Skip to main content

Organisasi Katolik Pakai Hukum Penodaan Agama soal Tanah

Laporan ke Polisi Dipakai buat Bungkam Kritik soal Penggusuran Masyarakat Adat

PT Kristus Raja Maumere, perusahaan milik Keuskupan Maumere, menggunakan ekskavator untuk menghancurkan bangunan dan mengusir penduduk di Pulau Flores, Indonesia, 22 Januari 2025.  © 2025 Floresa

Di Indonesia, kalangan Islamis sudah lama terbiasa menyalahgunakan hukum penodaan ​​agama sebagai senjata politik untuk menyasar mereka yang dianggap menghina Islam, mendiskriminasi orang dari latar belakang minoritas, bahkan balas dendam pribadi.

Sekarang, sebuah organisasi Katolik di Pulau Flores ikut memakai hukum tersebut untuk menekan para penentang Perusahaan perkebunan milik gereja. Awalnya, sejumlah warga masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai menentang rencana bisnis PT Kristus Raja Maumere, sebuah perusahaan milik Keuskupan Maumere.

Pada 22 Januari, perusahaan tersebut menggunakan ekskavator yang dikawal para pria bersenjata menghancurkan lebih dari 100 rumah dan mengusir warga desa, beberapa di antaranya mengalami luka-luka. Beberapa perempuan mencoba menghentikan penggusuran dengan melompat ke buldoser. Konsorsium Pembaruan Agraria, organisasi berbagai masyarakat adat di Indonesia, menyebut tindakan tersebut sebagai “brutal, biadab, dan tidak manusiawi.”

Penggusuran itu terjadi bersamaan dengan sidang terhadap delapan warga desa di pengadilan negeri Maumere atas tuduhan merusak atau mencuri plang milik perusahaan. Maria Magdalena Leny, salah satu terdakwa, mengaku merobohkan plang perusahaan karena para pekerja perusahaan merusak pohon pisang dan kacang mete.

Cece Geliting, seorang pemilik salon di Maumere, mengecam penggusuran tersebut dengan mengunggah sebuah kartun di Facebook yang menggambarkan seorang pastor Katolik dengan ekskavator dan unggahan lain yang kritis terhadap gereja. Ini mendorong Forum Pemuda Katolik Bersatu, sebuah organisasi lokal, melaporkan Geliting ke polisi karena melakukan penodaan ​​terhadap agama Katolik dengan klaim bahwa unggahannya “merendahkan martabat dan nilai-nilai agama Katolik.” Jika terbukti bersalah, Geliting terancam hukuman enam tahun penjara.

Pada masa kolonial Belanda tahun 1926, tanah yang disengketakan itu diserahkan kepada gereja. Pada tahun 2005, PT Kristus Raja Maumere mengumumkan telah memiliki izin untuk mengusahakan tanah tersebut tapi izin ini berakhir tahun 2013. Pada 2023, perusahaan tersebut memperoleh perpanjangan. Masyarakat adat menentang keputusan tersebut, dan banyak yang menolak untuk pergi dan memilih tinggal di antara reruntuhan rumah mereka yang hancur.

PT Kristus Raja Maumere belum menanggapi surat dari Human Rights Watch tentang penggusuran maupun laporan polisi yang diajukan terhadap Geliting.

Ini tampaknya kali pertama sebuah kelompok Katolik menggunakan hukum penodaan​ agama di Indonesia yang penduduknya banyak Muslim. Ini sekali lagi peringatan kalau Indonesia seyogyanya segera mencabut hukum yang berbahaya ini untuk mencegah penyalahgunaan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country