dan dominasi sistematis yang dilembagakan oleh satu kelompok atas kelompok lain membedakannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, yang didefinisikan oleh Statuta Roma sebagai “perampasan hak-hak fundamental yang disengaja dan berat yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas.”

Menambahkan kejahatan apartheid berbasis gender ke dalam hukum internasional akan mengisi celah hukum dan memberikan konsistensi dalam cara hukum internasional menanggapi kejahatan berbasis ras dan kejahatan berbasis gender.

Kejahatan penganiayaan berbasis gender jarang digunakan dan sering kali tidak dipahami dengan baik oleh banyak pihak yang terlibat dalam hukum pidana internasional. Salah satu alasan utamanya adalah pembatasan kejahatan penganiayaan yang diberlakukan oleh Statuta Roma yang mengharuskannya hanya dapat ditemukan dalam hubungannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Human Rights Watch juga mendesak penghapusan persyaratan ini, untuk menjadikan penganiayaan, termasuk penganiayaan berbasis gender, sebagai pelanggaran yang berdiri sendiri. Hal ini akan membuat penganiayaan berbasis gender lebih mudah diakses dan menjadi alat yang lebih berguna dalam menanggapi pelanggaran berat berbasis gender.

Kejahatan penganiayaan rasial dan apartheid dapat hidup berdampingan. Keduanya saling melengkapi dan bersama-sama membantu mendorong terwujudnya akuntabilitas atas totalitas kejahatan yang dilakukan berdasarkan ras. Koeksistensi antara penganiayaan berbasis gender dan apartheid berbasis gender akan melakukan hak serupa.

Proses Perjanjian Internasional Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Proses perjanjian internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan menghadirkan peluang unik dan terbatas waktunya untuk memasukkan kejahatan apartheid berbasis gender ke dalam hukum internasional. Sebelas negara telah menyatakan minat untuk membahas pencantuman apartheid berbasis gender, sementara negara-negara lain secara tertutup telah menyampaikan komitmen untuk mempertimbangkannya di masa mendatang.

Aktivisme perempuan Afghanistan dan pelanggaran sistematis yang dilakukan Taliban menyoroti adanya kesenjangan krusial dalam perlindungan internasional bagi perempuan dan anak perempuan. Proses perjanjian internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan memberikan peluang untuk menutup kesenjangan tersebut dan memperkuat perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia, sekaligus mengirimkan sinyal kepada seluruh negara bahwa pembangunan sistem diskriminasi dan kekerasan berat terhadap perempuan tidak dapat ditoleransi oleh komunitas internasional. Meskipun jalan menuju pengakuan apartheid berbasis gender sebagai kejahatan dalam perjanjian internasional baru ini masih panjang dan penuh ketidakpastian, negara-negara yang memprioritaskan untuk memasukkan apartheid gender akan menolak normalisasi yang semakin menjadi-jadi dari pelanggaran Taliban, dan akan menjadi pelengkap yang penting bagi berbagai upaya lain yang sangat dibutuhkan untuk meminta pertanggungjawaban Taliban.

Semua negara seyogianya mendukung seruan penting dari para perempuan Afghanistan ini, demi perempuan di seluruh dunia. Negara-negara tersebut sepatutnya menjadikan upaya untuk memastikan pengakuan apartheid berbasis gender dalam hukum internasional sebagai prioritas, termasuk dalam rancangan perjanjian internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.

GIVING TUESDAY MATCH EXTENDED:

Did you miss Giving Tuesday? Our special 3X match has been EXTENDED through Friday at midnight. Your gift will now go three times further to help HRW investigate violations, expose what's happening on the ground and push for change.
Region / Country