Skip to main content

Indonesia Mempertimbangkan Amnesti bagi Orang Asli Papua di Penjara

Ribuan Orang Dipenjara dan Menghadapi Tuduhan Berdasarkan Undang-Undang yang Menolak Ekspresi Damai

Sejumlah orang asli Papua berdemonstrasi memperingati invasi militer Indonesia tahun 1961 ke Papua Barat di luar gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta, Indonesia, 19 Desember 2022. © 2022 Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

Pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo mengirimkan berbagai sinyal tentang usulan amnesti bagi puluhan ribu Orang asli Papua (OAP) yang divonis bersalah atau menghadapi tuduhan karena dicurigai mendukung gerakan separatis bersenjata di Papua Barat. Ketidakjelasan ini menimbulkan kebingungan, alih-alih pendekatan bijaksana, untuk mengatasi berbagai masalah hak asasi manusia yang telah berlangsung lama di provinsi di timur Indonesia itu.

Konflik dengan intensitas rendah telah berlangsung di Papua Barat sejak tahun 1960-an, ketika Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakibatkan Papua Barat jatuh ke bawah kekuasaan Indonesia. Sejak saat itu, pasukan keamanan Indonesia telah melakukan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan pemindahan paksa atas nama upaya memadamkan pemberontakan, tapi jarang sekali ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas berbagai pelanggaran ini.

Pada Januari lalu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Presiden Prabowo berencana untuk memberikan amnesti kepada semua OAP yang divonis bersalah atau sedang menunggu persidangan jika mereka tak lagi melakukan kekerasan dan berjanji setia kepada negara Indonesia, dengan menjelaskan bahwa hal itu merupakan upaya “untuk menyelesaikan konflik dengan memprioritaskan hukum dan hak asasi manusia.” Namun, seminggu kemudian Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa sementara ini kementeriannya sedang memverifikasi hingga 44.000 nama yang telah diusulkan untuk amnesti, ini “tidak mencakup penjahat yang dihukum karena terlibat dalam pemberontakan bersenjata.”

Di Papua Barat, sejumlah kelompok politik menanggapi usulan tersebut dengan skeptis. Markus Haluk dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengatakan usulan tersebut adalah "pencitraan." Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), mengatakan bahwa masalah inti harus diselesaikan, bukan sekadar "memberikan amnesti dan berharap konflik berakhir."

Selama beberapa dekade, banyak OAP mengecam Pepera 1969 yang berujung pada integrasi Papua Barat sebagai proses yang tidak adil. OAP dari generasi ke generasi telah secara damai memprotes rasisme dan diskriminasi, di mana mereka menghadapi penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, dan tuduhan pengkhianatan yang tidak adil. Papuans Behind Bars, sebuah koalisi kelompok hak asasi manusia di Papua Barat, melaporkan bahwa pihak berwenang saat ini memenjarakan 83 orang Papua dengan tuduhan separatisme, sebagian besar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai, yang adalah bendera gerakan kemerdekaan dan dilarang menurut hukum Indonesia.

Sebagai langkah pertama menuju perubahan yang berkelanjutan, Presiden Prabowo semestinya mengakui keluhan historis, ekonomi, dan politik orang Papua, termasuk akar penyebab dan dampaknya, dan memastikan keadilan dan perbaikan atas pelanggaran hak asasi manusia, pada masa lalu dan maupun masa kini.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country