Selama lebih dari dua dekade, pekerja rumah tangga di Indonesia, yang sebagian besar adalah perempuan, telah memperjuangkan hak-hak mereka, tetapi tidak berhasil. Jutaan perempuan dan anak perempuan Indonesia bekerja sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga, meskipun berperan amat penting dalam perekonomian, mereka tetap tidak terlindungi oleh hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini, selain fakta bahwa para pekerja ini terisolasi di dalam rumah para majikan mereka, berarti banyak dari mereka yang mengalami pelecehan psikologis, fisik, dan kekerasan seksual yang mengerikan di tangan para majikan itu.
Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), mengatakan: “Pekerja rumah tangga adalah pekerja. Mereka menyediakan layanan penting. Namun, pekerja rumah tangga tidak diberi akses dan klaim untuk mendapatkan hak-hak dasar dan perlindungan. Mereka menghadapi berbagai kondisi kerja yang amat keras, di mana banyak yang menggambarkan situasi mereka sebagai perbudakan modern. Tapi, negara tidak hadir.”
Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, memiliki kesempatan untuk mengambil langkah berani demi menjamin hak-hak pekerja rumah tangga dengan meminta DPR meloloskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan meratifikasi baik Konvensi Pekerja Rumah Tangga (PRT) maupun Konvensi Kekerasan dan Pelecehan, yang sama-sama dicanangkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Norma gender yang diskriminatif sering kali mendevaluasi pekerjaan rumah tangga hanya sebagai “pekerjaan perempuan.” Devaluasi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak pekerja rumah tangga memasuki profesi ini saat masih anak-anak, beberapa di antaranya berusia 12 tahun. Kurangnya penegakan usia minimum 15 tahun untuk semua sektor pekerjaan serta kurangnya pengakuan hukum terhadap PRT sebagai pekerja menyebabkan ratusan ribu perempuan dan anak perempuan rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan.
Meskipun para aktivis, serikat pekerja, kelompok masyarakat sipil, dan organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch, telah mengupayakan advokasi selama bertahun-tahun, pemerintahan Indonesia terdahulu belum mengambil langkah untuk mewujudkan perubahan yang dibutuhkan. Jala PRT telah menghabiskan dua dekade mengadvokasi DPR agar meloloskan RUU PPRT, yang berisi perbaikan signifikan untuk pengakuan hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi. Namun, pembahasan RUU ini telah terhenti selama 20 tahun di DPR karena kurangnya kemauan politik.
Pemerintah Indonesia tidak semestinya menunda lebih lama lagi untuk mengesahkan RUU ini, sebagai bentuk pengakuan atas perlindungan hukum yang menjadi hak jutaan pekerja rumah tangga tetapi telah lama diabaikan.