(Bangkok) - Otoritas Malaysia makin banyak menanggapi kritik terhadap pemerintah dengan memulai penyelidikan kriminal, kata Human Rights Watch hari ini. Para jurnalis, aktivis masyarakat sipil, dan masyarakat biasa baru-baru ini berhadapan dengan penyelidikan polisi karena ujaran damai berdasarkan undang-undang yang bisa ditafsirkan secara luas yang melanggar hak kebebasan berekspresi.
“Pemerintahan Perikatan Nasional Malaysia terus menanggapi kritik publik dengan melakukan investigasi kejam atas tuduhan palsu," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia. “Perdana Menteri Muhyiddin Yassin seharusnya mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengkritik pemerintah mereka tanpa takut akan penyelidikan atau penuntutan.”
Sasaran terkini dari kemarahan pemerintah adalah Al Jazeera, karena memproduksi video yang membahas perlakuan Malaysia terhadap pekerja migran selama pandemi Covid-19. Setelah mengecam film dokumenter itu dengan sebutan “menipu dan tidak etis,” Menteri Pertahanan Ismail Saabri mengatakan bahwa Al Jazeera harus “meminta maaf kepada semua orang Malaysia.” Polisi kemudian mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki Al Jazeera terkait hasutan, pencemaran, dan pelanggaran Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia (CMA).
Dalam kasus yang nampak jelas sebagai pembalasan, Departemen Imigrasi mengumumkan bahwa mereka sedang mencari salah seorang migran yang diwawancarai dalam laporan tersebut, dan direktur jenderal departemen itu memperingatkan bahwa orang asing yang “membuat pernyataan tidak akurat yang bertujuan merusak negara” akan menghadapi kemungkinan pencabutan visa atau izin kerja mereka. Dalam film dokumenter itu, Al Jazeera melaporkan bahwa mereka telah menghubungi pemerintah dan meminta wawancara dengan pejabat senior, tetapi permintaan itu ditolak.
Pada 6 Juni 2020, Boo Su-Lyn, editor portal berita kesehatan CodeBlue, mengumumkan bahwa ia sedang diselidiki berdasarkan Undang-Undang Kerahasiaan Negara dan hukum pidana atas serangkaian artikel tentang temuan penyelidikan independen terhadap kebakaran rumah sakit yang menewaskan enam pasien pada Oktober 2016. Boo Su-Lyn menyatakan bahwa temuan yang menjadi dasar artikelnya telah dideklasifikasi, atau dinyatakan bukan lagi rahasia.
Dalam kasus lain yang mengincar media, jaksa agung melaporkan dugaan penghinaan terhadap portal berita online Malaysiakini dan editornya, Steven Gan, berdasarkan komentar yang diposting oleh pembaca portal tersebut. Pada 3 Juli, Pengadilan Federal menolak permohonan untuk mengesampingkan putusan yang memperbolehkan jaksa agung mengajukan kasus penghinaan, dengan menyatakan bahwa pemerintah telah membuat kasus prima facie di mana Malaysiakini telah “menerbitkan” komentar-komentar dan bahwa komentar-komentar tersebut menentang peradilan. Pengadilan akan mendengarkan sejumlah sanggahan atas kasus ini pada 13 Juli. Pembela berargumen bahwa media seharusnya tidak bertanggung jawab atas komentar yang dibuat oleh para pembaca, dan mencatat bahwa Malaysiakini telah menghapus komentar-komentar itu segera setelah mereka diperingatkan soal itu. Komite Jurnalisme Independen dan Dewan Pengacara Malaysia termasuk di antara para pihak yang telah menyatakan keprihatinan tentang implikasi kasus ini terhadap kebebasan media.
Para aktivis dan masyarakat biasa juga menghadapi penyelidikan kriminal karena ujaran kritis terhadap pemerintah. Pada 7 Juli, polisi memeriksa direktur organisasi nonpemerintah Refuge for the Refugees tentang sebuah unggahan media sosial soal dugaan penganiayaan terhadap para pengungsi di pusat-pusat penahanan imigrasi. Aktivis itu, Heidy Quah, sedang diselidiki karena pencemaran dan pelanggaran pasal 233 CMA dan diharuskan menyerahkan teleponnya kepada polisi.
