Skip to main content

Indonesia: Bebaskan Para Aktivis Damai Papua

Tuntutan Makar Tak Masuk Akal terhadap 22 Demonstran

 

Papuan students shout slogans during a rally in Jakarta, Indonesia on August 28, 2019. Students and activists gathered for a protest supporting West Papua, calling for independence from Indonesia, and demanding racial justice in Surabaya, East Java.  © 2019 Andrew Gal/NurPhoto via Getty Images

(Jakarta) - Otoritas Indonesia seharusnya membatalkan tuntutan makar dan membebaskan sekurangnya 22 aktivis yang ditahan sejak Agustus 2019 karena sejumlah aksi damai mereka terkait Papua, ujar Human Rights Watch hari ini. Penuntutan sewenang-wenang ini menunjukkan kemunduran pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menangani situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat.

Menjelang "Hari Kemerdekaan" yang dirayakan oleh para nasionalis Papua pada 1 Desember, diplomat-diplomat asing dan para pejabat PBB seharusnya memantau demonstrasi-demonstrasi di Papua dan Papua Barat serta bagaimana penegakan hukum Indonesia menanggapinya.

"Papua mungkin topik yang sensitif di Indonesia, tetapi itu bukan dalih untuk menangkapi dan memenjarakan orang-orang yang menyatakan pendapat secara damai," ujar Elaine Pearson dari Human Rights Watch. "Pihak berwenang semestinya membatalkan tuntutan dan segera membebaskan mereka yang ditahan hanya karena kedapatan membawa bendera atau mengadakan unjuk rasa."

Setiap tahun, orang-orang Papua berupaya mengibarkan bendera nasional Bintang Kejora. Tindakan itu kerap kali berujung benturan dengan pasukan-pasukan keamanan setempat yang memandangnya sebagai perbuatan makar terhadap Republik Indonesia.

Human Rights Watch tidak berpihak kepada klaim-klaim rakyat Papua tentang penentuan nasib sendiri, tetapi mendukung hak setiap orang, termasuk para pejuang kemerdekaan, untuk mengungkapkan pandangan-pandangan politik mereka secara damai tanpa perlu takut masuk penjara atau bermacam bentuk balasan lainnya. Penangkapan dan pemenjaraan orang-orang yang turut serta dalam upacara-upacara damai pengibaran bendera merupakan tindakan semena-mena yang melanggar Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diakui oleh Indonesia.

Otoritas Indonesia menangkap 22 orang pada Agustus dan September, menyusul sejumlah demonstrasi yang kadang disertai kekerasan di Papua dan Papua Barat, ketika ribuan orang turun ke jalan untuk memprotes rasisme terhadap rakyat Papua. Pergolakan itu dipicu peredaran video pelecehan rasial terhadap mahasiswa-mahasiswa Papua di sekitar asrama mereka di Surabaya, 17 Agustus silam, oleh sejumlah anggota milisi Indonesia.

Orang-orang Papua berunjuk rasa di sekurangnya 30 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta. Mereka membakar gedung DPRD Papua Barat di Manokwari, juga sejumlah penjara di Sorong, Provinsi Papua Barat, dan Jayapura, Provinsi Papua.

Sebagian besar dari 20 laki-laki dan 2 perempuan yang menunggu persidangan di 4 kota dijerat dengan tuduhan makar, yang diatur pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman maksimum menurut pasal 106 adalah kurungan 20 tahun, yang bisa menjadi dua kali lipatnya apabila terdakwa terbukti menggerakkan orang-orang lain untuk melakukan makar, sebagaimana diatur pasal 110. Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang pernah mengkritik pasal 106 dan 110, menyatakan keduanya "dirancang dengan istilah-istilah yang kelewat umum dan kabur sehingga dapat digunakan secara sewenang-wenang untuk menghambat kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat."

Otoritas juga menuding Veronica Koman, seorang pengacara HAM Indonesia yang mencuitkan sejumlah video serta foto-foto kerusuhan tersebut di twitter, telah "memprovokasi" aksi-aksi unjuk rasa. Kepolisian Indonesia meminta konsulat Australia di Surabaya untuk "melacak Veronica" di Australia sekaligus menunjukkan bahwa mereka akan mengeluarkan "red notice" Interpol terhadapnya.

Berikut daftar orang-orang yang dikurung dalam empat penjara Indonesia. 

Jakarta

Polisi menangkap dua mahasiswa Papua, Charles Kossay dan Dano Tabuni, pada 30 Agustus, terkait dengan unjuk rasa dua hari sebelumnya di luar Istana Negara, Jakarta. Mereka memprotes rasisme terhadap etnis Papua dan membentangkan bendera Bintang Kejora.

