Skip to main content
Seorang pekerja sedang menjahit di sebuah kegiatan produksi pakaian jadi rumahan di Bogor, Jawa Barat, 4 Maret 2021. © 2021 ADI WEDA/EPA-EFE/Shutterstock

Di tengah cuaca panas dan lembap di Indonesia, saya melihat puluhan laki-laki bersepeda motor menunggu di luar gerbang pabrik garmen, dengan anak-anak yang digendong di pundak mereka, sedang menunggu pasangan mereka pulang setelah bekerja. Para lelaki ini - yang sebagian besar tidak punya pekerjaan - datang untuk menjemput para perempuan yang jadi tulang punggung keluarga mereka.

Di Sukabumi – di mana mayoritas perusahaan bergerak di sektor garmen, dan para pekerjanya sebagian besar adalah perempuan – perempuan adalah tulang punggung perekonomian. Namun, para perempuan ini sering menghadapi kekerasan baik di tempat kerja maupun di rumah – dan para majikan mereka bisa dan seharusnya berbuat lebih banyak lagi untuk membantu.

“Hampir semua perempuan yang sudah menikah di desa saya menghadapi kekerasan dalam rumah tangga,” ungkap seorang pekerja garmen. Seseorang pekerja lain mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah rahasia umum di desanya, kenyataan pahit sebagai seorang perempuan yang sudah menikah dan berperan sebagai pencari nafkah.

Human Rights Watch telah mendokumentasikan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia mengerikan yang dialami oleh para perempuan yang bekerja di berbagai pabrik garmen di seluruh Asia, di antaranya upah rendah, jam kerja yang melelahkan, kondisi kerja yang tidak aman, dan pelecehan seksual di tempat kerja terhadap para pekerja perempuan merupakan hal yang lazim terjadi.

Namun ketika para perempuan ini pulang ke rumah, banyak dari mereka juga menghadapi bentuk kekerasan lain: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang sebagian didorong oleh kemarahan karena mereka dianggap telah mengabaikan peran gender dengan menjadi pencari nafkah.

Pola ini tidak hanya terjadi di Indonesia atau di kalangan pekerja garmen perempuan. Di Bangladesh, sejumlah studi menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara perempuan yang bekerja dan kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami, terutama di kalangan perempuan yang menikah muda atau berpendidikan rendah.

Sebuah studi di beberapa negara di Afrika menemukan bahwa pekerjaan bagi perempuan "secara positif punya hubungan timbal balik dengan kemungkinan mengalami kekerasan" di rumah. Di Australia, penelitian terbaru menunjukkan bahwa perempuan yang berpenghasilan lebih besar daripada pasangan laki-laki mereka 33 persen lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Meskipun kemandirian finansial dapat menjadi faktor perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, dalam masyarakat penganut pandangan patriarki, perempuan pencari nafkah mengganggu dinamika kekuasaan rumah tangga tradisional dan dapat menghadapi reaksi keras dari suami mereka, saat laki-laki menggunakan kekerasan untuk menegaskan kembali kendali mereka.

Kekerasan ini dapat muncul dalam bentuk penguasaan terhadap pendapatan perempuan, pemukulan fisik dan kekerasan seksual, serta pelecehan psikis dan verbal.

Perjuangan untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga perlu mencakup dorongan untuk mengubah pemahaman masyarakat tentang peran gender, dan perusahaan punya peran kunci dalam upaya ini dan, seiring berjalannya waktu, semakin berkewajiban untuk melakukannya.

Setelah bertahun-tahun aktivis dan gerakan buruh berkampanye, dan seiring berkembangnya gerakan #MeToo, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengadopsi sebuah Konvensi baru tentang Kekerasan dan Pelecehan (C190) pada tahun 2019, yang mencakup persyaratan bagi para pemberi kerja untuk mengurangi dampak buruk dari kekerasan dalam rumah tangga. Selain Indonesia dan Bangladesh, 45 negara telah meratifikasi konvensi tersebut, dan jumlah ini terus bertambah.

Sebagai pemberi kerja, terutama di industri yang banyak mempekerjakan perempuan, menerapkan kebijakan internal guna memerangi kekerasan dan pelecehan berbasis gender di tempat kerja, mereka juga perlu menyadari peran penting mereka dalam membantu pekerja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Ini bukan persoalan terpisah, dan dampak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas di rumah. Kekerasan dalam rumah tangga memengaruhi kesejahteraan karyawan, memengaruhi kesehatan, keselamatan, dan kinerja jangka panjang mereka di tempat kerja. Dalam beberapa kasus, kekerasan tersebut benar-benar mengikuti mereka ke tempat kerja.

Selama penelitian ini, saya mewawancarai sejumlah saksi yang mengaku telah melihat seorang perempuan disakiti secara fisik oleh suaminya di luar pabrik garmen sebelum memulai shift kerjanya. Dengan mengakui adanya hubungan ini, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah yang berarti untuk melindungi tenaga kerja mereka dari segala bentuk kekerasan, menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi para perempuan baik di dalam maupun di luar tempat kerja.                                                                                                                           

Para peneliti telah mendokumentasikan adanya keterkaitan antara daya tawar seorang perempuan di rumah dan keselamatannya. Para pemberi kerja bisa memainkan peran penting dalam membantu para perempuan melindungi diri mereka sendiri dengan menawarkan lingkungan yang mendukung di tempat kerja yang memberikan bantuan konkret.

Langkah-langkah yang diuraikan dalam Rekomendasi 206 Konvensi tentang Kekerasan dan Pelecehan Organisasi Buruh Internasional (ILO) seperti pengaturan kerja yang fleksibel, cuti berbayar bagi penyintas kekerasan dalam rumah tangga, dan perlindungan sementara dari pemecatan bisa menjadi penyelamat penting, yang memberdayakan perempuan dengan pilihan untuk meninggalkan situasi penuh kekerasan. Dengan cara ini, perusahaan tidak hanya meningkatkan daya tawar perempuan tetapi juga secara aktif berkontribusi menyediakan jalan keluar dari kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah persoalan pribadi, bertentangan dengan beberapa pandangan. Berdasarkan konvensi ILO, perusahaan bertanggung jawab untuk membantu. Ini adalah tugas amat penting; bagaimana pemberi kerja menanggapi situasi di mana salah satu pekerjanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berakibat pada persoalan hidup dan mati.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country