Keluh-kesah tersebut, diunggah ke Facebook oleh editor surat kabar di Papua, Victor Mambor, mengekspresikan kecemasan yang dirasakan oleh banyak warga Papua terhadap tanggapan resmi menyikapi kasus pembunuhan anak muda Papua yang dilakukan polisi baru-baru ini.
Penyebabnya, petugas kepolisian yang terlibat dalam pembunuhan pemuda berusia 28 tahun bernama Yulius Pigai pada 1 Agustus tidak akan menghadapi tuntutan pidana. Sebuah sidang etik Kepolisian Daerah Papua menyelidiki soal keadaan di balik kasus polisi yang menembaki para demonstran di wilayah terpencil Deiyai, Papua Barat, memutuskan bahwa empat petugas bersalah atas “tindakan yang tidak sesuai” karena telah secara sengaja menembaki kerumunan orang dengan amunisi langsung, namun tidak seharusnya menghadapi tuntutan pidana. Alih-alih, panel etika mengeluarkan putusan bahwa hukuman keempat petugas kepolisian ini sebaiknya sebatas penurunan pangkat dan permohonan maaf di depan publik.
Penjelasan polisi terkait insiden itu menyatakan bahwa polisi melepaskan tembakan peluru karet terhadap massa demonstran yang melempari batu dan "mengamuk" serta mengabaikan desakan pembubaran yang sudah berkali-kali disampaikan. Polisi mengatakan bahwa tiga demonstran lainnya mengalami luka tembak dalam insiden yang diduga dipicu oleh penolakan para buruh pabrik PT Putra Dewa Paniai untuk membawa seorang warga desa setempat ke rumah sakit.
Penduduk desa Papua punya cerita berbeda. Mereka bilang bahwa polisi menembaki demonstran tanpa peringatan dan bahwa, selain membunuh Pigai, tujuh orang terluka, termasuk dua orang anak. Media sosial warga Papua dipenuhi dengan foto-foto selongsong peluru yang diduga ditemukan di lokasi, menyiratkan bahwa polisi melepaskan tembakan langsung bukan peluru karet.
Hukuman administratif yang ringan bagi petugas kepolisian menggarisbawahi kurangnya pertanggungjawaban atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia di Papua. Kekebalan hukum itu diperparah dengan pembatasan yang diterapkan pemerintah bagi media di Indonesia maupun koresponden asing untuk mengakses dan melaporkan secara bebas dari Papua. Hingga Presiden Joko “Jokowi” Widodo menepati janjinya untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia di Papua, mengharapkan permintaan maaf, alih-alih keadilan, untuk pembunuhan polisi terhadap warga Papua di masa mendatang.