Skip to main content

Indonesia: Bebaskan Aktivis Papua yang Dipenjara

Tiga Tahun Setelah Protes Anti-Rasisme, Puluhan Orang Masih Dipenjara

Seorang aktivis Papua yang wajahnya dicat dengan warna bendera separatis Bintang Kejora meneriakkan slogan saat berunjuk rasa di dekat Istana Presiden di Jakarta, 22 Agustus 2019.  © 2019 AP Photo/Dita Alangkara

(Jakarta) – Pihak berwenang Indonesia seharusnya segera mencabut tuduhan makar bermotif politik dan membebaskan sejumlah Orang Asli Papua (OAP) yang ditahan karena menjalankan hak-hak mereka secara damai di provinsi Papua dan Papua Barat, kata Human Rights Watch hari ini.

Pada 17 Agustus 2019, massa rasis yang terdiri dari aparat keamanan dan anggota kelompok militan menyerang sejumlah mahasiswa di sebuah asrama universitas Papua Barat di kota Surabaya, Jawa Timur. Tiga tahun kemudian, pihak berwenang Indonesia terus membuat OAP mengalami diskriminasi dan intimidasi rasial, menjadi target penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan pemindahan paksa massal.

“Pasukan keamanan Indonesia selama beberapa dekade secara rutin menjadikan OAP korban salah tangkap dan tindak kekerasan, namun tidak pernah diadili atas pelanggaran terhadap hak-hak ini,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah Indonesia seyogianya tak lagi melecehkan dan menangkap sejumlah pengunjuk rasa damai Papua, dan segera membebaskan para aktivis yang dituntut karena secara damai menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.”

Rekaman video penyerangan tiga tahun lalu menunjukkan aparat meneriakkan penghinaan rasis kepada para mahasiswa asal Papua Barat sambil memaksa masuk ke asrama dan menembakkan gas air mata. Polrestabes Surabaya menangkap 43 mahasiswa asli Papua karena diduga gagal mengibarkan bendera Merah Putih di luar asrama untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Aparat keamanan lantas membebaskan para mahasiswa itu pada hari yang sama. Namun selama hampir sebulan, mereka harus tidur di luar asrama karena bau gas air mata yang masih tertinggal.

Unjuk rasa secara luas terjadi setidaknya di 30 kota seluruh Indonesia setelah rekaman video menyebar secara daring dan berita tentang kejadian itu tayang dan dimuat media massa. Beberapa unjuk rasa berubah menjadi aksi kekerasan, dan baik pemukim asal luar Papua maupun OAP dibunuh di tempat-tempat seperti Wamena dan Jayapura. Pihak berwajib menanggapi aksi protes di bulan-bulan berikutnya dengan menangkap setidaknya 22 pengunjuk rasa damai atas tuduhan makar.

Situasi hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat terus memburuk di tengah iklim meningkatnya pertempuran antara pemberontak pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia.

Hampir dua tahun setelah ditangkap, Victor Yeimo (39 tahun) selaku juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), masih menjadi tahanan polisi. Polisi menangkapnya pada 9 Mei 2021 di Jayapura dan menuduhnya makar karena menyerukan referendum kemerdekaan dalam unjuk rasa anti-rasisme setelah serangan di Surabaya. Setelah penangkapan Yeimo, media massa melaporkan bahwa hingga 130 pengunjuk rasa ditangkap di ibu kota Papua Barat, Manokwari.

Selama ditahan di Mako Brimob Polda Papua, Yeimo tidak diberi akses ke perawatan medis  yang vital, dan akibatnya, pada Agustus 2021, kesehatannya memburuk ke tingkat yang mengancam jiwa. Dia didiagnosis menderita TBC setelah penangkapannya, dan baru-baru ini berada di rumah sakit dan menerima perawatan untuk penyakit itu.

Pada bulan September 2021, pelapor khusus PBB untuk pembela hak asasi manusia, Mary Lawlor, secara terbuka menyatakan keprihatinannya kepada pihak berwenang Indonesia mengenai tuduhan terhadap Yeimo dan pengabaian kebutuhan medisnya.

Dalam surat bertanggal 26 Juni 2020 kepada pemerintah Indonesia, sekelompok pelapor khusus PBB menyuarakan keprihatinan mereka tentang pelecehan, intimidasi, dan kriminalisasi pembela hak asasi manusia di Papua. Mereka juga menyuarakan dugaan tindakan intimidasi terhadap Wensislaus Fatubun, penasihat komunikasi resmi Majelis Rakyat Papua (MRP). Polres Merauke menangkap Fatubun pada 17 November 2020, bersama 84 orang lainnya, menjelang serangkaian pertemuan yang diselenggarakan oleh MRP di Merauke. Dia dibebaskan keesokan harinya.

Pemerintah Indonesia berturut-turut, termasuk pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, telah berusaha menekan gerakan kemerdekaan Papua dengan menambah jumlah serdadu dan polisi di wilayah tersebut. Pihak berwenang kerap melanggar hak orang Papua atas kebebasan berekspresi dan berserikat, termasuk dengan menjadikan pengibaran bendera “Bintang Kejora” Papua sebagai pelanggaran pidana, yang melanggar Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Polit (ICCPR) , di mana Indonesia adalah salah satu negara yang sudah meratifikasinya.

Pada 15 Agustus, jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jayapura menuntut hukuman satu tahun penjara untuk tujuh mahasiswa Papua yang ditahan sejak 1 Desember 2021 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora. Mereka adalah Melvin Yobe, 29; Melvin Fernando Waine, 25; Devio Tekege, 23; Yosep Ernesto Matuan, 19; Maksimus Simon Petrus You, 18; Lukas Kitok Uropmabin, 21; dan Ambrosius Fransiskus Elopere, 21.

Pada 1 Maret, para ahli PBB kembali menyatakan keprihatinan mereka, menyerukan digelarnya penyelidikan independen atas sejumlah laporan bahwa pasukan keamanan Indonesia telah melecehkan OAP, dan agar pihak berwenang mengizinkan akses kemanusiaan tanpa batas ke wilayah tersebut.

Pada bulan Juni, aparat menangkap 44 pengunjuk rasa yang secara damai memprotes rencana kontroversial pemerintah Indonesia untuk membentuk tiga provinsi baru di Papua. Banyak aktivis memandang ini sebagai upaya pemerintah untuk “memecah belah dan menaklukkan” identitas dan gerakan Orang Asli Papua.

Alih-alih berusaha untuk mengurangi ketegangan dan menanggapi kekhawatiran masyarakat adat di Papua, pemerintah Indonesia terus membagi wilayah tersebut dengan memecah provinsi Papua menjadi empat provinsi terpisah. Para aktivis menyuarakan keprihatinan bahwa rencana ini akan mengarah pada peningkatan militerisasi Papua sembari memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar atas wilayah yang kaya sumber daya tersebut.

Human Rights Watch tidak mengambil posisi atas klaim OAP untuk menentukan nasib sendiri, tetapi mendukung hak setiap orang, termasuk pendukung kemerdekaan, untuk mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai tanpa takut ditangkap atau bentuk pembalasan lainnya.

“Pada momen peringatan serangan tahun 2019 yang mengerikan itu, pemerintah Indonesia seharusnya mengakui bahwa menangkap dan memenjarakan aktivis Papua yang damai kian melanggengkan masalah dan kerusuhan,” kata Phil Robertson. “Operasi polisi dan militer Indonesia harus dilakukan secara sah dan dengan cara yang menghormati dan menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berserikat bagi penduduk asli.”

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country