Pada 31 Agustus, kepolisian menangkap Ambrosius Mulait dan Issay Wenda, yang memprotes penangkapan Kossay dan Tabuni di luar Markas Polda Metro Jaya. Pada sore harinya, polisi menangkap tiga aktivis perempuan. Dua di antaranya dibebaskan, namun Ariana Lokbere, seorang mahasiswa teologi Universitas Kristen Indonesia, tetap ditahan.

Secara terpisah, polisi menangkap Surya Anta Ginting, koordinator Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua). Surya Anta, yang pada 2016 memohon maaf secara publik atas represi Indonesia terhadap orang asli Papua, adalah warga Indonesia nonpapua pertama yang dikenai tuntutan makar karena mendukung referendum Papua Barat. Mereka semua kini ditahan di Rumah Tahanan Salemba dan Pondok Bambu, Jakarta.

Balikpapan, Kalimantan Timur

Polisi menangkap delapan aktivis di Jayapura, termasuk dua tokoh mahasiswa Alexander Gobay dan Ferry Gombo serta enam aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi politik yang mengupayakan referendum tentang masa depan Papua Barat. Mereka adalah Buchtar Tabuni, Steven Itlay, Assa Asso, Agus Kossay, Hengki Hilapok, dan Irwanus Uropmobin.

Tabuni dan Itlay adalah mantan tahanan politik. Human Rights Watch menulis profil Tabuni pada 2010, ketika ia dipenjara di Abepura, juga karena "makar." Kossay merupakan Ketua KPNB.

Delapan orang tersebut ditangkap dalam rentang 9-17 September, dan kemudian dipindahkan ke Balikpapan pada 4 Oktober. Polisi berencana menggelar pengadilan di Balikpapan alih-alih ibu kota Papua, Jayapura, demi "alasan-alasan keamanan."

Manokwari, Papua Barat

Polisi mengangkap empat aktivis dan menahan mereka hingga kini di kantor Polres Manokwari, termasuk Sayang Mandabayan, mantan anggota dewan kota Sorong. Pada 2 September, dia tertangkap membawa 1.500 bendera Bintang Kejora kecil di bandara Manokwari. Tiga aktivis mahasiswa ditangkap pada 19 September: Erik Aliknoe, Pende Mirin, dan Yunus Aliknoe. Mereka dijerat dengan tuntutan makar karena membuat bendera-bendera Bintang Kejora.

Sorong, Papua Barat

Polisi menahan empat aktivis mahasiswa – Herman Sabo, Yosep Laurensius Syufi, Manase Baho, Eteus Paulus, dan Miwak Karet – di kantor Polres Sorong karena membuat dan mengedarkan bendera Bintang Kejora.

Berbagai tuntutan itu mencerminkan perubahan mendasar sikap rezim Presiden Jokowi terhadap kebebasan berpendapat dan Papua, ujar Human Rights Watch. Pada Mei 2015, Jokowi berjanji untuk membebaskan para tahanan politik di seluruh Indonesia. Sejalan dengan arahan itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang bertanggungjawab atas pengelolaan penjara di Indonesia, secara bertahap melepaskan banyak tahanan politik negara. Tahanan politik Papua Barat termasyhur, Filep Karma, dibebaskan pada November 2015. Pihak berwenang juga melepaskan para tahanan politik dari Kepulauan Maluku dan memindahkan delapan orang di antaranya dari penjara di pulau terpencil ke penjara biasa di Ambon, ibu kota Maluku, agar lebih dekat dengan keluarga mereka.

Per Agustus 2017, Human Rights Watch memperkirakan hanya ada 1 sampai 5 orang tahanan politik Papua yang masih berada di balik jeruji, dibandingkan lebih dari 110 pada Mei 2015.

Koalisi beranggotakan kelompok-kelompok dan para pengacara pembela HAM di Papua telah membuat daftar dari 73 orang yang ditangkap di Papua, Papua Barat, dan Jakarta, termasuk 22 tahanan yang dibicarakan dalam laporan ini. Human Rights Watch belum mendapatkan kepastian tentang status hukum 51 orang lainnya.

"Pemerintah Indonesia membuat kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dengan melepaskan nyaris semua tahanan politik, namun penangkapan-penangkapan yang belakangan terjadi membahayakan pencapaian rapuh tersebut," kata Pearson. "Menjelang peringatan 1 Desember, otoritas Indonesia seyogianya berhenti menangkap dan memenjarakan orang-orang hanya karena mereka mengibarkan bendera atau mendesak kemerdekaan secara damai."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country
Topic