Pekan lalu, seorang aktivis termahsyur di Indonesia yang secara damai mendukung kemerdekaan dua provinsi, Papua dan Papua Barat, Filep Karma, menjadi tahanan politik untuk sesaat. Lagi-lagi.
Kali ini, Karma, yang selalu mengenakan simbol Bintang Kejora Kemerdekaan Papua Barat di kemejanya, ditangkap anggota Tentara Nasional Indonesia berseragam saat ia tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Yang kemudian terjadi adalah penahanan semena-mena selama 90 menit, dengan tujuh anggota Angkatan Udara, termasuk salah seorang yang membawa senapan semi otomatis, menginterogasi Karma tentang simbol di kemejanya. Para serdadu itu memaksa Karma mencopot simbol Bintang Kejora dan menanyai apakah ia anggota kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Menurut Karma, selama interogasi berlangsung, tentara-tentara itu melecehkannya secara verbal, memanggilnya "bajingan", "monyet", dan "dungu." Mereka lalu menyerahkan Karma kepada polisi bandara buat diawasi—yang melepaskannya tanpa tuntutan.
Karma, yang menghabiskan 11 tahun di balik jeruji dengan vonis melakukan makar pada tahun 2005 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di tempat umum, tentu tak asing dengan kewenangan otoritas-otoritas Indonesia. Pada November 2011, Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Semena-Mena menyatakannya sebagai tahanan politik serta menuntut pemerintah Indonesia melepaskannya "segera dan tanpa syarat." Ia baru dibebaskan pada November 2015.
Karma hanyalah satu dari banyak orang Indonesia yang dikenai pasal 106 dan 100 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menetapkan hukuman penjara berpuluh-puluh tahun terhadap pengunjuk rasa yang mendukung kemerdekaan atau perubahan politik lainnya secara damai. Banyak penangkapan dan pengadilan dilakukan terhadap para aktivis yang mengibarkan simbol-simbol terlarang, antara lain bendera Bintang Kejora Papua atau bendera Republik Maluku Selatan. (Human Rights Watch tak mendukung maupun menolak kemerdekaan Papua, tetapi kami menentang pemidanaan orang-orang yang secara damai mengungkapkan dukungan terhadap kemerdekaan.)
Pengalaman Karma pekan lalu adalah pengingat yang menyakitkan bahwa kebebasannya senantiasa terancam selama hukum-hukum yang melanggar hak asasi manusia masih ada dalam Kitab Undang-undang, dan selama masih ada petugas-petugas Indonesia yang menganggilnya "monyet" daripada menghormati haknya untuk bebas berekspresi.