Pada 3 Juli, seorang pensiunan didenda RM2.000 (US $ 470) karena memposting komentar “menghina” tentang menteri kesehatan di media sosial, meskipun pengadilan mencatat bahwa kritik itu “tidak berlebihan atau bersifat jahat.” Ia harus menjalani hukuman penjara selama sebulan jika tak bisa membayar denda.
Investigasi terbaru lainnya termasuk:
- Penyelidikan yang sedang berlangsung atas Ketua Bersih 2.0 Thomas Fann berdasarkan UU Peaceful Assembly Act karena sebuah unggahan di Facebook pada bulan Februari yang menyerukan orang-orang untuk memprotes perubahan dalam pemerintahan;
- Investigasi terhadap jurnalis Tashny Sukumaran setelah dia menulis laporan tentang penggerebekan keimigrasian di suatu daerah di bawah perintah pengawasan gerakan yang ditingkatkan karena kehadiran Covid-19;
- Pemeriksaan terhadap Cynthia Gabriel, direktur sekaligus pendiri Pusat Pemberantasan Korupsi dan Kronisme (C4 Center), terkait sebuah surat yang menyerukan penyelidikan atas dugaan bahwa pemerintah menawarkan bantuan dengan imbalan dukungan politik; dan
- Pemeriksaan terhadap seorang anggota parlemen dari kubu oposisi, Xavier Jayakumar, setelah dia mengkritik keputusan pemerintah yang membatasi sidang Parlemen baru-baru ini untuk pidato oleh raja.
Meski tidak satu pun dari investigasi tersebut berujung pada dakwaan pidana, sejumlah orang lain telah dituntut karena ujaran damai, termasuk:
- Patrick Teoh, yang menghadapi dakwaan berdasarkan pasal 233 CMA karena komentarnya di media sosial yang diduga menghina Putra Mahkota Johor. Pria berusia 73 tahun itu ditahan selama lima hari pada bulan Mei sebelum dibebaskan dengan jaminan. Dia membantah tuduhan itu dan kasusnya sedang menunggu persidangan;
- R. Sri Sanjeevan, kepala organisasi nonpemerintah, Malaysia Crime Watch Task Force, yang didakwa pada 5 Juni dengan dua tuduhan melanggar pasal 233 CMA karena diduga menggunggah informasi “palsu” tentang polisi di media sosial; dan
- Seorang pengusaha yang pada 8 Mei didakwa karena melanggar pasal 233 CMA dan pasal 505 (b) hukum pidana karena komentarnya di media sosial yang mengkritik pemerintah karena menuntut orang-orang yang melanggar pembatasan gerak yang diberlakukan karena Covid-19.
Semua undang-undang yang dikutip dalam penyelidikan ini terlalu luas dan dapat disalahgunakan, dan telah digunakan oleh pemerintahan-pemerintah terdahulu untuk menentang suara-suara kritis. Berdasarkan standar hak asasi manusia internasional, pemerintah hanya bisa memberlakukan pembatasan pada kebebasan berekspresi jika mereka diatur undang-undang dan diperlukan untuk menghormati hak atau reputasi orang lain, atau untuk perlindungan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau moral. Pembatasan harus ditarik secara sempit untuk membatasi ujaran sesedikit mungkin, dan secara tepat sehingga seseorang dapat memahami apa yang termasuk tindakan melanggar hukum. Tak ada satupun undang-undang yang digunakan dalam kasus-kasus ini telah memenuhi standar tersebut.
“Sejak pemerintahan baru berkuasa, kebebasan berbicara dan pers menghadapi ancaman baru di Malaysia,” kata Robertson. "Pemerintah perlu berhenti memperlakukan kritik sebagai kejahatan dan segera mengambil langkah-langkah untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang digunakan untuk menghadapi ujaran kritis.”